“Tenang, nanti gua kenalin ke cewek oke deh di pesta itu. Jangan khawatir!” Nicholas mendengus. Ia bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan agar bisa berbicara lebih santai dengan kawannya tersebut. “Kalo ada juga,” tanggap Nicholas, “gua bisa kenalan sendiri.” Di seberang, si penelepon terkekeh keras. “Ya, ya. Nggak mungkin diragukan lagi deh,” ucapnya. “Lagian emangnya lu nggak disuruh buruan bawa calon? Umur segitu. Lu udah putus, kan?” Nicholas berdecak. “Kalau sudah selesai, gua tutup ya. Mau rapat,” sahutnya singkat. “Nic, Nic.” Tampaknya si penelepon menggeleng-gelengkan kepala. “Gua kasih tahu nih ya, mending lu buruan cari calon sendiri. Daripada dijodohin. Lu nggak denger kabar selingkuh–” “Gua tutup dulu ya. Paman Kaisar datang.” Nicholas buru-buru menutup panggilan dengan kebohongannya, padahal jelas-jelas pamannya itu tidak ada di tempat. Pria muda itu kembali ke dalam ruangan dan kembali mendengarkan presentasi dari perwakilan divisi. Ia memberikan beberap
Friska bisa merasakan tatapan semua orang terarah padanya seakan-akan dia punya dua kepala. Atau gila. Yang jelas, hal itu membuat tengkuk Friska terasa dingin, meski ia tidak menampilkannya terang-terangan. Gadis itu datang dengan sadar bahwa penampilannya ini akan memunculkan gosip sensasional di kalangan konglomerat yang terbatas ini. Dan memang itulah yang Friska incar. “Lho, Friska. Lama tidak bertemu.” Seorang pria paruh baya menyapanya dengan ramah. Namun, Friska tetap bisa menangkap sorot mata heran di sepasang matanya. “Apa kabar? Om kira kamu tidak datang.” Friska tersenyum kecil. “Baik, Om,” jawabnya singkat. Dari ekor matanya, ia menyadari tatapan tajam sang ayah yang tadi sibuk mengobrol dengan Cahya Subagja, pria paruh baya itu, ketika Friska masuk ke aula. “Memalukan!” Friska hampir bisa mendengar omelan ayahnya hanya dari tatapan mata. “Kamu memang berniat menghancurkan reputasi Ayah ya!?” “Selamat atas pernikahan putrinya, Om.” Friska berucap sembari tersenyum
[Kaisar, apakah kamu akan pulang untuk makan malam?] Wanita itu tetap mengirimkan pesan sederhana secara rutin, entah itu menanyakan apakah Kaisar sudah makan atau apakah mereka akan makan bersama. Beberapa hari sudah lewat sejak Kaisar menjemput istrinya tersebut dari tempat pemesanan properti dan setelah hari itu, hubungan Embun dan Kaisar seperti kembali biasa–tanpa Kaisar yang menghindar di setiap momennya. Embun pun tampak sedikit lebih santai, karena Kaisar turut membantu sedikit persiapan pembukaan cabang kafe Embun–baik secara diam-diam maupun kentara dengan memberikan saran. Kebiasaan mengobrol mereka belakangan ini mulai rutin lagi. “Ya.” Kaisar membalas pesan istrinya tersebut dengan singkat. Tidak lama, ada pesan lain dari Embun yang masuk ke ponselnya. [Kemarin kamu yang masak. Malam ini giliranku, ya? Kamu mau apa?] Tanpa sadar, Kaisar tersenyum kecil karena Embun sudah mengubah cara bicaranya dengan Kaisar. Ia merasa sedikit lebih dekat dengan istri dadakannya t
“Bu Embun? Selamat sore!” Embun melirik layar ponselnya untuk memastikan identitas si penelepon. Namun, ia tidak salah lihat. Tidak tertera nama kontak di sana, meskipun Embun mengenali suara Pak Heru di seberang saluran telepon. “Pak Heru?” tanggap Embun ragu. “Betul, Bu. Maaf saya menghubungi Ibu dengan nomor lain,” ucap si penelepon. “Saya ingin follow up mengenai perkembangan persiapan pembukaan restoran.” Embun mengangguk, meskipun Pak Heru tidak dapat melihatnya. Ia kemudian sedikit menjabarkan mengenai perkembangan persiapan yang dilakukan oleh pihaknya. “Jadi Bapak tidak perlu khawatir.” Embun mengakhiri penjabarannya. Di seberang, Pak Heru terdengar lega. “Baik, Bu. Kalau begitu, saya tunggu Bu Embun sesuai kesepakatan kemarin ya.” “Baik, Pak. Selamat sore.” Baru saja Embun mengakhiri panggilan, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama si penelepon tertera jelas dan hal tersebut membuatnya tersenyum saat mengangkatnya. “Halo, Kaisar?” Embun berucap dengan suarany
“Permisi. Dengan Ibu Embun?” Baik Embun maupun Pak Heru menoleh ke pintu masuk. Berdiri di sana, seorang pria muda dengan seragam ekspedisi pengantaran, menatap Embun dengan pandangan bertanya. Di tangannya, ada papan alas dengan lembaran tanda terima dan satu buket besar bunga. “Bu Embun?” Pria muda itu mengulang. “Ah, ya.” Embun berdiri. “Saya sendiri.” Wanita itu kemudian berjalan menghampiri pria tersebut. “Ada kiriman bunga untuk Ibu Embun.” Pria itu menyodorkan papan alas pada Embun. “Silakan tanda tangan di tempat yang sudah ditandai, Bu. Ada dua jenis bunga yang dikirimkan.” Tampak bingung, Embun melihat surat tanda terima yang kini ada di tangannya. Di sana tertera jenis bunga yang dikirimkan padanya, yakni rangkaian bunga ucapan selamat setinggi satu setengah meter yang rupanya sudah ada di samping pintu masuk, dan satu buket bunga yang langsung diangsurkan pada Embun begitu Embun membubuhkan tanda tangannya. “Terima kasih. Selamat atas cabang barunya, Ibu Embun.” Si
Sedetik. Dua detik. Kaisar melihat tersenyum ke arahnya, membuat pria itu kembali tertegun. Kakinya hendak melangkah untuk menghampiri istrinya tersebut, tapi urung saat asisten pribadinya berkata, “Pak Kaisar, kehadirannya sudah ditunggu di ruang rapat.” “Hm.” Kaisar akhirnya berputar balik dan melangkah menjauh dari Embun. Sekilas, ia melirik wanita tersebut. Di sisi lain, senyum Embun perlahan memudar ketika melihat Kaisar justru berjalan menjauh. “Ada apa, Bu?” Pak Heru bertanya, membuat Embun mengalihkan pandangan ke pria paruh baya tersebut. “Hm?” Embun kembali tersenyum pada manajer hotel tersebut. “Ah, tidak, Pak. Tadi saya melihat Pak Kaisar saja.” “Oooh.” Pak Heru mengangguk-angguk. “Sayang sekali beliau tidak kemari ya, Bu. Saya lihat belakangan Pak Kaisar makin sibuk saja. Mungkin karena itu.” Embun mengangguk. “Tidak apa-apa. Pak Kaisar memang kelihatan sekali sedang sibuk,” tanggapnya dengan senyum. “Iya, Bu.” Pak Heru mengiakan. Ia tidak tahu kalau bosnya itulah
“Masakanmu.” Usai membalas Kaisar, Embun kembali fokus pada pembukaan kafenya. Ia juga mengambil beberapa foto tambahan untuk media sosial Kafe Senjakala, termasuk dengan beberapa karyawan. Mungkin ia akan menugaskan stafnya untuk membuat media sosial lain untuk cabang di hotel ini. Baru ketika itu, Embun teringat sesuatu. “Media sosial Aletta waktu itu,” gumam wanita berambut sebahu tersebut pada dirinya sendiri. Dikeluarkannya ponsel untuk membuka media sosial milik Embun. Masih di sana. Unggahan foto-fotonya juga tidak banyak berubah–lebih berfokus ke Aletta dibandingkan ke kafe milik Embun sendiri. Kali ini, Embun mengirimkan pesan kepada Aletta mengenai akun tersebut. Namun, ia memang tidak berharap langsung mendapatkan jawaban. Kemungkinan, sama sepertinya, Aletta sedang sibuk. Menjadi influencer seperti gadis itu tentu tidak mudah. Karenanya, pikiran Embun kembali teralihkan ke urusan kafe dan promosi, serta pengembangannya. Embun berpikir untuk menanyakan pendapat Kaisar
“Lalu bagaimana dengan kondisi beliau?” Embun bisa merasakan ketegangan sekaligus kekhawatiran dari suara Kaisar. Namun, wanita itu tidak bertanya. Ia hanya diam mendengarkan, tanpa mengalihkan pandangannya dari Kaisar yang tengah duduk di depannya. Sementara itu, Kaisar terlalu fokus pada informasi dari orang di seberang saluran telepon tanpa menyadari perhatian Embun yang terarah padanya. “... Baik. Sampaikan salamku pada beliau.” Kaisar memijit pangkal hidungnya, tiba-tiba tampak lelah. “Ya, carikan alternatif lain … betul, secepatnya.” Dengan kalimat itu, akhirnya Kaisar menutup panggilan. Pria itu meletakkan ponselnya di atas meja dan menghela napas pelan. “... Ada masalah?” Embun bertanya saat Kaisar tidak mengatakan ataupun menjelaskan apa pun padanya selama beberapa saat. Suara wanita yang biasanya lembut itu kini terdengar lebih halus lagi. Tanpa menunggu respons Kaisar, Embun berdiri dan menuangkan segelas air putih, lalu menyodorkannya pada sang suami. “Ya.” Kaisar