Megan tak ingin diingatkan. Ia tak perlu diingatkan akan ingatan menyedihkan tersebut disaat penyesalan berjumbal-jumbal di kepalanya. Yang tidak ada artinya. Ditambah cara Mikail mengingatkannnya yang bertekad memastikan kepedihan itu harus menjadi berkali-kali lipat lebih besar.
"Bukankah tujuh tahun lalu kau sudah menyerahkan anak itu untukku?"Mata Megan terpejam dan setetes air matanya jatuh."Bahkan tak sekali dua kali aku berusaha meyakinkanmu, suatu hari kau akan menyesali keputusanmu. Dan berkali-kali pula kau menolak mendengarkan. Sekarang penyesalanmu sama sekali bukan urusanku, Megan," desis Mikail dengan emosi yang bergejolak di dalam hatinya."Aku memintanya dengan cara baik-baik," ucap Megan dengan suaranya yang rapuh."Untuk apa? Untuk membuatnya tahu bahwa dirinya begitu tak berarti hingga ibu kandungnya membuangnya?""Kumohon, Mikail."Mikail diam sejenak. "Lalu apa yang membuatmu tiba-tiba begitu ingin bertemu dengan anakku, Megan?""Apakah aku tidak berhak menemui anak kandungku sendiri?""Kau sudah melepaskan hakmu tujuh tahun lalu, ingat?"Air mata Megan mengalir. Kehilangan kata-kata untuk membalas.Hening sesaat."Aku mohon, Mikail. Ijinkan aku bertemu dengannya. Satu kali saja.""Satu kali saja?" Salah satu alis Mikail terangkat.Megan mengangguk tanpa daya. Permohonan tersirat jelas dalam kedua pandangan wanita itu yang rapuh."Bukankah aku sudah melakukannya?"Air mata Megan jatuh. Suaranya tertelan oleh harapan yang dipupus habis tanpa sisa. Sampai kemudian suara dari interkom membuat Megan terpaku.“Tuan, tuan Kiano sudah datang,” beritahu sekretaris dari seberang.“Katakan untuk menunggu satu menit,” jawab Mikail. Lalu kembali menatap Megan yang membeku di tempat."Hapus air matamu, Megan. Jika kau benar-benar peduli dengannya, akan jauh lebih baik jika kau tak memperkenalkan dirimu sebagai ibunya. Aku takut kau akan menghancurkan perasaannya mengetahui bahwa kau telah membuangnya, demi impian yang kini sudah berada dalam genggamanmu."Kata-kata Mikail menohok tepat di jantung Megan. Kedua tangannya terangkat, menghapus air matanya dengan segera. Bagaimana pun ia ingin membantah ucapan Mikail, ia tetap tak bisa menyangkal kalimat pria itu. Mikail benar, ia tak bisa tiba-tiba merangsek masuk di kehidupan putranya begitu saja dan membuat kebingungan. Menghancurkan perasaan putranya."Papa!" Suara riang yang Megan kenali dan tak akan ia lupakan seumur hidupnya itu membuat seluruh tubuh Megan membeku. Langkah kaki yang semakin mendekat. Megan tak bisa menahan dorongan kepalanya untuk berputar. Tak hanya kedatangan Kiano yang membuat Megan terkejut. Tetapi keberadaan seorang wanita cantik yang datang bersama Kianolah yang kini menjadi pusat perhatian Megan. Terutama ketika pandangan Megan jatuh ke perut si wanita yang tengah buncit."Pelan-pelan, Kiano," ucap wanita cantik itu dengan lembut. "Maafkan aku, Mikail. Dia tak bisa menunggu."Megan menahan gelombang kepedihan yang menerjang dadanya. Di antara kehampaan dan kekosongan hidupnya selama tujuh tahun terakhir, ternyata Mikail hidup dengan sangat baik. Bahkan pria itu tengah menyambut anak kedua dengan wanita lain. Rasanya tak ada lagi remahan-remahan yang tersisa dari hatinya yang sudah hancur lebur. Dan ia benci perasaan itu masih begitu memengaruhi dirinya bahkan setelah sekian lama keduanya berpisah.Mikail hanya mengangguk pada wanita itu, sambil membungkuk dan menangkap tubuh mungil Kiano yang mencoba memanjat ke pangkuannya. "Hai, jagoan papa.""Sudah makan siang?"Kiano menggeleng. "Kiano ingin es krim.""Es krim?" Salah satu alis Mikail terangkat, tampak mempertimbangkan keinginan sang putra. "Papa akan memberikannya sebagai pencuci mulut, bagaimana?"Bibir Kiano mengerucut, tangannya terangkat ke sisi wajah. Dengan ekspresinya yang menggemaskan, anak itu mengerutkan kening. Sama seperti Mikail, mempertimbangkan tawaran sang papa. Akan tetapi, ketika sudut mata Kiano menangkap sosok yang tengah berdiri membeku di depan meja, perhatiannya segera teralih. Kerutan di kening dan kerucut di bibir anak itu lenyap seketika. Berubah menjadi kedua mata yang melebar penuh rasa penasaran. Tatapan kedua mata mungilnya tampak mengamati dengan saksama, ketika mengenali wajah di pemilik."Tante cantik?" Kiano baru menyadari keberadaan Megan.Seluruh tubuh Megan membeku. Pertanyaan singkat yang diucapkan oleh Kiano mampu menciptakan gejolak di dadanya. Dengan perlahan, wajah Megan terangkat. Kedua matanya melebar, dan hatinya langsung trenyuh Kiano masih mengingat dirinya bahkan di pertemuan pertama mereka. Anaknya mengingatnya. Hanya satu kali pertemuan, Kiano mengenalinya.Begitu pun dengan Mikail. Pria itu terkejut. Kepalanya yang kaku berputar dengan perlahan, dan langsung bersirobok dengan tatapan Megan. Keduanya saling pandang. Mikail menangkap pandangan emosional Megan dan Megan menangkap penolakan yang teramat jelas di mata mantan suaminya tersebut."Pa, bukankah dia tante cantik yang kemarin malam?" Kiano memutar kepala ke arah sang papa. Meminta persetujuan akan pertanyaannya.Mikail memutus pandangannya dari Megan dan kembali menunduk ke arah sang putra. Raut wajahnya yang dingin seketika berubah lunak dan hangat ketika berpindah pada sang putra. "Ya, tante ini adalah rekan kerja papa."Kiano manggut-manggut. Kemudian beralih ke arah Megan kembali dan bertanya, "Bolehkah Kiano bertanya, kenapa tante cantik meninggalkan kami?"Seketika tubuh Megan menegang, air mata menggenang di kedua kelopak matanya. Pertanyaan anak mungil itu tepat mengena di dadanya. Selayaknya tombak yang dihujamkan tepat di jantungnya.Ada ribuan pertanyaan yang sama yang memenuhi benaknya dan menjadi beban di pundaknya selama bertahun-tahun yang ia lalui ketika meninggalkan Mikail dan buah hatinya. Penyesalan yang tiada habis dan tak pernah berhenti hingga detik ini. Dan Megan yakin tak akan berhenti sampai kapan pun.Menggantung mengerikan di atas kepalanya. Menghantui di setiap malamnya yang tak pernah menjadi lelap.Kenapa ia meninggalkan Mikail?Kenapa ia meninggalkan buah hatinya tanpa memandang wajah mungil itu, pun hanya untuk sedetik saja?Sekarang, dari jarak sejauh ini. Megan bisa melihat kemiripan yang begitu intens antara dirinya dan anak itu. Bentuk hidung, garis wajah, alis, bibir, dan warna rambutnya yang kemerahan dan bergelombang. Semua adalah miliknya. Satu-satunya hal yang diturunkan oleh Mikail pada Kiano adalah tatapan tajam dan bola mata berwarna biru itu.Semua bukti ini menampar Megan dengan keras, bahwa anak yang kini yang berada di pangkuan mantan suaminya tersebut adalah darah dagingnya. Yang sudah ia campakkan di hari ia melahirkan bayi itu. Yang sudah berusaha mati-matian ia hapus jejaknya dari kehidupannya yang sempurna, yang ternyata hanyalah sebuah cangkang kosong. Karena, akhirnya Megn menyadari dengan sepenuh penyesalan yang mengerak di dadanya. Bahwa isi kehidupannya adalah Mikail dan anak mereka. Kiano Matteo."Kiano?" Suara memanggil yang lembut dan terselip peringatan dari bibir Mikail membangunkan Megan dari lamunannya. Pria itu memutar tubuh mungil Kiano menghadapnya, kemudian berkata, "Tante cantik pasti memiliki alasannya. Dan tidak sopan bertanya tentang urusan orang dewasa."Kiano memanyunkan bibirnya tak suka. Untuk pertama kalinya, tak setuju dengan petuah sang papa."Apa yang papa katakan tentang urusan orang dewasa?""Kiano anak yang baik dan sopan."Mikail mengangguk mantap, kemudian menyentuh hidung sang putra dengan sebuah senyuman sebagai hadiah. "Pintar."Kiano pun tersenyum lebih lebar.Megan hanya membeku, menyaksikan interaksi ayah dan anak yang terpampang jelas di hadapannya. Seolah Mikail sengaja mendorongnya mundur, jauh-jauh dari kehidupan pria itu bahkan sebelum ia mendapatkan satu langkah pun untuk mendekat.Tak bisa menahan air matanya yang akan meluap tak terkendali, tanpa sepatah kata pun Megan memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Sebelum Mikail menegaskan bagaimana menyedihkannya dirinya lebih banyak lagi.Mikail benar, bahwa dirinya akan menyesali keputusannya yang telah meninggalkan pria itu dan putra mereka tujuh tahun lalu.Dan sekarang, Megan rela menukar apa pun miliknya untuk kembali ke tujuh yang lalu demi mengubah keputusannya. Namun apa daya, penyesalannya tak memiliki ujung dan seberapa banyak dan besar penyesalan tersebut tak akan mengembalikan apa pun yang sudah raib dari genggaman tangannya.Tangisannya tak berhenti, sepanjang perjalanannya kembali ke apartemen mewahnya. Dan kembali meringkuk dan berkubang dalam dosa terbesarnya yang tak akan terampuni.Sejak pertemuan Megan dengan Mikail dan Kiano tiga hari yang lalu, Megan sama sekali tidak keluar dari kamarnya. Jelita benar-benar sudah kehilangan akal untuk membujuk sang supermodel tersebut untuk menurunkan kaki dari tempat tidur. Megan-benar sudah kacau. Tak hanya penampilan, pikiran waras wanita itu sudah lenyap. Membatalkan beberapa pemotretan dan harus membayar biaya ganti rugi yang tak sedikit. Akan tetapi, berkat reputasi dan bujukan maut Jelita, -yang seharusnya mendapatkan hujan pujian dari Megan- ganti rugi tersebut berhasil ditangguhkan dan semua menginginkan perubaha jadwal hinga suasana hati dan kesehatan Megan Ailee kembali membaik. Akan tetapi, Jelita tak bisa terus-menerus membentengi ketidak profesionalan Megan. Kali ini, ia harus berhasil membujuk Megan turun dari tempat tidur. Setidaknya. Dan ... satu-satunya cara adalah dengan menggunakan anak wanita itu. Pagi itu, dengan rencana dan penyelidikan yang lumayan akurat, Jelita duduk di pinggiran tempat tidur. Me
Megan tak bisa menahan perhatiannya kepada Kiano hanya sekedar menjadi lirikan biasa. Sejak anak kecil itu masuk ke ruang pribadi mereka dan duduk di samping Mikail. "Ah, ada tante cantik," sapa Kiano dengan senyum yang segera memenuhi wajah mungil dengan pipi gembul anak itu. Megan tercengang, karena Kiano masih mengenalinya. Bahkan setelah dua kali ia meninggalkan anak itu. Karena tak mampu menghadapi emosi yang ditimbulkan Kiano pada dirinya. Yang lebih besar dari yang Megan harapkan. Pandangan Megan beralih pada Mikail. Bahkan pria itu sama sekali tak menegur cara memanggil Kiano padanya. Atau setidaknya Mikail memberi tahu Kiano siapa namanya, meski Megan sama sekali tak keberatan Kiano memanggilnya dengan 'tante cantik.' "Kemarilah, Jagoan." Mikail mengangkat tangannya ke arah Kiano yang terhenti di samping kursi Megan. Anak laki-laki itu pun langsung menghambur ke pangkuan Mikail. Mencium pipi kiri dan kanan sang papa sebelum kemudian bercerita singkat. "Tante Alicia sedan
"Kami bukan siapa-siapa mu lagi, Megan. Aku dan Kiano hanyalah orang asing di hidupnya. Dan kita terlibat dalam situasi ini karena sebuah keprofesionalan. Tidak seharusnya kau menjadi emosional seperti ini," desis Mikail tepat di bibir Megan. Napas panas pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Megan, yang membuat jantung wanita itu nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya. Megan tak mengatakan apa pun, selain nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya. Megan tak mengatakan apa pun, kedua matanya melekat kuat dalam kuncian Mikail. Dan hanya sepersekian detik, Megan berpikir Mikail tersesat dengan keinginan pria itu. Tetapi rupanya kewarasan pria itu berbicara lebih tegas dan keras, yang membuat Mikail mengerjap sekali sebelum kemudian mendorong tubuh pria itu menjauh dari tubuhnya. Seolah terbangun dari kesadarannya. "Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang m
Nicholas Matteo, model pria yang entah bagaimana jejak karirnya terus mengekor di belakang Megan Ailee. Dan pria itu memiliki obsesi konyol untuk memasangkan nama Matteo di belakang namanya. 'Kebetulan sekali, namaku Megan Matteo,' tandas Megan dengan delik peringatan ketika Nicholas mengungkapkan keinginannya tersebut. Tepat di hari pernikahan dan Mikail. 'Mulai hari ini.' Senyum Nicholas melengkung dengan tanpa dosa, sebelum kemudian berubah menjadi cemberut yang dibuat-buat. 'Sayangnya, Matteonya bukan milikku.' 'Yup, sayang sekali,' balas Megan dengan cemberut yang dibuat sepalsu mungkin, lalu berbalik pergi meninggalkan Nicholas dengan buket bunga pernikahannya dan Mikail. Megan masih bisa mengingat semua itu di benaknya. Hingga sekarang. Bahkan setelah setahun pernikahannya dan Mikail, perasaan Nicholas padanya tetap tak berubah. Semakin hari, pria itu tak sungkan untuk mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan di hadapannya maupun Mikail. Sejak remaja, banyak agens
Begitu Anthony mengatakan cukup dan puas dengan semua sesi foto kali ini, Megan mendorong dada Nicholas menjauh dari tubuhnya. Dengan delikan tajamnya, wanita itu kemudian berbalik dan melangkah pergi. Menyeberangi ruangan dengan langkahnya yang ringan dan feminim. Di sisi lain, Mikail merasa konyol dengan berpikir bahwa dirinya tidak akan terpengaruh ketika memutuskan untuk datang ke tempat ini. meyakinkan diri bahwa keputusannya datang ke tempat ini adalah karena –seperti keprofesionalannya- ia butuh memastikan semua proses dilakukan dengan sempurna. Tepat seperti yang diinginkannya. Dan semua itu malah membuat sesuatu yang sudah terpendam dalam-dalam di kedalaman hatinya mengambang ke permukaan. Membuat dadanya bergemuruh oleh amarah semua itu karena seorang Megan Ailee. Wanita yang sudah mencampakkan dan membuangnya. Tatapan Mikail mengikuti Megan yang melintasi ruangan luas ke arah meja rias. Manager Megan mengekor di belakang. Memberikan jaket untuk menutupi pakaian tipis yan
"Di balik semua kesuksesanmu, aku tak tahu ternyata kau memiliki kenaifan sekonyol ini, Nicky. Benar-benar tak cocok dengan keberengsekan dan keangkuhanmu." Mikail berhasil mengendalikan emosi yang bergemuruh di dadanya, menampilkan ketenagan yang terkendali di raut wajahnya yang dingin. Nicholas hanya tersenyum. Sama sekali tak tersinggung akan kenaifannya yang diejek oleh Mikail, jika itu selalu berhubungan dengan Megan Ailee. "Bahkan setelah tujuh tahun, hanya ini pencapaian yang kau dapatkan?" cibir Mikail menambahkan. "Aku percaya, usaha tak akan mengkhianati hasil." "Hasil yang kau dapat rupanya menunjukkan sebesar apa usahamu, kan?" dengus Mikail lagi. Senyum di bibir Nicholas masih mengembang lebar di kedua ujung bibir Nicholas. "Kali ini usahaku tidak main-main. Aku akan langsung melamarnya." "Bagaimana jika dia menolakmu?" "Bagaimana jika dia menerimaku?" Keyakinan dalam suara Nicholas sangat teguh. Tak ada getar keraguan sedikit pun yang melumuri setiap patah kata ya
Megan terkejut ketika sekretaris Mikail membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk. Dan untuk kedua kalinya, ia terkejuta melihat Mikail bukanlah satu-satunya penghuni di dalam ruangan tersebut. Nicholas, pria menjengkelkan itu ternyata juga ada di sana. Dengan senyum semringah yang terlihat berlebihan menyambutnya. Nicholas bangkit berdiri, menghampiri Megan dengan kedua tangan yang membentang terbuka. "Well, umur panjang, Megan. Kami sedang membicarakanmu." Kening Megan berkerut mencerna kalimat Nicholas, yang membuatnya membiarkan Nicholas memeluk dan mendaratkan kecupan singkat di pipi kanan dan kirinya. Dan saat itulah Megan tersadar dan tubuhnya hendak memberikan respon penolakan. Akan tetapi ... Entah kenapa kali ini Megan mempertimbangkan untuk menerima sikap pria itu. Tapi dengan tegas tidak akan membalas sambutan terlalu intim -untuknya jika dilihat dari hubungannya dan Nicholas- yang diberikan sepupu mantan suaminya tersebut. Kemudian perhatian Megan kembali teralih, m
Megan menatap dengan iri melihat Nicholas yang menghujani wajah mungil Kiano dengan kecupan yang membuat bocah kecil itu terbahak karena geli. Merasa hidup begitu tak adil. Orang lain bahkan bisa bebas mencium putranya dan menjadi akrab. Tetapi dirinya, sebagai seorang ibu. Megan hanya diberi satu pilihan ketika dihadapkan oleh putranya. Dan ia harus berpuas diri hanya dengan melihat putranya. Sungguh, ia ingin memeluk putranya dan mencium pipi gembul Kiano. Mendengar suara tawanya yang terbahak dengan lepas karena dirinya. Dan lagi-lagi kecemburuan melingkupi dadanya, Nicholas mendapatkan semua yang diinginkannya dari Kiano.Untuk pertama kalinya, apa yang dimiliki oleh Nicholas membuatnya begitu iri dan cemburu. Pun dengan kebencian dan kemuakan yang ia miliki untuk Nicholas.Sejujurnya, Nicholas bukanlah pria yang jahat dan berengsek padanya. Pria itu selalu memperlakukannya dengan baik dan menghujaninya dengan perhatian. Satu-satunya hal yang ia benci dari Nicholas hanyalah pera
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m