"Eh, sayang? Kok udah bangun? Kamu mau apa? Pengen makan sesuatu?" Evan buru-buru mendekati Ajeng yang sudah siap menangis.Dia tidak pernah menghadapi ibu hamil, tapi ibunya sering mengomel tentang bagaimana kebiasaan ibu hamil sampai kupingnya terasa panas dan akhirnya hafal di luar kepala."Mau makan yang asem-asem? Rujak atau apa gitu? Aku nggak kembali ke kantor kok. Papa yang handle soalnya tahu kamu lagi berduka. Yuk, kita makan siang. Atau kamu mau makan di luar?" Sebisa mungkin Evan mengalihkan perhatian istrinya agar tidak berpikiran yang terlalu berat."Tapi tadi kamu bilang...""Kamu salah dengar. Tadi Nathan membahas soal Elena yang dulu dikuntit sama orang asing.""Tapi tadi kamu teriak....""Ssshhh, aku cuma niruin dialog di film. Ayo, kamu mau makan apa? Atau kita balik ke kamar?""Hah? Tapi aku yakin tadi....mmmhhhh!"Cara ampuh untuk membungkam perempuan adalah dengan membuatnya terlena. Evan sudah menguasai teknik untuk membuat istrinya kehilangan fokus. Dia menyung
Sander mengamati gerak-gerik Ansel dengan pandangan tajam. Sejak tahu bahwa pria itu begitu kurang ajar diam-diam memasang kamera tersembunyi di kamar Ajeng, dia sudah tidak lagi menganggap Ansel sebagai sepupunya.Lidahnya sungguh gatal untuk terus berkata kasar dan sinis setiap kali Ansel berpura-pura berbicara dengan manis dan sopan pada ayah dan ibunya. Kehadiran Om Dennis semakin membuat Sander ingin membongkar kelakuan bejat sepupunya itu."Aku mau mengambil dokumen di kamar Kak Ajeng. Kayaknya ketinggalan di sana," kata Ansel sambil tersenyum, menampilkan wajah lugu dan terlihat baik.Cih! Ingin sekali Sander meludah dan meninju wajah songong itu. Selama ini, dia dan semua orang sudah tertipu oleh wajah itu."Kamu kenapa dari tadi diam saja, Nak?" tanya ibunya dengan kening mengernyit."Buat apa kamu ke kamar Ajeng? Jangan lancang masuk ke kamarnya di saat dia nggak ada di sini. Biar aku saja yang mengambil dokumen itu," kata Sander dingin, mengabaikan pertanyaan ibunya.Semua
Sander membuka pintu kamar Ajeng dan tersenyum sinis ketika melihat Ansel sedang mencari-cari sesuatu."Sejak kapan dokumen ditaruh di boneka?"Tangan Ansel membeku dan tubuh pria itu terlihat tegang, namun sedetik kemudian kembali biasa. "Ah, Mas Sander. Aku cuma pengen lihat bonekanya Kak Ajeng aja kok. Dia sangat suka dengan boneka ini," kata Ansel dengan tenang sambil tersenyum.Setelah Sander ditelpon oleh Evan yang mendapatkan instruksi dari bodyguard Ajeng, dengan sigap ia kembali menyisir kamar sang adik untuk menemukan adanya kemungkinan kamera lainnya.Dan benar saja. Dia menemukan kamera di tempat-tempat yang tidak akan pernah dicurigai oleh siapapun yang melihatnya. Boneka beruang besar, pot bunga imitasi, pulpen, bahkan di sela-sela springbed dan dipan.Ansel benar-benar gila. Tidak, pasti orang yang memerintah Ansel benar-benar gila. Sepupunya tidak akan mengerti dengan hal-hal semacam itu. Dia tahu betul Ansel tidak terlalu pintar."Kamu mencari ini?" Sander meraih sem
"Mi, Ajeng mau jalan-jalan sebentar ya. Suntuk di rumah terus," pamit Ajeng setelah sholat subuh.Kebetulan sang mertua sedang berada di dapur untuk minum. Wanita itu menaikkan alis."Nggak nunggu Evan dulu? Dia belum pulang dari masjid?" "Nggak ah, Mi. Kelamaan nungguin Mas Evan keburu terang. Ajeng males ketemu tetangga." Pasti banyak yang kepo dengan status Ajeng.Mendadak ia merasa kesal pada suaminya. Kenapa pernikahan mereka masih belum dirayakan agar semua orang tidak menuduhnya yang tidak-tidak? Orang-orang di kompleks perumahan mertuanya pasti tahunya yang menjadi istri Evan itu masih Ella."Lho, terus? Kamu mau jalan-jalan sendirian? Jangan, nanti suami kamu marah-marah. Kamu lupa rumah kamu dibom waktu Evan pergi?" kata Dahlia dengan raut wajah khawatir."Sama Nathan kok, Mi. Ajeng juga takut kalau sendirian."Penyerangan dari Broto membuat Ajeng semakin takut saja pergi kemana pun. Sekarang dia justru bingung, sampai kapan dia akan seperti ini terus? Dia juga tidak punya
Suara bariton Evan membuat Ajeng dan para ibu penggosip itu menoleh. Ajeng terkejut karena ternyata suaminya menyusul sampai ke sini dengan pakaian rumahan.Lelaki itu merangkul pundaknya dan menghadap ke arah mereka dengan tenang."Kami menikah secara agama dan hukum. Mantan istri saya dulu memberikan ijin pada saya untuk menikah lagi, bahkan dia sendiri yang mengurus surat ijinnya. Jadi, saya rasa anda semua tidak memiliki alasan untuk menyebut Ajeng sebagai istri simpanan saya," kata Evan dengan tegas."Tapi dia ini istri kedua. Sudah pasti dia merebut kamu dari istri pertamamu. Sama saja dia ini pelakor.""Tahu apa anda tentang kondisi rumah tangga saya? Apakah saya harus melaporkan semua yang terjadi pada kalian?" tanya Evan masih dengan sikap tenang.Ajeng bahkan heran kenapa Evan tidak terpancing emosinya. Mungkin karena lelaki itu sering menghadapi rekan bisnis dengan berbagai karakter."Bukan begitu, Nak. Maksud kami itu, kami hanya mengingatkan Ajeng untuk nggak bertingkah k
Dear, AjengSahabatku, atau mungkin kamu menganggap aku sebagai musuh setelah apa yang kulakukan padamu.Awalnya aku mendekati kamu untuk menjalankan rencanaku balas dendam karena ibu kamu. Gara-gara ibumu, ayahku menelantarkan aku dan ibuku. Ayahku sering bertengkar hebat dengan ibuku, dan dia nggak begitu perhatian sama aku.Siapa yang nggak sedih kalau diperlakukan seperti itu? Aku pikir karena ayahku banyak pikiran karena mengurus perusahaan. Banyak anak pengusaha dan pejabat yang juga diabaikan oleh orangtuanya karena sibuk dengan pekerjaan.Tapi suatu hari, aku melihat foto-foto ibu kamu di laptop ayahku di ruang kerjanya. Dulu, kupikir dia lupa mengunci pintunya. Tidak seperti biasanya. Tapi sekarang aku baru sadar bahwa ternyata ayahku sengaja membuka sedikit pintu ruang kerjanya biar aku bisa masuk dan melihat foto itu.Aku memang bodoh. Seharusnya aku berpikir matang terlebih dulu. Nggak mungkin ayahku ceroboh membiarkan rahasianya diketahui olehku. Tapi waktu itu, aku masih
Seorang pria berusia 40-an langsung berdiri begitu Ajeng dan Bu Dahlia sampai di ruang tamu. Ajeng menatap pria itu dengan alis mengernyit. Dia tidak mengenal mereka, jadi kenapa mereka mencarinya?"Herman? Kenapa ke sini? Apa ada masalah dengan menantuku?" Bu Dahlia mendekati dua tamu yang tak diundang itu dengan menaikkan alis."Bu Dahlia. Saya dan Bu Fatma datang ke sini untuk menyampaikan wasiat dari Bu Ella untuk Bu Ajeng," jawab pria itu.Ajeng mendekati mereka setelah melihat interaksi sang mertua dengan pria dan wanita asing itu yang terlihat akrab."Perkenalkan, saya Herman, pengacara keluarga Pak Susno Wijaya, dan ini Bu Fatma, notaris. Kami ke sini untuk menunaikan amanah dari almarhumah Bu Ella yang harus segera kami sampaikan," ucap pria bernama Herman itu sambil menyalami tangan Ajeng.Dia langsung teringat dengan surat dari Ella yang baru saja dibacanya. Kenapa bisa secepat ini? Ella baru meninggal kemarin, dan pengacaranya sudah datang ke sini."Kenapa kalian cepat sek
"Maksudnya gimana, Nak? Ansel berbuat kejahatan dan Ajeng sebagai korbannya? Kejahatan apa?" tanya Sekar dengan wajah kebingungan.Berbeda sekali dengan Mark yang langsung paham. Dia seperti merasakan dejavu. Mendadak hatinya dipenuhi dengan kecemasan. Bayangan Sekar yang meronta-ronta di bawah Susno di gang dekat kampus puluhan tahun yang lalu membuat Mark takut.Takut jika putrinya berada di posisi yang sama dan pelakunya adalah Ansel.Tidak! Tidak mungkin! Ansel adalah anak yang baik dan sopan. Tidak mungkin anak muda itu sudah..."Maaf aku harus jujur pada kalian. Aku harap jantung ayah benar-benar sudah sembuh total dan bisa menerima berita ini. Dan ibu..." Sander mendekati sang ibu dan meraih tangannya. "Sander mohon jangan heboh atau histeris setelah mendengar apa yang akan aku katakan."Jantung Mark berdetak lebih cepat dari yang seharusnya. Dia memegang dada kirinya, menanti sengatan rasa sakit yang biasanya datang selama masa pemulihan pasca operasi. Tapi nihil. Sepertinya j
H-1 sebelum pesta dilaksanakan di sebuah kapal pesiar mewah, Siska mengetuk pintu kamar Ajeng untuk menanyakan tentang kepastian acara besok. Dia lupa pesta diadakan jam berapa, karena betapa banyaknya pekerjaan di kantor yang harus dia selesaikan sebelum akhirnya naik ke kapal pesiar demi menghadiri pesta pernikahan sang sahabat."Jeng, kamu lagi sibuk nggak?" teriaknya setelah mengetuk pintu beberapa kali.Dia tadi melihat Evan bersama Dana sedang bercengkerama dengan bos besar dan nyonya besar Braun, jadi dia pikir Ajeng mungkin sedang berada di kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu."Jeng?"Tidak ada jawaban. Dia mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci."Aku buka ya. Maaf kalau aku mengganggu," ucapnya sambil tersenyum. Tidak sabar untuk bergosip ria dengan Ajeng. "Besok pestanya jam bera...pa..."Siska langsung menganga dengan mata membelalak ketika melihat tubuh yang hanya dibalut dengan handuk di bagian bawah pinggul. Dia terengah kaget dan hal itu membuat sang pemilik
Siska menatap mantan calon mertuanya tak percaya sekaligus geram. Padahal selama dia menjalin hubungan dengan Bayu, wanita itu begitu baik padanya. "Apa selama ini Tante hanya berpura-pura baik di depan saya? Kalau memang Bayu sudah bertunangan sejak kuliah, kenapa Tante menerima saya sebagai calon menantu?" tuntutnya.Ibu Bayu langsung gelagapan ketika Meliana mengerutkan kening, lalu menatap wanita itu curiga."Eh, ng-nggak kok Mel. Nggak usah percaya sama dia. Mama nggak kenal siapa dia. Bayu selalu setia sama kamu kok," kata ibu Bayu cepat-cepat.Hati Siska sakit sekali mendengarnya. Seandainya saja pernikahan itu sudah terlanjur terjadi, apakah dia akan ditindas oleh wanita itu? Dia jadi teringat dengan nasib Ajeng ketika menikah dengan Dimas. "Ck, ternyata memang bener ya. Orang jahat itu manipulatif dan pinter berpura-pura. Untung saya nggak jadi menikah sama Bayu. Nggak kebayang saya menjadi perempuan yang dibodohi oleh suami dan keluarganya."Siska beralih menatap Meliana.
Siska terus menangis entah sudah berapa lama. Dadanya sesak sekali dan rasanya dia ingin menghilang dari dunia ini. Cintanya pada Bayu begitu besar. Dia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada pria itu karena berpikir bahwa Bayu adalah belahan jiwanya."Kenapa pria yang terlihat baik dan setia seperti Bayu ternyata bajingan?" tanyanya setelah tangisnya reda, namun masih sesenggukan."Biasanya kan memang begitu," jawab Raka dengan santai.Siska langsung melotot pada pria yang telah bertahun-tahun menjadi rekan kerjanya menjadi orang kepercayaan Evan. Raka langsung mengangkat kedua tangannya."Biasanya memang begitu. Pria yang terlihat kalem dan nggak neko-neko tuh justru menyimpan banyak rahasia. Coba lihat Mr. Evan. Dia itu dingin, kelihatan nggak peduli sama perempuan. Eh tahu-tahu istrinya dua kan? Tapi kasusnya kan beda. Diam-diam dia bucin akut sama Ajeng."Siska menyeka air mata di wajahnya, tak peduli dengan make-up yang ikut luntur."Rasanya sakit banget, Ka. Kenapa aku nggak ja
"Semua dokumen sudah lengkap?""Sudah, Mr.," jawab Siska dengan antusias. Jantungnya berdegup kencang karena sebentar lagi akan bertemu dengan tunangannya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di perusahaan multinasional membuatnya begitu sibuk dan sering pulang malam, sehingga waktu untuk bertemu dengan tunangannya sangat sedikit."Semangat banget yang mau ketemu tunangan," goda Raka ketika mereka sampai di lobi perusahaan.Siska hanya tersenyum, namun debar dalam dadanya semakin kencang. Padahal mereka sebentar lagi menikah, tapi Siska merasa seperti baru saja jadian dengan sang tunangan.Mereka masuk ke dalam mobil dinas khusus CEO yang disediakan oleh perusahaan. Mobil mewah keluaran terbaru yang anti peluru, karena keselamatan Evan Braun sangatlah penting."Gimana liburannya di Malang, Pak?" tanya Raka membuka percakapan sambil fokus melihat jalanan di depannya."Menyenangkan. Istri saya pintar memilih tempat liburan yang bagus," jawab Evan sambil tersenyum.Siska yang duduk di s
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya, kenapa justru wanita itu yang datang menjenguknya? Bahkan orangtuanya sudah tidak peduli lagi, apalagi kekasihnya."Maaf ya baru bisa menjenguk kamu. Nih, aku bawain makanan kesukaan kamu," kata Ajeng sambil tersenyum."Kenapa?"Wanita itu mendongak. Gerakan tangannya meletakkan dua kotak makanan dan satu gelas minuman terhenti."Aku pengen bawain kamu makanan yang enak. Nggak aku kasih racun kok, udah diperiksa juga sama petugas," jawab Ajeng."Kenapa kamu mau repot-repot datang?" jelasnya.Ajeng menghela nafas panjang. Wanita itu terlihat lebih bercahaya dan tetap awet muda, persis seperti ketika dia pertama kali dikenalkan pada wanita itu oleh Ella dulu.Hanya Ajeng yang tidak pernah mengusiknya, meskipun tahu bahwa dia membawa pengaruh buruk pada sahabat wanita itu. Jadi ketika Ella ikut terjerumus ke dalam sekte sesat demi bisa menghancurkan Ajeng, Johan tidak mendukung Ella sama sekali.Baginya, Ajeng itu seperti kertas putih yang sayan
"Kamu juga harus mati, Johan. Enak saja kamu masih hidup dengan tenang, sedangkan aku harus menjadi bulan-bulanan mereka."Johan membelalak ketika melihat Nadia mendekatinya dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali dia melihat wanita itu. Rambut panjang Nadia acak-acakan. Perut wanita itu berlubang dan mengeluarkan banyak darah. Lalu di tangan kanan wanita itu....Janin merah yang tiba-tiba saja melihat ke arahnya dengan mata melotot. Bibir janin itu tertarik membentuk senyuman dengan gigi-gigi runcing yang terlihat tajam."Ayah."Johan menjerit ketakutan. Dia langsung berlari dengan sekuat tenaga. Nadia sudah mati, dia yakin itu. Dia sendiri yang mengatakan pada Ansel di mana keberadaan Nadia sebelum kabur ke Australia. Belum jauh dia berlari, kakinya tersandung. Membuatnya jatuh dengan keras. Dua orang berjubah hitam dan bertudung menarik tangannya dan memaksanya untuk berdiri. "Nggak! Nggak lepasin aku! Aku udah bukan bagian dari kalian lagi!""Siapapun yang menjadi pengkhi
Pesta pernikahan Ajeng dan Evan diadakan di kapal pesiar yang mewah. Seluruh karyawan Deca di kantor pusat dan karyawan Ajeng di Otten Supermarket turut hadir dalam pesta.Banyak yang takjub dengan pesta mereka, apalagi Evan benar-benar maksimal dalam menjamu tamu. Mereka semua menikmati makanan mewah dan mahal yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan atas."Ternyata Mr. Evan lebih bahagia bersama Ajeng ya," ucap salah satu karyawan Deca yang dulu satu divisi dengan Ajeng."Iya bener. Waktu sama Bu Ella dulu, dia nggak pernah tersenyum. Kaku banget kayak kanebo kering. Pestanya juga biasa aja nggak semewah ini," sahut yang lain."Pantesan Bu Marta langsung dipecat dan dijebloskan ke penjara begitu mencelakai Ajeng. Secinta itu orangnya sama Ajeng. Lihat aja deh, senyumnya nggak pernah luntur tuh. Benar-benar bucin akut.""Aku sih mendukung Ajeng. Dia emang baik orangnya. Bahkan meskipun sekarang udah menjadi istri konglomerat, dia nggak pernah lupa sama kita-kita.""Eh iya ben
"Sudah tahu punya anak bayi, kenapa malah nggak pulang-pulang? Lihat nih, Dana sampai nangis ngejer kayak gini. Mbok ya diajak kalau jalan-jalan. Benar-benar nggak kasihan sama anak," omel Sekar begitu Ajeng dan Evan baru pulang setelah Maghrib.Ajeng langsung meraih Dana yang menangis sesenggukan sampai suaranya serak dan buru-buru menepuk-nepuk punggung bayi itu."Cup...cup...maaf ya mama baru pulang. Dana nyariin mama ya?" ucapnya dengan wajah bersalah.Dia langsung duduk di depan televisi dan menyusui bayi itu yang langsung diam. Perasaan bersalah kembali menyerangnya. Seharusnya mereka mengajak Dana. Siapa yang tahu bahwa anak itu mencari-carinya, padahal tadi Dana kelihatan senang ketika diajak oleh neneknya."Kalian ini kalau masih punya anak bayi, jangan sering ditinggal. Dia masih butuh perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Bayi itu peka. Jangan sampai dia merasa diabaikan," omel Sekar lagi.Kalau biasanya Ajeng menjawab, maka kali ini dia hanya diam saja. Dia jarang m
"Sudah?" Evan langsung berdiri begitu melihat Ajeng keluar dari ruang kunjungan. "Kenapa kamu kelihatan sedih?"Ajeng hanya tersenyum tipis. Mendadak dia merasa energinya tersedot habis setelah melihat kondisi Ansel. Bagaimanapun juga, pria itu adalah adik sepupunya. Dulu, sebelum dia mengenal Ella, dia dan Ansel sudah seperti adik kakak. Mereka begitu akrab dan hangat, sampai-sampai Ajeng tidak sadar bahwa timbul rasa lain di hati Ansel.Secara agama, memang Ansel itu bukanlah mahramnya. Jadi ketika pria itu menaruh hati padanya, tidak ada yang salah, karena memang mereka halal untuk menikah. Tapi tetap saja, Ajeng merasa itu saru (tidak pantas)."Kita ke Selecta ya, Mas. Aku pengen ngadem. Pikiranku suntuk banget," pinta Ajeng sambil menggandeng lengan suaminya.Dana dititipkan ke kakek dan neneknya, dan tentu saja Sekar sangat senang sekali. Apalagi Dana tipe bayi yang tidak gampang rewel. Kecuali jika anak itu tidak suka pada seseorang yang juga tidak menyukainya. "Siap. Mas jug