Ria berdiri tidak terima jika Silvi mau mengatakan maksudnya datang ke rumah sakit. "Jangan sembarangan asal bicara ya, Kak Silvi! Sekarang kamu membuat keributan di saat kita mau makan, sebenarnya apa tujuan kamu? Mau melayani Mas Wiliam seutuhnya? Itu kan yang kamu mau? Ambil!" 'Crang!' Dibantingnya piring yang tadi mau diberikan untuk suaminya, Silvi melihat geram Ria bertingkah seperti anak kecil. "Beraninya kamu Ria!" "Berani! Memang kamu siapa aku harus takut? Kita sama-sama makan nasi!" Wiliam bangun dari tempat duduknya dengan wajah yang sangat marah, kemurkaan Wiliam terlihat oleh Vea dan Cici yang duduk tenang di meja makan. "Kalian pergi dari ruangan ini atau aku kurung ke dalam kamar mandi!" Sungguh di luar dugaan Silvi, ternyata Wiliam tidak memihak dirinya, Wiliam sungguh sedang bersikap adil pada Ria yang juga istrinya, apalagi Wiliam sudah membuat istri keduanya kecewa tadi. "Mas, jangan buat di seolah menang menghadapi aku, Ria harus diberikan tatakrama y
Pesta di dekat kolam renang telah usai, mereka akhirnya masuk ke dalam kamar masing-masing, begitu juga Vea yang masuk sendiri menuju ke kamarnya, melirik ke arah Wiliam yang hari ini bersama Ria. "Padahal aku ingin Wiliam bersama denganku, apa aku egois?" Vea berjalan melewati kamar Silvi, di sana dia melihat Silvi begitu bahagia terlihat dari wajahnya yang sangat memancarkan kecantikan. "Dia begitu cantik kalau lagi tersenyum begitu, namanya juga hasil perawatan mahal, pasti beda sama aku." Vea masuk ke dalam kamarnya, rasanya kehampaan bersarang di dirinya tidak ada suami yang menemaninya tidur, sudah menjadi nasib Vea harus bergilir dengan istri-istri Wiliam yang lain. "Wiliam, andaikan kamu ada di sini. Pasti aku akan sangat manja karena rasa bahagia ini, tapi kamu sedang bersama wanita lain, dan wanita lain itu juga istri sah kamu, mana bisa aku marah mengatakan dadaku yang sesak menerima kenyataan tidur sendiri dengan status memiliki suami." Tangisnya pecah begit
Sungguh kemurkaan Wiliam membabi buta mendengar ucapan kurir itu menyebutkan satu nama yang sama dengan pengirim kotak perhiasan yang dia bawa. "Baiklah, aku terima. Sekarang pergi!" Kurir itu pergi dengan dirinya yang ketakutan, wajah Wiliam seperti ingin menerkam orang di depannya, sekarang Wiliam masuk lagi dengan pintu yang terbuka lebar. 'Bruk!' Ditempatnya paket baru di hadapan semua orang di sana, Wiliam melihat ke arah Vea yang dari tadi hanya menangis. "Jadi rupanya selingkuhan kamu berani mengirimkan paket ke rumahku, perempuan laknat!" Dibuangnya wajah Vea yang tadi cengkram tangannya, Vea bertambah tidak tahu apa-apa mengenai nama Davin itu, dia difitnah. "Tidak Wiliam, aku sama sekali tidak mengenalinya, tolong percaya sama aku." Wiliam berdiri di samping Cici, Ria dan Silvi. "Pergi dari rumah ini, Vea! Wanita murahan seperti kamu tidak layak berada di rumah ini, selain kamu mandul, ternyata kamu tidak bisa menjaga kehormatan kamu untuk suamimu. Sekarang aku
Vea hampir tidak memiliki jarak dengan pria asing itu, sekarang dia hanya memiliki kekuatan sebagai seorang wanita yang akan melakukan perlawanan. "Tutup mulutmu! Aku sendiri tidak akan menggunakan diriku untuk menyentuhmu sekarang, aku hanya dibayar seseorang agar kamu tidak pernah kembali lagi ke rumah itu." Pria asing itu mengendarai mobilnya, Vea sudah diikat dan duduk di kursi belakang. Mulut Vea pun ditutup rapat dengan sebuah kain kecil sehingga menyulitkannya berteriak. 'Siapa yang sudah menyuruhnya?' Vea masih terus berpikir bagaimana caranya bisa lepas dari pria asing itu, malam hari paling menyedihkan bagi Wiliam masih terlalu panjang untuk terlewatkan. "Silvi, apa kamu sudah tidur?" Wiliam masuk ke dalam kamar istri pertamanya, tidak ada tempat yang bisa mengerti posisinya saat ini kecuali Silvi. "Ya, aku di sini Mas. Duduklah di dekatku." Silvi begitu mendengar suara suaminya, dia tidak langsung bangun dari tempat tidur, wanita itu mau suaminya menghampirinya.
"Lepaskan aku!" Vea tersadar dirinya diculik seseorang yang tadinya dia pikir hanya mau menakut-nakuti saja, tetapi pria asing itu benar-benar menculiknya. "Diam!" Suara tegas pria asing terus terdengar sampai Vea sendiri sedikit ketakutan, akan tetapi dia harus melawan sampai bebas dari pria itu. "Tolong bebaskan aku! Jangan pernah macam-macam sama aku ya! Kamu tidak tau betul siapa aku, sudah lama aku hidup sendiri, banyak asam garam yang telah aku telan selama ini." "Banyak bicara! Diam atau aku bunuh kamu!" Ancaman pria asing itu membuat Vea diam sejenak memikirkan bagaimana caranya supaya bisa kabur dari sana. Hari sudah semakin siang, pria itu dan teman-temannya sedang membeli makanan sama-sama dengan banyak belanja makanan dan minuman untuk nanti malam, tidak ada yang menjaga Vea karena mereka berpikir tawanannya ini sudah diikat oleh tali dan mulutnya sekarang di plester hitam. 'Aku harus pergi sebelum mereka datang!' Bukan Vea namanya kalau tidak bisa mengatasi m
Wiliam melanjutkan kerjanya yang terpotong karena harus bicara dengan Vea. Sampai setengah jam berlalu Vea sudah mandi dan segar kembali, sekarang tujuannya adalah kembali ke kontrakan petak yang selama ini pernah menjadi tempat tinggalnya. Pertolongan pak satpam yang baik kepadanya tidak akan pernah dia lupakan walaupun nanti dirinya akan kembali pada Wiliam. "Sekarang aku harus menuju tempat tinggal aku yang lama. Tapi sebelumnya aku akan jual perhiasan yang pernah diberikan Wiliam padaku untuk kehidupan aku sehari-hari." Terpaksa Vea menjual satu set perhiasan yang masih di bawah standar daripada perhiasan yang masih tersimpan di lemari kamarnya pemberian suaminya itu. "Bu, aku mau jual perhiasan ini." Dengan surat-surat yang lengkap akhirnya perhiasan itu terjual dengan mudah, Vea mendapatkan uang yang cukup banyak dari penjualan perhiasannya. "Dengan ini aku bisa hidup sampai gajian nanti, tapi aku juga harus membayar kosan dan lainnya." Vea segera pergi dari toko perh
"Selamat pagi diriku, sekarang kamu harus sarapan dan berangkat kerja jalan kaki seperti biasanya, nanti aku juga mau minta jadwal kerjaku diganti seperti dulu kerja malam." Vea lebih menyukai kerja malam daripada harus selalu kerja pagi dikarenakan dia sendiri kurang menyukai bangun pagi. "Rasanya aku harus katakan sama diriku, aku mau membiasakan diri semuanya sendiri seperti dulu, aku pasti bisa." Wanita itu berangkat kerja mengunci pintu kosannya, tidak lupa berdoa agar dia diberikan keselamatan oleh Tuhan. Di tempat kerja seperti biasanya Vea harus merapihkan barang-barang baru ke stok lama yang sudah ada di sana, dia begitu antusias menjalani harinya sampai melupakan makan siangnya. "Kerja, ayo semangat kerja Vea." Begitu terucap di mulutnya sendiri, Vea merasakan perutnya keroncongan belum di isi ulang untuk makan siangnya. "Aku lupa!" Sekarang Vea membeli tiga roti yang ada di dalam toko dan memakannya di sana dengan minuman segar. "Rasanya makan siangku cukup se
Satu minggu berlalu. Dengan adanya pekerjaan yang di lakukan Vea tidak membuat dirinya terus mengingat statusnya sekarang, antara sudah memiliki suami tetapi dibiarkan hidup sendiri. "Sekarang waktunya ke rumah sakit lagi untuk mendapatkan hasil yang aku harapkan bisa membawa Mas Wiliam memaafkan aku." Vea berangkat ke rumah sakit sesudah dirinya pulang kerja jam malam dan pulang pagi, itu kesempatannya untuk bisa pergi mencari tahu kebenarannya. Ketika datang di rumah sakit dua puluh menitan, Vea bertemu dengan dokter Irwansyah yang sudah menangani masalahnya ini. "Gimana Dok?" "Hasilnya positif." "Positif apa Dok?" "Positif jika Anda subur dan tidak memiliki riwayat penyakit apa pun, karena dari beberapa tes yang di lakukan, hasil tes pertama ini sepertinya tertukar dengan yang lain, atau ada yang merubahnya secara sengaja untuk membuat Anda dirugikan." "Sudah aku duga!" "Kalau begitu aku permisi dulu Dok, terima kasih untuk hasilnya." "Silakan, sama-sama." Vea mengamb