Selamat Hari Film Nasional, 30 Maret. Waah~ Ini impianku berikutnya. Mungkin tidak, ya, suatu hari nanti ada film yang diangkat dari salah satu novelku? ≧ω≦
Aku menguatkan diri agar tidak tergoda untuk melihat ke belakang, tetapi rasa penasaranku menang. Galang benar. Doddy tahu betul apa kelemahanku dan bagaimana dia bisa memanfaatkannya. Sial. Aku juga bodoh, mau saja mengalah dengan diriku sendiri.Mala yang lebih dahulu menoleh sebelum aku. Doddy berlutut dengan kepala tertunduk. Gila. Apa yang ada dalam kepalanya? Dia datang dengan penampilan kusut, lalu memohon agar aku bicara dengannya, dan sekarang, menekuk kaki di depanku.Ini bukanlah Doddy yang aku kenal.“Aku sudah melakukan hal yang sangat jahat kepadamu. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkan kamu. Kita bersama sejak duduk di bangku kuliah … aku salah sudah menyakiti kamu. Aku mohon, maafkan aku, Yola,” katanya dengan suara serak.“Berdiri, Doddy.” Aku tidak enak melihat orang-orang memperhatikan kami.“Kamu tidak mau bicara denganku, jadi aku harus menggunakan cara ini,” ucapnya bersikeras.“Aku sudah lama memaafkan kamu, jika itu yang mau kamu dengar. Berdirilah, lalu pu
“Aku sudah memenuhi permintaanmu, maka aku tidak punya utang lagi,” kata Trici sambil menepuk punggung pria yang ada di depanku. “Santai saja. Aku menunggu di kantin.” “Terima kasih, Trici,” ucap pria itu. Wanita itu tersenyum licik kepadaku sebelum berjalan menuju pintu. Tidak ada yang perlu aku takutkan dari pertemuan ini, maka aku tidak bergegas keluar mengikuti Trici. Aku benar-benar tidak mengerti. Apa lagi yang harus aku katakan supaya orang-orang bisa memahami kalimatku. “Duduklah, Yola,” katanya, mempersilakan. Hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan. “Apa ini karena anak itu?” tanyaku, menebak tujuannya ingin sekali bicara denganku. “Kamu pasti masih suka tempura. Aku membelinya dari restoran Jepang kesukaanmu.” Dia melirik kantong plastik berlabel rumah makan itu yang ada di atas meja. Penampilannya lebih baik dari hari sebelumnya. Rambutnya tertata rapi, setelannya bersih dan tidak kusut, wajahnya juga lebih bersinar. Aku tidak tahu apa yang terjadi sehingga dia ber
Mama berhenti sejenak karena suaranya berubah serak. Papa memegang tangan Mama, berusaha untuk menolongnya menenangkan diri. Aku menoleh ke arah Galang. Apa yang Mama maksudkan dengan rahasia besar?Apa mungkin Mama sudah tahu aku dan Galang hanya berpura-pura menikah? Tidak mungkin. Kalau pun mereka mengetahuinya, keadaan kami sekarang sudah berbeda. Lalu apa lagi yang mungkin Mama ketahui tentang aku?“Aku berhak tahu mengenai anak-anakku dan semua kesulitan yang mereka alami. Aku berhak tahu kalau ada masalah besar yang sedang kalian hadapi,” kata Mama lirih. “Mengapa kamu malah diam?”“Ma, aku tidak mengerti. Mama sedang membicarakan apa?” Aku melihat Papa dan Mama secara bergantian. “Aku maupun Galang tidak sedang mengalami masalah.”“Kamu menyembunyikan kehamilanmu dari kami,” kata Mama, menggoncang lantai yang aku pijak. “Sudah belasan tahun berlalu, mengapa kamu masih diam? Apa yang kamu takutkan dari kami?”Aku tidak bisa berkata-kata. Itu adalah rahasia yang seharusnya aku b
Aku dan Mala saling bertukar pandang. Dia hanya tersenyum penuh arti, membuat aku semakin tidak mengerti. Apakah ada yang mereka rencanakan bersama yang tidak aku ketahui? Semua orang terlihat santai saja melihat rekan kami mendekati Trici, aku yang bingung sendiri.Tanganku memegang amplop yang sudah aku siapkan, menguatkan diri untuk melakukannya. Hari ini atau tidak sama sekali. Karena menunggu besok atau beberapa menit lagi, hasilnya akan sama saja. Jadi, lebih baik aku melakukannya sebelum rapat dimulai.“Saya mengundurkan diri,” kata pria itu, mengejutkan aku.Trici mengangkat kedua alisnya melihat amplop yang diletakkan pria itu di depannya, tetapi tidak memberikan tanggapan apa pun. Pria itu tersenyum, kemudian keluar dari ruang rapat tanpa sepatah kata pun. Wow. Dia berani sekali.Mala yang duduk di sisiku berdiri, lalu berjalan mendekati manajer kami. “Saya juga mengundurkan diri, Bu.” Dia meletakkan sebuah amplop di atas meja. Aku hanya bisa mengangakan mulutku.Wajah Trici
~Galang~Aku tersenyum puas membaca laporan yang baru masuk ke surelku. Akhirnya, saat yang aku tunggu-tunggu tiba juga. Mereka mengadakan pertemuan mendadak dengan para pemegang saham. Aku mengirim pesan kepada kenalanku yang sudah lama menantikan kabar baik.Baru saja meletakkan ponsel di meja, muncul pesan baru di bagian atas layar ponselku. Fay memberi tahu aku dia pulang. Hm. Baru saja lewat jam makan siang, mengapa dia sudah pulang? Ah, pasti ini ulah Trici lagi. Aku belum tahu bagaimana cara membuat perempuan itu berhenti menyakitinya.Oh. Benar juga! Sayangku sudah pulang, maka aku tidak perlu menjemput dia di tempat kerjanya. Aku bisa menyelesaikan masalahku sepulang kerja nanti. Sudah saatnya bagi kami untuk bicara. Apa yang sudah dia lakukan tidak bisa lagi aku toleransi.“Kapan aku yang didatangi perempuan cantik di kantor?” keluh Rano melihat Trici berdiri menunggu di depan lobi. Aku tertawa kecil. “Sampai besok.”“Bersyukurlah, kamu tidak akan mau menjadi aku,” kataku pe
Aku terenyuh melihat wajah khawatir istriku yang menyambut kepulanganku. Dia benar-benar sayang kepadaku. Matanya sampai berkaca-kaca melihat luka pada wajahku. Padahal dia tidak perlu khawatir. Aku bukan laki-laki lemah.“Apa teman kerjamu itu menyuruh orang lagi untuk menghajar kamu?” tanyanya sambil menutup pintu depan, lalu menguncinya.Tama pasti sudah disuruhnya untuk istirahat sehingga dia yang menyambut kepulanganku. Malam sudah larut karena ada tempat yang harus aku kunjungi sebelum kembali ke rumah. Kejadian hari ini benar-benar berada di luar rencanaku. Doddy tidak sebangkrut yang aku duga.“Aku mandi, lalu kita bicara, ya?” ucapku memelas.Dia mendesah pelan, kemudian mengangguk. “Aku akan mengambilkan makanan untukmu. Kamu pasti belum makan, ‘kan?” Aku menggelengkan kepala.Setelah mandi dan berhati-hati dengan lukaku, aku mengenakan pakaian. Fay sudah menunggu dengan wajah khawatir di sofa. Piring dan gelas sudah memenuhi meja di depannya. Aku duduk dan mulai makan. Aku
~Fayola~“Yola, apa kamu sudah mengetahui berita terbaru?” tanya Mala, tanpa basa-basi.Aku sedang asyik membuat desain poster ketika ponselku bergetar. Tentu saja aku langsung menjawab panggilan masuk darinya. Bukannya menyapa lebih dahulu, dia malah mengatakan hal yang membuat aku heran.“Berita apa?” Aku keluar dari ruang kerja Galang menuju ruang keluarga. Televisi hanya ada di sana.“Cepat tonton,” desaknya. Dia menyebut sebuah saluran televisi dan aku memilihnya.“Acara konferensi diadakan pada pukul delapan pagi ini waktu setempat. Hotel dan anak usaha milik Keluarga Hidayat menyatakan diri bangkrut dan telah berada di tangan pemilik yang baru.”Hotel milik Keluarga Hidayat? Itu adalah nama keluarga Doddy. Jadi, mereka akhirnya menyatakan diri bangkrut. Galang benar mengenai hal ini. Wow. Lama juga mereka berusaha untuk bertahan dan menutupi kabar ini dari semua orang.“Rekan kami di lapangan belum bisa mendapatkan informasi lengkap, karena juru bicara menolak untuk menjawab pe
Aku terkejut Galang membawa aku menemui pria yang memberikan pesan terakhir dari Nidya. Namun aku lega akan berbicara dengan orang yang aku kenal daripada harus berhadapan dengan petugas polisi yang berbeda.Suamiku sudah memberi tahu kejadian apa saja yang dia adukan kepada polisi mengenai perbuatan Doddy dan Sonya. Aku dengan senang hati memberi pernyataan sejujurnya, karena aku tidak mau kami malah terkena pasal pencemaran nama baik.Setiap kejadian yang tidak bisa dibuktikan harus aku lupakan dan maafkan. Hanya kejadian yang bisa dibuktikan benar telah terjadi yang akan diproses secara hukum. Itu juga sudah lumayan daripada mereka bebas melenggang dan tidak pernah belajar dari kesalahan.“Baik. Kami akan melakukan investigasi terlebih dahulu, kemudian menghubungi Bapak dan Ibu untuk langkah selanjutnya. Yang pasti, Anda harus menyiapkan kuasa hukum yang bagus. Mereka punya beberapa pengacara unggul yang sudah biasa membantu urusan legal,” kata polisi itu.“Baik, Pak. Terima kasih