"Ada apa sama kamu Kak Ria, jangan bilang begitu sama Vea, dia baru ajaa datang mau sarapan." Cici melarang Ria berkata yang tidak baik di sana, karena mereka sedang menyantap makanan. Tidak dengan Ria yang semakin marah pada Vea. "Jangan ikut campur Cici! Kamu biarkan Vea duduk di sini tanpa mandi terlebih dahulu? Ingat peraturan kebersihan di rumah ini bukan? Mas Wiliam yang mengaturnya, aku sebagai istri tertua yang ada di sini mau semua maduku menuruti peraturan yang ada." Ria semakin angkuh saat Silvi tidak ada di rumah itu, benar jika dirinya sekarang menjadi istri tertua Wiliam sampai Silvi sadarkan diri dari komanya. "Cukup Ci, biarkan aku pergi mandi dulu, apa yang dikatakan Ria ada benarnya. Kita harus mematuhi aturan Wiliam." Sekarang Vea berdiri bergerak meninggalkan meja makan tidak melupakan dirinya membawa roti panggang yang dibuatkan Cici. "Kamu bisa lihat sendiri apa yang dia lakukan itu tidak ada di daftar kehidupan rumah tangga Mas Wiliam. Kamu harusnya jan
Setelah makan ada telepon masuk yang menghubungi Wiliam. Ternyata masih menyangkut pekerjaan yang sangat penting dikarenakan tidak ada pemimpin di sana. Saat Wiliam selesai menerima teleponnya, Vea sudah mendengar dari dekat apa yang bicarakan Wiliam. "Pergilah bekerja Wiliam. Biarkan aku yang akan menjaga Silvi di sini, kamu jangan libatkan masalah pribadi dengan pekerjaan, nanti seluruh karyawanmu akan kehilangan mata pencaharian mereka." Vea berdiri sudah meletakkan makanan yang hampir habis itu, Wiliam tidak bisa lagi menemani Vea di sini. "Kalau begitu aku berangkat dulu, kamu tau selama ini Silvi yang membantu aku, tapi Silvi sedang koma dan aku harus tetap ada di sana, kalau ada apa-apa hubungi aku, jangan sembunyikan apa pun dariku." Wiliam beranjak dari sana meninggalkan rumah sakit, Vea sendirian menjaga Silvi yang masih terbaring di ruangannya. "Silvi, kamu lihat kan tadi Wiliam datang sampai melupakan pekerjaan yang dia jalani untuk bisa menjaga kamu, seharusnya ka
Tepat pukul 13.00 WIB. Silvi dan Vea sudah berada di tempat kerja Wiliam, ternyata pria itu sedang sibuk-sibuknya melakukan peninjauan tentang proyeknya. "Selamat siang Bapak Wiliam?" Langkah kaki Silvi masuk perlahan ke ruangan tempat Wiliam biasanya menghabiskan waktu sampai larut malam, Vea ada di belakang Silvi. "Selamat siang juga, Silvi?" Mata Wiliam melihat istri pertamanya berdiri di depan meja kerjanya, ternyata ada Vea juga di belakang, sebuah kejutan yang membuat Wiliam begitu bahagia. "Kejutan apa yang kamu berikan ini padaku Silvi? Kamu sudah sadar dari koma? Lalu, Vea kenapa kamu tidak langsung memberitahu aku?" Wiliam mendekati mereka berdua, Silvi dan juga Vea begitu ceria berada di sana untuk mengejutkan suaminya. "Kejutan yang akan membuatmu bahagia sayang, kamu tau sendiri aku selalu bisa melewati segala hal yang terjadi, termasuk koma sekalipun, dan Vea yang menemani aku di sana." Silvi memegang tangan Vea di depan Wiliam dengan tulus, sejak bangun da
Wiliam melihat dari kaca depan kalau wajah Vea cemberut sekali, itu tanda wanitanya tidak nyaman mengendarai mobil. "Ada apa Vea?" Silvi yang lebih dulu mengira kalau di jalanan ada sesuatu yang membuat Vea sangat berisik menggunakan klakson. "Tadi ada kucing liar yang melewati mobil ini, aku kaget dan hampir menabraknya." Jawaban Vea membuat Wiliam dan Silvi terkekeh, mereka memahami apa yang dirasakan wanita itu. "Ada yang cemburu ya, sama suami sendiri?" Wiliam menyindir Vea secara terang-terangan, dan sekitar beberapa detik Silvi mengerti maksud Vea. "Oh, jadi kamu kamu cemburu sama kita berdua? Lah, kamu kan bisa melakukannya juga sama Mas Wiliam, kita berdua sama-sama istrinya." Vea mulai mengendarai mobil lagi, wajahnya malu-malu sudah ketahuan Wiliam dirinya cemburu. "Kita jangan bahas itu, aku mau fokus mengendarai mobil." Wanita itu menutupi rasa malunya dengan beralasan mau fokus mengendarai, sekarang Wiliam menutup mulut dirinya dan Silvi agar tidak menertaw
Cici mendekati Silvi yang masih memasang wajah ceria karena bisa pulang lagi ke rumah, Cici bermaksud ingin menemui Vea tadinya, tetapi ada Silvi yang mengejutkannya. "Benar, aku sudah sadarkan diri. Kamu apa kabar Ci? Aku sudah bosan berada di rumah sakit beberapa hari, kamu juga tidak menengok aku ke rumah sakit, kenapa?" Silvi mempertanyakan Cici yang selalu sibuk dalam pekerjaannya sampai melupakan segala yang terjadi termasuk kondisi Silvi di rumah sakit. "Maafkan aku Kak Silvi, kemarin aku ada pemotretan di luar kota, coba kakak bilang mau pulang, mungkin aku akan menjemput kakak, aku senang bisa berkumpul lagi sama Kak Silvi." Tentu Cici termasuk madu Silvi yang selalu bisa menerima siapapun di rumah itu termasuk Vea, Cici perempuan yang tidak mau bermusuhan dengan orang karena dia seorang model sibuk yang kehidupannya harus berurusan dengan kamera setiap hari. Menjaga nama baiknya adalah salah satu saya upaya Cici menciptakan citra yang baik pada publik. "Begitu ya, ak
Ria berdiri tidak terima jika Silvi mau mengatakan maksudnya datang ke rumah sakit. "Jangan sembarangan asal bicara ya, Kak Silvi! Sekarang kamu membuat keributan di saat kita mau makan, sebenarnya apa tujuan kamu? Mau melayani Mas Wiliam seutuhnya? Itu kan yang kamu mau? Ambil!" 'Crang!' Dibantingnya piring yang tadi mau diberikan untuk suaminya, Silvi melihat geram Ria bertingkah seperti anak kecil. "Beraninya kamu Ria!" "Berani! Memang kamu siapa aku harus takut? Kita sama-sama makan nasi!" Wiliam bangun dari tempat duduknya dengan wajah yang sangat marah, kemurkaan Wiliam terlihat oleh Vea dan Cici yang duduk tenang di meja makan. "Kalian pergi dari ruangan ini atau aku kurung ke dalam kamar mandi!" Sungguh di luar dugaan Silvi, ternyata Wiliam tidak memihak dirinya, Wiliam sungguh sedang bersikap adil pada Ria yang juga istrinya, apalagi Wiliam sudah membuat istri keduanya kecewa tadi. "Mas, jangan buat di seolah menang menghadapi aku, Ria harus diberikan tatakrama y
Pesta di dekat kolam renang telah usai, mereka akhirnya masuk ke dalam kamar masing-masing, begitu juga Vea yang masuk sendiri menuju ke kamarnya, melirik ke arah Wiliam yang hari ini bersama Ria. "Padahal aku ingin Wiliam bersama denganku, apa aku egois?" Vea berjalan melewati kamar Silvi, di sana dia melihat Silvi begitu bahagia terlihat dari wajahnya yang sangat memancarkan kecantikan. "Dia begitu cantik kalau lagi tersenyum begitu, namanya juga hasil perawatan mahal, pasti beda sama aku." Vea masuk ke dalam kamarnya, rasanya kehampaan bersarang di dirinya tidak ada suami yang menemaninya tidur, sudah menjadi nasib Vea harus bergilir dengan istri-istri Wiliam yang lain. "Wiliam, andaikan kamu ada di sini. Pasti aku akan sangat manja karena rasa bahagia ini, tapi kamu sedang bersama wanita lain, dan wanita lain itu juga istri sah kamu, mana bisa aku marah mengatakan dadaku yang sesak menerima kenyataan tidur sendiri dengan status memiliki suami." Tangisnya pecah begit
Sungguh kemurkaan Wiliam membabi buta mendengar ucapan kurir itu menyebutkan satu nama yang sama dengan pengirim kotak perhiasan yang dia bawa. "Baiklah, aku terima. Sekarang pergi!" Kurir itu pergi dengan dirinya yang ketakutan, wajah Wiliam seperti ingin menerkam orang di depannya, sekarang Wiliam masuk lagi dengan pintu yang terbuka lebar. 'Bruk!' Ditempatnya paket baru di hadapan semua orang di sana, Wiliam melihat ke arah Vea yang dari tadi hanya menangis. "Jadi rupanya selingkuhan kamu berani mengirimkan paket ke rumahku, perempuan laknat!" Dibuangnya wajah Vea yang tadi cengkram tangannya, Vea bertambah tidak tahu apa-apa mengenai nama Davin itu, dia difitnah. "Tidak Wiliam, aku sama sekali tidak mengenalinya, tolong percaya sama aku." Wiliam berdiri di samping Cici, Ria dan Silvi. "Pergi dari rumah ini, Vea! Wanita murahan seperti kamu tidak layak berada di rumah ini, selain kamu mandul, ternyata kamu tidak bisa menjaga kehormatan kamu untuk suamimu. Sekarang aku
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki