Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
“Ternyata kau di sini.” Suara penuh kelegaan muncul di belakang Megan. Memutar pundak wanita itu yang sejak tadi mengabaikan keramaian pesta di balik punggung dengan menyendiri di balkon.“Bisakah kau membawakanku satu gelas lagi?” Megan menyodorkan gelas kosongnya pada Jelita. Manager yang merapal sebagai asisten pribadinya. Jelita mengambil gelas itu dan meletakkannya di samping pot tanaman. “Aku akan memberimu satu botol. Tapi setelah kau ikut denganku." “Ke mana?” Senyum Jelita terlihat begitu mencurigakan. “Aku tahu apa yang kaupikirkan. Tapi kali ini tidak, Je. Aku sedang tak berminat menemui siapa pun. Aku ingin waktu untuk diriku sendiri.” Jelita mengembuskan napasnya yang panjang dengan bosan. “Kau selalu membutuhkannya kapan pun kau ingin.” “Dan aku menginginkannya se …” “Ayo.” Jelita menarik lengan Megan sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Kembali memasuki keramaian pesta. “Ke mana?” “Aku akan memperkenalkanmu pada CEO mall M-King. Kau tak akan menolaknya
Jelita hanya mendesah keras melihat Megan yang selama beberapa hari ini menghabiskan waktu lebih banyak berbarimg di tempat tidur. Menangis diam-diam, melamun, dan tak berselera makan. Mereka bahkan sudah membatalkan beberapa jadwal pemotretan karena keadaan wnaita itu yang tak memungkinkan. Sekali lagi Jelita menunduk. Menatap sedih foto pernikahan yang masih tersimpan di dompet Megan dan tergeletak di nakas. Semalaman wanita itu pasti tak bisa tidur memandangi foto tersebut dan menangis melihat bengkak di kedua mata Megan yang semakin parah. ‘Aku jatuh cinta, semua terasa begitu indah, tapi aku tak menyangka bahwa pernikahan bisa terasa begitu menekan diriku.’ ‘Saat itu aku masih begitu muda dan aku tak pernah tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu.’ Jelita teringat ucapan Megan, untuk pertama kalinya wanita itu sedikit membuka tabir kehidupan yang selama ini terpendam dalam-dalam. Tujuh tahun lalu, jadi ini alasan Megan tak menyelesaikan kuliah dan meninggalkan keluarga untuk
Megan tak ingin diingatkan. Ia tak perlu diingatkan akan ingatan menyedihkan tersebut disaat penyesalan berjumbal-jumbal di kepalanya. Yang tidak ada artinya. Ditambah cara Mikail mengingatkannnya yang bertekad memastikan kepedihan itu harus menjadi berkali-kali lipat lebih besar. "Bukankah tujuh tahun lalu kau sudah menyerahkan anak itu untukku?" Mata Megan terpejam dan setetes air matanya jatuh. "Bahkan tak sekali dua kali aku berusaha meyakinkanmu, suatu hari kau akan menyesali keputusanmu. Dan berkali-kali pula kau menolak mendengarkan. Sekarang penyesalanmu sama sekali bukan urusanku, Megan," desis Mikail dengan emosi yang bergejolak di dalam hatinya. "Aku memintanya dengan cara baik-baik," ucap Megan dengan suaranya yang rapuh. "Untuk apa? Untuk membuatnya tahu bahwa dirinya begitu tak berarti hingga ibu kandungnya membuangnya?" "Kumohon, Mikail." Mikail diam sejenak. "Lalu apa yang membuatmu tiba-tiba begitu ingin bertemu dengan anakku, Megan?" "Apakah aku tidak berhak
Sejak pertemuan Megan dengan Mikail dan Kiano tiga hari yang lalu, Megan sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Jelita benar-benar sudah kehilangan akal untuk membujuk sang supermodel tersebut untuk menurunkan kaki dari tempat tidur. Megan-benar sudah kacau. Tak hanya penampilan, pikiran waras wanita itu sudah lenyap. Membatalkan beberapa pemotretan dan harus membayar biaya ganti rugi yang tak sedikit. Akan tetapi, berkat reputasi dan bujukan maut Jelita, -yang seharusnya mendapatkan hujan pujian dari Megan- ganti rugi tersebut berhasil ditangguhkan dan semua menginginkan perubaha jadwal hinga suasana hati dan kesehatan Megan Ailee kembali membaik. Akan tetapi, Jelita tak bisa terus-menerus membentengi ketidak profesionalan Megan. Kali ini, ia harus berhasil membujuk Megan turun dari tempat tidur. Setidaknya. Dan ... satu-satunya cara adalah dengan menggunakan anak wanita itu. Pagi itu, dengan rencana dan penyelidikan yang lumayan akurat, Jelita duduk di pinggiran tempat tidur. Me
Megan tak bisa menahan perhatiannya kepada Kiano hanya sekedar menjadi lirikan biasa. Sejak anak kecil itu masuk ke ruang pribadi mereka dan duduk di samping Mikail. "Ah, ada tante cantik," sapa Kiano dengan senyum yang segera memenuhi wajah mungil dengan pipi gembul anak itu. Megan tercengang, karena Kiano masih mengenalinya. Bahkan setelah dua kali ia meninggalkan anak itu. Karena tak mampu menghadapi emosi yang ditimbulkan Kiano pada dirinya. Yang lebih besar dari yang Megan harapkan. Pandangan Megan beralih pada Mikail. Bahkan pria itu sama sekali tak menegur cara memanggil Kiano padanya. Atau setidaknya Mikail memberi tahu Kiano siapa namanya, meski Megan sama sekali tak keberatan Kiano memanggilnya dengan 'tante cantik.' "Kemarilah, Jagoan." Mikail mengangkat tangannya ke arah Kiano yang terhenti di samping kursi Megan. Anak laki-laki itu pun langsung menghambur ke pangkuan Mikail. Mencium pipi kiri dan kanan sang papa sebelum kemudian bercerita singkat. "Tante Alicia sedan
"Kami bukan siapa-siapa mu lagi, Megan. Aku dan Kiano hanyalah orang asing di hidupnya. Dan kita terlibat dalam situasi ini karena sebuah keprofesionalan. Tidak seharusnya kau menjadi emosional seperti ini," desis Mikail tepat di bibir Megan. Napas panas pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Megan, yang membuat jantung wanita itu nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya. Megan tak mengatakan apa pun, selain nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya. Megan tak mengatakan apa pun, kedua matanya melekat kuat dalam kuncian Mikail. Dan hanya sepersekian detik, Megan berpikir Mikail tersesat dengan keinginan pria itu. Tetapi rupanya kewarasan pria itu berbicara lebih tegas dan keras, yang membuat Mikail mengerjap sekali sebelum kemudian mendorong tubuh pria itu menjauh dari tubuhnya. Seolah terbangun dari kesadarannya. "Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang m
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m