Di dalam kosan mereka berdua melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan seorang pasangan suami dan istri. Vea tidak memungkiri hatinya masih selalu berharap Wiliam menjadi satu-satunya imam yang akan membuatnya bahagia. "Vea, kamu akan bekerja setelah di kosan sudah capek melayani aku?" "Iya, aku harus tetap mencari uang." Vea berdiri segera membersihkan badannya, dia tidak mau bergantung pada Wiliam walaupun suaminya kaya raya. "Wiliam, aku pergi kerja dulu, kamu pulanglah kalau tidak betah ada di sini." Wanita itu mengambil handuk untuk mandi dan pakaian kerjanya yang sudah siap untuk digunakan. "Wanita selalu saja membuat pria menunggu lama, tapi kenapa pria mau menunggu demi wanitanya? Entahlah." Wiliam berbicara sendiri merapihkan dirinya yang kotor di sana karena banyak melakukan permainannya, belum lagi dia menendang gelas yang ada isi air putih bekas minum istrinya. "Kosan ini terlalu sempit sampai-sampai aku sendiri tidak bisa bergerak bebas!" Pria itu men
Dari sudut manapun Vea memang terlihat muda dibandingkan mereka bertiga, tetapi Vea memiliki sisi dewasa yang cukup membuat Wiliam kagum padanya. "Vea, kamu sekarang sangat dewasa, aku menyukai sifatmu yang seperti ini, kamu juga memaafkan orang-orang yang menyakiti kamu dengan mudah. Mungkin aku tidak akan bisa seperti kamu," katanya dalam hati Wiliam. Sungguh membahagiakan untuk Cici sendiri yang sudah mendapatkan maaf dari Vea, dan Silvi maupun Ria mereka telah mengubah pandangnya bersama-sama untuk membangun rumah tangga yang bahagia. "Kami janji tidak akan membuatmu sengsara di rumah lagi. Kamu memiliki hak sepenuhnya untuk mencintai Mas Wiliam." Sepenuhnya hati Vea selalu mencintai suaminya. Dia tidak mungkin mudah melupakan Wiliam walaupun begitu banyak pria yang mendekatinya. Cici yang dari tadi bicara diberikan minum oleh Vea yang membawa bekal minuman yang masih baru. "Minumlah Ci, kamu pasti haus karena berdiri lama di depan pintu. Aku takut kamu kekurangan caira
Vea terlihat malu-malu saat semua orang di sana tertawa melihatnya, begitu juga Wiliam yang menggodanya dengan tawa yang menggelegar. "Haha, kamu ini kenapa sayang? Jangan bilang kamu sedang memikirkan aku yang ganteng ini? Hayo kamu harus mengakuinya." Wiliam akan mendengarkan kejujuran Vea kalau memang Vea memikirkan dirinya sampai tidak fokus seperti tadi. "Eh, jangan begitu ya, bicaranya. Tadi itu aku mengira kamu masih pegang tangan aku, dan aku tidak memikirkan kamu seperti itu." "Seperti apa?" Wiliam semakin penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh Vea, dia mau terus menggoda istrinya itu untuk berkata jujur. "Sudah, aku mau bekerja lagi, kalian pulang saja nanti aku akan pulang." "Serius kamu mau pulang?" "Iya, aku mau." Wiliam mengangkat tubuh mungil Vea setinggi mungkin, Silvi, Ria dan Cici melihat keduanya sudah mulai membaik dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. "Terima kasih sayangku, akhirnya kamu mau pulang ke rumah kita bersama-sama, kita akan be
Silvi di tolong oleh teman-teman arisannya, mereka menuju ke rumah sakit termasuk Silvi yang harus dicek dokter agar tidak mengalami trauma dalam kecelakaan itu. Silvi melihat masih ada Ria dan Cici di sebelahnya dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. "Bangun Ria, bangun Cici. Kalian harus bangun dan sembuh! Aku takut hidup sendirian tanpa kalian semua, baru saja kita merasakan hidup bahagia ber sama-sama beberapa jam yang lalu, tapi sekarang aku melihat kalian seperti ini, dan kamu Ci dinyatakan koma sama dokter, aku sedih." Silvi akan berjuang untuk kesembuhan keduanya, tetapi kata dokter yang parah kondisi Cici, sedangkan Ria akan sembuh dengan berjalannya waktu, kalau Cici tidak tahu kapan hanya menunggu keajaiban datang. Silvi dirawat juga satu ruangan sama mereka berdua agar bisa menjaga mereka, barangkali Ria sadarkan diri dan Silvi bisa berbagi kesedihannya kehilangan suami yang masuk ke dalam jurang. Di dalam jurang yang sangat lebar dengan kawasan hutan. Wiliam sedan
"Aku mau membantu Kak Silvi mencari mereka berdua, aku berharap mereka masih hidup sampai sekarang. Dan Cici segera bangun dari komanya, tapi setidaknya Cici masih bisa kita pantau dan lihat, tidak seperti Mas Wiliam juga Vea yang tidak tau ada di mana?" Ria beranjak bangun berdiri di depan Silvi yang sudah siap mau mencari suami dan madunya menggunakan pesawat terbang pribadi yang akan di sewanya untuk hari ini. "Kalau begitu kita pergi sekarang sebelum hari semakin gelap, aku yakin titik jatuhnya mereka tidak akan beda jauh dari keberadaan mereka sekarang." Walaupun Silvi yakin betul dengan pencarian orang hilang di hutan belantara ini akan ditemukan, setidaknya dia harus berusaha. "Aku akan ikut!" Ria berjalan keluar dari ruangan itu bersama Silvi meninggalkan Cici yang masih dirawat. Setelah menemui pilot pribadi yang akan membawa mereka berdua ke tempat Wiliam dan Vea jatuh, sekarang mereka bersiap-siap turun dengan pesawat itu. Vea dan Wiliam masih terus berjalan mencar
Wiliam memegang tangan Cici yang masih belum juga sadarkan diri, didampingi Silvi yang ada di dekat suaminya untuk memberikan semangat setiap Wiliam membutuhkannya. Sedangkan Vea sudah diperiksa bisa pulang hari ini juga bersama Ria yang masih harus berobat jalan. "Wiliam," panggil Vea. "Ya, kamu gimana?" Wiliam tahu siapa pemilik suara yang memanggilnya dan terlihat ada Ria juga di samping Vea. "Aku sudah sehat, kamu mau pulang dulu atau menginap? Aku sama Ria mau pulang buat istirahat karena tidak mungkin kita semua menginap di rumah sakit, setidaknya kita akan bergilir." Wiliam mengerti maksud Vea. Dia juga lelah karena lama ada di tengah hutan. "Mas, kamu pulang sama Vea dan Ria saja. Aku yang akan menjaga Cici di sini, aku rasa Vea benar untuk kalian istirahat dan kita bisa bergantian." Silvi merelakan dirinya untuk tinggal di rumah sakit menemani madu ketiganya itu, Wiliam banyak berhutang budi sama Silvi, tidak mungkin Wiliam membiarkan Silvi berkorban banyak seper
Wiliam menarik tangan Helena keluar dari ruangan Cici. Dia tidak kuat apabila harus bertemu dengan wanita yang pernah membuatnya sakit hati. "Pergi Helena! Aku minta sekali lagi kamu jangan ganggu aku dan kehidupan aku sekarang. Kita sudah punya dunia masing-masing. Masa kamu mau belum move on dari aku! Aku yakin kamu di luar negeri juga sudah punya kekasih kan waktu itu, aku mendengar semuanya langsung dari kedua orang tuamu." Wiliam begitu marah setelah Helena ternyata memiliki kekasih lain di luar negeri setelah putus dengannya. Padahal Wiliam begitu mencintai Helena sampai-sampai dia sangat semangat untuk sukses diusia muda agar Helena bisa kembali. "Ayolah Wiliam. Semua itu hanya masa lalu yang kamu sendiri memiliki hal yang sama, kamu juga waktu itu dekat sama Silvi, aku mendengar itu juga dari temanmu, katanya Silvi adik kelas angkatan kita, bukan cuma kamu yang tau informasi tentang aku, tapi aku juga tau semuanya tentang kamu, bahkan aku tau kamu mandul." "Dari mana kam
"Pelakor!" Vea bersuara lebih dulu daripada langkah kaki dirinya dan Silvi juga Ria. Mereka hampir sampai di ruangan suami mereka dirawat. "Stop!" Silvi menghentikan Vea yang mau mencari keributan dengan Helena yang ada di depan pintu ruangan, dia hanya tidak mau Wiliam akan membenci Vea. "Ada apa Silvi? Kamu lihat sendiri kalau pelakor itu ada di depan mata kita, masa kamu mau diam saja?" "Cukup aku bilang! Kamu hanya memperkeruh keadaan yang ada, kita tidak tau kondisi Mas Wiliam di dalam sana, wanita itu sedang memegang kendali perasaan Mas Wiliam, jadi kita harus gunakan akal sehat untuk mencari cara melepaskan Mas Wiliam darinya tanpa berbuat yang merugikan diri sendiri." "Aku setuju sama Kak Silvi, kamu harus sabar Vea," sambung Ria. Vea menarik nafasnya karena tidak ada yang setuju dengannya untuk melabrak wanita penggoda suaminya itu. "Baiklah aku tidak akan membuat keributan di rumah sakit." Vea harus menahan dirinya untuk tidak membuat keributan di depan wanita
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki