Sungguh kemurkaan Wiliam membabi buta mendengar ucapan kurir itu menyebutkan satu nama yang sama dengan pengirim kotak perhiasan yang dia bawa. "Baiklah, aku terima. Sekarang pergi!" Kurir itu pergi dengan dirinya yang ketakutan, wajah Wiliam seperti ingin menerkam orang di depannya, sekarang Wiliam masuk lagi dengan pintu yang terbuka lebar. 'Bruk!' Ditempatnya paket baru di hadapan semua orang di sana, Wiliam melihat ke arah Vea yang dari tadi hanya menangis. "Jadi rupanya selingkuhan kamu berani mengirimkan paket ke rumahku, perempuan laknat!" Dibuangnya wajah Vea yang tadi cengkram tangannya, Vea bertambah tidak tahu apa-apa mengenai nama Davin itu, dia difitnah. "Tidak Wiliam, aku sama sekali tidak mengenalinya, tolong percaya sama aku." Wiliam berdiri di samping Cici, Ria dan Silvi. "Pergi dari rumah ini, Vea! Wanita murahan seperti kamu tidak layak berada di rumah ini, selain kamu mandul, ternyata kamu tidak bisa menjaga kehormatan kamu untuk suamimu. Sekarang aku
Vea hampir tidak memiliki jarak dengan pria asing itu, sekarang dia hanya memiliki kekuatan sebagai seorang wanita yang akan melakukan perlawanan. "Tutup mulutmu! Aku sendiri tidak akan menggunakan diriku untuk menyentuhmu sekarang, aku hanya dibayar seseorang agar kamu tidak pernah kembali lagi ke rumah itu." Pria asing itu mengendarai mobilnya, Vea sudah diikat dan duduk di kursi belakang. Mulut Vea pun ditutup rapat dengan sebuah kain kecil sehingga menyulitkannya berteriak. 'Siapa yang sudah menyuruhnya?' Vea masih terus berpikir bagaimana caranya bisa lepas dari pria asing itu, malam hari paling menyedihkan bagi Wiliam masih terlalu panjang untuk terlewatkan. "Silvi, apa kamu sudah tidur?" Wiliam masuk ke dalam kamar istri pertamanya, tidak ada tempat yang bisa mengerti posisinya saat ini kecuali Silvi. "Ya, aku di sini Mas. Duduklah di dekatku." Silvi begitu mendengar suara suaminya, dia tidak langsung bangun dari tempat tidur, wanita itu mau suaminya menghampirinya.
"Lepaskan aku!" Vea tersadar dirinya diculik seseorang yang tadinya dia pikir hanya mau menakut-nakuti saja, tetapi pria asing itu benar-benar menculiknya. "Diam!" Suara tegas pria asing terus terdengar sampai Vea sendiri sedikit ketakutan, akan tetapi dia harus melawan sampai bebas dari pria itu. "Tolong bebaskan aku! Jangan pernah macam-macam sama aku ya! Kamu tidak tau betul siapa aku, sudah lama aku hidup sendiri, banyak asam garam yang telah aku telan selama ini." "Banyak bicara! Diam atau aku bunuh kamu!" Ancaman pria asing itu membuat Vea diam sejenak memikirkan bagaimana caranya supaya bisa kabur dari sana. Hari sudah semakin siang, pria itu dan teman-temannya sedang membeli makanan sama-sama dengan banyak belanja makanan dan minuman untuk nanti malam, tidak ada yang menjaga Vea karena mereka berpikir tawanannya ini sudah diikat oleh tali dan mulutnya sekarang di plester hitam. 'Aku harus pergi sebelum mereka datang!' Bukan Vea namanya kalau tidak bisa mengatasi m
Wiliam melanjutkan kerjanya yang terpotong karena harus bicara dengan Vea. Sampai setengah jam berlalu Vea sudah mandi dan segar kembali, sekarang tujuannya adalah kembali ke kontrakan petak yang selama ini pernah menjadi tempat tinggalnya. Pertolongan pak satpam yang baik kepadanya tidak akan pernah dia lupakan walaupun nanti dirinya akan kembali pada Wiliam. "Sekarang aku harus menuju tempat tinggal aku yang lama. Tapi sebelumnya aku akan jual perhiasan yang pernah diberikan Wiliam padaku untuk kehidupan aku sehari-hari." Terpaksa Vea menjual satu set perhiasan yang masih di bawah standar daripada perhiasan yang masih tersimpan di lemari kamarnya pemberian suaminya itu. "Bu, aku mau jual perhiasan ini." Dengan surat-surat yang lengkap akhirnya perhiasan itu terjual dengan mudah, Vea mendapatkan uang yang cukup banyak dari penjualan perhiasannya. "Dengan ini aku bisa hidup sampai gajian nanti, tapi aku juga harus membayar kosan dan lainnya." Vea segera pergi dari toko perh
"Selamat pagi diriku, sekarang kamu harus sarapan dan berangkat kerja jalan kaki seperti biasanya, nanti aku juga mau minta jadwal kerjaku diganti seperti dulu kerja malam." Vea lebih menyukai kerja malam daripada harus selalu kerja pagi dikarenakan dia sendiri kurang menyukai bangun pagi. "Rasanya aku harus katakan sama diriku, aku mau membiasakan diri semuanya sendiri seperti dulu, aku pasti bisa." Wanita itu berangkat kerja mengunci pintu kosannya, tidak lupa berdoa agar dia diberikan keselamatan oleh Tuhan. Di tempat kerja seperti biasanya Vea harus merapihkan barang-barang baru ke stok lama yang sudah ada di sana, dia begitu antusias menjalani harinya sampai melupakan makan siangnya. "Kerja, ayo semangat kerja Vea." Begitu terucap di mulutnya sendiri, Vea merasakan perutnya keroncongan belum di isi ulang untuk makan siangnya. "Aku lupa!" Sekarang Vea membeli tiga roti yang ada di dalam toko dan memakannya di sana dengan minuman segar. "Rasanya makan siangku cukup se
Satu minggu berlalu. Dengan adanya pekerjaan yang di lakukan Vea tidak membuat dirinya terus mengingat statusnya sekarang, antara sudah memiliki suami tetapi dibiarkan hidup sendiri. "Sekarang waktunya ke rumah sakit lagi untuk mendapatkan hasil yang aku harapkan bisa membawa Mas Wiliam memaafkan aku." Vea berangkat ke rumah sakit sesudah dirinya pulang kerja jam malam dan pulang pagi, itu kesempatannya untuk bisa pergi mencari tahu kebenarannya. Ketika datang di rumah sakit dua puluh menitan, Vea bertemu dengan dokter Irwansyah yang sudah menangani masalahnya ini. "Gimana Dok?" "Hasilnya positif." "Positif apa Dok?" "Positif jika Anda subur dan tidak memiliki riwayat penyakit apa pun, karena dari beberapa tes yang di lakukan, hasil tes pertama ini sepertinya tertukar dengan yang lain, atau ada yang merubahnya secara sengaja untuk membuat Anda dirugikan." "Sudah aku duga!" "Kalau begitu aku permisi dulu Dok, terima kasih untuk hasilnya." "Silakan, sama-sama." Vea mengamb
"Silvi, kenapa kamu begini? Dia sudah mengkhianati aku sama pria lain! Masa kamu tidak paham juga aku sakit hati. Sekarang aku minta sama kamu untuk tidak ikut campur masalah aku sama Vea." Wiliam masih belum bisa menerima Vea dalam hidupnya. Untuk kali ini kasus perselingkuhan Vea terlalu menyakitkan untuknya. "Mas, aku tau semuanya menyakitkan. Tapi coba kamu pikirkan apa benar Vea selingkuh? Kamu melihat sendiri atau kamu sudah tanya sama Vea? Kita tau kalau Vea selama ini berkata jujur apa adanya, kamu juga kenal Vea Mas." Silvi kembali mengingatkan Wiliam demi dirinya bisa tetap menyembunyikan kenyataan fakta yang ada, semua itu juga untuk suaminya yang paling dicintainya. "Mas, aku mohon jangan mengusir Vea dari sini, kita bisa memberikan dia kesempatan untuk memperbaiki sikapnya. Aku tidak pernah meminta apa pun dari mu, tapi kali ini coba kamu turuti permintaan Kak Silvi Mas, aku mohon." Cici membela Vea juga, begitu juga Ria yang memegang lengan Wiliam, ketiga istrinya
Wiliam sekarang duduk tanpa memperdulikan Vea bicara apa padanya. Silvi bisa merasakan kalau suaminya sedang marah besar. "Cukup Vea! Lebih baik kamu mengalah daripada terus berdebat di depan makanan, nanti makanan kamu kita bertiga yang habiskan," kata Silvi melirik ke Cici dan Ria. "Benar, kami akan bantu habiskan." Ria membenarkan kata-kata Silvi, suaminya memang keterlaluan sudah memperlakukan Vea sebegitu bencinya. "Terserah! Aku sudah tidak lapar lagi, bilang sama Wiliam nanti aku mau pergi belanja, jadi aku mau lama di luar rumah." Padahal sudah terdengar oleh Wiliam yang sedang menunggu roti panggang yang dibuatkan Ria, Cici memakan jatah makanan yang tadinya untuk Wiliam sebagai tanda dirinya tidak mau makanan seenak itu dibuang. Saat Vea pergi, Wiliam berdengus melihat Vea yang tidak menganggap dirinya ada. "Bisa-bisanya dia mau keluar tapi tidak langsung izin tatap muka padaku? Kalian dengar sendiri istri macam apa dia sekarang!" Wiliam murka Vea mau pergi send