Wiliam memegang tangan Cici yang masih belum juga sadarkan diri, didampingi Silvi yang ada di dekat suaminya untuk memberikan semangat setiap Wiliam membutuhkannya. Sedangkan Vea sudah diperiksa bisa pulang hari ini juga bersama Ria yang masih harus berobat jalan. "Wiliam," panggil Vea. "Ya, kamu gimana?" Wiliam tahu siapa pemilik suara yang memanggilnya dan terlihat ada Ria juga di samping Vea. "Aku sudah sehat, kamu mau pulang dulu atau menginap? Aku sama Ria mau pulang buat istirahat karena tidak mungkin kita semua menginap di rumah sakit, setidaknya kita akan bergilir." Wiliam mengerti maksud Vea. Dia juga lelah karena lama ada di tengah hutan. "Mas, kamu pulang sama Vea dan Ria saja. Aku yang akan menjaga Cici di sini, aku rasa Vea benar untuk kalian istirahat dan kita bisa bergantian." Silvi merelakan dirinya untuk tinggal di rumah sakit menemani madu ketiganya itu, Wiliam banyak berhutang budi sama Silvi, tidak mungkin Wiliam membiarkan Silvi berkorban banyak seper
Wiliam menarik tangan Helena keluar dari ruangan Cici. Dia tidak kuat apabila harus bertemu dengan wanita yang pernah membuatnya sakit hati. "Pergi Helena! Aku minta sekali lagi kamu jangan ganggu aku dan kehidupan aku sekarang. Kita sudah punya dunia masing-masing. Masa kamu mau belum move on dari aku! Aku yakin kamu di luar negeri juga sudah punya kekasih kan waktu itu, aku mendengar semuanya langsung dari kedua orang tuamu." Wiliam begitu marah setelah Helena ternyata memiliki kekasih lain di luar negeri setelah putus dengannya. Padahal Wiliam begitu mencintai Helena sampai-sampai dia sangat semangat untuk sukses diusia muda agar Helena bisa kembali. "Ayolah Wiliam. Semua itu hanya masa lalu yang kamu sendiri memiliki hal yang sama, kamu juga waktu itu dekat sama Silvi, aku mendengar itu juga dari temanmu, katanya Silvi adik kelas angkatan kita, bukan cuma kamu yang tau informasi tentang aku, tapi aku juga tau semuanya tentang kamu, bahkan aku tau kamu mandul." "Dari mana kam
"Pelakor!" Vea bersuara lebih dulu daripada langkah kaki dirinya dan Silvi juga Ria. Mereka hampir sampai di ruangan suami mereka dirawat. "Stop!" Silvi menghentikan Vea yang mau mencari keributan dengan Helena yang ada di depan pintu ruangan, dia hanya tidak mau Wiliam akan membenci Vea. "Ada apa Silvi? Kamu lihat sendiri kalau pelakor itu ada di depan mata kita, masa kamu mau diam saja?" "Cukup aku bilang! Kamu hanya memperkeruh keadaan yang ada, kita tidak tau kondisi Mas Wiliam di dalam sana, wanita itu sedang memegang kendali perasaan Mas Wiliam, jadi kita harus gunakan akal sehat untuk mencari cara melepaskan Mas Wiliam darinya tanpa berbuat yang merugikan diri sendiri." "Aku setuju sama Kak Silvi, kamu harus sabar Vea," sambung Ria. Vea menarik nafasnya karena tidak ada yang setuju dengannya untuk melabrak wanita penggoda suaminya itu. "Baiklah aku tidak akan membuat keributan di rumah sakit." Vea harus menahan dirinya untuk tidak membuat keributan di depan wanita
Dikarenakan Wiliam boleh pulang hari ini, Helena yang sudah mengetahui alamat rumah mantan pacarnya itu langsung membawanya pulang. "Jadi ini rumah kamu, Wiliam?" Helena sudah melepaskan kursi roda yang ada Wiliam duduk tidak berdaya sama sekali. Ada Vea, Silvi dan Ria yang keluar dari kamar masing-masing, ternyata memang benar ada tamu tak diundang datang begitu saja. "Oh, ternyata kamu." Silvi melihat sinis ke arah Helena yang sangat percaya diri membawa suaminya pulang. "Benar Silvi, jadi kamu adik kelas yang dulu menjadi pelarian Wiliam saat putus dengan aku?" "Jaga bicara kamu, Helena!" Vea tidak terima kalau Helena merendahkan Silvi yang sudah baik kepadanya sekarang. "Diam Vea, biarkan dia bicara sesuka hatinya." Silvi tidak marah sama sekali, dia tidak mudah terpancing oleh wanita semacam Helena yang gila dengan harta seseorang. "Oh, ada yang membela kamu ternyata. Kamu kan hanya istri ke empat Wiliam juga, jadi tidak penting untuk aku." "Astaga! Tutup mulut ka
Helena bolak balik ke kamar mandi karena dia merasakan kalau perutnya seperti ingin mengeluarkan semua isinya. Para asisten rumah tangga hanya menertawakan wanita asing yang tiba-tiba bolak balik ke kamar mandi apalagi buang angin sembarangan dari tadi. "Kurang ajar! Siapa yang melakukan ini sama aku?" Helena menyadari satu hal yaitu dirinya yang habis makan pizza pemberian Silvi, dia mau bertemu sama Silvi setelah dirinya menyelesaikan perutnya dulu, tetapi Silvi sudah lebih dulu mengunci Helena di kamar mandi dan mematikan lampunya. "Rasain kamu Helena!" Silvi cekikikan sendiri setelah itu pergi dari sana meninggalkan dapur membuat para asisten rumah tangga bagian dapur tertawa dengan kelakuan majikannya. "Kurang ajar! Siapa yang mematikan lampunya? Ini kenapa juga pintunya di kunci? Hey kalian yang ada di luar bisa tolong aku buka pintu!" Teriakan Helena dibiarkan oleh para asisten rumah tangga, sekarang Silvi bisa bernafas lega dirinya sudah balas dendam terhadap pe
Vea baru keluar dari kamarnya mau segera melihat suami di dalam kamar sendirian, atau dia akan bergantian untuk menjaga suaminya dengan orang yang tadi malam, bisa Silvi atau Ria, ternyata di dalam sana sudah terlihat Silvi. "Kamu belum tidur?" Wanita itu mendekati Silvi yang masih terjaga sampai pagi dan tidak bangun dari duduknya hanya untuk menemani suami. "Belum Vea, kamu belum mandi? Kan di rumah ini ada peraturan kalau nanti sarapan harus mandi dulu." "Aku ingat, tapi suasana di rumah ini tidak sama lagi, aku rasa lebih baik kamu istirahat dan biarkan aku yang berjaga di sini menggantikan kamu." "Tidak perlu Vea, biarkan aku yang berjaga di sini. Mas Wiliam tetap mau aku yang menjaganya." "Dari mana kamu tau Wiliam maunya kamu? Wiliam saja tidak bicara, ayolah Silvi, kamu harus istirahat dan nanti bisa bergantian lagi, aku takut kamu sakit." Silvi bangun dari tempat duduknya, demi menjaga perasaan Vea yang mau bersedia bangun pagi walaupun tadi malam juga membantunya me
"Rasakan kamu, Helena!" Setelah mengikat tangan dan kaki Helena. Sekarang Vea mendorongnya sampai jatuh ke lantai. 'Bug!' Helena tersadar dari tidur nyamannya. Vea masih membetulkan posisi tidur Wiliam di atas tempat tidur seperti semula. "Kamu! Kenapa kamu mengganggu tidurku? Aku tidak boleh tidur di kamarmu, sekarang kamar kekasihku juga tidak boleh?" "Iyalah, kalian belum menikah, mana boleh satu tempat tidur, aku yang berhak tidur di kamar ini karena statusku sebagai istri." Helena tidak bisa bangkit dari lantai karena tangan dan kakinya terikat oleh tali. "Sialan kamu Vea! Lepaskan tangan dan kakiku dulu!" "Tidak mau! Tidurlah di lantai, tempat itu cocok untuk kamu, bahkan kamu bisa berada dekat dengan kekasihmu ini." Vea hampir ingin menertawakan Helena, tetapi Wiliam mau tertidur karena tadi sudah meminum obat. "Tidurlah Wiliam, kamu harus banyak istirahat agar cepat sembuh." Vea menyelimuti Wiliam. Sedangkan Helena membuat keributan dengan mencoba berteriak agar
Silvi masuk ke dalam kamar melihat suaminya sekarang duduk. Terlihat jika Wiliam tersenyum ke arah Silvi yang kaget dengan keajaiban ini. "Mas Wiliam. Kamu sembuh?" "I-iya, Silvi." Walaupun Wiliam masih terbata-bata berbicara, setidaknya Wiliam sudah bisa menggerakkan tangan dan tubuhnya bahkan bisa bicara. "Mas. Aku senang kamu perlahan sembuh." Silvi mendekati suaminya dan memeluk dengan rasa syukur karena kondisi suaminya membaik sekarang. "Selamat Mas. Kamu akan sembuh total seperti dulu, aku akan panggil Vea dan Ria dulu, mereka masih di luar." "Iya, Silvi." Wiliam sangat senang bisa bicara sama istrinya lagi, tadinya saat mereka tengah sibuk mengusir Helena, Wiliam mau mencegah ketiga istrinya itu agar tidak disakiti oleh Helena, tetapi tangan dan kakinya bisa digerakkan begitu saja namun Wiliam masih harus berlatih untuk melakukan pergerakan agar lancar seperti dulu. Saat Silvi keluar dari kamar, terdengar suara orang memanggilnya namanya beberapa kali. "Mas Wili
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki