"Lepaskan aku!" Vea tersadar dirinya diculik seseorang yang tadinya dia pikir hanya mau menakut-nakuti saja, tetapi pria asing itu benar-benar menculiknya. "Diam!" Suara tegas pria asing terus terdengar sampai Vea sendiri sedikit ketakutan, akan tetapi dia harus melawan sampai bebas dari pria itu. "Tolong bebaskan aku! Jangan pernah macam-macam sama aku ya! Kamu tidak tau betul siapa aku, sudah lama aku hidup sendiri, banyak asam garam yang telah aku telan selama ini." "Banyak bicara! Diam atau aku bunuh kamu!" Ancaman pria asing itu membuat Vea diam sejenak memikirkan bagaimana caranya supaya bisa kabur dari sana. Hari sudah semakin siang, pria itu dan teman-temannya sedang membeli makanan sama-sama dengan banyak belanja makanan dan minuman untuk nanti malam, tidak ada yang menjaga Vea karena mereka berpikir tawanannya ini sudah diikat oleh tali dan mulutnya sekarang di plester hitam. 'Aku harus pergi sebelum mereka datang!' Bukan Vea namanya kalau tidak bisa mengatasi m
Wiliam melanjutkan kerjanya yang terpotong karena harus bicara dengan Vea. Sampai setengah jam berlalu Vea sudah mandi dan segar kembali, sekarang tujuannya adalah kembali ke kontrakan petak yang selama ini pernah menjadi tempat tinggalnya. Pertolongan pak satpam yang baik kepadanya tidak akan pernah dia lupakan walaupun nanti dirinya akan kembali pada Wiliam. "Sekarang aku harus menuju tempat tinggal aku yang lama. Tapi sebelumnya aku akan jual perhiasan yang pernah diberikan Wiliam padaku untuk kehidupan aku sehari-hari." Terpaksa Vea menjual satu set perhiasan yang masih di bawah standar daripada perhiasan yang masih tersimpan di lemari kamarnya pemberian suaminya itu. "Bu, aku mau jual perhiasan ini." Dengan surat-surat yang lengkap akhirnya perhiasan itu terjual dengan mudah, Vea mendapatkan uang yang cukup banyak dari penjualan perhiasannya. "Dengan ini aku bisa hidup sampai gajian nanti, tapi aku juga harus membayar kosan dan lainnya." Vea segera pergi dari toko perh
"Selamat pagi diriku, sekarang kamu harus sarapan dan berangkat kerja jalan kaki seperti biasanya, nanti aku juga mau minta jadwal kerjaku diganti seperti dulu kerja malam." Vea lebih menyukai kerja malam daripada harus selalu kerja pagi dikarenakan dia sendiri kurang menyukai bangun pagi. "Rasanya aku harus katakan sama diriku, aku mau membiasakan diri semuanya sendiri seperti dulu, aku pasti bisa." Wanita itu berangkat kerja mengunci pintu kosannya, tidak lupa berdoa agar dia diberikan keselamatan oleh Tuhan. Di tempat kerja seperti biasanya Vea harus merapihkan barang-barang baru ke stok lama yang sudah ada di sana, dia begitu antusias menjalani harinya sampai melupakan makan siangnya. "Kerja, ayo semangat kerja Vea." Begitu terucap di mulutnya sendiri, Vea merasakan perutnya keroncongan belum di isi ulang untuk makan siangnya. "Aku lupa!" Sekarang Vea membeli tiga roti yang ada di dalam toko dan memakannya di sana dengan minuman segar. "Rasanya makan siangku cukup se
Satu minggu berlalu. Dengan adanya pekerjaan yang di lakukan Vea tidak membuat dirinya terus mengingat statusnya sekarang, antara sudah memiliki suami tetapi dibiarkan hidup sendiri. "Sekarang waktunya ke rumah sakit lagi untuk mendapatkan hasil yang aku harapkan bisa membawa Mas Wiliam memaafkan aku." Vea berangkat ke rumah sakit sesudah dirinya pulang kerja jam malam dan pulang pagi, itu kesempatannya untuk bisa pergi mencari tahu kebenarannya. Ketika datang di rumah sakit dua puluh menitan, Vea bertemu dengan dokter Irwansyah yang sudah menangani masalahnya ini. "Gimana Dok?" "Hasilnya positif." "Positif apa Dok?" "Positif jika Anda subur dan tidak memiliki riwayat penyakit apa pun, karena dari beberapa tes yang di lakukan, hasil tes pertama ini sepertinya tertukar dengan yang lain, atau ada yang merubahnya secara sengaja untuk membuat Anda dirugikan." "Sudah aku duga!" "Kalau begitu aku permisi dulu Dok, terima kasih untuk hasilnya." "Silakan, sama-sama." Vea mengamb
"Silvi, kenapa kamu begini? Dia sudah mengkhianati aku sama pria lain! Masa kamu tidak paham juga aku sakit hati. Sekarang aku minta sama kamu untuk tidak ikut campur masalah aku sama Vea." Wiliam masih belum bisa menerima Vea dalam hidupnya. Untuk kali ini kasus perselingkuhan Vea terlalu menyakitkan untuknya. "Mas, aku tau semuanya menyakitkan. Tapi coba kamu pikirkan apa benar Vea selingkuh? Kamu melihat sendiri atau kamu sudah tanya sama Vea? Kita tau kalau Vea selama ini berkata jujur apa adanya, kamu juga kenal Vea Mas." Silvi kembali mengingatkan Wiliam demi dirinya bisa tetap menyembunyikan kenyataan fakta yang ada, semua itu juga untuk suaminya yang paling dicintainya. "Mas, aku mohon jangan mengusir Vea dari sini, kita bisa memberikan dia kesempatan untuk memperbaiki sikapnya. Aku tidak pernah meminta apa pun dari mu, tapi kali ini coba kamu turuti permintaan Kak Silvi Mas, aku mohon." Cici membela Vea juga, begitu juga Ria yang memegang lengan Wiliam, ketiga istrinya
Wiliam sekarang duduk tanpa memperdulikan Vea bicara apa padanya. Silvi bisa merasakan kalau suaminya sedang marah besar. "Cukup Vea! Lebih baik kamu mengalah daripada terus berdebat di depan makanan, nanti makanan kamu kita bertiga yang habiskan," kata Silvi melirik ke Cici dan Ria. "Benar, kami akan bantu habiskan." Ria membenarkan kata-kata Silvi, suaminya memang keterlaluan sudah memperlakukan Vea sebegitu bencinya. "Terserah! Aku sudah tidak lapar lagi, bilang sama Wiliam nanti aku mau pergi belanja, jadi aku mau lama di luar rumah." Padahal sudah terdengar oleh Wiliam yang sedang menunggu roti panggang yang dibuatkan Ria, Cici memakan jatah makanan yang tadinya untuk Wiliam sebagai tanda dirinya tidak mau makanan seenak itu dibuang. Saat Vea pergi, Wiliam berdengus melihat Vea yang tidak menganggap dirinya ada. "Bisa-bisanya dia mau keluar tapi tidak langsung izin tatap muka padaku? Kalian dengar sendiri istri macam apa dia sekarang!" Wiliam murka Vea mau pergi send
Saat Vea tengah sibuk belanja, Silvi dan Ria sudah bertemu dengan seseorang yang bertugas menyelidiki semua yang terjadi pada Vea waktu malam itu. "Gimana?" "Semua ada di map biru ini, aku akan berikan asalkan bayarannya memuaskan." "Tenang saja. Semua sudah disiapkan dari kemarin-kemarin, jadi bisa langsung aku mengambilnya?" Silvi mengeluarkan uangnya dan memberikan pada seseorang itu, Ria juga duduk di sana mengambil apa yang diserahkan oleh seseorang itu. "Kalau begitu saya pamit dulu, tugas saya sudah selesai. Lain kali hubungi jika ada kerjaan seperti ini." "Ok." Jawaban singkat Silvi membuat seseorang itu pergi, dengan cepat Ria membuka sebuah bukti yang bisa membuktikan jika Vea tidak bersalah. "Ya, ampun. Tidak mungkin!" Ria terkejut melihat foto-foto seseorang yang dirinya kenal. Ternyata. "Cici, dia pelakunya." Silvi mengambil paksa dari tangan Ria yang dari tadi sangat terkejut sekali dengan apa yang didapatkannya. "Ini tidak mungkin! Untuk apa Cici melaku
Cici kembali bekerja, Ria dan Silvi menunggu Cici selesai karena beberapa foto lagi. Mereka tidak masalah menunggu sampai selesai dan pulang sama-sama. "Kak Silvi, aku rasa Cici perlu kita awasi, aku takut dia berbuat yang tidak-tidak terhadap Vea." Silvi bisa merasakan kebencian Cici jauh lebih besar daripada dirinya dan Ria, dan semua yang dikatakan orang itu benar, orang terdekat selalu menjadi pisau untuk bisa membunuh diam-diam. "Kalau begitu kita awasi dia jangan sampai berbuat nekat, kita tidak boleh cenderung mencurigai Cici terang-terangan, kita cegah dia agar tidak melakukan sesuatu yang membuatnya dibenci sama Mas Wiliam, aku takut Mas Wiliam menceraikan Cici." "Baik, Kak Silvi." Ria setuju dengan Silvi, tidak mau juga kalau Cici sampai pergi dari rumah itu karena Cici termasuk orang yang sangat baik pada semua orang yang ada di rumah itu. "Kalian sudah lama menunggu aku?" Cici sudah selesai ketika setengah jam menuntaskan pekerjaannya. Dan terlihat jika Ria dan Si
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki