Friska bisa merasakan tatapan semua orang terarah padanya seakan-akan dia punya dua kepala. Atau gila. Yang jelas, hal itu membuat tengkuk Friska terasa dingin, meski ia tidak menampilkannya terang-terangan. Gadis itu datang dengan sadar bahwa penampilannya ini akan memunculkan gosip sensasional di kalangan konglomerat yang terbatas ini. Dan memang itulah yang Friska incar. “Lho, Friska. Lama tidak bertemu.” Seorang pria paruh baya menyapanya dengan ramah. Namun, Friska tetap bisa menangkap sorot mata heran di sepasang matanya. “Apa kabar? Om kira kamu tidak datang.” Friska tersenyum kecil. “Baik, Om,” jawabnya singkat. Dari ekor matanya, ia menyadari tatapan tajam sang ayah yang tadi sibuk mengobrol dengan Cahya Subagja, pria paruh baya itu, ketika Friska masuk ke aula. “Memalukan!” Friska hampir bisa mendengar omelan ayahnya hanya dari tatapan mata. “Kamu memang berniat menghancurkan reputasi Ayah ya!?” “Selamat atas pernikahan putrinya, Om.” Friska berucap sembari tersenyum
[Kaisar, apakah kamu akan pulang untuk makan malam?] Wanita itu tetap mengirimkan pesan sederhana secara rutin, entah itu menanyakan apakah Kaisar sudah makan atau apakah mereka akan makan bersama. Beberapa hari sudah lewat sejak Kaisar menjemput istrinya tersebut dari tempat pemesanan properti dan setelah hari itu, hubungan Embun dan Kaisar seperti kembali biasa–tanpa Kaisar yang menghindar di setiap momennya. Embun pun tampak sedikit lebih santai, karena Kaisar turut membantu sedikit persiapan pembukaan cabang kafe Embun–baik secara diam-diam maupun kentara dengan memberikan saran. Kebiasaan mengobrol mereka belakangan ini mulai rutin lagi. “Ya.” Kaisar membalas pesan istrinya tersebut dengan singkat. Tidak lama, ada pesan lain dari Embun yang masuk ke ponselnya. [Kemarin kamu yang masak. Malam ini giliranku, ya? Kamu mau apa?] Tanpa sadar, Kaisar tersenyum kecil karena Embun sudah mengubah cara bicaranya dengan Kaisar. Ia merasa sedikit lebih dekat dengan istri dadakannya t
“Bu Embun? Selamat sore!” Embun melirik layar ponselnya untuk memastikan identitas si penelepon. Namun, ia tidak salah lihat. Tidak tertera nama kontak di sana, meskipun Embun mengenali suara Pak Heru di seberang saluran telepon. “Pak Heru?” tanggap Embun ragu. “Betul, Bu. Maaf saya menghubungi Ibu dengan nomor lain,” ucap si penelepon. “Saya ingin follow up mengenai perkembangan persiapan pembukaan restoran.” Embun mengangguk, meskipun Pak Heru tidak dapat melihatnya. Ia kemudian sedikit menjabarkan mengenai perkembangan persiapan yang dilakukan oleh pihaknya. “Jadi Bapak tidak perlu khawatir.” Embun mengakhiri penjabarannya. Di seberang, Pak Heru terdengar lega. “Baik, Bu. Kalau begitu, saya tunggu Bu Embun sesuai kesepakatan kemarin ya.” “Baik, Pak. Selamat sore.” Baru saja Embun mengakhiri panggilan, ponselnya kembali berdering. Kali ini, nama si penelepon tertera jelas dan hal tersebut membuatnya tersenyum saat mengangkatnya. “Halo, Kaisar?” Embun berucap dengan suarany
“Permisi. Dengan Ibu Embun?” Baik Embun maupun Pak Heru menoleh ke pintu masuk. Berdiri di sana, seorang pria muda dengan seragam ekspedisi pengantaran, menatap Embun dengan pandangan bertanya. Di tangannya, ada papan alas dengan lembaran tanda terima dan satu buket besar bunga. “Bu Embun?” Pria muda itu mengulang. “Ah, ya.” Embun berdiri. “Saya sendiri.” Wanita itu kemudian berjalan menghampiri pria tersebut. “Ada kiriman bunga untuk Ibu Embun.” Pria itu menyodorkan papan alas pada Embun. “Silakan tanda tangan di tempat yang sudah ditandai, Bu. Ada dua jenis bunga yang dikirimkan.” Tampak bingung, Embun melihat surat tanda terima yang kini ada di tangannya. Di sana tertera jenis bunga yang dikirimkan padanya, yakni rangkaian bunga ucapan selamat setinggi satu setengah meter yang rupanya sudah ada di samping pintu masuk, dan satu buket bunga yang langsung diangsurkan pada Embun begitu Embun membubuhkan tanda tangannya. “Terima kasih. Selamat atas cabang barunya, Ibu Embun.” Si
Sedetik. Dua detik. Kaisar melihat tersenyum ke arahnya, membuat pria itu kembali tertegun. Kakinya hendak melangkah untuk menghampiri istrinya tersebut, tapi urung saat asisten pribadinya berkata, “Pak Kaisar, kehadirannya sudah ditunggu di ruang rapat.” “Hm.” Kaisar akhirnya berputar balik dan melangkah menjauh dari Embun. Sekilas, ia melirik wanita tersebut. Di sisi lain, senyum Embun perlahan memudar ketika melihat Kaisar justru berjalan menjauh. “Ada apa, Bu?” Pak Heru bertanya, membuat Embun mengalihkan pandangan ke pria paruh baya tersebut. “Hm?” Embun kembali tersenyum pada manajer hotel tersebut. “Ah, tidak, Pak. Tadi saya melihat Pak Kaisar saja.” “Oooh.” Pak Heru mengangguk-angguk. “Sayang sekali beliau tidak kemari ya, Bu. Saya lihat belakangan Pak Kaisar makin sibuk saja. Mungkin karena itu.” Embun mengangguk. “Tidak apa-apa. Pak Kaisar memang kelihatan sekali sedang sibuk,” tanggapnya dengan senyum. “Iya, Bu.” Pak Heru mengiakan. Ia tidak tahu kalau bosnya itulah
“Masakanmu.” Usai membalas Kaisar, Embun kembali fokus pada pembukaan kafenya. Ia juga mengambil beberapa foto tambahan untuk media sosial Kafe Senjakala, termasuk dengan beberapa karyawan. Mungkin ia akan menugaskan stafnya untuk membuat media sosial lain untuk cabang di hotel ini. Baru ketika itu, Embun teringat sesuatu. “Media sosial Aletta waktu itu,” gumam wanita berambut sebahu tersebut pada dirinya sendiri. Dikeluarkannya ponsel untuk membuka media sosial milik Embun. Masih di sana. Unggahan foto-fotonya juga tidak banyak berubah–lebih berfokus ke Aletta dibandingkan ke kafe milik Embun sendiri. Kali ini, Embun mengirimkan pesan kepada Aletta mengenai akun tersebut. Namun, ia memang tidak berharap langsung mendapatkan jawaban. Kemungkinan, sama sepertinya, Aletta sedang sibuk. Menjadi influencer seperti gadis itu tentu tidak mudah. Karenanya, pikiran Embun kembali teralihkan ke urusan kafe dan promosi, serta pengembangannya. Embun berpikir untuk menanyakan pendapat Kaisar
“Lalu bagaimana dengan kondisi beliau?” Embun bisa merasakan ketegangan sekaligus kekhawatiran dari suara Kaisar. Namun, wanita itu tidak bertanya. Ia hanya diam mendengarkan, tanpa mengalihkan pandangannya dari Kaisar yang tengah duduk di depannya. Sementara itu, Kaisar terlalu fokus pada informasi dari orang di seberang saluran telepon tanpa menyadari perhatian Embun yang terarah padanya. “... Baik. Sampaikan salamku pada beliau.” Kaisar memijit pangkal hidungnya, tiba-tiba tampak lelah. “Ya, carikan alternatif lain … betul, secepatnya.” Dengan kalimat itu, akhirnya Kaisar menutup panggilan. Pria itu meletakkan ponselnya di atas meja dan menghela napas pelan. “... Ada masalah?” Embun bertanya saat Kaisar tidak mengatakan ataupun menjelaskan apa pun padanya selama beberapa saat. Suara wanita yang biasanya lembut itu kini terdengar lebih halus lagi. Tanpa menunggu respons Kaisar, Embun berdiri dan menuangkan segelas air putih, lalu menyodorkannya pada sang suami. “Ya.” Kaisar
“Bisakah aku serahkan permasalahan catering hidangan pesta itu padamu?” Embun terdiam. Ia menyadari bahwa dugaannya tepat. Suaminya ini berniat untuk meminta bantuannya dan mengalihkan tanggung jawab hidangan pesta pada Embun. “Tunggu, tunggu dulu.” Segera, Embun berucap. Ia bahkan sudah lupa sama sekali pada steik di piringnya, yang sudah dipotong-potong dengan rapi oleh Kaisar. Di kepalanya langsung terlintas banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Kaisar.” Kaisar menggeleng. “Menurutku, ini bukan keputusan gegabah, Embun,” jawabnya. Ia menyadari kepanikan serta kebingungan di wajah sang istri, karenanya ia menghela napas dan berkata, “Maaf karena tiba-tiba melemparkan topik berat saat kita seharusnya makan malam. Ayo makan dulu, Embun.” Pria itu mengangkat garpu dan pisaunya sekali lagi, kembali memotong daging di depannya. Sikapnya yang tenang dan terkontrol itu perlahan membuat kepanikan Embun mereda. Istri Kaisar itu menunduk me
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi