Sedetik. Dua detik. Kaisar melihat tersenyum ke arahnya, membuat pria itu kembali tertegun. Kakinya hendak melangkah untuk menghampiri istrinya tersebut, tapi urung saat asisten pribadinya berkata, “Pak Kaisar, kehadirannya sudah ditunggu di ruang rapat.” “Hm.” Kaisar akhirnya berputar balik dan melangkah menjauh dari Embun. Sekilas, ia melirik wanita tersebut. Di sisi lain, senyum Embun perlahan memudar ketika melihat Kaisar justru berjalan menjauh. “Ada apa, Bu?” Pak Heru bertanya, membuat Embun mengalihkan pandangan ke pria paruh baya tersebut. “Hm?” Embun kembali tersenyum pada manajer hotel tersebut. “Ah, tidak, Pak. Tadi saya melihat Pak Kaisar saja.” “Oooh.” Pak Heru mengangguk-angguk. “Sayang sekali beliau tidak kemari ya, Bu. Saya lihat belakangan Pak Kaisar makin sibuk saja. Mungkin karena itu.” Embun mengangguk. “Tidak apa-apa. Pak Kaisar memang kelihatan sekali sedang sibuk,” tanggapnya dengan senyum. “Iya, Bu.” Pak Heru mengiakan. Ia tidak tahu kalau bosnya itulah
“Masakanmu.” Usai membalas Kaisar, Embun kembali fokus pada pembukaan kafenya. Ia juga mengambil beberapa foto tambahan untuk media sosial Kafe Senjakala, termasuk dengan beberapa karyawan. Mungkin ia akan menugaskan stafnya untuk membuat media sosial lain untuk cabang di hotel ini. Baru ketika itu, Embun teringat sesuatu. “Media sosial Aletta waktu itu,” gumam wanita berambut sebahu tersebut pada dirinya sendiri. Dikeluarkannya ponsel untuk membuka media sosial milik Embun. Masih di sana. Unggahan foto-fotonya juga tidak banyak berubah–lebih berfokus ke Aletta dibandingkan ke kafe milik Embun sendiri. Kali ini, Embun mengirimkan pesan kepada Aletta mengenai akun tersebut. Namun, ia memang tidak berharap langsung mendapatkan jawaban. Kemungkinan, sama sepertinya, Aletta sedang sibuk. Menjadi influencer seperti gadis itu tentu tidak mudah. Karenanya, pikiran Embun kembali teralihkan ke urusan kafe dan promosi, serta pengembangannya. Embun berpikir untuk menanyakan pendapat Kaisar
“Lalu bagaimana dengan kondisi beliau?” Embun bisa merasakan ketegangan sekaligus kekhawatiran dari suara Kaisar. Namun, wanita itu tidak bertanya. Ia hanya diam mendengarkan, tanpa mengalihkan pandangannya dari Kaisar yang tengah duduk di depannya. Sementara itu, Kaisar terlalu fokus pada informasi dari orang di seberang saluran telepon tanpa menyadari perhatian Embun yang terarah padanya. “... Baik. Sampaikan salamku pada beliau.” Kaisar memijit pangkal hidungnya, tiba-tiba tampak lelah. “Ya, carikan alternatif lain … betul, secepatnya.” Dengan kalimat itu, akhirnya Kaisar menutup panggilan. Pria itu meletakkan ponselnya di atas meja dan menghela napas pelan. “... Ada masalah?” Embun bertanya saat Kaisar tidak mengatakan ataupun menjelaskan apa pun padanya selama beberapa saat. Suara wanita yang biasanya lembut itu kini terdengar lebih halus lagi. Tanpa menunggu respons Kaisar, Embun berdiri dan menuangkan segelas air putih, lalu menyodorkannya pada sang suami. “Ya.” Kaisar
“Bisakah aku serahkan permasalahan catering hidangan pesta itu padamu?” Embun terdiam. Ia menyadari bahwa dugaannya tepat. Suaminya ini berniat untuk meminta bantuannya dan mengalihkan tanggung jawab hidangan pesta pada Embun. “Tunggu, tunggu dulu.” Segera, Embun berucap. Ia bahkan sudah lupa sama sekali pada steik di piringnya, yang sudah dipotong-potong dengan rapi oleh Kaisar. Di kepalanya langsung terlintas banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Kaisar.” Kaisar menggeleng. “Menurutku, ini bukan keputusan gegabah, Embun,” jawabnya. Ia menyadari kepanikan serta kebingungan di wajah sang istri, karenanya ia menghela napas dan berkata, “Maaf karena tiba-tiba melemparkan topik berat saat kita seharusnya makan malam. Ayo makan dulu, Embun.” Pria itu mengangkat garpu dan pisaunya sekali lagi, kembali memotong daging di depannya. Sikapnya yang tenang dan terkontrol itu perlahan membuat kepanikan Embun mereda. Istri Kaisar itu menunduk me
“Kalau begitu,” ucap Embun lambat-lambat, setelah berpikir sejenak dan mengatur debar di dadanya. “Mohon dukungannya, Kaisar.” Kaisar tersenyum sedikit lebih lebar, kemudian mengangguk. “Jika ada kendala atau kesulitan, langsung katakan padaku.” Pria itu berucap. “Siap, Pak Kaisar.” Embun balas tersenyum. Keduanya kemudian lanjut mengobrol mengenai acara tersebut dan banyak hal lain, sembari makan malam. Karena malam ini Kaisar yang memasak makan malam, maka Embunlah yang membereskan meja makan dan mencuci alat makan, serta peralatan bekas memasak tadi. Namun, tetap dibantu oleh Kaisar. Semuanya terasa alami dan “pas” saat dilakukan berdua. Nyaman yang dirasakan Embun juga dialami oleh Kaisar. Sepasang suami istri tersebut mengobrol hingga malam, sebelum kemudian berpisah dan tidur di kamar masing-masing. “Kamu nanti ke hotel?” tanya Kaisar keesokan paginya, saat ia mengantarkan Embun ke Kafe Senjakala. Mendengar itu, Embun menoleh ke arah Kaisar. Tangannya yang hendak memb
“Baiklah. Kita istirahat dulu ya.” Embun berucap pada para stafnya yang terlibat rapat sembari membereskan berkas di mejanya. Wanita bermata cokelat tersebut kemudian mengambil ponselnya dan turun ke lantai satu untuk menyapa tamu tersebut. Di kejauhan, Embun melihat sesosok pria tua yang sangat familier, tapi belakangan jarang ia temui karena kesibukannya. “Embun!” Pria tua itu berdiri, menyambut Embun dengan hangat saat Embun berjalan tergesa mendekatinya. Wajahnya yang mulai keriput tampak semringah melihat sang menantu. “Papa Surya,” sapa Embun. Wanita itu tersenyum. “Bagaimana kabarnya?” “Baik, baik. Wah, menantu Papa.” Surya Rahardja memeluk Embun sekilas sebelum kembali mengamati wajah Embun. “Kamu bagaimana? Sehat? Sedang sibuk ya?” Embun tertawa kecil. “Sehat, Pa,” jawabnya. “Ayo duduk. Papa mau minum apa? Sudah makan?” Wanita itu kemudian memanggil pelayan untuk mendekat dan mencatat pesanan sang ayah mertua. Keduanya duduk di meja di tengah kafe, dekat dinding. Karena
“Perkenalkan, saya ayah Kaisar, mertua Embun.” Rindang tampak terkejut. Mata kakak Embun yang juga berwarna cokelat, seperti adiknya itu, membelalak sejenak, sebelum berusaha mengontrol ekspresi wajahnya. Raut gusar seketika menghilang dari wajah Rindang. “Selamat siang. Aduh, maaf, datang-datang saya langsung mengomel.” Rindang berucap. Badannya sedikit menunduk sembari ia menyalami Surya yang kemungkinan lebih tua dari ayahnya sendiri. “Saya tidak tahu kalau Anda sedang berkunjung. Perkenalkan, saya Rindang. Kakak Embun.” Surya masih saja tersenyum, tampak tidak terganggu dengan kesan pertama saat Rindang masuk tadi. “Siang, Nak Rindang,” balas pria tua itu. “Saya Surya. Maaf saya belum berkesempatan untuk bertemu dengan Nak Rindang sebelumnya.” “Justru saya yang seharusnya minta maaf, Pak Surya.” Rindang menanggapi. Nada suara perempuan itu berubah ramah. “Seharusnya kedua keluarga bertemu sebelum ini. Tapi adik saya ini,” Rindang melirik Embun yang seketika tampak kikuk, “suka
“Bisnis kontrakannya masih lancar?” Pertanyaan tersebut membuat Embun mendongak. Meskipun diucapkan dengan ringan dan seperti basa-basi, Embun tahu dengan pasti bahwa Rindang sedang mengecek mengenai hubungan Embun dengan suaminya tanpa kentara. Kakaknya itu memang sangat pintar dalam hal seperti ini, namun Embun sudah hapal dengan sifat sang kakak. “Iya, dia cukup sibuk,” jawab Embun dengan singkat, sama sekali tidak menyadari keheranan di wajah mertuanya saat Rindang bertanya. Perhatian Embun fokus kepada sang kakak. “Begitu, ya?” Alis Rindang terangkat satu. “Usahanya lumayan ya berarti. Tapi apa dia punya waktu untukmu?” Embun mengangguk. “Kakak jangan khawatir soal itu.” “Kakak lama tidak bertemu dengan Kaisar juga,” ucap Rindang. “Apa tidak bisa dia datang seperti waktu itu? Toh ini sudah hampir waktunya makan siang.” “Sebenarnya, memang tadi kami–” Ucapan Embun terpotong oleh ponselnya yang berdering. Dengan segera, wanita itu mengeluarkan benda tersebut dan melih