Share

Bab 3

Kaki Calderon bergerak gusar, membuat beberapa orang yang ada di sana menatap heran Tuan mereka.

Sejak kejadian malam itu, Calderon tampak tidak tenang seakan baru saja melakukan aksi penghilangan nyawa. Berkali-kali bawahannya memergoki Calderon termenung di taman belakang atau salah menandatangani berkas. Dia tampak kacau usai berita gagal menikah dengan Camelia terdengar ke seluruh penjuru rumah. Mereka pikir, Calderon patah hati karena kekasihnya selingkuh. Ah, tentu saja mereka juga tau mengenai fakta itu.

Padahal, Calderon sama sekali tidak peduli dengan Camelia dan pernikahan yang batal. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan perempuan yang telah mengkhianatinya. Beberapa hari yang lalu, rumah yang Calderon berikan untuk Camelia bahkan sudah dia bakar. Perempuan tidak tahu malu itu mesti diberi pelajaran. Dia harus tau dengan siapa dia berurusan.

Yang menjadi beban pikiran Calderon adalah gadis bermata biru yang dia tiduri pada malam itu. Entah pelet seperti apa yang gadis itu miliki, bayang-bayang gadis itu akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Calderon tidak lagi memperoleh ketenangan. Rasanya tidak ada lagi kenyamanan untuk beraktivitas seperti biasa. Sepertinya Calderon harus bertemu dengan perempuan itu. Dia harus memastikan bahwa perempuan itu baik-baik saja usai kejadian itu. Meski presentasenya hanya sekitar 1 persen.

"Tuan, ada yang ingin bertemu dengan anda." Max-orang kepercayaan Calderon memberitahukan.

"Siapa?" tanya Calderon merasa tak punya janji temu.

"Saya juga tidak tahu, Tuan."

Calderon beranjak dari kursi kayu di pinggir kolam. Siapa tamu yang berani datang tanpa membuat janji? Biasanya tamu-tamu asing akan diusir dari lingkungan rumahnya. Tapi kali ini, mumpung suasana hati Calderon sedang baik, dia akan menemui tamunya.

Ada seorang wanita dengan kisaran umur 40 tahunan dan seorang gadis kisaran umur dua puluhan duduk di ruang tunggu, di dekat pos penjaga. Calderon menatap kedua manusia itu sejenak dan dia memang tidak kenal dengan mereka.

"Ada perlu apa?" tanya Calderon, membuat dua perempuan itu menoleh cepat ke arahnya.

Seketika Calderon terpaku. Mata abunya bertemu dengan mata biru milik gadis yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya seakan Calderon baru saja melakukan dosa besar terhadapnya.

Perl menunduk, memberikan salam hormat. Almora yang sama terkejutnya dengan Calderon hanya bisa terdiam. Perl tidak memberitahunya bahwa mereka akan datang ke rumah Calderon Mosaka. Wanita itu hanya mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke rumah seseorang yang bisa membantu mereka. Katanya rumah Tuan Anggara, sahabat ayah. Tapi lagi-lagi wanita itu berbohong.

Apa jangan-jangan dia berniat mengulangi perbuatannya? Menjual Almora pada Calderon seperti dia menjual Almora pada Tuan Sam?

"Maaf karena kedatangan kami menganggu, Tuan," ucap Perl memulai.

Calderon menatap wanita itu tidak minat. Matanya justru sering kali mengarah pada Almora yang tak bersuara. Gadis bermata biru safir itu tampak gelisah.

"Langsung saja," pinta Calderon tidak ingin berbasa-basi.

"Hm... begini Tuan, saya mendapat kabar bahwa tiga hari yang lalu Tuan menjadikan putri saya sebagai teman tidur, Tuan. Jadi, saya ingin menagih bayaran untuk putri saya," ucapnya gugup.

Almora menatap ibu tirinya cepat dan tajam. Apa-apaan wanita itu? Dia benar-benar tidak punya otak. "Apaan sih, Perl?"

"Maksudnya?" tanya Calderon tidak mengerti.

"Tuan harus membayar tubuh putri saya. Tuan menidurinya waktu itu kan?" jelas Perl lebih berani.

"Perl!" teriak Almora.

"Butuh berapa?" tanya Calderon.

"Satu miliar," jawab Perl tidak tanggung-tanggung.

Almora menatap Perl tidak menyangka. "Jangan gila, Perl!"

Calderon tersenyum miring. "Baiklah. Berikan nomor rekening anda pada asisten saya. Dia yang akan mengurusnya nanti."

Wajah Perl langsung cerah. Orang kaya memang tidak akan mempermasalahkan uang. Bagi mereka itu adalah hal yang mudah. Lain dengan Almora yang pucat pasi. Ibu tiri yang gila. Almora menyesal hidup bersama wanita itu.

"Tapi ada syaratnya," sambung Calderon kembali menatap Almora.

"Apa?"

"Berikan gadis itu pada saya," pinta menunjuk Almora.

Gadis yang ditunjuk terpaku, dengan mulut sedikit terbuka. Jantungnya langsung berhenti berdetak. Dilihat nadi, detaknya malah menggila. Jadi, Almora dijual lagi?

"Apa? Saya gak mau! Jangan libatkan saya, Perl!" tolak Almora cepat.

Bukan hanya tentang harga dirinya yang diinjak-injak, tapi juga tentang apa yang terjadi di antara Almora dan Calderon. Tidak ada yang tahu mengenai trauma Almora usai malam itu. Dia bahkan enggan untuk keluar dari rumah. Tidak percaya dengan siapapun. Takut berlama-lama di tengah keramaian dan putus dengan kekasihnya karena takut kejadian buruk itu terulang lagi. Lalu dengan santainya Perl menyerahkan Almora pada Calderon. Yang benar saja? Almora jelas tidak mau.

"Almora," bisik Perl menekan nama tersebut.

"Gak!" tolak Almora. Dia tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang telah merenggut kesuciannya.

Calderon menampilkan smirk. "Kalau tidak berkenan, saya juga tidak bisa memberikan uang 1 miliar itu."

Calderon berbalik, diikuti Max. Dia yakin, wanita itu tidak akan membiarkan uang satu miliar hangus begitu saja.

"Tunggu, Tuan! Gadis ini bisa Tuan ambil," sergah Perl menggenggam pergelangan tangan Almora.

"Apaan sih, Perl?! Saya gak mau!" Almora berusaha melepaskan cengkraman Perl.

Calderon menghela napas, lalu berbalik. "Silahkan bawa gadis itu ke hadapan saya."

Almora memberontak kala Perl menyeretnya ke arah tempat Calderon berdiri. Sekuat tenaga dia mencoba lepas hingga akhirnya menggigit tangan Perl agar bisa lepas.

"Anak kurang ajar!" teriak Perl memegangi tangannya.

Almora meninggalkan tempat itu. Halaman yang luas membuatnya harus berlari secepat mungkin agar bisa lolos dari kejaran anak buah Calderon.

"Almora!" Perl bersiap menyusul Almora yang telah jauh dari pandangan mata, tapi Calderon menahannya, meminta Perl untuk tidak kemana-mana.

"Biarkan saja," ucap Calderon.

"Ta-tapi bagaimana dengan uangnya, Tuan? Kami benar-benar membutuhkannya untuk membayar hutang ayah Almora," jelas Perl menatap Calderon memohon.

"Berikan saja nomor rekening anda pada Max," acuh Calderon.

"Lalu, Almora?"

"Saya tidak membutuhkannya, jadi silahkan bawa pulang," jawab Calderon seraya berbalik memasuki rumah.

"Terima kasih, Tuan!"

Calderon tidak menjawab. Dia terus melangkah hingga tubuh tegapnya hilang di balik pintu.

"Biru safir," gumam Calderon menutup rapat pintu kamarnya, "indah sekali."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status