Sander sebenarnya heran kenapa adiknya tiba-tiba berubah ketika Ansel datang? Tidak, lebih tepatnya Ajeng berubah setelah dia dan Evan menjemput orangtua mereka di bandara. Dia sangat tahu bagaimana tabiat adiknya itu. Tidak mungkin tiba-tiba membenci seseorang tanpa alasan yang jelas, apalagi meledak-ledak sampai berbuat kekerasan.Ajeng adalah definisi wanita kalem dan tidak pernah neko-neko. Marah pun hanya sedikit menaikkan suara dengan alis berkerut tidak suka, setelah itu menangis.Pasti ada sesuatu yang terjadi."Biar aku ambilkan aja ya, Mas," kata Ansel setelah mereka tiba di CV milik orangtua mereka."Biar aku aja. Kamu urus aja keperluan kamu. Katanya mau ada pengiriman ke perusahaannya Bayu besok lusa?" jawabnya sambil turun dari mobilnya.Mereka memang naik mobil sendiri-sendiri agar tidak saling merepotkan. Sebelum Ansel berlalu dari hadapannya, dia mencekal lengan adik sepupunya itu."Maafin Ajeng. Mbakmu itu sedang hamil muda, jadi hormonnya gampang berubah-ubah. Begi
Sudah menjadi hal yang wajar ketika manusia begitu percaya pada orang terdekatnya, apalagi yang berstatus saudara. Mereka cenderung percaya buta tanpa pernah memiliki pikiran negatif, karena merasa yakin bahwa saudara tidak akan berbuat buruk pada saudaranya yang lain.Tapi pada kenyataannya, Sander adalah satu dari sekian banyak orang yang harus menelan pil pahit saat tahu bahwa musuh terdekatnya adalah orang yang berstatus sebagai sepupunya.Dia dan Ajeng begitu percaya pada Ansel. Menganggap pria itu adalah adik mereka. Satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak paman. Menganggap bahwa darah lebih kental daripada air. Tanpa sadar bahwa darah itu justru mengandung penyakit yang bisa merusak keluarga mereka.Tok tok tok!Dadanya masih bergemuruh. Berbagai pikiran mengenai interaksinya dengan Ansel berkelebat di kepalanya. Mencari bagian mana yang salah. Bagian mana yang mencurigakan."Buka pintunya!" teriaknya tak sabar.Apakah ada tanda-tanda Ansel memiliki perasaan lebih pada Aj
Ajeng tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai Sander terlihat begitu marah luar biasa. Wajah sang kakak bahkan terlalu merah begitu menginjak 4 benda kecil bulat berwarna hitam yang didapatkan dari kamar mandi.Yang dia tahu, kini dirinya tengah berada dalam perjalanan menuju ke bandara Juanda di jam 7 malam. Alasan Evan yang harus segera kembali karena ada masalah di perusahaan membuat orangtua Ajeng tidak curiga. Padahal sebenarnya Evan bisa memantau perusahaan dari cabang di Surabaya."Kenapa kita nggak berangkat dari bandara Abdulrachman Saleh aja sih? Padahal sama aja bisa nyampe ke Jakarta," tanyanya heran.Bukan bermaksud untuk mengeluh, karena jujur dia senang-senang saja melakukan perjalanan dengan mobil karena seperti diayun-ayun hingga membuatnya mengantuk. Hanya saja, kedua pria itu terlihat tidak efisien."Kamu nikmati aja perjalanan ini. Tidur aja biar kamu nggak capek," jawab Sander sambil terus fokus pada jalanan di depan mereka.Ajeng menguap dan mulai mengantuk. Ti
Sudah tiga hari sejak pesan menakutkan dari Ansel, Evan masih belum mengijinkan dia untuk keluar dari rumah sang mertua dengan alasan belum ada bodyguard yang mengawalnya. Ketika dia menanyakan tentang Raka, sang suami mengatakan bahwa pria itu sangat sibuk. Ternyata Raka sebenarnya adalah asisten pribadi Evan, namun keberadaannya lebih sering tidak diketahui oleh karyawan karena tugas lainnya."Kamu kenapa, Sayang?"Ajeng menggigiti kukunya ketika ibu mertuanya menghampiri. "Kamu bosan di rumah terus? Mau jalan-jalan? Atau kamu pengen makan sesuatu?" tawar Dahlia."Ajeng pengen ketemu Mas Evan, Mi. Kok rasanya jantung saya berdegup nggak karuan ya? Nggak nyaman di perut," keluh Ajeng.Dahlia berdecak sebelum tersenyum menggoda. Sejak Ajeng kembali dengan perut yang sudah terlihat menonjol, Dahlia memang langsung heboh dan bersikap protektif pada Ajeng. Setelah kecewa dengan Ella yang ternyata mengandung anak dari pria lain, Dahlia langsung membenci wanita itu dan bersyukur karena
"Mau sampai kapan kamu duduk di dalam mobil begini? Mami yakin Evan nggak akan berbuat macam-macam apalagi selingkuh." Perkataan Dahlia membuat emosi Ajeng tak karuan.Dia menoleh ke arah ibu mertuanya dan menatap wanita itu nyalang. Setelah itu kembali menatap ke arah restoran bintang 5 di mana sang suami dan seorang perempuan cantik berwajah bule masih belum juga keluar sejak 20 menit yang lalu."Tapi Mas Evan menyukai Ajeng waktu sudah bersama Ella. Menikahi saya ketika masih berstatus sebagai suami Ella. Bukan nggak mungkin kalau dia pun akan mengulanginya lagi begitu melihat perempuan lain yang lebih cantik," ucapnya dengan suara bergetar."Hush! Kamu ini ngomong sembarangan. Lagi hamil itu ngomongnya hati-hati. Janin kamu bisa mendengar suara kamu," tegur Dahlia dengan kening berkerut, terlihat sekali tidak suka dengan ucapan Ajeng.Air mata mulai keluar dan membasahi wajah Ajeng tanpa bisa ditahan lagi. Posisinya hanyalah sebagai istri kedua. Dia hanyalah orang ketiga dalam rum
Mata Evan langsung membesar dan wajah pria itu terlihat ketakutan ketika seorang anak balita laki-laki tampan berlari ke arahnya.Ajeng menatap suaminya tak percaya. Berkali-kali melihat antara balita berwajah bule itu dan Evan. Dia jadi teringat dengan salah satu artis Indonesia yang wajahnya blasteran dan suka menebar benih kemana-mana. Anak pria itu semuanya berwajah full bule, bukan lagi blasteran.Air matanya kembali mengalir. Dadanya terasa sakit dan hatinya seperti patah saat itu juga. Ternyata suaminya sudah memiliki anak dengan perempuan lain secara diam-diam, bahkan sebelum menikah dengan Ella."Sayang! Itu bukan anakku!" Evan menggeleng-gelengkan kepala dan melambai-lambaikan tangan dengan cepat. Wajah pria itu terlihat panik. Apalagi ketika jarak balita laki-laki itu semakin dekat. "Hei, jangan mendekati ak..."Baik Ajeng maupun Evan langsung melongo ketika balita tampan itu melewati Evan begitu saja. Kepala mereka mengikuti ke mana balita itu pergi. Ternyata anak itu meng
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Evan terus saja berwajah masam. Berbanding terbalik dengan Ajeng yang tersenyum sumringah setelah melihat Nathan Wilson, bodyguard yang akan menemaninya selama 24 jam penuh."Aku akan mengganti bodyguardnya. Aku cari yang perempuan saja," kata Evan dengan ketus.Senyum di bibir Ajeng lenyap. Dia menatap suaminya heran. "Nggak bisa gitu dong. Kamu kan denger sendiri tadi Nathan itu gimana. Dia aja bisa mengungkapkan siapa stalker Elena, kan? Berarti dia bukan bodyguard sembarangan. Dengar-dengar dia ini dulunya kerja di Pentagon. Terus tadi...""Udah-udah! Aku nggak mau denger!" sela Evan semakin ketus. Kedua alis pria itu mengernyit dalam."Apaan sih? Udah dapat bodyguard yang bagus dan profesional tuh seharusnya senang dong. Berkat dia juga, aku jadi tahu kalau kamu nggak selingkuh sama Elena, karena memang nggak mungkin. Coba kalau dia dan suami Elena nggak dateng, aku pasti masih mencurigai kamu," tutur Ajeng dengan santai.Moodnya benar-bena
"Kayaknya berlebihan deh. Mau menemui Ella aja kenapa harus beli mobil baru segala? Anti peluru pula. Memangnya aku ini presiden? Kita nggak lagi tinggal di negara berkonflik," gerutu Ajeng ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju ke tempat Ella."Kita tidak tahu orang bernama Ansel ini bagaimana. Bisa jadi dia diam-diam memiliki senjata dan sedang mengikuti kamu," jawab Nathan dengan logat yang terdengar masih kaku dan aneh.Ajeng menatap pria yang duduk di sebelah Pak Adi-- sopir pribadi Evan yang kini harus mengantarkannya kemanapun-- dengan menaikkan alis."Ansel itu sepupu aku. Dia nggak mungkin nekat memiliki senjata api. Buat apa coba? Lagian di negara ini punya senjata api ilegal itu bisa dipenjara," sangkal Ajeng."Melihat dari riwayat penyerangan kamu, bisa jadi bukan hanya Ansel saja. Orang-orang yang ingin melenyapkan kamu bisa membayar orang lain. Pengeboman rumah kamu adalah contoh yang nyata."Ajeng ingin kembali menyangkal, tapi tidak jadi. Otak pengeboman itu saja