Share

Bab 4

Gila!

Gila!

Almora terus memaki hidupnya yang tidak pernah tidak dianugerahi hal gila. Ditinggal mati oleh ayahnya, ibu kandung yang entah ada dimana, keluarga besar yang tutup mata terhadap kehidupan mereka, hampir ditiduri om tua bangka, ditiduri Calderon dan sekarang dia harus lari dari kejaran pria terakhir yang dia temui. Hidup Almora memang selalu sial. Dia tidak pernah mendapatkan hal baik barang satu kali saja. Ah, apa Almora mati saja ya? Menyusul ayah.

Kini dia tidak tau berada di mana. Almora tersesat karena berlari terlalu jauh. Tempatnya masih ramai oleh orang yang berlalu lalang tapi Almora merasa asing dengan tempat ini. Apa ini masih di kawasan rumah elit itu atau sudah berada di pusat kota? Almora tidak tau jalan utama karena hidup di pinggiran kota. Orang sepertinya tentu tidak pantas menghuni rumah keren di kota. Apalagi rumah elit seperti milik Calderon.

"Sialan! Aku mau pulang... aku mau ketemu ayah," racau si gadis menahan tangis.

Langit semakin menggelap. Jingga di ufuk Barat telah hilang. Burung-burung telah kembali terbang menuju sangkar mereka. Almora menatap jalanan yang dia lalui. Bagaimana sekarang? Dia tersesat dan tak tau jalan pulang. Malam telah datang dan Almora tidak punya tempat untuk beristirahat. Alhasil, dia memutuskan berhenti di sebuah ruko tak terpakai. Duduk di sana beralaskan kardus, menatap mobil-mobil mewah yang terburu-buru pulang.

"Aku mau pulang..."

Tanpa sadar air matanya jatuh. Dia dan Perl pergi ke rumah Calderon sekitar pukul tiga sore dan sekarang mungkin saja sudah pukul tujuh malam. Almora berjalan tak tentu arah selama lima jam. Kakinya sakit, perutnya lapar. Belum lagi bagian bawah perutnya juga sakit. Almora begitu tersiksa.

"Aku mau pulang..." isaknya.

Tiba-tiba seseorang menyodorkan sapu tangan pada Almora. Mata gadis itu kontan tertuju pada seorang pria yang berdiri di hadapannya. Teras ruko yang gelap membuat Almora tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas sebab posisi pria itu memunggungi lampu jalan.

Ragu-ragu Almora meraih sapu tangan itu. Tidak hanya sapu tangan ternyata. Ada coklat dan roti di dalam gulungan kain kecil itu. Ah, sekarang Almora dikira pengemis. Menyedihkan sekali.

"Ma-makasih, Om," ucap Almora masih tidak bisa melihat wajah pria itu.

Tidak ada sahutan. Pria itu hanya diam menatap Almora yang tak juga berkutik. Merasa was-was, takut kejadian beberapa hari yang lalu terulang lagi, Almora memutuskan untuk beranjak bangkit. Pria itu masih berdiri di sana saat Almora mulai berjalan ke arah jembatan besar di bagian Barat.

Dirasa sudah aman, pria yang ternyata adalah Max mengeluarkan ponselnya. Dia menekan beberapa angka, lalu membawa benda pipih itu ke telinganya.

"Saya menemukannya, Tuan. Dia berjalan ke arah jembatan."

***

Calderon memang tidak peduli pada gadis itu. Tidak ada gunanya juga. Berurusan dengan gadis kampungan seperti Almora hanya akan membuat roda kehidupannya terganggu. Ada banyak hal yang lebih penting dari gadis bermata biru itu. Namun entah kenapa, disaat gadis itu berlari meninggalkan rumahnya, Calderon merasa tak tenang. Dia merasa ada yang perlu diperbaiki. Maka dari itu, Calderon meminta Max mencari Almora. Calderon tegaskan sekali lagi bahwa ini bukan tentang kepedulian, ini hanya tentang—ah, Calderon sendiri juga tidak mengerti.

Asap rokok membaur bersama udara malam. Calderon sebetulnya tidak suka rokok. Tapi kali ini dia butuh pengalihan agar pikirannya tenang. Dia sampai lebih dulu di jembatan usai Max memberi kabar bahwa gadis itu berjalan ke arah jembatan.

Dari kejauhan, terdengar suara langkah mendekat. Calderon melirik sekilas, gadis itu datang. Berdiri tak jauh darinya, melipat kedua tangan di atas pagar. Asap rokok kembali mengudara. Belum habis setengah, Calderon sudah membuang rokok itu ke sungai.

"Aku mau pulang," suara Almora terdengar.

"Aku mau mati..."

Calderon menatap gadis itu. Memperhatikan gerak-gerik si gadis yang mengangkat kaki, melangkahi pagar jembatan. Calderon menarik sudut bibirnya. Apa gadis itu mau bunuh diri? Menarik sekali.

"Kamu akan membuat jembatan ini jadi angker," ucap Calderon seraya berjalan mendekati Almora yang telah berada di balik pagar jembatan.

Kehadiran Calderon membuat Almora terkejut. Dia tidak tahu bahwa ada orang lain di sini dan orang itu adalah Calderon.

"Ka-kamu."

Calderon tersenyum sembari melompat dengan santai ke balik jembatan. Kemudian duduk di atas pagar, menatap sungai yang tenang.

"Jembatan ini milik saya. Tidak ada yang boleh mati di sini,", datarnya melirik Almora. "Kalau mau mati, di tempat lain saja. Di tempat yang bukan milik saya. Tapi sayang sekali, seluruh kota ini dibangun menggunakan uang saya."

Almora mengeratkan pegangannya pada pagar jembatan. "Tuan tidak perlu ikut campur! Pergi saja sana!"

Sudut bibir Calderon terangkat. Wah, gadis ini benar-benar tidak tau siapa dirinya. Bisa-bisanya dia mengusir Calderon. "Wanita itu telah membawa uang saya begitu banyak dan katanya kamu adalah tebusannya."

Almora menggeleng. "Gak! Saya gak mau!"

"Saya tidak menerima penolakan." Calderon menyeringai, membuat Almora semakin ketakutan.

"Gak! Saya gak mau!" teriak Almora.

"Kamu tidak akan bisa lari."

"Saya akan melompat," ucap Almora.

Calderon tertawa. "Lakukan saja."

Almora terdiam. Dia menatap air dingin yang mengalir di bawah jembatan. Tampak tenang dan seram. Almora menelan ludah, berpikir lagi mengenai rencananya untuk mati. Apakah ini benar-benar jalan terakhir? Apakah dia benar-benar tidak bisa hidup dengan baik?

"Ayo lompat. Mau saya bantu?"

Belum sempat Almora menjawab, Calderon sudah mendorong tubuhnya jatuh ke dalam air. Gadis itu tenggelam dengan cepat. Dia berusaha tetap mengambang di permukaan. Tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Calderon tertawa. Katanya mau mati, tapi kok tetap panik?

"Ais, amis darah ini menusuk hidung ku," gumam Calderon mencium aroma darah di kemejanya.

Selain pengusaha andal, dia juga bisa menghilangkan nyawa seseorang dengan mudah. Seperti yang baru saja dia lakukan.

"Biru safir," gumamnya menatap Almora yang masih melakukan usaha penyelamatan. "Mari aku bantu."

Lalu dengan begitu saja, Calderon turut melompat, jatuh dengan perasaan senang.

Melihat itu, Almora merasa Calderon memiliki kelainan.

Ada yang rusak dalam tubuh pria itu. Usai menyusul Almora ke dalam air, Calderon membantu gadis yang hampir kehabisan napas itu menepi.

Dia cukup ahli berenang. Di sungai dengan kedalaman yang lumayan itu Calderon mampu menyeimbangkan tubuh seraya menyeret Almora yang sudah lemas ke pinggir sungai.

Gadis itu setengah sadar. Dia hendak bersuara tapi tak bisa karena napasnya masih tak beraturan.

Hanya saja, ia meremang kala mendengar ucapan Calderon yang tak ia sangka-sangka. "Sudah saya katakan, kamu tidak akan bisa lari dari saya." 

Deg!

Apa maksudnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status