Gila!
Gila! Almora terus memaki hidupnya yang tidak pernah tidak dianugerahi hal gila. Ditinggal mati oleh ayahnya, ibu kandung yang entah ada dimana, keluarga besar yang tutup mata terhadap kehidupan mereka, hampir ditiduri om tua bangka, ditiduri Calderon dan sekarang dia harus lari dari kejaran pria terakhir yang dia temui. Hidup Almora memang selalu sial. Dia tidak pernah mendapatkan hal baik barang satu kali saja. Ah, apa Almora mati saja ya? Menyusul ayah. Kini dia tidak tau berada di mana. Almora tersesat karena berlari terlalu jauh. Tempatnya masih ramai oleh orang yang berlalu lalang tapi Almora merasa asing dengan tempat ini. Apa ini masih di kawasan rumah elit itu atau sudah berada di pusat kota? Almora tidak tau jalan utama karena hidup di pinggiran kota. Orang sepertinya tentu tidak pantas menghuni rumah keren di kota. Apalagi rumah elit seperti milik Calderon. "Sialan! Aku mau pulang... aku mau ketemu ayah," racau si gadis menahan tangis. Langit semakin menggelap. Jingga di ufuk Barat telah hilang. Burung-burung telah kembali terbang menuju sangkar mereka. Almora menatap jalanan yang dia lalui. Bagaimana sekarang? Dia tersesat dan tak tau jalan pulang. Malam telah datang dan Almora tidak punya tempat untuk beristirahat. Alhasil, dia memutuskan berhenti di sebuah ruko tak terpakai. Duduk di sana beralaskan kardus, menatap mobil-mobil mewah yang terburu-buru pulang. "Aku mau pulang..." Tanpa sadar air matanya jatuh. Dia dan Perl pergi ke rumah Calderon sekitar pukul tiga sore dan sekarang mungkin saja sudah pukul tujuh malam. Almora berjalan tak tentu arah selama lima jam. Kakinya sakit, perutnya lapar. Belum lagi bagian bawah perutnya juga sakit. Almora begitu tersiksa. "Aku mau pulang..." isaknya. Tiba-tiba seseorang menyodorkan sapu tangan pada Almora. Mata gadis itu kontan tertuju pada seorang pria yang berdiri di hadapannya. Teras ruko yang gelap membuat Almora tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas sebab posisi pria itu memunggungi lampu jalan. Ragu-ragu Almora meraih sapu tangan itu. Tidak hanya sapu tangan ternyata. Ada coklat dan roti di dalam gulungan kain kecil itu. Ah, sekarang Almora dikira pengemis. Menyedihkan sekali. "Ma-makasih, Om," ucap Almora masih tidak bisa melihat wajah pria itu. Tidak ada sahutan. Pria itu hanya diam menatap Almora yang tak juga berkutik. Merasa was-was, takut kejadian beberapa hari yang lalu terulang lagi, Almora memutuskan untuk beranjak bangkit. Pria itu masih berdiri di sana saat Almora mulai berjalan ke arah jembatan besar di bagian Barat. Dirasa sudah aman, pria yang ternyata adalah Max mengeluarkan ponselnya. Dia menekan beberapa angka, lalu membawa benda pipih itu ke telinganya. "Saya menemukannya, Tuan. Dia berjalan ke arah jembatan." *** Calderon memang tidak peduli pada gadis itu. Tidak ada gunanya juga. Berurusan dengan gadis kampungan seperti Almora hanya akan membuat roda kehidupannya terganggu. Ada banyak hal yang lebih penting dari gadis bermata biru itu. Namun entah kenapa, disaat gadis itu berlari meninggalkan rumahnya, Calderon merasa tak tenang. Dia merasa ada yang perlu diperbaiki. Maka dari itu, Calderon meminta Max mencari Almora. Calderon tegaskan sekali lagi bahwa ini bukan tentang kepedulian, ini hanya tentang—ah, Calderon sendiri juga tidak mengerti. Asap rokok membaur bersama udara malam. Calderon sebetulnya tidak suka rokok. Tapi kali ini dia butuh pengalihan agar pikirannya tenang. Dia sampai lebih dulu di jembatan usai Max memberi kabar bahwa gadis itu berjalan ke arah jembatan. Dari kejauhan, terdengar suara langkah mendekat. Calderon melirik sekilas, gadis itu datang. Berdiri tak jauh darinya, melipat kedua tangan di atas pagar. Asap rokok kembali mengudara. Belum habis setengah, Calderon sudah membuang rokok itu ke sungai. "Aku mau pulang," suara Almora terdengar. "Aku mau mati..." Calderon menatap gadis itu. Memperhatikan gerak-gerik si gadis yang mengangkat kaki, melangkahi pagar jembatan. Calderon menarik sudut bibirnya. Apa gadis itu mau bunuh diri? Menarik sekali. "Kamu akan membuat jembatan ini jadi angker," ucap Calderon seraya berjalan mendekati Almora yang telah berada di balik pagar jembatan. Kehadiran Calderon membuat Almora terkejut. Dia tidak tahu bahwa ada orang lain di sini dan orang itu adalah Calderon. "Ka-kamu." Calderon tersenyum sembari melompat dengan santai ke balik jembatan. Kemudian duduk di atas pagar, menatap sungai yang tenang. "Jembatan ini milik saya. Tidak ada yang boleh mati di sini,", datarnya melirik Almora. "Kalau mau mati, di tempat lain saja. Di tempat yang bukan milik saya. Tapi sayang sekali, seluruh kota ini dibangun menggunakan uang saya." Almora mengeratkan pegangannya pada pagar jembatan. "Tuan tidak perlu ikut campur! Pergi saja sana!" Sudut bibir Calderon terangkat. Wah, gadis ini benar-benar tidak tau siapa dirinya. Bisa-bisanya dia mengusir Calderon. "Wanita itu telah membawa uang saya begitu banyak dan katanya kamu adalah tebusannya." Almora menggeleng. "Gak! Saya gak mau!" "Saya tidak menerima penolakan." Calderon menyeringai, membuat Almora semakin ketakutan. "Gak! Saya gak mau!" teriak Almora. "Kamu tidak akan bisa lari." "Saya akan melompat," ucap Almora. Calderon tertawa. "Lakukan saja." Almora terdiam. Dia menatap air dingin yang mengalir di bawah jembatan. Tampak tenang dan seram. Almora menelan ludah, berpikir lagi mengenai rencananya untuk mati. Apakah ini benar-benar jalan terakhir? Apakah dia benar-benar tidak bisa hidup dengan baik? "Ayo lompat. Mau saya bantu?" Belum sempat Almora menjawab, Calderon sudah mendorong tubuhnya jatuh ke dalam air. Gadis itu tenggelam dengan cepat. Dia berusaha tetap mengambang di permukaan. Tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Calderon tertawa. Katanya mau mati, tapi kok tetap panik? "Ais, amis darah ini menusuk hidung ku," gumam Calderon mencium aroma darah di kemejanya. Selain pengusaha andal, dia juga bisa menghilangkan nyawa seseorang dengan mudah. Seperti yang baru saja dia lakukan. "Biru safir," gumamnya menatap Almora yang masih melakukan usaha penyelamatan. "Mari aku bantu." Lalu dengan begitu saja, Calderon turut melompat, jatuh dengan perasaan senang.Melihat itu, Almora merasa Calderon memiliki kelainan.
Ada yang rusak dalam tubuh pria itu. Usai menyusul Almora ke dalam air, Calderon membantu gadis yang hampir kehabisan napas itu menepi.
Dia cukup ahli berenang. Di sungai dengan kedalaman yang lumayan itu Calderon mampu menyeimbangkan tubuh seraya menyeret Almora yang sudah lemas ke pinggir sungai.
Gadis itu setengah sadar. Dia hendak bersuara tapi tak bisa karena napasnya masih tak beraturan.
Hanya saja, ia meremang kala mendengar ucapan Calderon yang tak ia sangka-sangka. "Sudah saya katakan, kamu tidak akan bisa lari dari saya."
Deg! Apa maksudnya?
Sayangnya, Almora tak punya tenaga.Dia bahkan tak bisa melawan kala Calderon membuka beberapa kancing kemejanya.Entah apa yang pria itu lakukan? "Cantik," pujinya begitu tiba-tiba, "milikku."Calderon mengeluarkan ponselnya yang basah dari saku celana. Lalu mengarahkan kamera belakang itu ke arah Almora dan memotretnya.Untuk apa?! Almora menatap pria itu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. "Gila."Ia pikir Calderon adalah tipe pria yang tidak akan peduli pada perempuan yang telah dia gunakan. Orang kaya tentu tidak punya waktu mengurus gadis seperti dirinya dan Almora bersyukur akan hal itu. Namun ternyata, dia malah sengaja melibatkan dirinya dalam kehidupan Almora. Benar-benar gila!Tiba-tiba saja, tawa Calderon mereda. Dikancingnya kembali kemeja Almora, lalu beranjak bangkit sembari menelpon seseorang. Berangsur meninggalkan pinggir sungai dan Almora yang terbaring tak berdaya dan mulai hilang kesadaran.... "Urus dia, Max."Hanya itu, kalimat yang terdengar di telinga A
Max bisa saja tertawa melihat apa yang Calderon lakukan saat ini. Sudah dua jam lamanya dia memandangi foto terakhir Almora yang berhasil dia ambil ketika perempuan itu hampir kehabisan napas. Foto cantik yang entah kenapa membuat posisi Camelia di hatinya perlahan tergeser. Tidak masuk akal sebenarnya. Posisi orang lama tergeser hanya karena seorang gadis kampungan yang tak sengaja Calderon temui lebih dari tiga kali dan selalu berakhir buruk. Kepala pria itu miring, menatap lebih lamat lagi foto yang ditampilkan di ponselnya. Wajah ketakutan itu, Calderon menyukainya. Calderon ingin melihat lagi wajah ketakutan Almora ketika bertemu dengannya. Mata tajam, dahi berkerut dan desisan seperti kucing kecil yang tak ingin disentuh. Calderon tiba-tiba menyukainya."Ayo, Tuan. Anda sudah ditunggu di ruangan," ucap Max yang datang tanpa mengetuk pintu.Calderon menatap pria itu. "Bisa bantu saya?""Apa, Tuan?" tanya Max berjalan mendekati meja Calderon."Tolong cari perempuan ini dan semua
Calderon harus memikirkan cara lain agar Almora berhenti membencinya. Dia harus bisa mendekati perempuan itu dalam waktu dua minggu menjelang pernikahannya dengan Camelia. Kalau bisa, Calderon berharap Almora hamil atas apa yang mereka lakukan tempo lalu. Rasanya mungkin mustahil karena mereka baru melakukannya satu kali, tapi kenyataan siapa yang tahu. Ya, mana tau Almora betulan hamil dan Calderon bisa menjadikan gadis itu sebagai alasan untuk tidak melangsungkan pernikahannya."Seharusnya dia bersyukur bertemu saya, kan?" tanya Calderon pada Max. Gadis yang meninggalkannya di kedai usang itu kini sedang berdiri di pinggir jalan raya. Duduk di bangku besi berkarat, menatap kendaraan yang berlalu lalang.Max menatap Calderon sekilas. "Seharusnya begitu."Calderon menganggukkan kepalanya. Kali ini dia kembali menghisap sebatang nikotin. Mungkin sebentar lagi akan menjadi candu. Polusi itu keluar dari mulut Calderon, berbaur dengan udara yang tak bisa disebut bersih. "Kalau kamu berada
"Gimana? Bagus gak?" tanya Camelia keluar dari bilik ganti seraya berputar menunjukkan gaun yang dia kenakan. Wajahnya tampak bahagia karena merasa jatuh hati dengan gaun berwarna maron dengan payet yang tampak mewah. Namun sayangnya, si pria hanya menatap dirinya datar. Sejak awal, Calderon tampak tidak memiliki mood bagus."Cal," panggil Camelia karena Calderon tak kunjung memberikan respon. Pria itu hanya diam dengan tatapan dinginnya."Cepat pilih," ucap Calderon datar seraya berjalan meninggalkan Camelia. Dia tidak punya banyak waktu untuk meladeni wanita yang telah mengkhianatinya. Calderon benar-benar sudah tidak ingin peduli pada Camelia.Melihat respon tidak memuaskan dari Calderon, Camelia hanya diam tersenyum kecut. Dia jelas merasa terluka melihat Calderon mengabaikannya. Dia tau ini terjadi karena salahnya, tapi Calderon tidak seharusnya mengacuhkan Camelia seperti itu. Mereka akan segera menikah. Mau bagaimanapun Calderon membencinya, mereka akan tetap bersama dan berada
"Perl, tahu betul seperti apa tipeku." Seorang pria tua yang merupakan teman ibu tirinya, mencoba mencium leher Almora, penuh nafsu.Tak ia pedulikan Almora yang begitu ketakutan."Lepaskan aku!" teriak gadis itu. Sekuat tenaga, Almora berusaha menjauhkan diri.Dia sampai menyilangkan kedua tangannya di depan dada yang bahkan tertutup kain tebal.Sungguh, ia tak menyangka sang ibu tiri tega menjebaknya. Dia diminta datang ke sebuah club malam untuk menemui teman ayah yang katanya bisa membantu melunasi hutang-hutang mereka. Almora tidak menaruh curiga, percaya saja bahwa pria yang dimaksud benar-benar ada dan datang membantu keluarga Almora terbebas dari jeratan hutang. Namun siapa sangka, bayaran atas hutang itu bukanlah uang kertas yang akan diberikan dalam bentuk cek atau disimpan di dalam koper?Melainkan Almora sendiri.Tawa pecah di sekitar Almora menyadarkannya dari lamunan."Ayo, minum dulu, sayang," kata pria tua mesum itu lagi. "Gak!" Almora mendorong gelas berisi win
Almora seketika mengalihkan pandangan. Belum ada dua puluh empat jam, pria itu sudah melupakan aksi bejatnya? Semudah itu baginya melupakan apa yang telah dia lakukan. Perempuan selalu saja dianggap seperti ampas tebu. Habis manis, sepahnya dibuang. Calderon terus menatap Almora tajam. "Kenapa kau—" "Apa semua laki-laki suka lupa dengan keburukan yang telah dia lakukan?" sela Almora cepat. Mata berkaca-kacanya menatap Calderon. "Kenapa kalian suka sekali menjadi bajingan?"Pria itu terdiam. Diamatinya pakaian perempuan yang berceceran di lantai dan juga pakaian miliknya. "Saya pikir kamu Camelia," ucapnya kala menyadari sesuatu. Almora tidak menghiraukannya. Dia menarik selimut itu seraya beranjak dari ranjang. Persetan dengan Calderon yang telanjang, kini Almora hanya ingin keluar dari ruangan ini. Dia mengambil bajunya yang berserakan di lantai, lalu membawanya ke kamar mandi. "Saya harap kita tidak bertemu lagi," tandas Almora kala keluar dari kamar mandi. Kebetulan Calderon
Kaki Calderon bergerak gusar, membuat beberapa orang yang ada di sana menatap heran Tuan mereka.Sejak kejadian malam itu, Calderon tampak tidak tenang seakan baru saja melakukan aksi penghilangan nyawa. Berkali-kali bawahannya memergoki Calderon termenung di taman belakang atau salah menandatangani berkas. Dia tampak kacau usai berita gagal menikah dengan Camelia terdengar ke seluruh penjuru rumah. Mereka pikir, Calderon patah hati karena kekasihnya selingkuh. Ah, tentu saja mereka juga tau mengenai fakta itu. Padahal, Calderon sama sekali tidak peduli dengan Camelia dan pernikahan yang batal. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan perempuan yang telah mengkhianatinya. Beberapa hari yang lalu, rumah yang Calderon berikan untuk Camelia bahkan sudah dia bakar. Perempuan tidak tahu malu itu mesti diberi pelajaran. Dia harus tau dengan siapa dia berurusan. Yang menjadi beban pikiran Calderon adalah gadis bermata biru yang dia tiduri pada malam itu. Entah pelet seperti apa yang gadis it