Malam semakin larut, hujan turun dengan derasnya.
Kilat masuk melalui celah jendela seakan siap menyambar.
Di dalam kegelapan, seorang wanita muda sedang menangis sambil memeluk tubuh kecil bayinya.Meskipun suara petir menggelegar dan memekakkan genderang telinga, Eliza Afrina tidak takut.
Yang dia pikirkan saat ini hanyalah anaknya yang sedang panas tinggi.
Obat penurun panas yang diberikan bidan, sudah dia berikan. Tapi, tak kunjung meredakan panas sang putra.
"Nak?"
Eliza menahan tangis sembari memeluk bayinya yang sudah pucat itu. Bahkan tiap beberapa menit sekali, wanita itu meletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung bayi laki-laki itu untuk memastikan sang putra masih bernapas.
Berkali-kali ditelponnya sang suami, tetapi tak diangkat.
Tetangganya juga banyak yang sedang pergi ke luar untuk menghabiskan weekend bersama keluarga.
Kebetulan, kawasan perumahan yang di tempatnya, jauh masuk ke dalam dan masih sangat sepi. Jalan kiri dan kanannya bahkan masih hutan lebat.
Parahnya lagi, ponsel Androidnya baru ditukar sang suami dengan ponsel jadul tahun 2000-an, sehingga Eliza tak bisa memesan taksi online.
Setelah berpikir beberapa saat, Eliza lantas pergi ke dapur dan mengambil plastik bekas yang disimpannya. Bersyukur dia menyimpan plastik berukuran besar. Dipotongnya bagian depan seukuran wajah bayi dan kemudian memasukkan bayi ke dalam plastik.
Dibuatnya jas hujan darurat untuk putranya.
"Tahan ya nak, kita ke rumah sakit sekarang. Anak bunda akan sehat." Eliza kembali berkata dengan bibir gemetar.Tak dipedulikan tubuhnya yang basah kuyup, menggigil kedinginan.
Secepat mungkin dia berlari. Namun belum melihat ada klinik atau rumah sakit, langkah kakinya terhenti ketika merasakan tapak kakinya terasa sangat sakit seperti ada yang menancap.Bersyukur Ibnu tidak terlepas dari tangannya.
Diperhatikannya paku berukuran panjang yang menancap di telapak kakinya. Kembali menahan sakit yang luar biasa, dicabutnya paku itu.Tiba-tiba saja, cahaya kilat terlihat.
Eliza dapat melihat wajah putranya yang sudah membiru.
Dipaksanya lagi tubuhnya berlari, hingga Eliza akhirnya melihat rumah sakit."TOLONG!" teriaknya sekencang mungkin begitu tiba di resepsionis.
Seorang perawat yang melihatnya, lantas menghampiri. "Ada apa ibu?""Sus, tolong selamatkan anak saya. Badannya sangat panas. Tadi dia sempat kejang." Eliza berkata dengan menangis.
Perawat itu langsung mengambil bayi dari tangan ibunya dan membawa ke ruang UGD.Dia juga berusaha menghubungi dokter.
Kejadian ini menarik perhatian beberapa pasien. Mereka bahkan menatap iba Eliza dan bayinya yang dibungkus dengan kantong plastik besar dan hanya melubangi bagian wajahnya saja.
"Sus, bagaimana keadaan bayi saya?"Eliza menangis tiada henti. Bahkan wanita itu tidak merasakan kakinya yang terasa amat sakit.
"Sebentar ya Bu, dokter akan segera datang," kata perawat itu sambil memandang tubuh Eliza yang sudah basah kuyup dengan bibir yang membiru. Tak lama, seorang dokter laki-laki akhirnya masuk dan memeriksa kondisi bayi yang sudah tidak sadarkan diri.Dia terkejut kala merasakan telapak kaki dan tangan anak Eliza itu yang sudah terasa dingin.
"Pasang infus dan pasang oksigen," perintahnya cepat. Cairan obat melalui selang infus terpasang.Anehnya, raut wajah sang dokter tampak tak puas.
"Hubungi dokter Risky," titah dokter muda tersebut pada sang perawat yang menahan ekspresinya.
Keduanya tahu kondisi bayi sudah sangat kritis. Mereka harus menyerahkan bayi tersebut ke dokter spesialis anak.
"Dok, anak, saya baik-baik saja, kan?" Seolah merasakan keanehan, Eliza bertanya.
Namun, dokter itu menjawab dengan wajah tenang, "Kita tunggu dokter anaknya datang."
Hanya saja, dokter itu terkejut ketika menyadari kondisi ibu pasien yang baru ditangani.
"Ke sini naik apa, Bu?"
"Saya jalan kaki dok," jawab Eliza.
Dahi dokter itu berkerut saat mendengar jawaban ibu muda tersebut. "Di mana lokasi rumah Anda?"
Seketika, Eliza menjelaskan tempat tinggalnya kepada dokter muda yang sedang fokus memeriksa kondisi bayinya. Dokter itu hanya tercengang mendengar keterangan dari ibu pasien.
"Jika kondisi anak Anda seperti ini, mengapa tidak pesan taksi secara online?"
Pertanyaan itu jelas membuat Eliza menangis. "Saya tidak bisa menghubungi taksi secara online."
"Apa Anda kehabisan paket internet?" Dokter itu kembali bertanya. Selain rasa penasaran, hal ini juga untuk menenangkan si ibu yang tampak sangat panik. Setidaknya mengobrol seperti ini, si ibu bisa sedikit tenang.
Alih-alih menjawab, Eliza mengeluarkan sesuatu dari dalam saku rok yang di pakainya.
Dokter itu memperhatikan apa yang sedang di pegang wanita tersebut. Keningnya berkerut saat melihat wanita itu mengeluarkan dompet dan ponsel dari dalam kantong plastik.
"Saya tidak punya aplikasinya dok, karena handphone ini tidak bisa mendownload."
Ponsel jadul itu membuat sang dokter terkejut. Saat zaman yang sudah semakin canggih namun wanita itu terlihat begitu menyedihkan dan udik hingga tidak memiliki handphone Android. Padahal manfaat handphone itu sangatlah banyak dan penting. Namun, semua itu ditahannya.
"Ayah bayinya mana?"
Kini, seorang perawat yang penasaran ikut bertanya.
"Saya tidak tahu," jawab Eliza kembali. Ya, sudah 4 hari suaminya tidak pulang. Bahkan, pria itu tidak pernah membalas pesan yang dikirim Eliza, termasuk permohonannya tadi.
Dokter muda itu hanya diam memandang Eliza.
Namun, tatapan matanya berpindah ke arah kaki wanita tersebut. Seketika dia membelalak. Segera dia memerintahkan sang perawat untuk memeriksa.
Sayangnya, Eliza menolak. "Saya tidak apa-apa dok, tolong selamatkan anak saya."
"Anak ibu dalam penanganan, sebaiknya ibu duduk agar kondisi kaki ibu dilihat dan diobati," jelas dokter tersebut.
"Kaki saya tidak apa-apa Dok, saya hanya terinjak paku."
Lagi, Eliza menolak. Sebenarnya, dia takut uang yang dimilikinya tidak cukup untuk biaya berobat putranya karena harus membayar uang pengobatan kakinya.
"Saya akan periksa Bu," ucap perawat tersebut yang memaksa Eliza untuk duduk di atas tempat tidur yang berada di samping bayi Eliza.
Eliza akhirnya hanya diam dan menurut. Dia duduk di atas tempat tidur dan membiarkan perawat memeriksa kakinya yang terasa sakit dan berdenyut nyeri.
"Dok ini pakunya masih ada yang menempel di kaki dan gak bisa dicabut."
Dokter itu lantas mendekati Eliza dan melihat paku yang menancap di kaki wanita tersebut.
Melihat ini saja, dokter itu sudah merinding. Dia tahu seperti apa rasa sakit yang dialami oleh wanita tersebut. Bahkan kakinya sudah membiru. Dengan kondisi kaki yang seperti ini ibu muda itu tetap bisa sampai ke rumah sakit membawa anaknya, sungguh sangat menyedihkan.
Setelah melakukan tindakan terhadap bayi, dokter itu kemudian berpindah kepada ibu muda yang berwajib pucat dengan bibir biru, serta tubuh menggigil kedinginan. Dokter itu merasa prihatin ketika melihat kondisi bayi berserta ibunya.
Disuntik biusnya kaki Eliza. Setelah memastikan bius itu bekerja, dokter muda itu mencabut paku dengan memakai alat semacam tang.
"Pakunya panjang sekali, ini juga paku berkarat."
Dokter itu menunjukkan paku yang dilumuri cairan berwarna merah tersebut.
Setelah paku dicabut, barulah darah mengalir dari kaki yang berlubang.
Namun, Eliza hanya diam memandang paku di tangan dokter itu. Kepalanya dipenuhi sang putra.
Di saat yang sama, seorang dokter tampak masuk ke dalam ruang UGD. "Apa ini bayinya?"
"Iya dok," jawab perawat.
Dokter itu segera melihat catatan pasien dan kemudian memeriksa detak jantung bayi.
Terdengar helaan nafas pelan dari bibir dokter tersebut. "Langsung masukkan ke ruang NICU."
Deg!
Mendengar perkataan dokter itu, membuat jantung Eliza berdetak semakin cepat. "Bagaimana kondisi bayi saya dok?" tanyanya dengan bibir yang bergetar.
"Sebaiknya ibu banyak berdoa," ucap si dokter yang kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Eliza yang baru diobati, seketika berjalan dengan dengan cepat mengikuti dokter yang menangani bayinya. Wanita itu menghentikan langkah kakinya.
Namun, seorang perawat menghentikannya di depan ruang NICU. "Mohon tunggu di sini dulu Bu."
"Tapi anak saya?" Eliza menangis sambil menutup mulutnya.
"Ibu harap tunggu di sini, agar dokter bisa menangani dengan baik."
Setelah mengatakan itu, sang perawat kemudian masuk ke dalam ruangan.
Eliza hanya diam dan memandang pintu yang tertutup dengan rapat. Dia ingin mengintip kedalam namun sayangnya tidak ada celah untuk mengintip.
Cukup lama Eliza menunggu dokter keluar dari dalam ruangan NICU. Dia sudah tidak sabar untuk mengetahui kondisi bayinya. Ada rasa lega ketika melihat dokter keluar dari dalam ruangan. Dia berharap dokter memberikan kabar baik untuknya.
Hanya saja, harapannya tak terkabul.
Begitu sang dokter keluar, dia mengumumkan kabar yang membuat Eliza terpukul.
"Kondisi bayi ibu kritis. Dan bayi sudah tidak sadarkan diri sejak 2 jam yang lalu," jelasnya.
Bugh!
Seketika Eliza limbung dan terjatuh ke belakang. Bersyukur dokter Rizki dengan sigap menangkap tubuh kurus si wanita.
"Dokter, tolong selamatkan anak saya dok. Saya tidak ingin jika sampai anak saya meninggal." Eliza menangis dan meremas tangan dokter laki-laki tersebut.
Kondisi Eliza yang seperti ini membuat dokter Rizki tidak tega untuk memberitahukan kondisi bayi malang tersebut.
"Kami akan mengusahakan yang terbaik. Di mana ayahnya? Saya ingin berbicara dengan beliau," ucap pria di depan Eliza itu kembali.
"Dia tak bisa dihubungi, Dok."
Dokter Rizki mengerutkan kening. Dia hendak bertanya, tetapi seorang perawat tiba-tiba keluar NICU dengan panik.
"Dokter kondisi pasien semakin kritis!"
Perawat yang berada di dalam ruang NICU keluar memanggil dokter Rizki. "Dokter kondisi pasien semakin kritis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke ruang ICU. Eliza sudah tidak berkata apa-apa lagi.Wanita itu hanya terus berdoa agar sang putra bisa selamat. Dia tidak sanggup dan belum mampu untuk ditingkatkan putranya. Bahkan, saat hari sudah berganti, wanita itu tetap duduk di depan ruangan.Tulangnya sudah terasa lemas dan tidak sanggup untuk berdiri. Barulah ia merasakan denyutan nyeri di telapak kakinya saat efek bius menghilang. Ceklek!Seorang perawat tampak membuka ruangan NICU.Hal ini membuat Eliza seketika berdiri. "Sus, apa saya boleh masuk ke dalam?" tanyanya."Maaf Bu, kita harus menunggu dokter dulu. Ibu juga di minta ke kasir, untuk menyelesaikan administrasi." "Baik, Mbak."Eliza menuruti perintah perawat untuk kasir. Reaksi obat bius yang sudah mulai hilang membuat dia kembali merasakan sakit dan nyeri di telapak kakinya.Wanita it
Apa yang dilakukan oleh wanita itu membuat orang-orang di sana terkejut! Sandy sendiri langsung mencegah sang ibu. "Mama jangan seperti ini, kasihan Eliza!" ucapnya. "Kasihan kamu bilang? Wanita ini tidak becus. Dia benar-benar wanita kampung yang tidak berpendidikan. Sudah mama bilang sama kamu jangan menikahinya, kamu tetap saja menikahinya. Lihatlah mengurus satu anak pun dia tidak bisa. Lihat cucuku mati karena wanita ini. " Wati menangis dan semakin menarik kuat rambut Eliza. Namun, Eliza seperti sebongkah batu yang tidak merespon apapun. Matanya terus saja menatap tubuh mungil anaknya. "Seharusnya aku hanya memiliki menantu Mirna saja. Mirna wanita hebat, pintar, cerdas, berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik tidak seperti kau benalu. Bahkan mengurus anak pun tidak bisa." Wati terus saja mengamuk dan menarik rambut Eliza sekuat tenaganya. Lagi-lagi, Eliza tetap tidak merespon perkataan Wati. Bahkan jika wanita itu ingin membunuhnya saat ini juga, dia akan mati
Nathan kini duduk di meja kerjanya.Matanya tertuju ke layar komputer namun pikirannya hanya terfokus dengan bayinya. Dia sudah mengatakan masalah ibu asi kepada maminya dan berharap sang mami bisa dengan cepat mendapatkan pendonor ASI untuk anaknya. Namun ternyata mencari pendonor ASI bukanlah hal yang mudah!Padahal, Maminya sudah mencari lewat perantara asisten rumah tangga, tetangga dekat rumah, dan teman-teman sesama sosialitanya. Namun tidak menemukan wanita yang bisa menjadi donor ASI. Karena untuk menjadi pendonor ASI ,wanita itu memang memiliki ASI yang banyak. Dan biasanya jika anak sudah berusia 1 tahun ke atas, produksi ASI pun berkurang. Kepala Nathan serasa ingin meledak ketika memikirkan ini semua.Jika tidak segera mendapatkan ibu susu untuk bayinya, dia mencemaskan tumbuh kembang anak malang tersebut. Pria itu menjangkau ponsel yang diletakkannya di atas meja dan menghubungi asisten pribadinya. Setelah berbicara dengan orang kepercayaannya itu, Nathan menutup
"Tentu saja rumah sakit ini sangat menerima donor ASI, kalau mbak ingin donor ASI langsung ke ruang perawatan bayi saja di lantai 4." Eliza tersenyum. "Baik mbak, terima kasih." Setelah administrasi selesai, ia pun pergi ke lantai 4 sesuai arahan dari wanita yang duduk di kasir tersebut. Eliza tahu di mana ruang perawatan bayi karena memang Ibnu lahir di sini. Setelah lahir, Ibnu sempat dimasukkan ke box inkubator karena sudah terlalu banyak minum air ketuban. Bahkan bayi Ibnu lahir dengan kondisi bibir biru dan tidak menangis.Jadi, Eliza selalu berkunjung ke ruang bayi sambil mengantarkan ASI untuk anaknya. Rumah sakit ini sungguh bersejarah.Tempat anaknya dilahirkan dan menghembuskan nafas terakhirnya.Dada Eliza seketika merasa sesak kala mengingat itu.Untungnya, dia sudah tiba di ruangan yang dimaksud.Jadi, Eliza berusaha tegar--membuka pintu dan melihat tiga perawat di ruang bayi. "Permisi sus." "Ya dek, ada apa?" tanya perawat yang sedang berjaga di ruang bayi.Mem
Perawat itu diam selama beberapa detik ketika melihat senyum menawan pria satu anak tersebut. "Iya mas," jawabnya kemudian. Sudah satu minggu ini selalu bertemu dengan Nathan. Namun baru kali ini perawat itu melihat senyum di wajah tampan pria itu. "Asinya juga sangat banyak mas, jadi ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Apa ibu itu mau menjadi pendonor tetap untuk anak saya?" "Saya belum tahu mas," jawab si perawat. "Apa saya bisa menghubungi ibu itu." Nathan sangat senang, karena dia tidak perlu susah-susah untuk mencari pendonor ASI. "Maaf mas, saya juga lupa tadi meminta nomor handphone," sesal si perawat. "Apa ibu itu meninggalkan alamat, agar saya bisa datangi ke rumahnya." Tanya dengan penuh semangat. "Maaf mas, alamatnya juga tidak ada." Nathan mendengus kesal. Dia berharap wanita yang memberikan ASI untuk anaknya bisa segera dihubungi namun ternyata tidak. "Kalau saya boleh tahu nama yang mendonorkan ASI untuk anak saya?" tanyanya dengan begitu pena
Bagi semua orang, kuburan merupakan tempat yang paling menakutkan, namun tidak untuk Eliza. Wanita muda itu terlihat nyaman duduk di depan kuburan anaknya. Air mata mengalir dengan deras seakan tidak ada keringnya. Bahkan mata yang biasanya bulat dan besar, kini sudah terlihat sangat kecil dan sembab. "Nak, ibu mau cari kerjaan, biar gak suntuk di rumah. Ibu mau cari uang untuk beli kambing akikah, Ibnu. Soalnya ibu dah janji, untuk beli 2 kambing. Ibu juga akan membuatkan batu nisan yang cantik." Eliza memeluk tumpukan tanah kuburan anaknya dan berharap bisa melepaskan rasa rindu yang menyesakkan dada. Mau bagaimanapun orang mengatakan harus ikhlas, namun tetap Eliza belum bisa mengikhlaskan anaknya. "Nak, ibu pamit pulang ya soalnya sudah sore. Maafkan ibu yang tidak bisa meluk Ibnu. Andaikan waktu bisa di putar kembali, pagi itu ibu akan langsung bawa Ibnu ke rumah sakit. Agar Ibnu bisa langsung di rawat." Eliza mengusap papan nama anaknya dan kemudian memeluk papan itu cukup l
Sudah 10 hari, namun rasa sakit di kakinya tidak juga hilang, hingga Eliza kesulitan berjalan. "Eliza," panggil seorang pria.Eliza tidak yakin ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Namun tetap saja dia menghentikan langkah kakinya serta menoleh ke belakang."Hai, bagaimana kabar kamu?" Tanya pria dengan gaya sok akrabnya. "Baik," jawab Eliza yang sedikit tersenyum."Masih ingat dengan saya?" Dokter berwajah manis itu tersenyum ramah dan bertanya. "Dokter," jawab Eliza. Meskipun malam itu kondisinya sangat buruk, namun Eliza tidak bisa melupakan sang dokter yang sudah berusaha menyelesaikan anaknya. "Iya, saya dokter Rizki, senang bisa berjumpa dengan kamu lagi. Bagaimana kondisi kaki kamu?" Dokter itu bertanya dan memandang kaki Eliza.Saat Eliza lewat di depannya, dia sangat mengingat wanita muda tersebut. Rizki memanggil Eliza karena dia melihat wanita itu berjalan sambil menyeret kakinya."Masih sakit dok, mungkin sebentar lagi sehat." Eliza tersenyum dan memandang ke a
Apa suntik mati katanya? Dokter Rizki tercengang ketika mendengar permintaan Elisa. "Saya takut suntik tapi kalau yang dikasih suntik mati, saya nggak takut." Eliza berkata dengan putus asa."Saya mengerti perasaan kamu, tapi kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus menyayangi diri kamu sendiri. Kasihan anak kamu, dia akan merasa sedih jika melihat ibunya menangis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berdiri di samping Eliza. Eliza dengan cepat menghapus air matanya. Dia hanya diam ketika dokter itu memeriksa detak jantung, perut dan tensi darahnya."Tensi darah rendah 90/70, asam lambung naik," kata dokter Rizky setelah melakukan pemeriksaan terhadap Eliza."Ada harapan untuk mati gak dok?" Eliza bertanya dengan antusias."Mati lagi yang di omongin." Dokter itu memandang Eliza dengan marah. "Yang sudah mati, dikubur, mereka menangis dan memohon agar bisa hidup kembali. Kamu yang masih hidup, malah sibuk ingin mati." Dokter itu berkata dengan kesal."Saya cuma nanya dok," Eli
Meskipun sudah diizinkan mengambil mangga, Dirga masih tetap belum bergerak dari duduknya. "Ambil mangganya sekarang, keburu kesorean nanti," kata Mawar mengingatkan.Melihat Dirga masih belum beranjak dari duduknya, tentu saja membuat Mawar gemes. Bagaimana jika Yuna benaran hamil? Kasihan sekali jika keinginannya tidak didapatkan. "Ya Tante tapi _" Dirga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? "Mawar sangat penasaran dengan apa yang menjadi masalah bagi Dirga. "Begini tante." Dirga berkata sambil menggaruk kepalanya namun tatapan matanya mengarah ke Nathan."Ada apa kasih tahu saja," desak Hermawan. "Maaf Bos." Sebelum memulai perkataannya Dirga justru meminta maaf terlebih dahulu."Tidak usah memanggil saya bos, karena saya sekarang bukan lagi bos kamu." Nathan mengingatkan Dirga. Sekarang mereka sudah memiliki status yang sama. Sama-sama seorang Presdir. Tampaknya mertua Dirga sangat percaya kepada nya. Hingga memberikan jabatan presiden direktur kepada menantunya. Sebagai pem
"Tapi sepertinya tidak mungkin." Kata Yuna setelah diam beberapa saat. "Kenapa gak mungkin?" Tanya Kiara.Pertanyaan seperti ini sangat sulit untuk dijawab. Pernikahan resminya baru 20 hari. Namun insiden yang terjadi terhadapnya sudah 35 hari. Yuna baru teringat kalau dia sudah tidak datang bulan sejak kejadian itu. Tapi apa mungkin satu kali berbuat, langsung hamil?"Saran Kia, sebaiknya di cek deh. Atau mau Kia bantu untuk periksa pakai tespek?" "Kalau udah dicek tapi nggak positif gimana?" Yuna tampak ragu menerima tawaran dari Kiara. "Ya nggak apa-apa, tinggal dicoba lagi." Kiara tersenyum lebar. "Kalau gak positif, bang Dirga pasti kecewa banget." Yuna tampak ragu."Cobanya diam-diam aja. Jika garis dua muncul, baru deh kasih tahu ke suami, kakak," usul Eliza. "Benar, mau dicoba nggak, kebetulan ini ada tespek?" kata Kiara dengan semangat. "Emangnya ciri-ciri orang hamil seperti apa?" "Ciri-ciri di awal kehamilan nggak kelihatan, ini disebabkan karena perut yang belum mem
"Hai kak Yuna, kakak apa kabar" Eliza menyapa Yuna dengan tersenyum canggung. Kejadian ketika di perusahaan Nathan masih teringat jelas oleh Eliza. Karena itu dia merasa canggung jika berhadapan dengan Yuna seperti ini."Baik. "Yuna menjawab dengan wajah tersenyum. Eliza dapat melihat senyum tulus di bibir merah Yuna. Dari tatapan matanya tidak terlihat sedikitpun jika Yuna membenci Eliza. "Kak Yuna tambah cantik aja. Gimana bulan madunya kemarin?" Eliza mencoba berbicara dengan gaya ramah dan sok akrab. Alangkah baiknya permasalahan yang dulu tidak diingat lagi. Mereka sudah sama-sama menikah. Alangkah lebih baik jika menjadi teman. "Masak sih, perasaan Kakak tambah hitam deh." Yuna berkata sambil melihatkan tangannya. "Enggak lah kulit Kakak putih banget." Eliza berkata sambil memuji Yuna. "Ini kelihatan item banget. Sewaktu Honeymoon, Kakak sangat suka di pantai. Habis dari sana ya kayak gini jadinya." Yuna mulai curhat tentang apa yang terjadi dengannya.Yuna mulai cemas de
"Tas yang ini cantik sekali, mami suka." Mawar menunjukkan tas wanita berwarna coklat."Iya mi, cantik sekali," jawab Eliza sambil memperhatikan model tas tersebut. Mata Eliza terbelalak melihat harga tas yang ditunjukkan Mawar. Harga tas seharga mobil. Tapi uang mami mertuanya sudah berlebihan- lebih. Jadi tidak apa jika beli tas seharga ratusan juta. Jika masalah selera fashion, Mawar tidak perlu diragukan. Meskipun usianya sudah setengah abad, namun penampilan wanita itu trendy. Apa lagi postur tubuhnya yang langsing dan tinggi, membuat ia tampak lebih muda. Jika jalan ke mall bersama Eliza, orang suka beranggapan bahwa Mawar, kakaknya Eliza. Jadi bisa bayangkan seperti apa awet mudanya. Kalau kategori artis, mawar ini seperti Shopia Lajuba. "Mom." Eliza langsung menoleh ke belakang. Dia melihat Noah yang berlari mengejarnya. "Sayang, mommy." Eliza mengembalikan tangannya dan langsung memeluk tubuh putranya. "Anak ganteng mommy sudah bangun?" Tanya Eliza."Cuda," jawab Noah sa
Mawar sedang sibuk menata tempat tidur untuk Yura. Karena Rizky dan Kiara akan menetap di masion. "Akhirnya anak itu mau juga tinggal disini." Wajah Mawar tampak begitu bahagia ketika membayangkan suasana di masion yang semakin hidup dan juga ramai. "Iya mi, lagian kasihan kak Kiara. Jadwal kerja bang Rizky gak tetap. Kadang pulangnya sudah malam-malam sekali. Mana kak Kiara nggak mau pakai pembantu yang menetap di rumah. Liza aja merasa ngeri, membayangkan kak Kiara tinggal berdua sama Yura di rumah yang sangat besar." Eliza berkata dengan raut wajah serius. Mawar tertawa dan gemas melihat wajah menantunya. Ingin sekali ia mencubit pipi Eliza hingga merah, namun tidak tega. Belum lagi Nathan yang akan marah. "Nanti kalau kalian kasih mami cucu, mami mau yang cewek." Wanita paruh baya itu berkata dengan wajah tersenyum. Melihat wajah cantik Eliza dan ketampanan putranya, ia yakin cucunya pasti sangat cantik.Eliza tersenyum nyengir dan kemudian menganggukkan kepalanya. "Tapi Liz
Rizky pulang ke rumah dengan tubuh yang terasa amat lelah. Bersyukur besok tidak ada jam praktek dan juga jadwal mengajar. Ia bisa beristirahat di rumah sambil memanjakan sang istri. Sesuai janjinya dengan Kiara, besok mereka sudah pindah ke masion milik Hermawan.Rizky membuka pintu rumahnya. Di jam seperti ini kondisi rumahnya sangat sepi. Yura dan Kiara pasti sudah tertidur. Pria itu terkejut ketika melihat Yura yang sedang sibuk mewarnai lukisan yang dibuatnya sendir."Yura!" Panggil Rizky.Yura menoleh ke belakang dan memandang Rizky dengan tersenyum. "Papi sudah pulang." Gadis kecil itu tertawa girang dan langsung mengejar Rizky yang berdiri sekitar 3 meter darinya."Iya, sudah," jawab Rizky yang langsung menggendong tubuh kecil Yura. "Anak kecil, Kenapa belum tidur?" Pria berwajah manis itu tersenyum sambil mencium pipi bulat Yura."Yura sedang membuat gambar, dan menunggu papi pulang." Yura berkata dengan tersenyum lebar."Besok-besok gak usah tunggu papi. Jam 10 setelah be
"Kenapa sudah dimatikan teleponnya? Padahal aku belum selesai bicara." Sherly kesal ketika panggilan telepon diputus sepihak oleh Nathan. "Aku mau minta foto Shelia, tapi sudah di matikan." Sherly mancak-mencak sendiri karena kesal. Dia kembali mencoba menghubungi nomor handphone Nathan, namun sayang nomor yang digunakannya sudah diblokir. Padahal ini sudah kartu yang ke-10 dibelinya dan semuanya sudah diblokir oleh mantan suaminya itu. "Bagaimana jika nanti Albert ingin melihat foto anakku? Kenapa sih anak itu suka nyusahin. Dasar anak pembawa sial." Sherly berkata dengan wajah kesal dan juga marah."Aku lupa, Anak itu masih sangat bermanfaat. Dia yang akan membuat aku kembali dengan Nathan. Jadi aku tidak boleh marah seperti ini." Mimik wajah Sherly yang tampak begitu sangat marah, langsung berubah dengan wajah ramah dan juga senyum merekah. "Kenapa aku bodoh sekali, aku bisa mencari foto anak-anak perempuan di internet. Aku tinggal katakan kalau itu adalah Shelia." Sherly tert
"Baik," jawab Nathan."Bagaimana dengan kabar istrimu? "Sherly berbasa-basi terlebih dahulu. "Sangat baik." Nathan berkata dengan raut wajah datar."Apa kamu tahu bahwa aku sangat merindukanmu." Sherly tahu bahwa Nathan masih sangat mencintainya. Karena itu ia mencoba untuk merayu mantan suaminya. "Jika tidak ada yang ingin kamu katakan aku akan menutup panggilan telepon.""Jangan honey, kamu jangan terlalu kejam kepadaku. Bagaimana kabar anak kita?"Kening Nathan berkerut mendengar pertanyaan dari mantan istrinya. Apa yang terjadi hingga Sherly menanyakan tentang anak mereka?"Honey, apa kamu tidak ingin memberi tahu aku tentang anak kita?" Sherly berkata dengan sangat lembut. Bahkan ia kembali memanggil Nathan honey, seperti dulu awal-awal mereka berpacaran.Nathan diam dan memandang layar handphonenya. "Honey, mengapa kamu diam saja?" "Kondisi anakku baik."Sherly diam sesaat ketika mendengar Nathan mengatakan anakku. Itu artinya pria itu sudah memutuskan hubungan antara diriny
Dirga menatap wajah istrinya dengan tersenyum. Rasa bahagia seakan tidak bisa terucap dengan kata. Namun satu hal yang tidak bisa ia pungkiri bahwa rasa cintanya sudah full untuk sang istri. "Sayang, I love you," kata Dirga kemudian. "I love you too," jawab Yuna yang tersenyum bahagia. Bisa menjadi istri Dirga, suatu kebahagiaan terbesar untuknya. Entah mengapa pria itu bisa mengendalikan emosinya yang tidak stabil. "Abang, ayo kita cetak anak." Tanpa malu Yuna langsung ke inti permasalahan. Wanita itu menarik tekuk leher suaminya dan kemudian mencium bibir Dirga. Cukup lama mereka saling berbagi air liur dan kemudian barulah berakhir setelah kedua-duanya kehabisan oksigen. Dirga menarik nafas panjang dan kemudian menghembuskan secara perlahan-lahan. Begitu juga dengan Yuna. Hanya beberapa detik menghirup udara segar, Yuna kembali ingin menyerang suaminya. "Buka dulu riasan rambutnya." Dirga berkata ketika istrinya kembali ingin mengecup bibirnya. Di acara resepsi pern