"Perl, tahu betul seperti apa tipeku."
Seorang pria tua yang merupakan teman ibu tirinya, mencoba mencium leher Almora, penuh nafsu.
Tak ia pedulikan Almora yang begitu ketakutan.
"Lepaskan aku!" teriak gadis itu.
Sekuat tenaga, Almora berusaha menjauhkan diri.
Dia sampai menyilangkan kedua tangannya di depan dada yang bahkan tertutup kain tebal.
Sungguh, ia tak menyangka sang ibu tiri tega menjebaknya.
Dia diminta datang ke sebuah club malam untuk menemui teman ayah yang katanya bisa membantu melunasi hutang-hutang mereka.
Almora tidak menaruh curiga, percaya saja bahwa pria yang dimaksud benar-benar ada dan datang membantu keluarga Almora terbebas dari jeratan hutang.
Namun siapa sangka, bayaran atas hutang itu bukanlah uang kertas yang akan diberikan dalam bentuk cek atau disimpan di dalam koper?
Melainkan Almora sendiri.
Tawa pecah di sekitar Almora menyadarkannya dari lamunan.
"Ayo, minum dulu, sayang," kata pria tua mesum itu lagi.
"Gak!" Almora mendorong gelas berisi wine yang disodorkan ke mulutnya. Sayangnya, Almora kalah.Ia direcoki minuman keras oleh beberapa orang tak dikenal. Semuanya laki-laki.
Dirasa Almora sudah kehilangan kesadaran, mereka membawa Almora ke dalam sebuah kamar.
Menjatuhkan tubuhnya di sana dan meninggalkan pria tua yang Almora kenali sebagai teman ibu tirinya--berdua saja.
Dia tidak bisa melakukan apa-apa sekarang.
Sebentar lagi Almora akan kehilangan kesadaran. Kehilangan hidupnya.
Drrt!
Suara ponsel berbunyi menghentikan aksi pria mesum tadi.
"Keparat! Siapa lagi yang mengganggu?" decaknya.
Terpaksa, ia menyingkir sebentar dari tubuh tak berdaya Almora.
Entah apa yang terjadi, Almora tak tahu.
Yang jelas, pria itu meninggalkan kamar.
Lantas, di sisa-sisa kesadarannya, Almora mencoba bangkit.
Meski kepalanya pusing dan tubuhnya tak bertenaga, ia meraih bajunya yang tercecer di lantai.
Namun sayang, Almora justru terjatuh di tepi ranjang.
Menatap nanar langit-langit kamar, Almora hanya bisa berdoa agar dirinya selamat dari pria jahat itu.
Tanpa terasa air matanya jatuh. Andai saja ayah masih ada, Almora tak akan bernasib seperti ini.Sang ayah tak pernah menimbun banyak hutang. Tapi di setiap cerita nama ayah selalu buruk karena ibu tirinya menumpuk hutang dan mengatakan itu hutang peninggalan ayah.
Padahal, ibu tirinya itu yang gila harta dan judi.
Kriet!
Pintu kembali terbuka.
Pria itu mencoba menggapai tubuh ringkih Almora.
"Tolong... jangan sentuh aku..." lirihnya. Tapi lagi-lagi, Almora tak didengar, sampai ... seorang pria mabuk mendobrak pintu kamar secara tiba-tiba!
Raut wajahnya sungguh kacau saat berteriak, "Menjauh dari kekasih saya! Dia milik saya!"
Bugh!
Lalu tanpa memberi aba-aba, dia memukul kepala pria tua itu menggunakan botol wine di tangannya.
"Rasakan kau!"
"Akhh..." erang sahabat ibu tiri Almora kesakitan. Pria tua itu sontak melepaskan Almora, lalu turun dari ranjang. "Apa-apaan ini? Siapa kamu?!""Siapa saya?" Pria tak dikenal itu terkekeh. "Saya Calderon Mosaka."
Deg!
Seperti mendengar isu tsunami, bulu kuduk pria itu langsung merinding.Calderon Mosaka? Ia tahu siapa pria yang berdiri di hadapannya, pebisnis yang paling disegani di seluruh negeri.
Apakah dia telah salah mencari mangsa? Tapi bagaimana bisa Almora yang setahunya miskin, bisa mengenal pria berkuasa ini?
"Minggir! Dia kekasih saya. Jangan coba-coba menyentuhnya!" Belum sempat menyelesaikan keraguan hati, Calderon yang masih dalam pengaruh alkohol, kembali menghardiknya. Pria tua itu tidak butuh pikir panjang untuk memakai kembali kemejanya dan melangkah meninggalkan kamar.Meski kesal, dia sadar bahwa tidak bisa melawan Calderon.
Dia bukan orang sembarangan. Bahkan, pria muda itu bisa membunuh siapa saja yang menurutnya mengganggu hidupnya.
Di sisi lain, Almora terperangah dengan apa yang terjadi di hadapannya.
"Terima kasih, Tuan! Terima kasih!" ucap Almora penuh rasa syukur.Ia tak menyangka akan diselamatkan pria asing bernama Calderon ini.
Entah apa yang harus Almora lakukan untuk membalas budinya.
Namun, itu tak bertahan lama.
Calderon terkekeh dan sudut bibirnya terangkat.Netra abunya juga menatap Almora penuh gairah, hingga membuat Almora merinding.
"Tidak perlu minta maaf. Itu sudah tugasku sebagai kekasihmu, Camelia," ujarnya seiring dengan langkah yang mendekati Almora, "Ayo, kita juga harus tidur bersama. Tak mungkin hanya dia yang tau bagaimana caramu bermain kan?"
Tunggu... Camilla?
Jangan bilang, pria ini salah mengenali orang?
"Tu-tuan." Almora waspada, " Saya bukan Camelia." Namun sayang sekali, Calderon tidak mengindahkan ucapan perempuan itu. Tidak ada perempuan lain di mata Calderon selain Camelia. "I love you," bisik Calderon mulai mencumbu Almora dan mencari kenikmatan dari tubuhnya.Air mata kembali mengalir di pipi Almora.
Sebenarnya, apa salahnya, hingga harus berakhir seperti ini?
Almora pikir kehadiran pria bernama Calderon Mosaka itu akan mengakhiri penderitaannya.
Namun ternyata, pria itulah yang membuat Almora menderita.
Pria bermata abu itu menyentuhnya, merusak tubuhnya. Sekarang tidak ada yang tersisa bagi Almora selain tubuh yang kotor.
Dia benci dengan hidupnya. Tidak ada lagi artinya dia hidup setelah ini.
Entah berapa lama permainan itu berlangsung. Almora tak tahu. Yang jelas ia pingsan dan baru terbangun keesokan harinya kala suara berat pria itu terdengar jelas dari samping tubuh mereka yang tak ditutupi satu benang pun.
"Siapa kamu?" Netra abu itu menatapnya tajam. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"
Almora seketika mengalihkan pandangan. Belum ada dua puluh empat jam, pria itu sudah melupakan aksi bejatnya? Semudah itu baginya melupakan apa yang telah dia lakukan. Perempuan selalu saja dianggap seperti ampas tebu. Habis manis, sepahnya dibuang. Calderon terus menatap Almora tajam. "Kenapa kau—" "Apa semua laki-laki suka lupa dengan keburukan yang telah dia lakukan?" sela Almora cepat. Mata berkaca-kacanya menatap Calderon. "Kenapa kalian suka sekali menjadi bajingan?"Pria itu terdiam. Diamatinya pakaian perempuan yang berceceran di lantai dan juga pakaian miliknya. "Saya pikir kamu Camelia," ucapnya kala menyadari sesuatu. Almora tidak menghiraukannya. Dia menarik selimut itu seraya beranjak dari ranjang. Persetan dengan Calderon yang telanjang, kini Almora hanya ingin keluar dari ruangan ini. Dia mengambil bajunya yang berserakan di lantai, lalu membawanya ke kamar mandi. "Saya harap kita tidak bertemu lagi," tandas Almora kala keluar dari kamar mandi. Kebetulan Calderon
Kaki Calderon bergerak gusar, membuat beberapa orang yang ada di sana menatap heran Tuan mereka.Sejak kejadian malam itu, Calderon tampak tidak tenang seakan baru saja melakukan aksi penghilangan nyawa. Berkali-kali bawahannya memergoki Calderon termenung di taman belakang atau salah menandatangani berkas. Dia tampak kacau usai berita gagal menikah dengan Camelia terdengar ke seluruh penjuru rumah. Mereka pikir, Calderon patah hati karena kekasihnya selingkuh. Ah, tentu saja mereka juga tau mengenai fakta itu. Padahal, Calderon sama sekali tidak peduli dengan Camelia dan pernikahan yang batal. Dia tidak punya waktu untuk memikirkan perempuan yang telah mengkhianatinya. Beberapa hari yang lalu, rumah yang Calderon berikan untuk Camelia bahkan sudah dia bakar. Perempuan tidak tahu malu itu mesti diberi pelajaran. Dia harus tau dengan siapa dia berurusan. Yang menjadi beban pikiran Calderon adalah gadis bermata biru yang dia tiduri pada malam itu. Entah pelet seperti apa yang gadis it
Gila! Gila! Almora terus memaki hidupnya yang tidak pernah tidak dianugerahi hal gila. Ditinggal mati oleh ayahnya, ibu kandung yang entah ada dimana, keluarga besar yang tutup mata terhadap kehidupan mereka, hampir ditiduri om tua bangka, ditiduri Calderon dan sekarang dia harus lari dari kejaran pria terakhir yang dia temui. Hidup Almora memang selalu sial. Dia tidak pernah mendapatkan hal baik barang satu kali saja. Ah, apa Almora mati saja ya? Menyusul ayah. Kini dia tidak tau berada di mana. Almora tersesat karena berlari terlalu jauh. Tempatnya masih ramai oleh orang yang berlalu lalang tapi Almora merasa asing dengan tempat ini. Apa ini masih di kawasan rumah elit itu atau sudah berada di pusat kota? Almora tidak tau jalan utama karena hidup di pinggiran kota. Orang sepertinya tentu tidak pantas menghuni rumah keren di kota. Apalagi rumah elit seperti milik Calderon. "Sialan! Aku mau pulang... aku mau ketemu ayah," racau si gadis menahan tangis. Langit semakin menggel
Sayangnya, Almora tak punya tenaga.Dia bahkan tak bisa melawan kala Calderon membuka beberapa kancing kemejanya.Entah apa yang pria itu lakukan? "Cantik," pujinya begitu tiba-tiba, "milikku."Calderon mengeluarkan ponselnya yang basah dari saku celana. Lalu mengarahkan kamera belakang itu ke arah Almora dan memotretnya.Untuk apa?! Almora menatap pria itu. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis. "Gila."Ia pikir Calderon adalah tipe pria yang tidak akan peduli pada perempuan yang telah dia gunakan. Orang kaya tentu tidak punya waktu mengurus gadis seperti dirinya dan Almora bersyukur akan hal itu. Namun ternyata, dia malah sengaja melibatkan dirinya dalam kehidupan Almora. Benar-benar gila!Tiba-tiba saja, tawa Calderon mereda. Dikancingnya kembali kemeja Almora, lalu beranjak bangkit sembari menelpon seseorang. Berangsur meninggalkan pinggir sungai dan Almora yang terbaring tak berdaya dan mulai hilang kesadaran.... "Urus dia, Max."Hanya itu, kalimat yang terdengar di telinga A
Max bisa saja tertawa melihat apa yang Calderon lakukan saat ini. Sudah dua jam lamanya dia memandangi foto terakhir Almora yang berhasil dia ambil ketika perempuan itu hampir kehabisan napas. Foto cantik yang entah kenapa membuat posisi Camelia di hatinya perlahan tergeser. Tidak masuk akal sebenarnya. Posisi orang lama tergeser hanya karena seorang gadis kampungan yang tak sengaja Calderon temui lebih dari tiga kali dan selalu berakhir buruk. Kepala pria itu miring, menatap lebih lamat lagi foto yang ditampilkan di ponselnya. Wajah ketakutan itu, Calderon menyukainya. Calderon ingin melihat lagi wajah ketakutan Almora ketika bertemu dengannya. Mata tajam, dahi berkerut dan desisan seperti kucing kecil yang tak ingin disentuh. Calderon tiba-tiba menyukainya."Ayo, Tuan. Anda sudah ditunggu di ruangan," ucap Max yang datang tanpa mengetuk pintu.Calderon menatap pria itu. "Bisa bantu saya?""Apa, Tuan?" tanya Max berjalan mendekati meja Calderon."Tolong cari perempuan ini dan semua
Calderon harus memikirkan cara lain agar Almora berhenti membencinya. Dia harus bisa mendekati perempuan itu dalam waktu dua minggu menjelang pernikahannya dengan Camelia. Kalau bisa, Calderon berharap Almora hamil atas apa yang mereka lakukan tempo lalu. Rasanya mungkin mustahil karena mereka baru melakukannya satu kali, tapi kenyataan siapa yang tahu. Ya, mana tau Almora betulan hamil dan Calderon bisa menjadikan gadis itu sebagai alasan untuk tidak melangsungkan pernikahannya."Seharusnya dia bersyukur bertemu saya, kan?" tanya Calderon pada Max. Gadis yang meninggalkannya di kedai usang itu kini sedang berdiri di pinggir jalan raya. Duduk di bangku besi berkarat, menatap kendaraan yang berlalu lalang.Max menatap Calderon sekilas. "Seharusnya begitu."Calderon menganggukkan kepalanya. Kali ini dia kembali menghisap sebatang nikotin. Mungkin sebentar lagi akan menjadi candu. Polusi itu keluar dari mulut Calderon, berbaur dengan udara yang tak bisa disebut bersih. "Kalau kamu berada
"Gimana? Bagus gak?" tanya Camelia keluar dari bilik ganti seraya berputar menunjukkan gaun yang dia kenakan. Wajahnya tampak bahagia karena merasa jatuh hati dengan gaun berwarna maron dengan payet yang tampak mewah. Namun sayangnya, si pria hanya menatap dirinya datar. Sejak awal, Calderon tampak tidak memiliki mood bagus."Cal," panggil Camelia karena Calderon tak kunjung memberikan respon. Pria itu hanya diam dengan tatapan dinginnya."Cepat pilih," ucap Calderon datar seraya berjalan meninggalkan Camelia. Dia tidak punya banyak waktu untuk meladeni wanita yang telah mengkhianatinya. Calderon benar-benar sudah tidak ingin peduli pada Camelia.Melihat respon tidak memuaskan dari Calderon, Camelia hanya diam tersenyum kecut. Dia jelas merasa terluka melihat Calderon mengabaikannya. Dia tau ini terjadi karena salahnya, tapi Calderon tidak seharusnya mengacuhkan Camelia seperti itu. Mereka akan segera menikah. Mau bagaimanapun Calderon membencinya, mereka akan tetap bersama dan berada
Almora menemukan sebuah kotak persegi panjang tergeletak di depan pintu rumahnya. Kotak berwarna hitam dengan pita merah yang entah milik siapa. Almora pikir itu diletakkan oleh orang iseng dan memutuskan untuk membiarkan kotak itu di sana. Namun kertas kecil yang terselip di pita merah di atas kotak menarik perhatian Almora. Bukan karena kata-kata manis yang tertulis di sana, melainkan namanya menjadi titik tuju kotak itu. Almora meraihnya, menatap kotak itu dengan seksama. Siapa yang mengirimnya? Ken kah? Atau siapa? Almora rasa dia tidak punya teman akrab yang suka memberi hadiah misterius seperti ini.Mengabaikan rasa penasaran, Almora memutuskan membawa kotak itu ke dalam rumah. Jika memang benar ini untuknya, Almora berhak melihat apa isi kotak tersebut. Untung-untung barang bagus. Kalau berisi barang-barang tidak jelas seperti di film-film horor kan tidak keren. Menyeramkan yang ada."Baju?" beo Almora melihat kain penuh payet yang terlipat di dalam kotak. Almora meraihnya, men
Optima 434.Calderon berdiri di balkon, menatap hamparan kota di bawah kukungan langit biru. Kota tampak begitu jelas, seperti susunan rumah di game minecraft. Ini adalah bagian paling menyenangkan saat berkunjung ke Optima. Calderon bisa merasa tenang hanya dengan melihat bangunan-bangunan itu."Tumben mengajak saya ke sini," kata Max yang muncul dari balik punggung Calderon. Dia memang meminta pria itu untuk datang juga. Membosankan rasanya bila hanya sendirian di flat ini."Tidak suka?" Calderon menatap pria itu tajam. Selalu saja berkomentar. Nurut saja apa susahnya?"Suka, tapi kan aneh."Calderon mengabaikan. Dia memilih mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Dia tidak bisa leluasa merokok di rumah. Selain karena dilarang Nyonya besar, keberadaan Camelia yang sedang hamil juga menjadi alasannya. Calderon tentu tidak ingin anak itu meregang nyawa karena bapak tirinya hobi menghembuskan asap nikotin."Masih ngerokok?" heran Max.Calderon menyelipkan rokok itu di bibirnya l
Camelia rasa tubuhnya sudah agak mendingan. Tadi pagi hanya sedikit pusing karena tidur terlalu lama, tapi Calderon dan seluruh manusia di rumah itu menganggap dirinya sedang demam tinggi. Padahal hanya butuh berbaring sebentar, Camelia bisa pulih.Usai makan siang, Camelia berencana untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sudah lama Camelia tidak berkunjung ke rumah. Kedua orang tuanya juga jarang memberi kabar seolah lupa dengan anaknya yang satu ini."Mau kemana?"Langkahnya dihadang oleh Calderon yang tiba-tiba muncul. Berdiri di depan pintu utama seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ah, magic. Pria itu penyihir. Sekejap di kamar, sekejap di ruang kerjanya dan sekejap lagi ada di depan mata."Ke rumah orang tuaku." Camelia menatap Calderon.Salah satu alis pria itu terangkat. "Sendiri?""Memangnya kamu mau ikut?" tanya Camelia, sangsi. Calderon benci sekali dengan ayahnya. Mana mungkin pria itu mau ikut dengannya bertemu mama dan papa.Sesuai dugaan, Calderon menggelengkan
"Kenapa? Apa sudah kalian temukan bajingan itu?" tanya Calderon melihat beberapa anak buahnya datang dengan napas tak beraturan. Mereka berlari dari gerbang utama seperti dikejar anjing gila.Yang paling besar, mengangkat tangan pertanda butuh beberapa detik untuk bisa bernapas normal. Yang satu lagi, menatap Calderon dengan napas yang mulai teratur. Apa yang mengejar sampai bernapas saja terlihat sulit? Roh mereka seakan tercabut dari tubuh hanya karena berlari dari gerbang."Ada berita buruk." Kalau tidak salah namanya Rob, entah Robert entah Roblok. Calderon tidak bisa mengingat nama-nama anak buahnya.Berita buruk sudah menjadi makanan sehari-hari Calderon. Jadi, dia tidak terkejut bila akan ada kabar buruk lagi yang dia dengar."Apa?""Ternyata Kaleo punya hubungan kerja sama dengan kartel di Kroasia," jawab Rob.Ah, masalah kartel lagi. Calderon malas sekali mengurus orang-orang yang terlibat kartel. Hal itu benar-benar memuakkan."Kroasia? Ada kartel di sana?" tanya Calderon. D
Calvin beringsut menaiki tempat tidur, merebahkan tubuh di sebelah Almora yang sudah lebih dulu berbaring. Mereka tidak punya kegiatan apapun lagi sebab tadi siang sudah menghabiskan banyak waktu dengan bermain game dan menonton beberapa film komedi rekomendasi dari Calvin sendiri. Sebenarnya Calvin masih punya beberapa pekerjaan yang mesti diselesaikan. Akan tetapi dia merasa tidak tenang jika Almora belum tidur. Pekerjaan yang menumpuk itu bisa diselesaikan nanti atau saat mepet deadline. Namun menemani Almora tidur tidak sama dengan pekerjaan yang bisa ditunda."Mau dibacain dongeng apa?" Calvin menatap Almora sembari mengembangkan sebuah buku cerita."Kamu pikir aku anak kecil?" Almora balik menatap Calvin. "Eh, itu buku dongeng siapa yang kamu curi?""Enak aja." Calvin menutup buku cerita dengan judul kisah petualangan seru kancil dan teman-temannya. "Ini aku beli di Indonesia. Sudah lama sih."Almora tertawa pelan. "Kok bisa kepikiran buat beli buku dongeng itu? Mana judulnya m
"Bayinya sehat. Ibunya juga sehat."Senyum di wajah Calvin tak luntur kala kalimat dokter yang memeriksa Almora tadi pagi terus bergema di kepalanya. "Bayinya laki-laki."Semakin senang hati Calvin mendengarnya. Bayi mereka laki-laki. Terlepas dari siapa sebenarnya ayah kandung dari bayi itu, untuk saat ini yang bertanggung jawab dan akan mengemban peran bapak adalah dirinya. Tentu saja Calvin bersuka cita mendengar kabar baik itu.Ibunya sehat, bayinya sehat dan bayinya laki-laki."Bahagia banget kayaknya," ucap Almora. Matanya tak luput dari wajah pria yang sedang berkutat di pantry itu. Katanya dia ingin memasak makan siang untuk Almora. Sekalian mencoba resep baru untuk kue yang tadi malam baru saja diriset oleh pria itu.Dia produktif sekali jadi suaminya. Dan semenjak kehamilan Almora memasuki masa menuju pembukaan, pria itu memutuskan bekerja dari rumah saja. Katanya dia takut meninggalkan Almora di rumah sendirian.Calvin sangat siap untuk menjadi seorang suami."Iya dong. An
Katanya tidak cinta, tapi begitu menemukan Camelia di dekat salon, Calderon langsung memeluknya. Dia cemas kala tau Kaleo berkeliaran di sekitar mereka. Entah kenapa, disaat Tuan Saka berkata Kaleo ingin kembali merebut Camelia, ada rasa khawatir yang luar biasa dalam diri Calderon. Mungkin karena Calderon tau bahwa kemunculan Kaleo adalah alarm bahaya bagi Camelia. Pria itu memang ayah kandung dari bayi yang Camelia kandung tapi mengingat bagaimana sepak terjangnya sebagai manusia, Calderon tidak bisa menyerahkan Camelia pada pria itu."C-Cal, are you okay?" Camelia yang dipeluk secara tiba-tiba jelas terkejut. Calderon masih belum melepaskan pelukannya. "Saya pikir kamu kenapa-kenapa."Setelah berminggu-minggu pernikahan mereka, ini kali pertama Calderon menunjukkan kepeduliannya secara tulus. Bukan karena terpaksa, bukan karena ayahnya, bukan karena orang-orang dan media yang meliput mereka tapi karena diri Calderon sendiri. Camelia terharu melihat Calderon mengkhawatirkannya. Ini
Kembali ke tanah air.Kericuhan terjadi di kediaman Tuan Saka. Ayah dan anak itu bertengkar perihal Kaleo yang hilang dari lokasi penyekapan di California. Entah apa yang terjadi sampai pria itu bisa lolos dari pengawasan dua kubu. Dan Calderon duga, ini terjadi karena ayahnya berusaha merebut Kaleo dari genggamannya."Coba saja ayah tidak ikut-ikutan, mungkin Kaleo masih ada di rumah penyekapan," kata Calderon dengan dada kembang kempis. Dia berusaha sabar untuk tidak memukul pria yang menjadi penyebab kekacauan itu terjadi."Itu bukan tanggung jawab mu, Cal. Mengurus Kaleo adalah tugas saya. Kamu cukup menjalankan peranmu sebagai suaminya hingga anaknya lahir," balas Tuan Saka dengan wajah tak kalah bengis.Karena kekacauan ini, aksi penyelundupannya terbongkar.Calderon mendengus kasar. Dia bukan anak kecil yang bisa dibohongi. Dia tau kenapa Tuan Saka mau turun tangan mengurus Kaleo. Sudah pasti karena tidak ingin pernikahannya dan Camelia berakhir. Tuan Saka ingin Calderon terus
Mari menikah denganku.Semudah itu Calvin mengajaknya untuk menikah dan semudah itu pula Almora mengiyakan ajakan tersebut. Kesannya seperti sedang main nikah-nikahan. Rasanya memang aneh bagi mereka yang baru kenal, baru akrab. Terlalu cepat bagi mereka untuk naik ke jenjang yang lebih serius. Menikah bukan hanya soal tanggung jawab, bukan hanya soal nafkah tapi juga soal resiko yang harus mereka hadapi setelah ini. Almora masih takut. Bayang-bayang Ken tewas karena dirinya jelas belum usai menghantui.Namun hidup harus terus berjalan. Almora tidak menapik bahwasanya dia butuh pendamping hidup. Dia butuh seseorang untuk menemaninya membesarkan bayinya. Butuh seseorang untuk membersamai hari tuanya.Karena Calvin tampak serius, Almora juga akan serius. Jika Calvin memang ingin bermain-main, seharusnya pria itu mengajaknya pacaran, bukan menikah.Satu minggu setelah will you marry me dadakan itu, Calvin dan Almora resmi menjadi pasangan suami-isteri. Menikah dengan orang dari negara s
Hari-hari Almora benar-benar menjadi lebih baik usai bertemu dengan Calvin. Di belahan bumi yang jauh itu, Almora tidak lagi merasa kesepian. Sebelumnya ada banyak orang yang Almora kenal. Temannya juga lumayan untuk ukuran warga asing yang baru menempati wilayah lokal. Namun rasanya berbeda saat bertemu dengan Calvin. Teman Almora yang banyak itu tak cukup mampu menghilangkan rasa sepinya. Justru Calvin yang baru dia kenal kemarin sore mampu membuat Almora merasakan bagaimana hidup bersama teman yang seolah sudah dikenal sejak lama. Rasanya seperti pulang ke rumah."Aku sudah jarang ke pantai," ucap Calvin. Sore itu entah karena gerangan apa, Calvin mengajak Almora bermain ke pantai.Mereka duduk di atas bebatuan. Menatap birunya air laut. Sama halnya dengan Calvin, Almora juga sudah jarang ke pantai atau mungkin tidak pernah. Jarak dari kota ke pantai tidak begitu jauh, tapi tidak pernah sekalipun Almora ingin mengunjungi perairan luas nan indah itu. Ini saja kalau bukan karena ajak