Wiliam melihat dari kaca depan kalau wajah Vea cemberut sekali, itu tanda wanitanya tidak nyaman mengendarai mobil. "Ada apa Vea?" Silvi yang lebih dulu mengira kalau di jalanan ada sesuatu yang membuat Vea sangat berisik menggunakan klakson. "Tadi ada kucing liar yang melewati mobil ini, aku kaget dan hampir menabraknya." Jawaban Vea membuat Wiliam dan Silvi terkekeh, mereka memahami apa yang dirasakan wanita itu. "Ada yang cemburu ya, sama suami sendiri?" Wiliam menyindir Vea secara terang-terangan, dan sekitar beberapa detik Silvi mengerti maksud Vea. "Oh, jadi kamu kamu cemburu sama kita berdua? Lah, kamu kan bisa melakukannya juga sama Mas Wiliam, kita berdua sama-sama istrinya." Vea mulai mengendarai mobil lagi, wajahnya malu-malu sudah ketahuan Wiliam dirinya cemburu. "Kita jangan bahas itu, aku mau fokus mengendarai mobil." Wanita itu menutupi rasa malunya dengan beralasan mau fokus mengendarai, sekarang Wiliam menutup mulut dirinya dan Silvi agar tidak menertaw
Cici mendekati Silvi yang masih memasang wajah ceria karena bisa pulang lagi ke rumah, Cici bermaksud ingin menemui Vea tadinya, tetapi ada Silvi yang mengejutkannya. "Benar, aku sudah sadarkan diri. Kamu apa kabar Ci? Aku sudah bosan berada di rumah sakit beberapa hari, kamu juga tidak menengok aku ke rumah sakit, kenapa?" Silvi mempertanyakan Cici yang selalu sibuk dalam pekerjaannya sampai melupakan segala yang terjadi termasuk kondisi Silvi di rumah sakit. "Maafkan aku Kak Silvi, kemarin aku ada pemotretan di luar kota, coba kakak bilang mau pulang, mungkin aku akan menjemput kakak, aku senang bisa berkumpul lagi sama Kak Silvi." Tentu Cici termasuk madu Silvi yang selalu bisa menerima siapapun di rumah itu termasuk Vea, Cici perempuan yang tidak mau bermusuhan dengan orang karena dia seorang model sibuk yang kehidupannya harus berurusan dengan kamera setiap hari. Menjaga nama baiknya adalah salah satu saya upaya Cici menciptakan citra yang baik pada publik. "Begitu ya, ak
Ria berdiri tidak terima jika Silvi mau mengatakan maksudnya datang ke rumah sakit. "Jangan sembarangan asal bicara ya, Kak Silvi! Sekarang kamu membuat keributan di saat kita mau makan, sebenarnya apa tujuan kamu? Mau melayani Mas Wiliam seutuhnya? Itu kan yang kamu mau? Ambil!" 'Crang!' Dibantingnya piring yang tadi mau diberikan untuk suaminya, Silvi melihat geram Ria bertingkah seperti anak kecil. "Beraninya kamu Ria!" "Berani! Memang kamu siapa aku harus takut? Kita sama-sama makan nasi!" Wiliam bangun dari tempat duduknya dengan wajah yang sangat marah, kemurkaan Wiliam terlihat oleh Vea dan Cici yang duduk tenang di meja makan. "Kalian pergi dari ruangan ini atau aku kurung ke dalam kamar mandi!" Sungguh di luar dugaan Silvi, ternyata Wiliam tidak memihak dirinya, Wiliam sungguh sedang bersikap adil pada Ria yang juga istrinya, apalagi Wiliam sudah membuat istri keduanya kecewa tadi. "Mas, jangan buat di seolah menang menghadapi aku, Ria harus diberikan tatakrama y
Pesta di dekat kolam renang telah usai, mereka akhirnya masuk ke dalam kamar masing-masing, begitu juga Vea yang masuk sendiri menuju ke kamarnya, melirik ke arah Wiliam yang hari ini bersama Ria. "Padahal aku ingin Wiliam bersama denganku, apa aku egois?" Vea berjalan melewati kamar Silvi, di sana dia melihat Silvi begitu bahagia terlihat dari wajahnya yang sangat memancarkan kecantikan. "Dia begitu cantik kalau lagi tersenyum begitu, namanya juga hasil perawatan mahal, pasti beda sama aku." Vea masuk ke dalam kamarnya, rasanya kehampaan bersarang di dirinya tidak ada suami yang menemaninya tidur, sudah menjadi nasib Vea harus bergilir dengan istri-istri Wiliam yang lain. "Wiliam, andaikan kamu ada di sini. Pasti aku akan sangat manja karena rasa bahagia ini, tapi kamu sedang bersama wanita lain, dan wanita lain itu juga istri sah kamu, mana bisa aku marah mengatakan dadaku yang sesak menerima kenyataan tidur sendiri dengan status memiliki suami." Tangisnya pecah begit
Sungguh kemurkaan Wiliam membabi buta mendengar ucapan kurir itu menyebutkan satu nama yang sama dengan pengirim kotak perhiasan yang dia bawa. "Baiklah, aku terima. Sekarang pergi!" Kurir itu pergi dengan dirinya yang ketakutan, wajah Wiliam seperti ingin menerkam orang di depannya, sekarang Wiliam masuk lagi dengan pintu yang terbuka lebar. 'Bruk!' Ditempatnya paket baru di hadapan semua orang di sana, Wiliam melihat ke arah Vea yang dari tadi hanya menangis. "Jadi rupanya selingkuhan kamu berani mengirimkan paket ke rumahku, perempuan laknat!" Dibuangnya wajah Vea yang tadi cengkram tangannya, Vea bertambah tidak tahu apa-apa mengenai nama Davin itu, dia difitnah. "Tidak Wiliam, aku sama sekali tidak mengenalinya, tolong percaya sama aku." Wiliam berdiri di samping Cici, Ria dan Silvi. "Pergi dari rumah ini, Vea! Wanita murahan seperti kamu tidak layak berada di rumah ini, selain kamu mandul, ternyata kamu tidak bisa menjaga kehormatan kamu untuk suamimu. Sekarang aku
Vea hampir tidak memiliki jarak dengan pria asing itu, sekarang dia hanya memiliki kekuatan sebagai seorang wanita yang akan melakukan perlawanan. "Tutup mulutmu! Aku sendiri tidak akan menggunakan diriku untuk menyentuhmu sekarang, aku hanya dibayar seseorang agar kamu tidak pernah kembali lagi ke rumah itu." Pria asing itu mengendarai mobilnya, Vea sudah diikat dan duduk di kursi belakang. Mulut Vea pun ditutup rapat dengan sebuah kain kecil sehingga menyulitkannya berteriak. 'Siapa yang sudah menyuruhnya?' Vea masih terus berpikir bagaimana caranya bisa lepas dari pria asing itu, malam hari paling menyedihkan bagi Wiliam masih terlalu panjang untuk terlewatkan. "Silvi, apa kamu sudah tidur?" Wiliam masuk ke dalam kamar istri pertamanya, tidak ada tempat yang bisa mengerti posisinya saat ini kecuali Silvi. "Ya, aku di sini Mas. Duduklah di dekatku." Silvi begitu mendengar suara suaminya, dia tidak langsung bangun dari tempat tidur, wanita itu mau suaminya menghampirinya.
"Lepaskan aku!" Vea tersadar dirinya diculik seseorang yang tadinya dia pikir hanya mau menakut-nakuti saja, tetapi pria asing itu benar-benar menculiknya. "Diam!" Suara tegas pria asing terus terdengar sampai Vea sendiri sedikit ketakutan, akan tetapi dia harus melawan sampai bebas dari pria itu. "Tolong bebaskan aku! Jangan pernah macam-macam sama aku ya! Kamu tidak tau betul siapa aku, sudah lama aku hidup sendiri, banyak asam garam yang telah aku telan selama ini." "Banyak bicara! Diam atau aku bunuh kamu!" Ancaman pria asing itu membuat Vea diam sejenak memikirkan bagaimana caranya supaya bisa kabur dari sana. Hari sudah semakin siang, pria itu dan teman-temannya sedang membeli makanan sama-sama dengan banyak belanja makanan dan minuman untuk nanti malam, tidak ada yang menjaga Vea karena mereka berpikir tawanannya ini sudah diikat oleh tali dan mulutnya sekarang di plester hitam. 'Aku harus pergi sebelum mereka datang!' Bukan Vea namanya kalau tidak bisa mengatasi m
Wiliam melanjutkan kerjanya yang terpotong karena harus bicara dengan Vea. Sampai setengah jam berlalu Vea sudah mandi dan segar kembali, sekarang tujuannya adalah kembali ke kontrakan petak yang selama ini pernah menjadi tempat tinggalnya. Pertolongan pak satpam yang baik kepadanya tidak akan pernah dia lupakan walaupun nanti dirinya akan kembali pada Wiliam. "Sekarang aku harus menuju tempat tinggal aku yang lama. Tapi sebelumnya aku akan jual perhiasan yang pernah diberikan Wiliam padaku untuk kehidupan aku sehari-hari." Terpaksa Vea menjual satu set perhiasan yang masih di bawah standar daripada perhiasan yang masih tersimpan di lemari kamarnya pemberian suaminya itu. "Bu, aku mau jual perhiasan ini." Dengan surat-surat yang lengkap akhirnya perhiasan itu terjual dengan mudah, Vea mendapatkan uang yang cukup banyak dari penjualan perhiasannya. "Dengan ini aku bisa hidup sampai gajian nanti, tapi aku juga harus membayar kosan dan lainnya." Vea segera pergi dari toko perh