Waaa~ Habis ini boleh romance yuk, Kaisar Embun. Semoga dilancarkan ya ^^
“Ta-tapi, Pak–” “Bisa saya lihat dokumen-dokumen yang ada?” Kaisar bertanya, membuat Pak Endang langsung terdiam. Duduk di samping Kaisar, Embun memandang Pak Endang yang saat ini terlihat gugup, sama sekali berbeda dengan karakter yang ditampilkannya tadi, yang tampak penuh kuasa dan mendominasi. Diskusi antara Kaisar tidak berlangsung lama–bahkan bisa dikatakan cepat kilat dan nyaris tidak ada diskusi maupun negosiasi. Usai membaca dokumen yang ada, suami Embun tersebut menatap Pak Endang dengan tajam selama beberapa detik, membuat Pak Endang berkeringat dingin. Pria di hadapannya ini adalah klien terhormat yang selama ini menjadi pelanggan tetap usahanya. Pak Endang mengenalnya karena ia pernah mendapatkan kehormatan untuk berdiskusi langsung dengan Kaisar di sedikit kesempatan. Akan tetapi, meskipun Kaisar adalah pelanggannya, Pak Endang tidak mendengar kabar bahwa pria itu sudah menikah. “Apalagi dengan wanita ini!” batin Pak Endang, menjerit frustrasi. Jika ia tahu bahwa E
“Ada apa, Kaisar?” Hening kembali mengiringi perjalanan mereka selama beberapa saat sebelum akhirnya Kaisar justru balik bertanya. “Apa yang mau kamu katakan?” Embun bergumam pelan dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela yang masih gelap. Jalanan yang tadinya sepi kini tampak cukup ramai setelah mobil yang mereka kendarai masuk ke jalan raya. Bisa dimengerti lantaran tempat pembuatan properti yang Embun kunjungi ada di luar kota dan jauh dari pemukiman penduduk. “... Embun?” Sejenak, manik cokelat Embun bertemu dengan mata hitam Kaisar saat pria itu mengalihkan pandangan dari jalanan depan. “Ah, tidak,” jawab Embun pelan setelah Kaisar kembali fokus ke depan. “Terima kasih sudah memjemput saya, Kaisar. Saya–” Tiba-tiba sebuah suara asing memotong ucapan Embun, sekaligus membuat wajah wanita itu memerah karena malu. Perutnya berbunyi! Astaga, inikah akibatnya ia hanya makan sekali kemarin? Embun tidak terlalu merasa lapar, tapi mungkin itu karena ia lebih berat menahan r
“Aku tidak mau kamu jatuh sakit.” Satu hal lagi yang mengejutkan Embun, tapi wanita itu sudah mampu mengontrol ekspresinya meskipun jantungnya berdebar akibat ucapan Kaisar tersebut. Yah, pria itu memang tidak banyak bicara, tapi beberapa kali kata-kata Kaisar membuat Embun salah tingkah. Namun, lebih baik begitu daripada Kaisar sama sekali tidak mengajaknya bicara. Jujur, Embun merindukan pria itu. “Baiklah,” gumam Embun, menanggapi Kaisar pada akhirnya. Diam-diam ia tersenyum sembari menatap keluar jendela sementara mobil mulai melaju kembali di jalan raya. “Terima kasih sekali lagi, Kaisar.” Hening kembali menyelimuti pasangan suami istri tersebut. “... Ah, apa kamu mau makan juga?” tanya Embun tiba-tiba. Ia sedang membuka bungkusan kentang goreng di pangkuan. Kaisar tersenyum tipis. “Aku sedang menyetir, Embun–” Namun, tanpa diduga oleh pria itu, Embun sudah mengulurkan sepotong kentang goreng di depan bibir Kaisar. Sekilas, Kaisar menoleh pada Embun. Gelapnya bagian dala
“Tenang, nanti gua kenalin ke cewek oke deh di pesta itu. Jangan khawatir!” Nicholas mendengus. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan agar bisa berbicara lebih santai dengan kawannya tersebut. “Kalo ada juga,” tanggap Nicholas, “gua bisa kenalan sendiri.” Di seberang, si penelepon terkekeh keras. “Ya, ya. Nggak mungkin diragukan lagi deh,” ucapnya. “Lagian emangnya lu nggak disuruh buruan bawa calon? Umur segitu. Lu udah putus, kan?” Nicholas berdecak. “Kalau sudah selesai, gua tutup ya. Mau rapat,” sahutnya singkat. “Nic, Nic.” Tampaknya si penelepon menggeleng-gelengkan kepala. “Gua kasih tahu nih ya, mending lu buruan cari calon sendiri. Daripada dijodohin. Lu nggak denger kabar selingkuh–” “Gua tutup dulu ya. Paman Kaisar datang.” Nicholas buru-buru menutup panggilan dengan kebohongannya, padahal jelas-jelas pamannya itu tidak ada di tempat. Pria muda itu kembali ke dalam ruangan dan kembali mendengarkan presentasi dari perwakilan divisi. Ia memberikan beberap
Friska bisa merasakan tatapan semua orang terarah padanya seakan-akan dia punya dua kepala. Atau gila. Yang jelas, hal itu membuat tengkuk Friska terasa dingin, meski ia tidak menampilkannya terang-terangan. Gadis itu datang dengan sadar bahwa penampilannya ini akan memunculkan gosip sensasional di kalangan konglomerat yang terbatas ini. Dan memang itulah yang Friska incar. “Lho, Friska. Lama tidak bertemu.” Seorang pria paruh baya menyapanya dengan ramah. Namun, Friska tetap bisa menangkap sorot mata heran di sepasang matanya. “Apa kabar? Om kira kamu tidak datang.” Friska tersenyum kecil. “Baik, Om,” jawabnya singkat. Dari ekor matanya, ia menyadari tatapan tajam sang ayah yang tadi sibuk mengobrol dengan Cahya Subagja, pria paruh baya itu, ketika Friska masuk ke aula. “Memalukan!” Friska hampir bisa mendengar omelan ayahnya hanya dari tatapan mata. “Kamu memang berniat menghancurkan reputasi Ayah ya!?” “Selamat atas pernikahan putrinya, Om.” Friska berucap sembari tersenyum
[Kaisar, apakah kamu akan pulang untuk makan malam?] Wanita itu tetap mengirimkan pesan sederhana secara rutin, entah itu menanyakan apakah Kaisar sudah makan atau apakah mereka akan makan bersama. Beberapa hari sudah lewat sejak Kaisar menjemput istrinya tersebut dari tempat pemesanan properti dan setelah hari itu, hubungan Embun dan Kaisar seperti kembali biasa–tanpa Kaisar yang menghindar di setiap momennya. Embun pun tampak sedikit lebih santai, karena Kaisar turut membantu sedikit persiapan pembukaan cabang kafe Embun–baik secara diam-diam maupun kentara dengan memberikan saran. Kebiasaan mengobrol mereka belakangan ini mulai rutin lagi. “Ya.” Kaisar membalas pesan istrinya tersebut dengan singkat. Tidak lama, ada pesan lain dari Embun yang masuk ke ponselnya. [Kemarin kamu yang masak. Malam ini giliranku, ya? Kamu mau apa?] Tanpa sadar, Kaisar tersenyum kecil karena Embun sudah mengubah cara bicaranya dengan Kaisar. Ia merasa sedikit lebih dekat dengan istri dadakannya t
“Bu Embun? Selamat sore!” Embun melirik layar ponselnya untuk memastikan identitas si penelepon. Namun, ia tidak salah lihat. Tidak tertera nama kontak di sana, meskipun Embun mengenali suara Pak Heru di seberang saluran telepon. “Pak Heru?” tanggap Embun ragu. “Betul, Bu. Maaf saya menghubungi Ibu dengan nomor lain,” ucap si penelepon. “Saya ingin follow up mengenai perkembangan persiapan pembukaan restoran.” Embun mengangguk, meskipun Pak Heru tidak dapat melihatnya. Ia kemudian sedikit menjabarkan mengenai perkembangan persiapan yang dilakukan oleh pihaknya. “Jadi Bapak tidak perlu khawatir.” Embun mengakhiri penjabarannya. Di seberang, Pak Heru terdengar lega. “Baik, Bu. Kalau begitu, saya tunggu Bu Embun sesuai kesepakatan kemarin ya.” “Baik, Pak. Selamat sore.” Baru saja Embun mengakhiri panggilan, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama si penelepon tertera jelas dan hal tersebut membuatnya tersenyum saat mengangkatnya. “Halo, Kaisar?” Embun berucap dengan suarany
“Permisi. Dengan Ibu Embun?” Baik Embun maupun Pak Heru menoleh ke pintu masuk. Berdiri di sana, seorang pria muda dengan seragam ekspedisi pengantaran, menatap Embun dengan pandangan bertanya. Di tangannya, ada papan alas dengan lembaran tanda terima dan satu buket besar bunga. “Bu Embun?” Pria muda itu mengulang. “Ah, ya.” Embun berdiri. “Saya sendiri.” Wanita itu kemudian berjalan menghampiri pria tersebut. “Ada kiriman bunga untuk Ibu Embun.” Pria itu menyodorkan papan alas pada Embun. “Silakan tanda tangan di tempat yang sudah ditandai, Bu. Ada dua jenis bunga yang dikirimkan.” Tampak bingung, Embun melihat surat tanda terima yang kini ada di tangannya. Di sana tertera jenis bunga yang dikirimkan padanya, yakni rangkaian bunga ucapan selamat setinggi satu setengah meter yang rupanya sudah ada di samping pintu masuk, dan satu buket bunga yang langsung diangsurkan pada Embun begitu Embun membubuhkan tanda tangannya. “Terima kasih. Selamat atas cabang barunya, Ibu Embun.” Si