"Kami bukan siapa-siapa mu lagi, Megan. Aku dan Kiano hanyalah orang asing di hidupnya. Dan kita terlibat dalam situasi ini karena sebuah keprofesionalan. Tidak seharusnya kau menjadi emosional seperti ini," desis Mikail tepat di bibir Megan. Napas panas pria itu menerpa seluruh permukaan wajah Megan, yang membuat jantung wanita itu nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.
Megan tak mengatakan apa pun, selain nyaris melompat dari dadanya. Saking kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh Mikail pada tubuhnya.Megan tak mengatakan apa pun, kedua matanya melekat kuat dalam kuncian Mikail. Dan hanya sepersekian detik, Megan berpikir Mikail tersesat dengan keinginan pria itu. Tetapi rupanya kewarasan pria itu berbicara lebih tegas dan keras, yang membuat Mikail mengerjap sekali sebelum kemudian mendorong tubuh pria itu menjauh dari tubuhnya. Seolah terbangun dari kesadarannya."Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal." Mikail berhasil mengeluarkan suaranya dengan tanpa getaran. Emosi di kedua matanya menguat. Membuat wajah dan seluruh tubuh Megan membeku. "Kau mengatakan akan menerima semua konsekuensi dari keegoisanmu, kan? Tidak seharusnya kau menjadi begitu emosional karena sikapnya. Dia hanya tidak tahu apa yang dikatakannya, jangan menanggapinya secara berlebihan."Kata-kata Mikail benar-benar menusuk tepat di jantung Megan. Meremas dadanya, hingga tak menyisakan apa pun di dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia merasakan hatinya begitu kosong sekaligus penuh oleh penyesalan yang teramat sangat. Menganga lebar di dalam dadanya."Aku tak akan memperingatkanmu untuk kedua kalinya, Megan," pungkas Mikail, sebelum membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari toilet wanita."Aku tahu kau sengaja mengundangnya ke meja makan kita hanya untuk mengusikku." Kalimat Megan berhasil menghentikan langkah Mikail yang sudah hendak mencapai pintu toilet. "Kau menggunakannya untuk mengusikku. Menghukumku dan membalas dendam padaku."Tubuh Mikail membeku, ketika pria itu memutar kepalanya ke samping dan mendengus dalam cemoohannya. Mikail berkata dengan nadanya yang dingin dan tak punya hati. "Hukuman? Balas dendam?" Mikail memberi jeda sejenak dalam cemoohannya. "Kau tak layak mendapatkan sedikit pun perhatianku, Megan. Juga perhatian dari anakku. Percayalah, ini bukan pertama kalinya aku membawa anakku makan siang maupun makan malam dengan rekan kerjaku. Jadi apa yang membuatmu merasa special dan layak mendapatkan perhatian kami?"Air mata menggenang memenuhi pelupuk mata Megan dan tubuh wanita itu jatuh di lantai setelah Mikail meninggalkannya di kamar mandi. Dengan kedua telapak tangan menangkup wajahnya, sebelum kemudian terisak dengan pilu. Tak mampu menahan segala macam emosi yang menerjang dan menelannya mentah-mentah. Menenggelamkannya dalam kepedihan yang tiada henti.***Lima belas menit kemudian, Jelita muncul dan menjemput Megan yang menunggu di tempat parkir. Tepat di samping mobilnya."Kenapa kau begitu lama, Jelita?" sergah Megan jengkel."Aku tak bisa pergi begitu saja, Megan. Aku harus membuat alasan sealami mungkin tanpa menyinggung perasaan tuan Matteo. Apalagi anakmu."Megan tak ingin mendengar lebih. "Cepatlah. Aku butuh segera pergi dari tempat ini."Jelita mengangguk. Dengan sigap membuka kunci dan pintu mobil untuk Megan, lalu memutari bagian depan mobil dan bergegas duduk di balik kemudi. Membawa mobil meninggalkan halaman restoran sesegera mungkin.Sepanjang tengah perjalanan, Jelita tak berhenti melirik ke arah Megan yang sengaja membisu. Membiarkan keheningan menyelimuti keduanya."Kau baik-baik saja?" tanya Jelita memecah keheningan ketika mobil berhenti di lampu merah. Sekedar membuyarkan lamunan Megan karena tahu wanita itu tidak baik-baik saja.Megan mengerjap sekali. Memutar kepala dan menatap Jelita dengan keletihan yang lebih pekat dari ketika ia duduk di dalam mobil. "Sangat buruk."Jelita mengguman pelan menanggapi jawaban Megan. Jika Megan masih membalas pertanyaannya, kekhawatirannya perlahan menyusut meski masih tetap tak bisa tenang.Megan kembali membisu. Terngiang kalimat yang diucapkan oleh Mikail dan hatinya kembali direndam perih yang teramat. "Apakah menurutmu emosiku terlalu berlebihan di hadapannya?"Jelita menatap lampu yang berubah hijau dan menginjak gas. "Dia anakmu, Megan. Tidak ada yang berlebihan."Megan termenung, menepis kalimat tanpa hati Mikail dan menggantinya dengan kalimat Jelita. Tentu saja lebih mudah menerima kalimat Jelita. "Apakah dia sangat kecewa padaku?""Dia menyukaimu. Ikatan batin memang tak bisa berbohong."Kening Megan berkerut. "Benarkah?""Tentu saja. Apa kau tidak bisa melihat caranya menatapmu, dia begitu menyukaimu, Megan. Dia masih begitu polos untuk memahami masalah orang dewasa."Megan mengangguk setuju. Tetapi ... "Lalu bagaimana jika dia mulai curiga jika aku bersikap terlalu berlebihan padanya lagi, Jelita?"Jelita mengambil tangan Megan dan menggenggamnya. "Tidak ada yang berlebihan. Dan dia tidak mungkin mencurigai apa pun itu yang kau khawatirkan. Tuan Matteo tampaknya bersikeras tak ingin anakmu tahu siapa dirimu. Dan kau ... apa kau berniat memberitahunya tentang siapa dirimu?"Megan pun segera menggeleng dengan cepat. "Tidak mungkin, Jelita. Aku ..." Megan berhenti, menelan gumpalan yang tertahan di tenggorokannya dan rautnya seketika berubah sedih. " A-aku tak mungkin melukai hatinya tentang siapa diriku. Dia pasti akan membenciku jika tahu siapa diriku."Jelita tak mengatakan apa pun. Kekecewaan yang ia lihat di wajah Kiano ketika Megan meninggalkan ruang pribadi beberapa saat yang lalu tentu masih tergambar jelas di wajah bocah mungil itu. Dan ia tak sampai hati menyampaikan kekecewaan itu pada Megan. Yang pasti akan membuat Megan kehilangan semangat dan kepercayaan diri untuk mendekati anaknya."Kalau begitu kau hanya perlu menjadi tante cantik yang diidolakan olehnya, Megan.""Diidolakan?" Kening Megan berkerut dan kebahagiaan memanjat naik di dadanya.Jelita mengangguk dengan yakin. "Kau tak mungkin tidak menyadarinya, Megan. Dari tatapannya, dia jelas mengidolakanmu. Dia bahkan mengenalimu. Sejak pertemuan pertama kalian, yang bahkan sangat singkat. Dan apa kau tidak bisa melihat binar di kedua matanya ketika memanggilmu tante cantik?"Megan tampak termenung, memikirkan kata-kata Jelita. Yang semakin ia pahami, membuat hatinya mengembang oleh kebahagiaan. Dan harapan yang sebelumnya hanya setipis kulit ari, perlahan mulai menguat. "Apakah kau pikir seperti itu?""Itu terlihat jelas, Megan. Tidak hanya dalam pikiranku. Bagaimana mungkin kau tidak menyadarinya?"Megan terdiam. Tentu saja ia tidak menyadarinya, dan sepertinya karena ia sibuk dengan perasaannya yang begitu emosional karena melihat darah dagingnya berda tepat di depan matanya. Namun tak bisa ia sentuh dengan kedua tangannya."Jadi, aku hanya perlu menjadi tante cantik untuknya, kan?""Ya, kau harus membuatnya bangga melihat dirimu."Megan mengangguk, dan dengan tekad baru yang kuat, harapan baru membentang luas di hadapannya. "Ya, kau benar, Jelita. Aku harus membuatnya bangga dan tak sia-sia mengidolakanku.""Juga, kendalikan emosi di wajahmu, Megan. Tahan keharuanmu dan jangan bersikap terlalu emosional tiba-tiba meninggalkannya seperti yang kau lakukan tadi. Hmm ... kau tahu, pikirkan ketika kau terlibat dalam suatu pembicaraan dan tiba-tiba orang itu meninggalkanmu. Kau pasti bertanya-tanya ...""Aku mengerti," penggal Megan. Teringat kata-kata Mikail ketika di toilet. Pantas saja Mikail begitu marah. Pria itu pasti takut dirinya membuat Kiano kecewa.'Kau sudah pernah melukai anakku dan menyisakan luka yang membekas di hidupnya, Megan. Sekali lagi jika kau meninggalkannya tepat di depannya, aku akan membuatmu menyesal.'Dan Mikail ada benarnya. Ia sudah melukai Kiano. Cukup sekali dan tidak seharusnya ia mengulang kesalahan tersebut untuk kedua kalinya. "Apakah menurutmua aku harus minta maaf padanya?"Jelita tampak memikirkan pertanyaan Megan sejenak, kemudian mengangguk. "Tidak ada salahnya."Megan mengembuskan napas, melepaskan kegugupan yang sejak tadi tertahan di pangkal tenggorokannya. Keningnya berkerut, mulai memikirkan permintaan maaf seperti apa yang akan menyenangkan putranya."Apa kau tahu kapan lagi aku memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya?""Besok adalah pemotretan pertamamu di mall M-King. Jika kita beruntung, kita akan bertemu dengan anakmu."Wajah Megan seketika berubah diselimuti semringah. Dan ketidaksabaran memenuhi dadanya. Namun, senyum itu tak bertahan lama. Ketika Jelita menyela kebahagiaan yang baru saja didapatkan oleh Megan."T-tapi ..."Megan menoleh, masih dengan senyum yang tersungging di kedua ujung bibirnya. "Tapi apa?"Jelita mengigit bibir bagian dalamnya. Memastikan tidak ada kendaraan lain di depan mereka sebelum kemudian menoleh pada Megan yang menatapnya dengan kerutan di kening."Tapi apa, Jelita?" Megan menyadari ada sesuatu yang serius dari keseriusan yang lebih pekat di wajah sang manager."Selain kau, ada satu orang lagi yang menjadi brand ambassador M-King."Kerutan di kening Megan semakin dalam. Ia tak pernah keberatan dengan siapa pun yang akan menjadi pasangan dalam pemotretannya. "Siapa?"Jelita masih tampak meragu untuk menjawab."Katakan saja, Jelita." Megan tak pernah mempermasalahkannya. Ia tidak pernah kesulitan bersikap professional dengan siapa pun. Pria maupun wanita. Namun, lain ceritanya jika itu adalah. Mata Megan menyipit tajam, menusuk sisi wajah Jelita yang berusaha membagi konsentrasi antara dirinya dan jalanan. "Jangan bilang jika dia adalah Nicholas, Jelita," desisnya dengan penuh penekanan.Jelita menghela napas rendah dan menoleh ke samping. Memberikan satu anggukan singkat dan mengonfirmasinya. "Yup. Nicholas Matteo. Dan demi apa, Megan. Aku baru mengetahui kalau ternyata dia adalah sepupu tuan Matteo. Mantan suamimu."Megan menggeram dalam hati, dan menyumpahi pria menjengkelkan itu."Besok, kau akan melakukan pemotretan dengannya."Dan itu tak akan menjadi pemotretan yang mudah.Nicholas Matteo, model pria yang entah bagaimana jejak karirnya terus mengekor di belakang Megan Ailee. Dan pria itu memiliki obsesi konyol untuk memasangkan nama Matteo di belakang namanya. 'Kebetulan sekali, namaku Megan Matteo,' tandas Megan dengan delik peringatan ketika Nicholas mengungkapkan keinginannya tersebut. Tepat di hari pernikahan dan Mikail. 'Mulai hari ini.' Senyum Nicholas melengkung dengan tanpa dosa, sebelum kemudian berubah menjadi cemberut yang dibuat-buat. 'Sayangnya, Matteonya bukan milikku.' 'Yup, sayang sekali,' balas Megan dengan cemberut yang dibuat sepalsu mungkin, lalu berbalik pergi meninggalkan Nicholas dengan buket bunga pernikahannya dan Mikail. Megan masih bisa mengingat semua itu di benaknya. Hingga sekarang. Bahkan setelah setahun pernikahannya dan Mikail, perasaan Nicholas padanya tetap tak berubah. Semakin hari, pria itu tak sungkan untuk mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan di hadapannya maupun Mikail. Sejak remaja, banyak agens
Begitu Anthony mengatakan cukup dan puas dengan semua sesi foto kali ini, Megan mendorong dada Nicholas menjauh dari tubuhnya. Dengan delikan tajamnya, wanita itu kemudian berbalik dan melangkah pergi. Menyeberangi ruangan dengan langkahnya yang ringan dan feminim. Di sisi lain, Mikail merasa konyol dengan berpikir bahwa dirinya tidak akan terpengaruh ketika memutuskan untuk datang ke tempat ini. meyakinkan diri bahwa keputusannya datang ke tempat ini adalah karena –seperti keprofesionalannya- ia butuh memastikan semua proses dilakukan dengan sempurna. Tepat seperti yang diinginkannya. Dan semua itu malah membuat sesuatu yang sudah terpendam dalam-dalam di kedalaman hatinya mengambang ke permukaan. Membuat dadanya bergemuruh oleh amarah semua itu karena seorang Megan Ailee. Wanita yang sudah mencampakkan dan membuangnya. Tatapan Mikail mengikuti Megan yang melintasi ruangan luas ke arah meja rias. Manager Megan mengekor di belakang. Memberikan jaket untuk menutupi pakaian tipis yan
"Di balik semua kesuksesanmu, aku tak tahu ternyata kau memiliki kenaifan sekonyol ini, Nicky. Benar-benar tak cocok dengan keberengsekan dan keangkuhanmu." Mikail berhasil mengendalikan emosi yang bergemuruh di dadanya, menampilkan ketenagan yang terkendali di raut wajahnya yang dingin. Nicholas hanya tersenyum. Sama sekali tak tersinggung akan kenaifannya yang diejek oleh Mikail, jika itu selalu berhubungan dengan Megan Ailee. "Bahkan setelah tujuh tahun, hanya ini pencapaian yang kau dapatkan?" cibir Mikail menambahkan. "Aku percaya, usaha tak akan mengkhianati hasil." "Hasil yang kau dapat rupanya menunjukkan sebesar apa usahamu, kan?" dengus Mikail lagi. Senyum di bibir Nicholas masih mengembang lebar di kedua ujung bibir Nicholas. "Kali ini usahaku tidak main-main. Aku akan langsung melamarnya." "Bagaimana jika dia menolakmu?" "Bagaimana jika dia menerimaku?" Keyakinan dalam suara Nicholas sangat teguh. Tak ada getar keraguan sedikit pun yang melumuri setiap patah kata ya
Megan terkejut ketika sekretaris Mikail membukakan pintu dan mempersilahkannya masuk. Dan untuk kedua kalinya, ia terkejuta melihat Mikail bukanlah satu-satunya penghuni di dalam ruangan tersebut. Nicholas, pria menjengkelkan itu ternyata juga ada di sana. Dengan senyum semringah yang terlihat berlebihan menyambutnya. Nicholas bangkit berdiri, menghampiri Megan dengan kedua tangan yang membentang terbuka. "Well, umur panjang, Megan. Kami sedang membicarakanmu." Kening Megan berkerut mencerna kalimat Nicholas, yang membuatnya membiarkan Nicholas memeluk dan mendaratkan kecupan singkat di pipi kanan dan kirinya. Dan saat itulah Megan tersadar dan tubuhnya hendak memberikan respon penolakan. Akan tetapi ... Entah kenapa kali ini Megan mempertimbangkan untuk menerima sikap pria itu. Tapi dengan tegas tidak akan membalas sambutan terlalu intim -untuknya jika dilihat dari hubungannya dan Nicholas- yang diberikan sepupu mantan suaminya tersebut. Kemudian perhatian Megan kembali teralih, m
Megan menatap dengan iri melihat Nicholas yang menghujani wajah mungil Kiano dengan kecupan yang membuat bocah kecil itu terbahak karena geli. Merasa hidup begitu tak adil. Orang lain bahkan bisa bebas mencium putranya dan menjadi akrab. Tetapi dirinya, sebagai seorang ibu. Megan hanya diberi satu pilihan ketika dihadapkan oleh putranya. Dan ia harus berpuas diri hanya dengan melihat putranya. Sungguh, ia ingin memeluk putranya dan mencium pipi gembul Kiano. Mendengar suara tawanya yang terbahak dengan lepas karena dirinya. Dan lagi-lagi kecemburuan melingkupi dadanya, Nicholas mendapatkan semua yang diinginkannya dari Kiano.Untuk pertama kalinya, apa yang dimiliki oleh Nicholas membuatnya begitu iri dan cemburu. Pun dengan kebencian dan kemuakan yang ia miliki untuk Nicholas.Sejujurnya, Nicholas bukanlah pria yang jahat dan berengsek padanya. Pria itu selalu memperlakukannya dengan baik dan menghujaninya dengan perhatian. Satu-satunya hal yang ia benci dari Nicholas hanyalah pera
"Kesepakatan yang tak akan kau dapatkan dari siapa pun. Termasuk Mikail," Nicholas melanjutkan tawarannya dengan salah satu alis yang terangkat. Rayuan dan bujukan yang begitu kental menyelimuti kedua mata pria itu. "Tak ada kesepakatan yang lebih sempurna dari ini, Megan. Bahkan sebesar yang bisa kau harapkan dari Mikail."Tawaran Nicholas terdengar begitu menggiurkan. Dan Megan bersumpah, Nicholas mengatakan yang sesungguhnya. Persetujuan sudah berada di ujung lidahnya, akan tetapi jawaban itu segera melebur. Ia tak mungkin membuat kesepakatan dengan Nicholas. Pria itu jelas tidak lebih baik dari Mikail. Megan pun segera menampilkan ketidak peduliannya, yang tentu saja Nicholas melihatnya sebagai sesuatu yang sengaja dibuat-buat."Kau membutuhkanku, Megan. Itu yang tak ingin kau akui."Wajah Megan mengeras dengan jengkel dan membalas dengan telak. "Aku tahu apa yang kau inginkan, Nicholas."Seringai tersungging di kedua ujung bibir Nicholas, mengiyakan jawabah Megan dengan tanpa
Cahaya hangat matahari yang menerpa wajahnya, perlahan membangunkan Megan dari tidurnya yang terlalu lelap. Kelopak mata wanita itu bergerak membuka dengan perlahan. Mengerjap beberapa kali demi menyesuaikan dengan cahaya silau yang menusuk kedua matanya.Wajahnya meringis ketika rasa pusing menusuk di kepalanya. Hanya sedikit, tetapi rasanya sudah sejak lama Megan tidak bangun dengan cara seperti ini. Tangannya bergerak mengurut pelipis, meredakan pusing tersebut. Sembari pandanganya berputar dan menyadari bahwa ia tengah terbangun di tempat yang asing.Tak hanya tempatnya yang asing, tetapi firasa buruk seketika menerjang dadanya ketika Megan merasakan ada yang janggal dengan ... tubuhnya? Kedua mata Megan yang sudah terbuka sempurna, kini lebih lebar. Membuat Megan melompat terduduk.Megan mencoba meraba ingatan terakhirnya sebelum kesadarannya perlahan melayang. Menggali dan menggali lebih dalam lagi hingga menemukan ingatan terakhirnya akan kegelisahannya tentang Kiano yang me
Butuh beberapa menit bagian Megan untuk benar-benar berhenti dari isalan tangisnya. Kembali tenang dalam pelukan Nicholas. Usapan lembut Nicholas di kepala Megan pun berhenti. Pria itu menunduk ketika tubuh Megan bergerak menjauh mengurai pelukannya. Dan wajah mungil wanita itu bergerak terdongak, menatap wajahnya dengan emosi yang begitu dalam. Tangannya menyapa basah di bawah kedua katanya sembari berkata dengan suara lirih yang serak. "Kumohon jangan katakan apa pun kepada siapa pun tentang semua ini."Nicholas tak mengatakan apa pun. Seorang Megan Ailee tak pernah mengatakan sebuah permohonan kepadanya. Keangkuhan wanita itu begitu sulit dan tak pernah mampu ia gapai. Membuat Nicholas merasakan satu langkah pencapaian dalam meraih hati Megan. Dengan hati yang tersenyum bangga, pria itu menganggukkan kepala sembari berkata dengan suara lembut yang penuh dengan ketulusan. "Aku akan menganggap semua ini tak pernah terjadi. Bagaimana?"Megan sendiri dibuat terkejut dengan penawaran N
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m