Kaki Calderon bergerak gusar, membuat beberapa orang yang ada di sana menatap heran Tuan mereka.
Sejak kejadian malam itu, Calderon tampak tidak tenang seakan baru saja melakukan aksi penghilangan nyawa. Berkali-kali bawahannya memergoki Calderon termenung di taman belakang atau salah menandatangani berkas. Dia tampak kacau usai berita gagal menikah dengan Camelia terdengar ke seluruh penjuru rumah. Mereka pikir, Calderon patah hati karena kekasihnya selingkuh. Ah, tentu saja mereka juga tau mengenai fakta itu.
Padahal, Calderon sama sekali tidak peduli dengan Camelia dan pernikahan yang batal. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan perempuan yang telah mengkhianatinya. Beberapa hari yang lalu, rumah yang Calderon berikan untuk Camelia bahkan sudah dia bakar. Perempuan tidak tahu malu itu mesti diberi pelajaran. Dia harus tau dengan siapa dia berurusan.
Yang menjadi beban pikiran Calderon adalah gadis bermata biru yang dia tiduri pada malam itu. Entah pelet seperti apa yang gadis itu miliki, bayang-bayang gadis itu akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Calderon tidak lagi memperoleh ketenangan. Rasanya tidak ada lagi kenyamanan untuk beraktivitas seperti biasa. Sepertinya Calderon harus bertemu dengan perempuan itu. Dia harus memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja usai kejadian itu. Meski presentasenya hanya sekitar 1 persen. "Tuan, ada yang ingin bertemu dengan anda." Max-orang kepercayaan Calderon memberitahukan. "Siapa?" tanya Calderon merasa tak punya janji temu. "Saya juga tidak tahu, Tuan." Calderon beranjak dari kursi kayu di pinggir kolam. Siapa tamu yang berani datang tanpa membuat janji? Biasanya tamu-tamu asing akan diusir dari lingkungan rumahnya. Tapi kali ini, mumpung suasana hati Calderon sedang baik, dia akan menemui tamunya. Ada seorang wanita dengan kisaran umur 40 tahunan dan seorang gadis kisaran umur dua puluhan duduk di ruang tunggu, di dekat pos penjaga. Calderon menatap kedua manusia itu sejenak dan dia memang tidak kenal dengan mereka. "Ada perlu apa?" tanya Calderon, membuat dua perempuan itu menoleh cepat ke arahnya. Seketika Calderon terpaku. Mata abunya bertemu dengan mata biru milik gadis yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya seakan Calderon baru saja melakukan dosa besar terhadapnya. Perl menunduk, memberikan salam hormat. Almora yang sama terkejutnya dengan Calderon hanya bisa terdiam. Perl tidak memberitahunya bahwa mereka akan datang ke rumah Calderon Mosaka. Wanita itu hanya mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke rumah seseorang yang bisa membantu mereka. Katanya rumah Tuan Anggara, sahabat ayah. Tapi lagi-lagi wanita itu berbohong. Apa jangan-jangan dia berniat mengulangi perbuatannya? Menjual Almora pada Calderon seperti dia menjual Almora pada Tuan Sam? "Maaf karena kedatangan kami menganggu, Tuan," ucap Perl memulai. Calderon menatap wanita itu tidak minat. Matanya justru sering kali mengarah pada Almora yang tak bersuara. Gadis bermata biru safir itu tampak gelisah. "Langsung saja," pinta Calderon tidak ingin berbasa-basi. "Hm... begini Tuan, saya mendapat kabar bahwa tiga hari yang lalu Tuan menjadikan putri saya sebagai teman tidur, Tuan. Jadi, saya ingin menagih bayaran untuk putri saya," ucapnya gugup. Almora menatap ibu tirinya cepat dan tajam. Apa-apaan wanita itu? Dia benar-benar tidak punya otak. "Apaan sih, Perl?" "Maksudnya?" tanya Calderon tidak mengerti. "Tuan harus membayar tubuh putri saya. Tuan menidurinya waktu itu kan?" jelas Perl lebih berani. "Perl!" teriak Almora. "Butuh berapa?" tanya Calderon. "Satu miliar," jawab Perl tidak tanggung-tanggung. Almora menatap Perl tidak menyangka. "Jangan gila, Perl!" Calderon tersenyum miring. "Baiklah. Berikan nomor rekening anda pada asisten saya. Dia yang akan mengurusnya nanti." Wajah Perl langsung cerah. Orang kaya memang tidak akan mempermasalahkan uang. Bagi mereka itu adalah hal yang mudah. Lain dengan Almora yang pucat pasi. Ibu tiri yang gila. Almora menyesal hidup bersama wanita itu. "Tapi ada syaratnya," sambung Calderon kembali menatap Almora. "Apa?" "Berikan gadis itu pada saya," pinta menunjuk Almora. Gadis yang ditunjuk terpaku, dengan mulut sedikit terbuka. Jantungnya langsung berhenti berdetak. Dilihat nadi, detaknya malah menggila. Jadi, Almora dijual lagi? "Apa? Saya gak mau! Jangan libatkan saya, Perl!" tolak Almora cepat. Bukan hanya tentang harga dirinya yang diinjak-injak, tapi juga tentang apa yang terjadi di antara Almora dan Calderon. Tidak ada yang tahu mengenai trauma Almora usai malam itu. Dia bahkan enggan untuk keluar dari rumah. Tidak percaya dengan siapapun. Takut berlama-lama di tengah keramaian dan putus dengan kekasihnya karena takut kejadian buruk itu terulang lagi. Lalu dengan santainya Perl menyerahkan Almora pada Calderon. Yang benar saja? Almora jelas tidak mau. "Almora," bisik Perl menekan nama tersebut. "Gak!" tolak Almora. Dia tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Calderon menampilkan smirk. "Kalau tidak berkenan, saya juga tidak bisa memberikan uang 1 miliar itu." Calderon berbalik, diikuti Max. Dia yakin, wanita itu tidak akan membiarkan uang satu miliar hangus begitu saja. "Tunggu, Tuan! Gadis ini bisa Tuan ambil," sergah Perl menggenggam pergelangan tangan Almora. "Apaan sih, Perl?! Saya gak mau!" Almora berusaha melepaskan cengkraman Perl. Calderon menghela napas, lalu berbalik. "Silahkan bawa gadis itu ke hadapan saya." Almora memberontak kala Perl menyeretnya ke arah tempat Calderon berdiri. Sekuat tenaga dia mencoba lepas hingga akhirnya menggigit tangan Perl agar bisa lepas. "Anak kurang ajar!" teriak Perl memegangi tangannya. Almora meninggalkan tempat itu. Halaman yang luas membuatnya harus berlari secepat mungkin agar bisa lolos dari kejaran anak buah Calderon. "Almora!" Perl bersiap menyusul Almora yang telah jauh dari pandangan mata, tapi Calderon menahannya, meminta Perl untuk tidak kemana-mana. "Biarkan saja," ucap Calderon. "Ta-tapi bagaimana dengan uangnya, Tuan? Kami benar-benar membutuhkannya untuk membayar hutang ayah Almora," jelas Perl menatap Calderon memohon. "Berikan saja nomor rekening anda pada Max," acuh Calderon. "Lalu, Almora?" "Saya tidak membutuhkannya, jadi silahkan bawa pulang," jawab Calderon seraya berbalik memasuki rumah. "Terima kasih, Tuan!" Calderon tidak menjawab. Dia terus melangkah hingga tubuh tegapnya hilang di balik pintu. "Biru safir," gumam Calderon menutup rapat pintu kamarnya, "indah sekali."Gila! Gila! Almora terus memaki hidupnya yang tidak pernah tidak dianugerahi hal gila. Ditinggal mati oleh ayahnya, ibu kandung yang entah ada dimana, keluarga besar yang tutup mata terhadap kehidupan mereka, hampir ditiduri om tua bangka, ditiduri Calderon dan sekarang dia harus lari dari kejaran pria terakhir yang dia temui. Hidup Almora memang selalu sial. Dia tidak pernah mendapatkan hal baik barang satu kali saja. Ah, apa Almora mati saja ya? Menyusul ayah. Kini dia tidak tau berada di mana. Almora tersesat karena berlari terlalu jauh. Tempatnya masih ramai oleh orang yang berlalu lalang tapi Almora merasa asing dengan tempat ini. Apa ini masih di kawasan rumah elit itu atau sudah berada di pusat kota? Almora tidak tau jalan utama karena hidup di pinggiran kota. Orang sepertinya tentu tidak pantas menghuni rumah keren di kota. Apalagi rumah elit seperti milik Calderon. "Sialan! Aku mau pulang... aku mau ketemu ayah," racau si gadis menahan tangis. Langit semakin menggel
Sayangnya, Almora tak punya tenaga.Dia bahkan tak bisa melawan kala Calderon membuka beberapa kancing kemejanya.Entah apa yang pria itu lakukan? "Cantik," pujinya begitu tiba-tiba, "milikku."Calderon mengeluarkan ponselnya yang basah dari saku celana. Lalu mengarahkan kamera belakang itu ke arah Almora dan memotretnya.Untuk apa?! Almora menatap pria itu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. "Gila."Ia pikir Calderon adalah tipe pria yang tidak akan peduli pada perempuan yang telah dia gunakan. Orang kaya tentu tidak punya waktu mengurus gadis seperti dirinya dan Almora bersyukur akan hal itu. Namun ternyata, dia malah sengaja melibatkan dirinya dalam kehidupan Almora. Benar-benar gila!Tiba-tiba saja, tawa Calderon mereda. Dikancingnya kembali kemeja Almora, lalu beranjak bangkit sembari menelpon seseorang. Berangsur meninggalkan pinggir sungai dan Almora yang terbaring tak berdaya dan mulai hilang kesadaran.... "Urus dia, Max."Hanya itu, kalimat yang terdengar di telinga A
Max bisa saja tertawa melihat apa yang Calderon lakukan saat ini. Sudah dua jam lamanya dia memandangi foto terakhir Almora yang berhasil dia ambil ketika perempuan itu hampir kehabisan napas. Foto cantik yang entah kenapa membuat posisi Camelia di hatinya perlahan tergeser. Tidak masuk akal sebenarnya. Posisi orang lama tergeser hanya karena seorang gadis kampungan yang tak sengaja Calderon temui lebih dari tiga kali dan selalu berakhir buruk. Kepala pria itu miring, menatap lebih lamat lagi foto yang ditampilkan di ponselnya. Wajah ketakutan itu, Calderon menyukainya. Calderon ingin melihat lagi wajah ketakutan Almora ketika bertemu dengannya. Mata tajam, dahi berkerut dan desisan seperti kucing kecil yang tak ingin disentuh. Calderon tiba-tiba menyukainya."Ayo, Tuan. Anda sudah ditunggu di ruangan," ucap Max yang datang tanpa mengetuk pintu.Calderon menatap pria itu. "Bisa bantu saya?""Apa, Tuan?" tanya Max berjalan mendekati meja Calderon."Tolong cari perempuan ini dan semua
Calderon harus memikirkan cara lain agar Almora berhenti membencinya. Dia harus bisa mendekati perempuan itu dalam waktu dua minggu menjelang pernikahannya dengan Camelia. Kalau bisa, Calderon berharap Almora hamil atas apa yang mereka lakukan tempo lalu. Rasanya mungkin mustahil karena mereka baru melakukannya satu kali, tapi kenyataan siapa yang tahu. Ya, mana tau Almora betulan hamil dan Calderon bisa menjadikan gadis itu sebagai alasan untuk tidak melangsungkan pernikahannya."Seharusnya dia bersyukur bertemu saya, kan?" tanya Calderon pada Max. Gadis yang meninggalkannya di kedai usang itu kini sedang berdiri di pinggir jalan raya. Duduk di bangku besi berkarat, menatap kendaraan yang berlalu lalang.Max menatap Calderon sekilas. "Seharusnya begitu."Calderon menganggukkan kepalanya. Kali ini dia kembali menghisap sebatang nikotin. Mungkin sebentar lagi akan menjadi candu. Polusi itu keluar dari mulut Calderon, berbaur dengan udara yang tak bisa disebut bersih. "Kalau kamu berada
"Gimana? Bagus gak?" tanya Camelia keluar dari bilik ganti seraya berputar menunjukkan gaun yang dia kenakan. Wajahnya tampak bahagia karena merasa jatuh hati dengan gaun berwarna maron dengan payet yang tampak mewah. Namun sayangnya, si pria hanya menatap dirinya datar. Sejak awal, Calderon tampak tidak memiliki mood bagus."Cal," panggil Camelia karena Calderon tak kunjung memberikan respon. Pria itu hanya diam dengan tatapan dinginnya."Cepat pilih," ucap Calderon datar seraya berjalan meninggalkan Camelia. Dia tidak punya banyak waktu untuk meladeni wanita yang telah mengkhianatinya. Calderon benar-benar sudah tidak ingin peduli pada Camelia.Melihat respon tidak memuaskan dari Calderon, Camelia hanya diam tersenyum kecut. Dia jelas merasa terluka melihat Calderon mengabaikannya. Dia tau ini terjadi karena salahnya, tapi Calderon tidak seharusnya mengacuhkan Camelia seperti itu. Mereka akan segera menikah. Mau bagaimanapun Calderon membencinya, mereka akan tetap bersama dan berada
"Perl, tahu betul seperti apa tipeku." Seorang pria tua yang merupakan teman ibu tirinya, mencoba mencium leher Almora, penuh nafsu.Tak ia pedulikan Almora yang begitu ketakutan."Lepaskan aku!" teriak gadis itu. Sekuat tenaga, Almora berusaha menjauhkan diri.Dia sampai menyilangkan kedua tangannya di depan dada yang bahkan tertutup kain tebal.Sungguh, ia tak menyangka sang ibu tiri tega menjebaknya. Dia diminta datang ke sebuah club malam untuk menemui teman ayah yang katanya bisa membantu melunasi hutang-hutang mereka. Almora tidak menaruh curiga, percaya saja bahwa pria yang dimaksud benar-benar ada dan datang membantu keluarga Almora terbebas dari jeratan hutang. Namun siapa sangka, bayaran atas hutang itu bukanlah uang kertas yang akan diberikan dalam bentuk cek atau disimpan di dalam koper?Melainkan Almora sendiri.Tawa pecah di sekitar Almora menyadarkannya dari lamunan."Ayo, minum dulu, sayang," kata pria tua mesum itu lagi. "Gak!" Almora mendorong gelas berisi win
Almora seketika mengalihkan pandangan. Belum ada dua puluh empat jam, pria itu sudah melupakan aksi bejatnya? Semudah itu baginya melupakan apa yang telah dia lakukan. Perempuan selalu saja dianggap seperti ampas tebu. Habis manis, sepahnya dibuang. Calderon terus menatap Almora tajam. "Kenapa kau—" "Apa semua laki-laki suka lupa dengan keburukan yang telah dia lakukan?" sela Almora cepat. Mata berkaca-kacanya menatap Calderon. "Kenapa kalian suka sekali menjadi bajingan?"Pria itu terdiam. Diamatinya pakaian perempuan yang berceceran di lantai dan juga pakaian miliknya. "Saya pikir kamu Camelia," ucapnya kala menyadari sesuatu. Almora tidak menghiraukannya. Dia menarik selimut itu seraya beranjak dari ranjang. Persetan dengan Calderon yang telanjang, kini Almora hanya ingin keluar dari ruangan ini. Dia mengambil bajunya yang berserakan di lantai, lalu membawanya ke kamar mandi. "Saya harap kita tidak bertemu lagi," tandas Almora kala keluar dari kamar mandi. Kebetulan Calderon