“Sepertinya aku akan tetap di rumah sepanjang hari ini.” Ghavin menjawab pertanyaan Dyra sebelumnya, setelah melepaskan belitan tangannya di panggang sang istri.“Janji jangan membuatku takut lagi.” Dyra menatap penuh harap. Sebelumnya ia sampai membakar jaket denim Ghavin yang berlumuran darah. Meski setelah memastikan tidak ada luka serius di tubuh suaminya, tetap saja mendapati bercak darah manusia menempel pakaian Ghavin, Dyra tidak bisa membayangkan apa yang terjadi sebelum suaminya kembali.Sementara Ghavin malah yakin, berhasil menggetarkan pihak lawan dengan tewasnya sniper andalan mereka yang sering ditugaskan pengintaian dan melakukan serangan jarak jauh. Bahkan pria itu juga telah berhasil menewaskan empat anak buah Ghavin yang bertugas menjaga hutan dari jarak puluhan meter. Janur, orang kepercayaan Ghavin yang dipercaya menjadi komando saat bertugas di hutan, menjelaskan bukan hanya menghasut mereka dengan iming-iming kesenangan duniawi, tetapi Romi juga telah melakuka
“Kau mau kemana?” Romi bertanya setelah beringsut duduk, lantas memastikan waktu dari layar ponselnya. Waktu masih terlalu pagi untuk Marissa buru-buru meninggalkan kamarnya. Bahkan biasanya wanita itu tidak segan menggodanya untuk kembali mengulang aktivitas panas mereka.“Aku harus pulang!” Nada bicara Marissa masih saja ketus meski sambil mengenakan pakaiannya. Sayangnya Romi tidak pernah peduli dengan mulut ketus Marissa, terbukti semarah apapun wanita itu ia tetap berhasil menaklukannya di atas ranjang. Begitu juga semalam, Romi sengaja memancing keributan dengan mengajak wanita muda meninggalkan pesta saat tahu mata tajam Marissa mengarah padanya. Meski tahu Marissa akan mengejar, tetapi Romi tetap saja terkejut ketika baru memasuki lift—hendak meninggalkan pesta tiba-tiba Marisa sudah menyelinap masuk dan langsung menarik rambut wanita yang bersamanya. Wanita itu mengaduh kesakitan, meminta Marissa melepas cengkraman rambutnya. Namun, Marissa tidak peduli, justru akan melaya
“Kau disini?” Romi langsung memasang wajah tidak suka begitu mendapati kemunculan adik iparnya.“Sudah lama aku tidak mengunjungi paman,” balas Galih yang tidak sepenuhnya berbohong. Sambil beranjak duduk di sofa seberang Romi, Galih masih bisa menyambut kedatangan kakak iparnya itu dengan senyum hangat. Bersikap seperti sang pemilik rumah. “Kakak sendiri ada keperluan apa datang sepagi ini?” “Ada sedikit urusan dengan Dyra.” Romi menjawab tak acuh, walaupun yakin niat mengajak Dyra pergi bersama bisa gagal dengan adanya Galih. Tapi ia tidak begitu saja menyerah sebelum mencoba. Jika Galih tetap menunjukkan sikap tenang berhadapan dengan Romi, lain halnya Ghavin yang sudah menyelinap ke celah dinding untuk bisa keluar ke halaman depan lewat jendela. Sedangkan Martin beserta Dyra sudah pergi ke meja makan. Mereka memutuskan sarapan lebih dulu.Di halaman depan, Ghavin berhasil keluar dan sekarang sudah ada di bawah kolong mobil Romi yang terparkir di samping beranda depan. Sehingga m
“Kita harus segera bertindak, Sayang. Jangan sampai wanita itu tahu Ghavin sudah mengetahui kebenaran putrinya.” Sambil menutup luka di dahi Marissa, Sushmita memberi saran.“Sepertinya kita memang membutuhkan bantuan Romi, Ma. Aku yakin dengan bekerja sama dengannya kita semakin mudah untuk bisa menguasai harta Ghavin.” Marissa coba merayu, selain itu ia juga ingin menunjukkan kesungguhan Romi.“Jangan bodoh kamu! Mama tahu Romi sangat licik!” tolak Sushmita.“Tapi Ma—”“----dengar Marissa.” Sushmita lebih dulu menyela. “Mama punya firasat tidak baik pada laki-laki itu. Sekeras apapun usahamu menyakinkan mama, keputusan mama tetap sama. Mama tidak akan mendukung hubungan kalian!” Peringatan tegas Sushmita seketika memupus harapan yang bahkan baru kemarin berani Marissa rangkai.*******Di ruang kerjanya, Ghavin hanya bisa menggeram marah begitu orang suruhannya memberi kabar, Romi berhasil selamat dari ledakan mobilnya. Ghavin merutuki ketidaktahuannya akan alat deteksi yang ada di m
“Mas! Ya ampun!” Dyra memekik terkejut. Melihat Dyra memasuki kamar, Ghavin yang baru keluar dari ruang ganti iseng langsung mengangkatnya, lantas didudukan ke atas nakas dan mengurungnya dengan kedua tangan agar tidak bisa menghindar saat ia beri banyak ciuman di wajah “Kenapa baru pulang? Apa saja yang kamu kerjakan seharian ini, hm? Ghavin pura-pura marah dengan memasang wajah serius saat menatap Dyra yang tegang. “Hari ini aku sedikit sibuk. Ada beberapa pertemuan yang aku lakukan di luar.” Mendengar penjelasan Dyra, Ghavin mengulas senyum tipis. Ia tahu istrinya itu tidak sedang berbohong. “Mas ingat Tuan Prabu?” Ghavin seketika dibuat berpikir keras. “Yang dulu pernah meminta Mas mengakuisisi perusahaan Lencana harapan,” lanjut Dyra membantu Ghavin mengingat seorang pria paruh baya yang dulu sempat memiliki hubungan baik dengannya. Memang sudah terlalu lama, Dyra pikir wajar Ghavin bisa lupa. Padahal yang sebenarnya, Ghavin hanya tidak mau membicarakan pria itu. “Untuk ap
“Apalagi yang kau inginkan sekarang?” Galih duduk tanpa menurunkan Bella dari gendongannya. Wanita itu sudah seperti bayi koala, menempel tubuh jangkung Galih yang tampak ringan saat menggendongnya. Ditemani semilir angin, Galih memilih gazebo tempat pemberhentiannya setelah lelah berputar-putar. Setidaknya ia lega tidak lagi mendengar suara Bella yang seperti akan muntah. “Aku mau pulang,” ujar Bella langsung turun, lantas beranjak pergi lebih dulu. Galih mendesak nafas pelan saat menatap punggung istrinya yang semakin menjauh. “Aku harap kau akan tetap seperti ini bahkan setelah anakku lahir.” Galih bermonolog. “Karena aku yakin bukan kau yang melakukannya.” Tidak ingin membuat Bella menunggu, Galih bergegas ikut meninggalkan gazebo. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, ia sempat melirik ke atas. Ternyata Romi sudah tidak ada lagi di balkon kamarnya. Mungkin terlalu muak melihat perubahan adiknya yang manja, Romi memilih menghindar. ******* Di dalam mobil B
“Kau sudah sampai rumah?” “Sudah, Mas.” Galih menjawab cepat kecemasan Ghavin.Setelah berhasil menenangkan Bella yang masih menggigil syok, Galih berpindah ke ruang kerjanya untuk menerima panggilan Ghavin.“Siapa di dalam mobil hitam itu, Mas?” Galih bertanya penasaran, walaupun sebenarnya sudah mencurigai seseorang.“Derry tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Pria di dalam mobil itu lebih dulu meregang nyawa,” balas Ghavin di seberang sana.Galih pilih diam menyimak, meski sudah sangat yakin dengan dugaannya. Hanya saja ia masih butuh bukti yang otentik.“Sekarang kau paham bukan, seberapa bahaya musuh kita. Untuk itu tetaplah berhati-hati.” Ghavin mengingatkan.“Iya, Mas. Sampaikan juga terima kasihku pada Derry.”“Heem. Nanti akan aku sampaikan.” Setelahnya Ghavin menutup panggilan dan mendesak nafas kasar saat meletakkan ponselnya ke atas meja. Untung saja, Derry sigap mengejar saat mengetahui mobil keluar dari markas anak buah Romi. Namun, karena tidak ingin membuat G
Marissa buru-buru memasuki mobilnya. Pasca kecelakaan tempo hari ia memutuskan untuk mengganti kendaraannya dengan yang lebih canggih. Setidaknya Ghavin meninggalkan lebih dari satu mobil mahal setelah mereka resmi berpisah, sehingga mobil kemarin yang rusak bagian depan Marissa biarkan begitu saja. Selain tidak mudah mempercayakan orang asing memperhatikan mobil-mobil mewahnya, Marissa menganggap hal itu terlalu beresiko. Sedangkan Janur—pria yang sebelumnya bertanggung jawab melakukan tugas tersebut malah Ghavin ajak pergi. Alhasil, kecelakaan tempo hari terjadi karena kendaraan Marissa kurang perawatan, sehingga berakhir rem tidak berfungsi dengan baik.Meninggalkan pagar rumahnya, Marissa tidak tahu jika ada mobil lain yang juga langsung melaju di belakangnya. Sampai di jalan raya, Marissa masih belum sadar, jika mobil berkaca gelap itu ternyata mengikutinya. Masih serius mengemudi di kecepatan sedang, tiba-tiba ada panggilan masuk. Beruntungnya Marissa sudah lebih dulu memasang
Menyandarkan punggung di sandaran kursi roda, menatap jauh ke depan dengan sorot mata menajam tapi menyiratkan kesedihan, Romi tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah dilakukan sampai sejauh ini dan berakhir menjadi tahanan dokter. Yang terjadi pada dirinya sekarang hanyalah bagian dari sebuah peperangan. Begitu juga dengan kematian sosok pendukung sekaligus sekutu yang selama ini selalu ada di belakangnya. Darwin bukan hanya seorang ayah, tapi juga teman sekaligus motivator baginya. Kematian Darwin sudah pasti akan memicu pembalasan yang lebih kejam, pertumpahan darah yang sebenarnya akan terjadi setelah kondisi tubuhnya benar-benar siap. Untuk sekarang, Romi membiarkan keluarga Pratama tersenyum bahagia merayakan kemenangan mereka, tapi yang pasti akan segera tiba hari pembalasan.“Kau melamun lagi?”Suara lembut itu menyentak Romi yang seketika menoleh ke asal suara. “Sampai kapan alat sialan itu akan ada di tubuhku?”“Sampai kondisi kakimu benar-benar pulih.”Ghavin memang te
Hanya butuh kesabaran untuk sebuah kepastian. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras. Hidup untuk berjuang, jika pun ada keberuntungan itu hanya sebagian kecil, dan tidak bisa selalu diharapkan. Senyum Martin bak awet berformalin kala menatap personil keluarganya yang lengkap penuh kehangatan. Meski sang istri tidak lagi ada disisinya, begitu juga si bungsu penghidup suasana telah pergi lebih dulu, tetapi dengan melihat kebahagian kedua putranya yang lain, ia sudah merasa sangat beruntung. Berharap kebahagiaan itu tetap bisa dinikmati sampai dirinya menutup mata nanti.Bukan hanya hubungan Ghavin dan Dyra yang sudah mulai menuju keluarga bahagia, pun dengan Galih yang terlihat menikmati perannya sebagai suami siaga. Begitu juga Bella tidak canggung lagi menunjukkan perhatian serta kepeduliannya pada sang suami. Pemandangan yang sebelumnya Martin anggap akan sangat mustahil terjadi, ternyata berakhir lebih manis dari yang pernah diharapkan. “Aku sebenarnya semalam sangat ingin dibu
Sedangkan di kediaman Tuan Prabu, Marissa belum juga bisa menerima kenyataan jika dirinya tidak diizinkan kemanapun sekarang, bahkan profesi yang selama beberapa tahun terakhir membuatnya percaya diri telah dilepas paksa oleh Tuan Prabu. Ingin marah, tetapi ingat tujuannya datang pada pria tua itu karena menuntut balas atas kematian sang mama, ia pilih bertahan. Meski sebenarnya rasa sakit yang dulu ia terima terus teringat jelas di ingatan, tidak jarang pun ketika ia sendiri, muncul pemikiran kemana Tuan Prabu kala itu. Kenapa tidak berusaha mencarinya, mungkinkah kepergiannya tidak membawa pengaruh, lantaran dirinya hanya dijadikan pelampiasan birahi, seperti yang wanita itu katakan. Tidak mau memikirkan itu lagi, Marissa memilih berpindah duduk di tepi kolam renang dan menceburkan kedua kakinya ke dalam air. Melihat birunya air kolam yang terpantul sinar lampu, ternyata justru membuat suasana hati Marissa semakin memburuk. Ia malah mendadak ingat ketika pernah sengaja berenang
Ghavin diam menahan kemarahan yang sebenarnya sudah ingin diledakkan. Penyesalan tak luput ikut menguasai diri, pasrah menjadi titik akhir kebenaran yang selama ini membuatnya tidak bisa tenang tapi justru terlambat mengetahui. Tertinggal hanya penyesalan dan terus menyalahkan diri lantaran tidak bisa bergerak cepat. Mirisnya, ia mengetahui semua kebenaran tersebut dari orang lain. “Aku perhatikan Mas banyak diam sejak kembali dari rumah Galih.” Dyra yang baru keluar ruang ganti segera mendekat, begitu mendapati sang suami duduk di sofa tunggal. Membiarkan kaca jendela beserta gorden yang terbuka lebar, sehingga menampakkan pemandangan langit malam yang cerah bertabur bintang. Tapi sayang, tidak mampu menerangi keredupan di wajah Ghavin. “Apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui?” Karena memang selama di rumah Galih, Dyra pilih menemani Bella di kamar. Walaupun sebenarnya ia tidak tahu Bella menginginkan atau tidak keberadaannya. Ia hanya khawatir, ketika Bella ditinggal sendiri ba
Dyra hanya menunggu diam Bella yang masih belum berniat membuka mulut. Paham kepedihan yang sedang Bella rasakan, Dyra pilih menghormati itu dengan tetap duduk tenang di samping ranjang. Apa yang menimpa Bella memang bukan perkara mudah untuk bisa segera dilupakan, dan sudah pasti siapapun yang mengalaminya pasti juga terguncang. Setelah janinnya sempat hampir digugurkan paksa, dan dirinya dalam bahaya, semalam apa yang terjadi di kediaman Darwin seketika menggemparkan jagat media.Dari tiga puluh nyawa yang Galih temui, hanya satu yang masih memiliki kesempatan hidup, yaitu pekerja kebun Darwin. Sedangkan dua puluh delapan pelayan lainnya ditambah sang nyonya rumah, mereka meregang nyawa dengan cara yang tragis. Semua pelayan dikurung di dalam gudang yang diberi gas beracun, sedangkan suara seperti benda jatuh yang sempat Galih dengar, tak lain paman penjaga kebun berniat membuka pintu menggunakan potongan besi. Hanya saja, tubuhnya yang sudah sangat lemas meski telah melepas kaos
“Ya Tuhan bagaimana ini?” Dyra yang panik berniat pergi keluar untuk memanggil mereka yang berjaga, agar membantunya memindahkan Ghavin ke dalam kamar. Khawatir Martin tiba-tiba kembali keluar kamar dan mendapati putranya tidak sadarkan diri.Namun, ketika hendak melangkah, Dyra justru dikejutkan dengan tarikan di tangannya. “Mas?” Secepat kilat Dyra bisa berpindah tempat—duduk di atas pangkuan Ghavin yang masih memejamkan mata. Masih terlalu terkejut, Dyra menatap heran Ghavin yang bergeming. “Mas bisa mendengarku?” Ghavin perlahan membuka mata. “Kenapa tidak menjawab! Aku benar-benar takut sesuatu terjadi padamu,” gerutu Dyra yang malah Ghavin balas dengan senyum tipis.“Sebenarnya aku ketiduran tadi.” Ghavin menyingkirkan anak rambut Dyra yang menghalangi pandangannya. “Itu artinya aku sudah mengejutkanmu?” Ghavin tidak akan menjawab meski itu yang sebenarnya terjadi. “Maaf,” ujar Dyra pelan disertai menyesakan. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengabaikan apapun kesalahan yang
“Ma.. mama.. suara lemah Bella terus memanggil Mia yang tak kunjung menjawab. Mendapati rumah dalam keadaan sepi, pun kamar utama kosong, Bella semakin khawatir sesuatu terjadi pada sang mama.“Bagaimana ini, Mas. Mama tidak bisa dihubungi.” Perasaan Bella bertambah tak karuan, ketika mencoba menghubungi nomor pribadi sang mama yang ternyata berada di luar jangkauan. “Kamu yang tenang, ya. Sebaiknya duduk dulu.” Karena memang kondisinya masih sangat lemah setelah kembali dari villa, Bella menurut saat dibimbing duduk di sofa. “Aku benar-benar khawatir, Mas.” Suara Bella sudah bergetar, membayangkan Darwin juga tega membahayakan nyawa wanita yang selama ini setia, dan patuh terhadap dirinya dengan semua peraturan yang terkadang tidak masuk akal.“Percayalah mama akan baik-baik saja.” Galih menenangkan. “Sama seperti kita, pertolongan datang di waktu yang tepat.” Melihat Bella mengangguk patuh meski kecemasan masih terlihat jelas di wajahnya, Galih memilih ikut duduk. Ia seakan lupa
“Syukurlah.. akhirnya kalian pulang juga.” “Papa? Kenapa belum tidur?” Setelah sempat terkejut mendapati sang ayah ada di ruang tengah sendirian ketika hari sudah larut malam, Ghavin malah mencemaskan kondisi Martin. “Papa butuh sesuatu? Atau merasa tidak nyaman? Mau ke rumah sakit?” Ghavin yang masih terbawa ketegangan siang tadi, bertanya tidak sabar. “Tidak. Papa baik-baik saja. Papa hanya ingin menunggu kalian.” Ghavin seketika menghela nafas panjang, dan beralih menatap sang istri. Dilihat dari perubahan wajahnya, sepertinya Ghavin sadar sudah berlebihan. Seperti yang Dyra duga—Martin belum bisa tidur sebelum melihat dirinya dan Ghavin kembali. Untuk itu, ia menyarankan mereka lebih dulu membersihkan diri dan berganti pakaian di hotel terdekat sebelum kembali ke rumah. Sedangkan Janur serta Derry yang masing-masing mengalami luka tembak, tidak mau di bawa ke ruang sakit. Mereka memilih mengobati sendiri, dan kembali ke hutan. Ternyata Darwin tidak datang sendiri. Masih
“Awas Mas!!!”Dor!Seketika kondisi berubah hening, sebuah tembakan menjadi akhir dari ketenangan yang terjadi. Naasnya, belum juga kesadaran Dyra kembali, suara tembakan kembali terdengar.“Mas…” Mulut Dyra bergerak tanpa suara. Tubuhnya mendadak lemas. Tulang-tulang melunak seperti jelly. Nafas tersendat, tapi mampu melepas tekanan yang menghimpit dada.“Mas! Kamu terluka?” Galih yang khawatir segera bertanya sambil mendekati Ghavin.“Tidak. Aku baik-baik saja. Kau datang di waktu yang tepat. Terima kasih.” Ghavin hanya tidak menyangka Darwin akan berakhir di tangan Galih yang bahkan membunuh serangga saja dia tidak tega.Beberapa saat sebelumnya. Di balik sofa Ghavin masih sempat membalas tembakan Darwin hingga beberapa kali. Sedangkan Dyra yang berada di dekapannya menutup telinga dengan kedua tangan. Suara tembakan seakan mampu menembus gendang telinga. Dyra terlalu takut membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Apalagi jika sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Ghavin.Kendat