Ajeng tidak tahu apa yang tengah terjadi sampai Sander terlihat begitu marah luar biasa. Wajah sang kakak bahkan terlalu merah begitu menginjak 4 benda kecil bulat berwarna hitam yang didapatkan dari kamar mandi.Yang dia tahu, kini dirinya tengah berada dalam perjalanan menuju ke bandara Juanda di jam 7 malam. Alasan Evan yang harus segera kembali karena ada masalah di perusahaan membuat orangtua Ajeng tidak curiga. Padahal sebenarnya Evan bisa memantau perusahaan dari cabang di Surabaya."Kenapa kita nggak berangkat dari bandara Abdulrachman Saleh aja sih? Padahal sama aja bisa nyampe ke Jakarta," tanyanya heran.Bukan bermaksud untuk mengeluh, karena jujur dia senang-senang saja melakukan perjalanan dengan mobil karena seperti diayun-ayun hingga membuatnya mengantuk. Hanya saja, kedua pria itu terlihat tidak efisien."Kamu nikmati aja perjalanan ini. Tidur aja biar kamu nggak capek," jawab Sander sambil terus fokus pada jalanan di depan mereka.Ajeng menguap dan mulai mengantuk. Ti
Sudah tiga hari sejak pesan menakutkan dari Ansel, Evan masih belum mengijinkan dia untuk keluar dari rumah sang mertua dengan alasan belum ada bodyguard yang mengawalnya. Ketika dia menanyakan tentang Raka, sang suami mengatakan bahwa pria itu sangat sibuk. Ternyata Raka sebenarnya adalah asisten pribadi Evan, namun keberadaannya lebih sering tidak diketahui oleh karyawan karena tugas lainnya."Kamu kenapa, Sayang?"Ajeng menggigiti kukunya ketika ibu mertuanya menghampiri. "Kamu bosan di rumah terus? Mau jalan-jalan? Atau kamu pengen makan sesuatu?" tawar Dahlia."Ajeng pengen ketemu Mas Evan, Mi. Kok rasanya jantung saya berdegup nggak karuan ya? Nggak nyaman di perut," keluh Ajeng.Dahlia berdecak sebelum tersenyum menggoda. Sejak Ajeng kembali dengan perut yang sudah terlihat menonjol, Dahlia memang langsung heboh dan bersikap protektif pada Ajeng. Setelah kecewa dengan Ella yang ternyata mengandung anak dari pria lain, Dahlia langsung membenci wanita itu dan bersyukur karena
"Mau sampai kapan kamu duduk di dalam mobil begini? Mami yakin Evan nggak akan berbuat macam-macam apalagi selingkuh." Perkataan Dahlia membuat emosi Ajeng tak karuan.Dia menoleh ke arah ibu mertuanya dan menatap wanita itu nyalang. Setelah itu kembali menatap ke arah restoran bintang 5 di mana sang suami dan seorang perempuan cantik berwajah bule masih belum juga keluar sejak 20 menit yang lalu."Tapi Mas Evan menyukai Ajeng waktu sudah bersama Ella. Menikahi saya ketika masih berstatus sebagai suami Ella. Bukan nggak mungkin kalau dia pun akan mengulanginya lagi begitu melihat perempuan lain yang lebih cantik," ucapnya dengan suara bergetar."Hush! Kamu ini ngomong sembarangan. Lagi hamil itu ngomongnya hati-hati. Janin kamu bisa mendengar suara kamu," tegur Dahlia dengan kening berkerut, terlihat sekali tidak suka dengan ucapan Ajeng.Air mata mulai keluar dan membasahi wajah Ajeng tanpa bisa ditahan lagi. Posisinya hanyalah sebagai istri kedua. Dia hanyalah orang ketiga dalam rum
Mata Evan langsung membesar dan wajah pria itu terlihat ketakutan ketika seorang anak balita laki-laki tampan berlari ke arahnya.Ajeng menatap suaminya tak percaya. Berkali-kali melihat antara balita berwajah bule itu dan Evan. Dia jadi teringat dengan salah satu artis Indonesia yang wajahnya blasteran dan suka menebar benih kemana-mana. Anak pria itu semuanya berwajah full bule, bukan lagi blasteran.Air matanya kembali mengalir. Dadanya terasa sakit dan hatinya seperti patah saat itu juga. Ternyata suaminya sudah memiliki anak dengan perempuan lain secara diam-diam, bahkan sebelum menikah dengan Ella."Sayang! Itu bukan anakku!" Evan menggeleng-gelengkan kepala dan melambai-lambaikan tangan dengan cepat. Wajah pria itu terlihat panik. Apalagi ketika jarak balita laki-laki itu semakin dekat. "Hei, jangan mendekati ak..."Baik Ajeng maupun Evan langsung melongo ketika balita tampan itu melewati Evan begitu saja. Kepala mereka mengikuti ke mana balita itu pergi. Ternyata anak itu meng
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Evan terus saja berwajah masam. Berbanding terbalik dengan Ajeng yang tersenyum sumringah setelah melihat Nathan Wilson, bodyguard yang akan menemaninya selama 24 jam penuh."Aku akan mengganti bodyguardnya. Aku cari yang perempuan saja," kata Evan dengan ketus.Senyum di bibir Ajeng lenyap. Dia menatap suaminya heran. "Nggak bisa gitu dong. Kamu kan denger sendiri tadi Nathan itu gimana. Dia aja bisa mengungkapkan siapa stalker Elena, kan? Berarti dia bukan bodyguard sembarangan. Dengar-dengar dia ini dulunya kerja di Pentagon. Terus tadi...""Udah-udah! Aku nggak mau denger!" sela Evan semakin ketus. Kedua alis pria itu mengernyit dalam."Apaan sih? Udah dapat bodyguard yang bagus dan profesional tuh seharusnya senang dong. Berkat dia juga, aku jadi tahu kalau kamu nggak selingkuh sama Elena, karena memang nggak mungkin. Coba kalau dia dan suami Elena nggak dateng, aku pasti masih mencurigai kamu," tutur Ajeng dengan santai.Moodnya benar-bena
"Kayaknya berlebihan deh. Mau menemui Ella aja kenapa harus beli mobil baru segala? Anti peluru pula. Memangnya aku ini presiden? Kita nggak lagi tinggal di negara berkonflik," gerutu Ajeng ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju ke tempat Ella."Kita tidak tahu orang bernama Ansel ini bagaimana. Bisa jadi dia diam-diam memiliki senjata dan sedang mengikuti kamu," jawab Nathan dengan logat yang terdengar masih kaku dan aneh.Ajeng menatap pria yang duduk di sebelah Pak Adi-- sopir pribadi Evan yang kini harus mengantarkannya kemanapun-- dengan menaikkan alis."Ansel itu sepupu aku. Dia nggak mungkin nekat memiliki senjata api. Buat apa coba? Lagian di negara ini punya senjata api ilegal itu bisa dipenjara," sangkal Ajeng."Melihat dari riwayat penyerangan kamu, bisa jadi bukan hanya Ansel saja. Orang-orang yang ingin melenyapkan kamu bisa membayar orang lain. Pengeboman rumah kamu adalah contoh yang nyata."Ajeng ingin kembali menyangkal, tapi tidak jadi. Otak pengeboman itu saja
Ansel menatap titik merah yang berkedip di layar laptopnya dengan senyum mengembang. Dia menyandarkan tubuh di sandaran kursi sambil mendesah lega.Pujaan hatinya hendak menuju ke suatu tempat yang tidak ia ketahui. Anak buahnya sudah mengikuti Ajeng atas perintahnya. Dia ingin wanita itu di bawa ke tempatnya dan tidak akan dia biarkan keluar lagi. Ajeng adalah miliknya. Sejak dulu wanita itu adalah miliknya."Ajeng Maheswari yang sangat cantik," gumamnya sambil mengamati selembar foto di tangannya.Foto yang diam-diam dia ambil saat wanita itu tengah melepaskan gaun di dalam kamar. Begitu seksi dan indah.Tubuh Ansel merasa panas hanya dengan melihat foto-foto Ajeng yang tak senonoh di atas meja kerjanya. Nafasnya memburu dan otaknya mulai membayangkan kakak sepupunya berbaring telanjang di bawahnya."Ajeng!" erangnya sambil memuaskan diri sendiri dengan mata terpejam.Ansel memang sudah gila sejak dulu. Selalu membayangkan hal yang kotor ketika sedang bersama dengan Ajeng. Dia bahka
Ajeng menatap wajah Ella yang begitu pucat. Kedua matanya cekung dan tubuh wanita itu begitu kurus. Kenapa Ella belum juga sembuh? Bukankah sahabatnya sudah menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang di Singapura?"Kemungkinan dia untuk sembuh juga kecil karena udah di stadium akhir."Perkataan Evan terngiang kembali di telinganya. Benarkah Ella tidak bisa sembuh? Tapi selama ini, wanita itu tidak menunjukkan tanda-tanda terkena penyakit mematikan selama mereka bersama."Kamu ke sini mau mengejek aku ya?" Ella tersenyum sinis, sama sekali tidak cocok dengan kondisi tubuhnya."Bagaimana kabar kamu? Kenapa...kamu masih kelihatan sakit?" Mata Ajeng berkaca-kaca.Pasti sakit sekali menjadi Ella. Berakhir sendirian di dalam penjara dan harus merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuh.Mata Ella sempat membelalak, namun setelah itu dingin. "Kamu cuma mau mengolok-olok kondisiku. Gimana? Kamu senang kan, bisa menjadi satu-satunya istri Mas Evan?"Ajeng menggelengkan kepalan
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug