Kebetulan menjelang jam makan siang, maka aku tidak menunggu dan bergegas menuju kantor polisi yang dimaksud. Aku menggunakan jasa ojek daring, sedangkan Galang menemui aku di tempat tujuan. Aku tidak berani menemui mereka sendiri.Dia sudah menunggu di sana, jadi aku tenang bisa langsung menemui polisi yang menelepon aku tadi. Seorang petugas mengantar ke ruangannya dan ternyata ada banyak orang di dalamnya. Mereka bekerja sambil makan siang. Aku jadi merasa tidak enak sudah menginterupsi.“Ibu Fayola?” tanya pria itu dengan ramah.“Benar, Pak,” jawabku dengan gugup.“Tidak perlu khawatir. Bukan berita buruk. Saya yakin ini justru akan membuat Ibu merasa lega.” Dia memberikan sebuah amplop kepadaku.“Apa ini, Pak?” tanyaku bingung.“Kami memeriksa ponsel korban dan menemukan sebuah pesan yang ada di draft dan belum sempat dikirim. Pesan itu sangat membantu kami untuk mengonfirmasi waktu kejadian kecelakaan. Nomor tujuannya adalah nomor ponsel Ibu yang tadi saya hubungi.“Silakan Ibu
~Galang~ Keadaan punggung atas Ezio menghantui aku. Jadi, aku tahu apa yang Fay rasakan ketika melihat anak-anak dibawa masuk dengan paksa oleh kedua neneknya. Namun mereka bukanlah keluarga kami, tidak ada yang bisa kami lakukan untuk menolong mereka. Melihat dia gelisah saat kami menonton, Lala bahkan tidak bisa menghiburnya, maka aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa membuat istriku susah dan tidak mendapatkan balasannya. Lagi pula, aku juga terdorong untuk menolong anak-anak. “Lang, aku serius.” Dia memalingkan wajahnya sehingga aku mencium pipinya, bukan bibirnya. “Aku tidak bisa melakukan ini.” “Siapa bilang kamu perlu melakukan sesuatu?” Aku mencium pipinya dengan sayang. “Kamu cukup diam saja, biar aku yang bantu kamu tidur.” Aku tidak butuh waktu lama untuk berhasil mengalihkan pikirannya dari kedua anak itu. Dia pikir aku tidak tahu kelemahannya. Aku baru saja beristirahat sejenak setelah memuaskannya, dia yang masih mengingin
Aku sudah bisa menebak siapa yang dimaksud oleh Tama. Walau mereka mau bertemu dengan kami berdua, aku tidak membangunkan Fay. Cukup aku saja yang menghadapi mereka. Aku mengikuti Tama menuju pagar. Keempat orang itu berdiri di sana dengan wajah kesal. “Jaga keluargaku,” kataku kepada pelayanku itu. Dia mengangguk mengerti. Meski mereka memaksa untuk masuk, aku tidak mengizinkan. Aku berjalan menuju tanah lapang, tidak jauh dari rumahku. Mereka terpaksa mengikuti aku. Heran. Apa yang mereka inginkan dengan tetap bertahan melakukan hal ini? Bukankah mereka tidak suka dengan anak-anak? “Kami akan membawa Ezio dan Athena pulang,” kata ayah Nidya. “Apa Om dan Tante tidak dengar isi surat wasiat Nidya dan suaminya? Mereka memercayakan kedua anak mereka kepada Fayola,” kataku, mengingatkan. “Kami akan menggugat surat wasiat itu. Sejak kapan orang yang tidak ada hubungan keluarga bisa seenaknya mengambil anggota keluarga kami?” ucap ibu Nidya dengan sengit. “Yang mengurus surat itu adal
~Fayola~ Aku benci rumah sakit. Terakhir kali datang ke tempat ini, aku pikir aku akan bertemu dengan Nidya dalam keadaan sehat. Ternyata harapanku terempas jauh dan justru mendengarkan kabar buruk mengenai kepergiannya untuk selamanya. Oh, Tuhan. Semoga saja hal yang sama tidak akan terwujud. Aku akan merasa sangat bersalah sudah membiarkan hal itu terjadi. Nidya memercayakan anak-anaknya kepadaku untuk aku jaga dengan baik, bukan malah jatuh sakit begini. “Itu ruangannya,” tunjuk Galang. Kami mempercepat langkah dan memeriksa setiap bilik, lalu menemukan mereka. Ulfa ada dalam ruangan itu bersama dokter dan suster yang menangani gadis kecilku. Athena berbaring tidak berdaya dengan mata terpejam. Dia pasti lemas. Aku tidak melihat Tama dan Ezio. Mungkin mereka sedang berada di suatu tempat. Kami menunggu dokter memeriksa, lalu mendengarkan dia memberi instruksi kepada perawat. Aku menoleh ke arah Galang, tetapi dia hanya mengangguk pelan, meminta aku bersabar. “Alergi susu?” tan
Aku menguatkan diri agar tidak tergoda untuk melihat ke belakang, tetapi rasa penasaranku menang. Galang benar. Doddy tahu betul apa kelemahanku dan bagaimana dia bisa memanfaatkannya. Sial. Aku juga bodoh, mau saja mengalah dengan diriku sendiri.Mala yang lebih dahulu menoleh sebelum aku. Doddy berlutut dengan kepala tertunduk. Gila. Apa yang ada dalam kepalanya? Dia datang dengan penampilan kusut, lalu memohon agar aku bicara dengannya, dan sekarang, menekuk kaki di depanku.Ini bukanlah Doddy yang aku kenal.“Aku sudah melakukan hal yang sangat jahat kepadamu. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkan kamu. Kita bersama sejak duduk di bangku kuliah … aku salah sudah menyakiti kamu. Aku mohon, maafkan aku, Yola,” katanya dengan suara serak.“Berdiri, Doddy.” Aku tidak enak melihat orang-orang memperhatikan kami.“Kamu tidak mau bicara denganku, jadi aku harus menggunakan cara ini,” ucapnya bersikeras.“Aku sudah lama memaafkan kamu, jika itu yang mau kamu dengar. Berdirilah, lalu pu
“Aku sudah memenuhi permintaanmu, maka aku tidak punya utang lagi,” kata Trici sambil menepuk punggung pria yang ada di depanku. “Santai saja. Aku menunggu di kantin.” “Terima kasih, Trici,” ucap pria itu. Wanita itu tersenyum licik kepadaku sebelum berjalan menuju pintu. Tidak ada yang perlu aku takutkan dari pertemuan ini, maka aku tidak bergegas keluar mengikuti Trici. Aku benar-benar tidak mengerti. Apa lagi yang harus aku katakan supaya orang-orang bisa memahami kalimatku. “Duduklah, Yola,” katanya, mempersilakan. Hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan. “Apa ini karena anak itu?” tanyaku, menebak tujuannya ingin sekali bicara denganku. “Kamu pasti masih suka tempura. Aku membelinya dari restoran Jepang kesukaanmu.” Dia melirik kantong plastik berlabel rumah makan itu yang ada di atas meja. Penampilannya lebih baik dari hari sebelumnya. Rambutnya tertata rapi, setelannya bersih dan tidak kusut, wajahnya juga lebih bersinar. Aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga dia ber
Mama berhenti sejenak karena suaranya berubah serak. Papa memegang tangan Mama, berusaha untuk menolongnya menenangkan diri. Aku menoleh ke arah Galang. Apa yang Mama maksudkan dengan rahasia besar?Apa mungkin Mama sudah tahu aku dan Galang hanya berpura-pura menikah? Tidak mungkin. Kalau pun mereka mengetahuinya, keadaan kami sekarang sudah berbeda. Lalu apa lagi yang mungkin Mama ketahui tentang aku?“Aku berhak tahu mengenai anak-anakku dan semua kesulitan yang mereka alami. Aku berhak tahu kalau ada masalah besar yang sedang kalian hadapi,” kata Mama lirih. “Mengapa kamu malah diam?”“Ma, aku tidak mengerti. Mama sedang membicarakan apa?” Aku melihat Papa dan Mama secara bergantian. “Aku maupun Galang tidak sedang mengalami masalah.”“Kamu menyembunyikan kehamilanmu dari kami,” kata Mama, menggoncang lantai yang aku pijak. “Sudah belasan tahun berlalu, mengapa kamu masih diam? Apa yang kamu takutkan dari kami?”Aku tidak bisa berkata-kata. Itu adalah rahasia yang seharusnya aku b
Aku dan Mala saling bertukar pandang. Dia hanya tersenyum penuh arti, membuat aku semakin tidak mengerti. Apakah ada yang mereka rencanakan bersama yang tidak aku ketahui? Semua orang terlihat santai saja melihat rekan kami mendekati Trici, aku yang bingung sendiri.Tanganku memegang amplop yang sudah aku siapkan, menguatkan diri untuk melakukannya. Hari ini atau tidak sama sekali. Karena menunggu besok atau beberapa menit lagi, hasilnya akan sama saja. Jadi, lebih baik aku melakukannya sebelum rapat dimulai.“Saya mengundurkan diri,” kata pria itu, mengejutkan aku.Trici mengangkat kedua alisnya melihat amplop yang diletakkan pria itu di depannya, tetapi tidak memberikan tanggapan apa pun. Pria itu tersenyum, kemudian keluar dari ruang rapat tanpa sepatah kata pun. Wow. Dia berani sekali.Mala yang duduk di sisiku berdiri, lalu berjalan mendekati manajer kami. “Saya juga mengundurkan diri, Bu.” Dia meletakkan sebuah amplop di atas meja. Aku hanya bisa mengangakan mulutku.Wajah Trici