Perawat yang berada di dalam ruang NICU keluar memanggil dokter Rizki. "Dokter kondisi pasien semakin kritis."
Dokter itu beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke ruang ICU. Eliza sudah tidak berkata apa-apa lagi.Wanita itu hanya terus berdoa agar sang putra bisa selamat. Dia tidak sanggup dan belum mampu untuk ditingkatkan putranya.
Bahkan, saat hari sudah berganti, wanita itu tetap duduk di depan ruangan.Tulangnya sudah terasa lemas dan tidak sanggup untuk berdiri. Barulah ia merasakan denyutan nyeri di telapak kakinya saat efek bius menghilang.
Ceklek!
Seorang perawat tampak membuka ruangan NICU.
Hal ini membuat Eliza seketika berdiri.
"Sus, apa saya boleh masuk ke dalam?" tanyanya."Maaf Bu, kita harus menunggu dokter dulu. Ibu juga di minta ke kasir, untuk menyelesaikan administrasi."
"Baik, Mbak."Eliza menuruti perintah perawat untuk kasir.
Reaksi obat bius yang sudah mulai hilang membuat dia kembali merasakan sakit dan nyeri di telapak kakinya.Wanita itu lantas berjalan dengan menyeret kakinya yang terasa sangat sakti.
Tak butuh waktu lama, administrasi dengan cepat diselesaikan.Eliza kembali ke ruang NICU tempat anaknya dirawat dan dokter yang menangani putranya sudah di depan pintu NICU.
"Dok...?" Eliza bertanya dengan bibir gemetar, "Bagaimana kondisi anak saya?"
"Maaf, nyawa bayi, ibu tidak bisa tertolong."
Deg!
Mendengar perkataan sang dokter, jantung Eliza seakan berhenti berdetak. Penglihatannya mulai buram dan gelap. Dalam waktu beberapa detik, dia sudah tidak sadar.
Eliza dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan.Tim medis yang ada di rumah sakit, hanya bisa memandang ibu muda itu dengan rasa kasihan.
Setelah pingsan sekitar 1 jam, Eliza kemudian sadar. Dia memandang ke sekelilingnya dan melihat perawat berada di dalam ruangan tersebut. "Ibnu, Ibnu!" Eliza menangis histeris dan memanggil nama putranya. "Ibu, harus tenang," kata perawat. "Suster di mana anak saya? Anak saya tidak apa-apa kan sus? Anak saya sudah bisa saya bawa pulan kan sus?" Eliza bertanya dengan tersenyum. Namun cairan bening terus saja membasmi pipinya. Eliza yakin bahwa apa yang dikatakan dokter itu hanya mimpi. Atau dokter itu hanya sedang bercanda. "Tapi jika belum boleh di bawa pulang, tidak apa-apa juga. Saya tidak masalah jika bayi saya di rawat untuk beberapa hari. Jika dia sudah sembuh, saya akan bawa pulang." Elizabeth tersenyum memandang perawat yang berdiri di samping tempat tidurnya. Perawat itu diam beberapa saat. Meskipun tidak tega namun dia tetap harus mengatakan kepada ibu dari pasiennya tersebut. "Jenazah bayi sedang disiapkan untuk dibawa pulang," jawab perawat. Eliza menangis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mendengar jawaban si perawat. "Anak saya pasti sehat, dia hanya demam." Eliza tertawa kecil. Dia terus menolak kenyataan yang ada. "Ibu harus tabah, apa ada pihak keluarga yang bisa dihubungi terutama ayah pasien?" tanya perawat. Jika kondisi ibu bayi, depresi seperti ini mana mungkin bisa mengurus jenazah. Eliza diam beberapa saat. Ini adalah suatu kenyataan yang harus dia terima. Dia harus bisa kuat demi anaknya. "Saya tidak punya keluarga sus, ayahnya juga sedang sibuk. Saya akan urus semuanya sendiri. Apa saya bisa di antarkan untuk melihat jenazah anak, saya?" Hatinya begitu terluka, atas apa yang di lakukan oleh sang suami. Menghubungi Sandy, juga tidak ada gunanya.Anaknya telah pergi!
Eliza juga tidak berniat meminta pria itu mengurus jenazah anaknya.
Diam-diam, perawat di samping Eliza merasa tidak tega. "Mari ibu saya antar.""Terima kasih sus," Eliza berjalan dengan tertatih. Meskipun perawat menawarkan kursi roda, namun dia menolak dan memilih berjalan sendiri.
Eliza melihat anaknya yang sudah di tutup kain putih. Kakinya terasa lemas ketika melihat bayinya yang berumur 3 bulan, sedang berbaring di atas tempat tidur. Secara berlahan dia membuka kain dan melihat wajah bayinya. "Nak, kenapa pergi tinggalkan ibu seperti ini. Ibu gak sanggup nak, benar-benar gak sanggup." Eliza menangis sambil memeluk anaknya. Mengapa saat dia mengalami hal berat seperti ini, dia harus menjalaninya sendiri? Sebenarnya, di mana kebahagiaan yang dijanjikan suaminya?Dulu Sandy datang ke desanya untuk melamarnya dan berjanji di depan ibunya, untuk membagikan Eliza. Namun ternyata pria itu ingkar!
Eliza terus menangis sambil memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa. Sedangkan perawat, hanya diam melihatnya. "Kapan saya bisa membawa anak saya pulang?" "1 jam lagi, apa ibu mau bayinya langsung dimandikan?" Eliza mengusap pipi bulat bayinya. "Tidak sus, saya ingin memandikan anak saya di rumah." "Apa ibu mau membawa bayi ibu pakai ambulan?" "Iya sus," jawabnya lemah. "Apa suster bisa membantu saya untuk mengurus administrasinya?" Eliza mengusap air matanya. Tubuhnya terasa lemas, dan tidak mampu untuk berjalan. "Baiklah tunggu sebentar," jawab si perawat. Perawat itu pergi dan kemudian kembali dengan membawakan kwitansi pembayaran. Eliza melihat nominal yang harus dibayar termasuk biaya mobil ambulans. "Suster uang saya hanya ada segini dan ini cincin saya sebagai jaminan. Nanti setelah anak saya selesai pemakaman, saya akan datang lagi ke sini untuk membayar sisanya." "Baik ibu," jawab si perawat yang kemudian pergi. Eliza terus menangis sambil memeluk putranya. Apa yang terjadi hari ini, seperti mimpi untuknya. Kemarin dia baru menyaksikan sang putra bisa telungkup dan kembali telentang. Pagi semalam dia masih melihat senyum bayinya belum tumbuh gigi. Tadi malam, dia juga masih mendengar suara tangis putranya. Namun pagi ini dia sudah melihat jenazah buah hatinya. "Ibu, ambulance nya sudah siap, mari saya antar ke parkir belakang." Eliza hanya menganggukkan kepalanya sambil mengendong anaknya. Dia masuk ke dalam mobil ambulans dan duduk di kursi depan.Duduk di dalam ambulance seperti ini mengingatkannya ketika sang ibu meninggal beberapa bulan yang lalu.
Namun sekarang dia kembali duduk di dalam mobil ambulans membawa putranya....
***Tiba di rumah, beberapa tetangga terkejut akan kedatangan Eliza.
Terlebih, mendengar raungan Eliza terhadap sang putra.
"Ibnu, ayo bangun nak, ini sudah jam mimik."
Kebetulan, air susu Eliza keluar dengan deras hingga membuat daster yang dipakainya basah. Biasanya jika seperti ini, maka ini sudah jadwal putranya meminum ASI.
Tapi, putranya justru terbujur kaku.
"Nak, jangan tinggalkan ibu di rumah ini sendiri. Ibu suka takut kalau sendiri di rumah." Eliza menangis pilu.
Suara tangisnya membuat orang yang mendengar tidak tega dan ikut menangis.
"Ibu tidak sanggup kalau Ibnu pergi. Siapa nanti yang menemani ibu tidur kalau malam?"
Suami Eliza sangat jarang pulang. Dalam satu Minggu, hanya satu hari di rumah. Selebihnya di luar kota, katanya.
Wanita paruh baya yang merupakan tetangga Eliza mencoba untuk menenangkan wanita muda itu.
"Eliza, sabar nak."
Namun, Eliza terus menangis dan meratapi nasibnya. "Kenapa Ibnu tinggalkan ibu sendiri, Nak, ayo bangun."
"Ada apa ini?"
Suara pria yang sangat dikenal Eliza tiba-tiba terdengar.
Sandy, sang suami, tampak masuk ke dalam rumah dengan kaki yang terasa begitu lemas.
Melihat wajah putranya yang seperti sedang tertidur membuat dia kembali menangis.
Sedangkan wanita yang ikut bersama dengannya, duduk di samping Sandy sambil memeluk tubuh pria tersebut.
Terlihat jelas bahwa wanita itu menunjukkan bahwa dia sangat perduli terhadap Sandy. Tanpa menghiraukan Istri Sandy yang saat ini terpukul karena kehilangan anaknya.
"Sayang, apa yang terjadi? Mengapa anak kita meninggal?" Sandy tiba-tiba memegang tangan Eliza. Namun wanita itu menepis tangannya dengan kasar.
Marah, kecewa dan sakit akan kehilangan membuat Eliza begitu membenci suaminya.
Orang-orang yang berada di dalam rumah menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara tangis dan teriakan dari sana. Beberapa orang wanita dan pria kembali masuk ke dalam rumah.
Mereka adalah mertua dan saudara ipar Eliza!
"Apa yang terjadi terhadap cucuku, mengapa cucuku bisa meninggal?"
Mertua Eliza datang dan langsung membentaknya keras!
Eliza sendiri hanya menatap kosong. Jiwanya seolah sudah tak ada di situ.
Hal ini membuat sang mertua semakin murka. "Dasar wanita kampung tidak berguna. Hanya mengurus satu anak saja kau tidak bisa!" bentaknya, lalu menarik rambut Eliza di depan mayat cucunya....
Apa yang dilakukan oleh wanita itu membuat orang-orang di sana terkejut! Sandy sendiri langsung mencegah sang ibu. "Mama jangan seperti ini, kasihan Eliza!" ucapnya. "Kasihan kamu bilang? Wanita ini tidak becus. Dia benar-benar wanita kampung yang tidak berpendidikan. Sudah mama bilang sama kamu jangan menikahinya, kamu tetap saja menikahinya. Lihatlah mengurus satu anak pun dia tidak bisa. Lihat cucuku mati karena wanita ini. " Wati menangis dan semakin menarik kuat rambut Eliza. Namun, Eliza seperti sebongkah batu yang tidak merespon apapun. Matanya terus saja menatap tubuh mungil anaknya. "Seharusnya aku hanya memiliki menantu Mirna saja. Mirna wanita hebat, pintar, cerdas, berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik tidak seperti kau benalu. Bahkan mengurus anak pun tidak bisa." Wati terus saja mengamuk dan menarik rambut Eliza sekuat tenaganya. Lagi-lagi, Eliza tetap tidak merespon perkataan Wati. Bahkan jika wanita itu ingin membunuhnya saat ini juga, dia akan mati
Nathan kini duduk di meja kerjanya.Matanya tertuju ke layar komputer namun pikirannya hanya terfokus dengan bayinya. Dia sudah mengatakan masalah ibu asi kepada maminya dan berharap sang mami bisa dengan cepat mendapatkan pendonor ASI untuk anaknya. Namun ternyata mencari pendonor ASI bukanlah hal yang mudah!Padahal, Maminya sudah mencari lewat perantara asisten rumah tangga, tetangga dekat rumah, dan teman-teman sesama sosialitanya. Namun tidak menemukan wanita yang bisa menjadi donor ASI. Karena untuk menjadi pendonor ASI ,wanita itu memang memiliki ASI yang banyak. Dan biasanya jika anak sudah berusia 1 tahun ke atas, produksi ASI pun berkurang. Kepala Nathan serasa ingin meledak ketika memikirkan ini semua.Jika tidak segera mendapatkan ibu susu untuk bayinya, dia mencemaskan tumbuh kembang anak malang tersebut. Pria itu menjangkau ponsel yang diletakkannya di atas meja dan menghubungi asisten pribadinya. Setelah berbicara dengan orang kepercayaannya itu, Nathan menutup
"Tentu saja rumah sakit ini sangat menerima donor ASI, kalau mbak ingin donor ASI langsung ke ruang perawatan bayi saja di lantai 4." Eliza tersenyum. "Baik mbak, terima kasih." Setelah administrasi selesai, ia pun pergi ke lantai 4 sesuai arahan dari wanita yang duduk di kasir tersebut. Eliza tahu di mana ruang perawatan bayi karena memang Ibnu lahir di sini. Setelah lahir, Ibnu sempat dimasukkan ke box inkubator karena sudah terlalu banyak minum air ketuban. Bahkan bayi Ibnu lahir dengan kondisi bibir biru dan tidak menangis.Jadi, Eliza selalu berkunjung ke ruang bayi sambil mengantarkan ASI untuk anaknya. Rumah sakit ini sungguh bersejarah.Tempat anaknya dilahirkan dan menghembuskan nafas terakhirnya.Dada Eliza seketika merasa sesak kala mengingat itu.Untungnya, dia sudah tiba di ruangan yang dimaksud.Jadi, Eliza berusaha tegar--membuka pintu dan melihat tiga perawat di ruang bayi. "Permisi sus." "Ya dek, ada apa?" tanya perawat yang sedang berjaga di ruang bayi.Mem
Perawat itu diam selama beberapa detik ketika melihat senyum menawan pria satu anak tersebut. "Iya mas," jawabnya kemudian. Sudah satu minggu ini selalu bertemu dengan Nathan. Namun baru kali ini perawat itu melihat senyum di wajah tampan pria itu. "Asinya juga sangat banyak mas, jadi ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Apa ibu itu mau menjadi pendonor tetap untuk anak saya?" "Saya belum tahu mas," jawab si perawat. "Apa saya bisa menghubungi ibu itu." Nathan sangat senang, karena dia tidak perlu susah-susah untuk mencari pendonor ASI. "Maaf mas, saya juga lupa tadi meminta nomor handphone," sesal si perawat. "Apa ibu itu meninggalkan alamat, agar saya bisa datangi ke rumahnya." Tanya dengan penuh semangat. "Maaf mas, alamatnya juga tidak ada." Nathan mendengus kesal. Dia berharap wanita yang memberikan ASI untuk anaknya bisa segera dihubungi namun ternyata tidak. "Kalau saya boleh tahu nama yang mendonorkan ASI untuk anak saya?" tanyanya dengan begitu pena
Bagi semua orang, kuburan merupakan tempat yang paling menakutkan, namun tidak untuk Eliza. Wanita muda itu terlihat nyaman duduk di depan kuburan anaknya. Air mata mengalir dengan deras seakan tidak ada keringnya. Bahkan mata yang biasanya bulat dan besar, kini sudah terlihat sangat kecil dan sembab. "Nak, ibu mau cari kerjaan, biar gak suntuk di rumah. Ibu mau cari uang untuk beli kambing akikah, Ibnu. Soalnya ibu dah janji, untuk beli 2 kambing. Ibu juga akan membuatkan batu nisan yang cantik." Eliza memeluk tumpukan tanah kuburan anaknya dan berharap bisa melepaskan rasa rindu yang menyesakkan dada. Mau bagaimanapun orang mengatakan harus ikhlas, namun tetap Eliza belum bisa mengikhlaskan anaknya. "Nak, ibu pamit pulang ya soalnya sudah sore. Maafkan ibu yang tidak bisa meluk Ibnu. Andaikan waktu bisa di putar kembali, pagi itu ibu akan langsung bawa Ibnu ke rumah sakit. Agar Ibnu bisa langsung di rawat." Eliza mengusap papan nama anaknya dan kemudian memeluk papan itu cukup l
Sudah 10 hari, namun rasa sakit di kakinya tidak juga hilang, hingga Eliza kesulitan berjalan. "Eliza," panggil seorang pria.Eliza tidak yakin ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Namun tetap saja dia menghentikan langkah kakinya serta menoleh ke belakang."Hai, bagaimana kabar kamu?" Tanya pria dengan gaya sok akrabnya. "Baik," jawab Eliza yang sedikit tersenyum."Masih ingat dengan saya?" Dokter berwajah manis itu tersenyum ramah dan bertanya. "Dokter," jawab Eliza. Meskipun malam itu kondisinya sangat buruk, namun Eliza tidak bisa melupakan sang dokter yang sudah berusaha menyelesaikan anaknya. "Iya, saya dokter Rizki, senang bisa berjumpa dengan kamu lagi. Bagaimana kondisi kaki kamu?" Dokter itu bertanya dan memandang kaki Eliza.Saat Eliza lewat di depannya, dia sangat mengingat wanita muda tersebut. Rizki memanggil Eliza karena dia melihat wanita itu berjalan sambil menyeret kakinya."Masih sakit dok, mungkin sebentar lagi sehat." Eliza tersenyum dan memandang ke a
Apa suntik mati katanya? Dokter Rizki tercengang ketika mendengar permintaan Elisa. "Saya takut suntik tapi kalau yang dikasih suntik mati, saya nggak takut." Eliza berkata dengan putus asa."Saya mengerti perasaan kamu, tapi kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus menyayangi diri kamu sendiri. Kasihan anak kamu, dia akan merasa sedih jika melihat ibunya menangis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berdiri di samping Eliza. Eliza dengan cepat menghapus air matanya. Dia hanya diam ketika dokter itu memeriksa detak jantung, perut dan tensi darahnya."Tensi darah rendah 90/70, asam lambung naik," kata dokter Rizky setelah melakukan pemeriksaan terhadap Eliza."Ada harapan untuk mati gak dok?" Eliza bertanya dengan antusias."Mati lagi yang di omongin." Dokter itu memandang Eliza dengan marah. "Yang sudah mati, dikubur, mereka menangis dan memohon agar bisa hidup kembali. Kamu yang masih hidup, malah sibuk ingin mati." Dokter itu berkata dengan kesal."Saya cuma nanya dok," Eli
Jantung Eliza seakan ingin lepas karena terkejut melihat sosok yang berdiri di depan pintu. Pria itu seperti hantu yang seakan bisa membuat dia mati karena serangan jantung. Eliza semakin kesal ketika melihat wajah pria itu yang seakan tidak merasa bersalah padahal sudah membuat dia hampir mati karena serangan jantung. "Maaf mas saya permisi." Eliza keluar ketika pria itu sudah memberikan jalan untuknya. Sedangkan pria itu hanya diam memandang Eliza. "Tadi siapa? "Nathan bertanya ketika dia sudah duduk di depan Rizki. Sahabatnya itu seorang dokter spesialis anak, mustahil rasanya jika Rizky memiliki pasien yang sudah dewasa seperti wanita barusan. "Oh itu, cantik kan? "Rizky tidak menjawab, justru malah balik bertanya. "Selera kamu anak kecil," ejek Nathan "Walaupun kecil-kecil kan sudah bisa buat anak. Dia itu sangat baik dan ibu yang baik. Terkadang usia tidak menjamin seseorang akan lebih dewasa dan bertanggung jawab terhadap anaknya sendiri. "Rizky memandang Nath
"Bagus, jangan bertahan sama orang yang tidak berhati. Biarkan saja mereka bahagia dengan kehidupannya sendiri. Kita juga bisa bahagia dengan kehidupan kita sendiri." Perkataan Marwan menjadi isyarat bahwa pria itu mendukung semua yang ingin dilakukan oleh Eliza. "Gimana nak lukanya, apa ada yang mengkhawatirkan?" Marwan bertanya sambil memandang luka-luka di wajah Eliza. "Nggak ada yang serius pa, ini hanya luka ringan saja. Sudah nggak sakit juga. "Eliza tersenyum mengusap pipinya. "Seperti ini lukanya kamu bilang nggak apa-apa?" Nathan langsung memotong perkataan Eliza. Eliza yang dipukul, namun dia merasa kesakitan. Apalagi ketika melihat banyak memar serta luka di kening Eliza yang harus mendapatkan jahitan. Eliza terdiam mendengar perkataan dari Nathan. "Papa harap ini yang terakhir kalinya Eliza diperlakukan seperti ini nak." Marwan berkata dengan raut sedih. Sebagai seorang ayah, dia tidak tega melihat kedua anak perempuannya mendekam di penjara. Perbuatan Tia dan juga
Eliza terkejut memandang pria bertubuh tinggi yang berdiri di ambang pintu. "Papa." Pria itu tersenyum hangat memandang Eliza. Rona bahagia terlihat jelas diwajahnya yang tampan."Papa!" Teriak Eliza sambil berlari dan langsung memeluk Marwan. "Iya nak, bagaimana kondisi Eliza?" Marwan tersenyum sambil mengusap kepala Eliza. Di keluarga Sandy hanya pria inilah yang begitu sangat menyayangi Eliza dan juga Ibnu. Suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan oleh Eliza. "Liza baik Pak, maafin Liza yang nggak bisa jagain papa sewaktu sedang sakit," sesal Eliza. "Tidak apa-apa nak, papa ngerti kok seperti apa Kondisi Eliza. Bahkan papa selalu berdoa agar Eliza tidak datang ke rumah. Keputusan Eliza untuk pergi sudah sangat tepat." Marwan berkata dengan raut wajah sedih.Marwan tahu Wati akan menjadikan Eliza babu seumur hidup. Karena itu dia tidak mau Eliza menghabiskan masa muda dan masa depannya bersama dengan suami seperti Sandy. Laki-laki yang tidak memiliki prinsip. "Papa sudah seh
"Eliza kenapa tidak cerita sama mami kalau masalahnya seperti ini?" Mawar langsung bertanya setelah perawatan Kiara pergi."Maaf mi," jawab Eliza sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa nggak cerita sama mami?" Mawar memandang Eliza dengan kecewa.Padahal Ia sudah menganggap Eliza sebagai anaknya sendiri. Namun mengapa Eliza tidak mau memberitahukan permasalahan ini kepadanya. Jika seandainya tahu masalah yang dihadapi Eliza, ia akan diselesaikan semuanya. Eliza tidak perlu terluka seperti sekarang. "Maaf mi, niatnya mau selesaikan masalah ini sendiri. Liza ingin menyelesaikan semuanya secara baik-baik. Liza udah nabung uang gaji, agar bisa bayar hutang. Kata ibu Wati, kalau hutang sudah lunas, Liza baru boleh cerai dari Mas Sandy. Liza gak menyangka masalahnya akan jadi seperti ini." Eliza menjelaskan secara singkat. Bagi Mawar, Eliza sangatlah menderita karena mendapat pemukulan hingga seperti ini. Namun bagi Eliza, ini hanya luka kecil. Ibarat kata orang, jika ingin menangkap ika
"Eliza, kamu tidak apa-apa kan?" Mawar tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya. Wanita berwajah cantik itu langsung mengusap wajah Eliza dengan lembut. Jika seandainya Wati beserta kedua anaknya tidak ditahan oleh pihak kepolisian, ketiga wanita itu pasti akan merasakan kekejaman yang dilakukan Mawar. Wanita asal Inggris itu memang tidak pernah melakukan hal yang keji, namun bukan berarti dia tidak pandai membalas perbuatan orang lain hingga 10 kali lipat lebih buruk. "Liza nggak apa-apa Pi, mi." Eliza tersenyum memandang Hermawan dan Mawar."Seperti ini kondisi kamu, masih bilang gak apa-apa?" Nathan berkata dengan marah.Eliza tidak berani memandang Nathan. Sejak tadi pria itu selalu saja mengomelinya hingga telinga Eliza terasa panas. Apa lagi cari Nathan menatapnya, seakan menelannya hidup-hidup."Apa ada luka serius dengan Eliza, Riz?" Mawar bertanya dengan Rizki. Sejak tadi Rizki berdiri di samping dokter yang memeriksa Eliza. Secara tidak langsung ia mengawasi dokt
"Sebentar sus," kata Mawar sambil menghentikan kedua perawat tersebut. "Ada apa Bu?" tanya salah seorang perawat. Mawar mengeluarkan uang 5 juta dari dalam tas nya. "Ini saya ada rezeki untuk kalian berdua." Kedua perawat itu terkejut melihat uang yang diberikan mawar. "Ibu ini uang apa?" Tanya kedua perawat itu secara bersamaan. "Kebetulan ada rezeki, kalian bagi dua," jawab Mawar dengan tersenyum."Tapi sebaiknya tidak usah." Perawat cantik itu menolak uang yang diberikan Mawar. "Tidak boleh menolak rezeki, ini rezeki kalian." Mawar menyodorkan uang ke tangan salah seorang perawat. "Tapi Bu." "Saya tahu kalian itu kerjaannya berat tapi gajinya sedikit. Ini sengaja saya kasih untuk kalian, agar kalian bisa makan enak di akhir bulan." Mawar tersenyum ramah."Ibu baik sekali, terima kasih ya Bu," kata kedua perawat itu dengan sangat bahagia. "Kalau boleh tahu bayi yang lahir cacat itu siapa ya?" Tanya Mawar yang pemasaran."Oh itu Bu, Mas yang duduk di ruang operasi itu. Anak
Tubuhnya lemas seketika. Bahkan kakinya tidak mampu menopang berat badannya sendiri. Pria itu terduduk di lantai dengan wajah yang pucat. "Pak Sandy, Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dokter pria tersebut. Sandy diam sambil menggelengkan kepalanya. Jika anaknya sudah dibawa ke ruang bayi terlebih dahulu dan barulah melihatnya, dia pasti akan menuduh pihak rumah sakit telah mengganti anaknya. Namun nyatanya tidak, ia langsung melihat kondisi anaknya yang baru terlahir. Bahkan tubuhnya masih banyak lendir dan juga darah. Ini artinya bayi perempuan yang sedang menangis itu memang benar anaknya. "Pak Sandy, apa anda baik-baik saja?" Dokter itu kembali bertanya karena melihat Sandy yang hanya diam seperti patung. Cukup lama pria itu terdiam dan pada akhirnya sebuah kalimat keluar dari bibirnya. "Apa anak saya cacat?""Iya Pak," dokter itu menjawab sesuai dengan kondisi sang bayi. Sandy berusaha berdiri, dibantu oleh seorang perawat. Dilihatnya wajah bayi perempuannya yang sangat cantik.
Hermawan yang sedang memimpin rapat menghentikan ucapannya ketika asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Biasanya asisten pribadinya akan melakukan hal tersebut jika ada sesuatu hal yang dianggap darurat. "Maaf Pak, Ibu Mawar ada di ruangan bapak. Beliau mengatakan ada hal buruk yang terjadi terhadap nona Eliza. Ibu Mawar meminta agar anda segera ke ruangan." Pria bertubuh tinggi itu sedikit membungkuk dan berbisik di dekat telinga Hermawan. Jantung Hermawan seakan berhenti berdetak ketika mendengar apa yang dikatakan oleh asisten pribadinya. Setelah diam beberapa detik barulah Hermawan menarik napas panjang dan kemudian menghembuskannya. "Untuk saat ini rapat saya ditunda," Hermawan beranjak dari duduknya dan langsung keluar dari ruangan. Dengan langkah cepat ia langsung berjalan menuju ke ruangannya. Begitu sampai di ruangannya, Hermawan langsung masuk dan melihat Mawar yang sedang menangis. "Mami, ada apa ini?" Hermawan bertanya dengan wajah cemas. "Papi, Eliza."
"Mereka tidak mungkin di penjara, Eliza tidak akan menuntut mama, dan kakak-kakak, aku. Aku sangat tahu seperti apa sifat Eliza." Sandy berkata dengan yakin."Ya kita lihat saja nanti seperti apa perkembangan kasusnya. Oh iya papa lupa memberitahumu kalau papa akan melakukan akad nikah minggu depan di hotel berlian," kata Marwan."Papa tidak sedang bercanda?" Tanya Sandy dengan nada tidak suka. Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bercanda."Papa tidak bercanda, kamu silakan datang. Acara akad dimulai jam 09.00 pagi dan dilanjut dengan acara resepsi hingga jam 04.00 sore. Namun jika kamu tidak bisa, ya tidak apa-apa.""Papa, aku lagi pusing jadi jangan bercanda seperti ini." Sandy berulang kali menghirup napas panjang dan kemudian menghembuskan secara berlahan-lahan."Papa tidak bercanda, Kamu boleh datang jika tidak percaya." Marwan berkata dengan serius."Mama sedang mengalami musibah pa, begitu juga dengan kedua anak papa. Apa papa tidak punya hati sedikitpun?" Sandy berkata de
Hati Sandy terasa sakit seperti diiris ketika melihat kekejaman Wati, Tia, dan Tina. Dengan kejamnya mereka mengeroyok Eliza dan memukulnya. dengan anarkis. Lidah mereka begitu ringan ketika menghina, mencaci dan memaki Eliza.Peristiwa seperti ini sudah sering sekali dilihatnya. Bahkan selama ini dia selalu diam setiap kali melihat Eliza diperlakukan dengan kasar oleh Mama serta kedua kakaknya. Namun tidak untuk sekarang, Sandy merasakan sakit yang luar biasa. Seharusnya dia menonton video itu hingga habis namun ternyata sandy mematikan layar handphonenya. Sandy kembali menghubungi nomor Marwan, dan sambungan telepon pun langsung diangkat oleh sang papa. "Pa, aku sudah melihat beritanya. Mengapa mereka tega melakukan ini terhadap Eliza?""Mengapa bertanya kepadaku? "Marwan justru balik tanya. "Mengapa Mama, kak Tia dan juga kak Tina dengan tega memperlakukan Eliza seperti itu? " Sepertinya Sandy masih belum bisa memahami dengan jelas maksud dari video tersebut. Bahkan dia tidak