Malam semakin larut, hujan turun dengan derasnya.
Kilat masuk melalui celah jendela seakan siap menyambar.
Di dalam kegelapan, seorang wanita muda sedang menangis sambil memeluk tubuh kecil bayinya.Meskipun suara petir menggelegar dan memekakkan genderang telinga, Eliza Afrina tidak takut.
Yang dia pikirkan saat ini hanyalah anaknya yang sedang panas tinggi.
Obat penurun panas yang diberikan bidan, sudah dia berikan. Tapi, tak kunjung meredakan panas sang putra.
"Nak?"
Eliza menahan tangis sembari memeluk bayinya yang sudah pucat itu. Bahkan tiap beberapa menit sekali, wanita itu meletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung bayi laki-laki itu untuk memastikan sang putra masih bernapas.
Berkali-kali ditelponnya sang suami, tetapi tak diangkat.
Tetangganya juga banyak yang sedang pergi ke luar untuk menghabiskan weekend bersama keluarga.
Kebetulan, kawasan perumahan yang di tempatnya, jauh masuk ke dalam dan masih sangat sepi. Jalan kiri dan kanannya bahkan masih hutan lebat.
Parahnya lagi, ponsel Androidnya baru ditukar sang suami dengan ponsel jadul tahun 2000-an, sehingga Eliza tak bisa memesan taksi online.
Setelah berpikir beberapa saat, Eliza lantas pergi ke dapur dan mengambil plastik bekas yang disimpannya. Bersyukur dia menyimpan plastik berukuran besar. Dipotongnya bagian depan seukuran wajah bayi dan kemudian memasukkan bayi ke dalam plastik.
Dibuatnya jas hujan darurat untuk putranya.
"Tahan ya nak, kita ke rumah sakit sekarang. Anak bunda akan sehat." Eliza kembali berkata dengan bibir gemetar.Tak dipedulikan tubuhnya yang basah kuyup, menggigil kedinginan.
Secepat mungkin dia berlari. Namun belum melihat ada klinik atau rumah sakit, langkah kakinya terhenti ketika merasakan tapak kakinya terasa sangat sakit seperti ada yang menancap.Bersyukur Ibnu tidak terlepas dari tangannya.
Diperhatikannya paku berukuran panjang yang menancap di telapak kakinya. Kembali menahan sakit yang luar biasa, dicabutnya paku itu.Tiba-tiba saja, cahaya kilat terlihat.
Eliza dapat melihat wajah putranya yang sudah membiru.
Dipaksanya lagi tubuhnya berlari, hingga Eliza akhirnya melihat rumah sakit."TOLONG!" teriaknya sekencang mungkin begitu tiba di resepsionis.
Seorang perawat yang melihatnya, lantas menghampiri. "Ada apa ibu?""Sus, tolong selamatkan anak saya. Badannya sangat panas. Tadi dia sempat kejang." Eliza berkata dengan menangis.
Perawat itu langsung mengambil bayi dari tangan ibunya dan membawa ke ruang UGD.Dia juga berusaha menghubungi dokter.
Kejadian ini menarik perhatian beberapa pasien. Mereka bahkan menatap iba Eliza dan bayinya yang dibungkus dengan kantong plastik besar dan hanya melubangi bagian wajahnya saja.
"Sus, bagaimana keadaan bayi saya?"Eliza menangis tiada henti. Bahkan wanita itu tidak merasakan kakinya yang terasa amat sakit.
"Sebentar ya Bu, dokter akan segera datang," kata perawat itu sambil memandang tubuh Eliza yang sudah basah kuyup dengan bibir yang membiru. Tak lama, seorang dokter laki-laki akhirnya masuk dan memeriksa kondisi bayi yang sudah tidak sadarkan diri.Dia terkejut kala merasakan telapak kaki dan tangan anak Eliza itu yang sudah terasa dingin.
"Pasang infus dan pasang oksigen," perintahnya cepat. Cairan obat melalui selang infus terpasang.Anehnya, raut wajah sang dokter tampak tak puas.
"Hubungi dokter Risky," titah dokter muda tersebut pada sang perawat yang menahan ekspresinya.
Keduanya tahu kondisi bayi sudah sangat kritis. Mereka harus menyerahkan bayi tersebut ke dokter spesialis anak.
"Dok, anak, saya baik-baik saja, kan?" Seolah merasakan keanehan, Eliza bertanya.
Namun, dokter itu menjawab dengan wajah tenang, "Kita tunggu dokter anaknya datang."
Hanya saja, dokter itu terkejut ketika menyadari kondisi ibu pasien yang baru ditangani.
"Ke sini naik apa, Bu?"
"Saya jalan kaki dok," jawab Eliza.
Dahi dokter itu berkerut saat mendengar jawaban ibu muda tersebut. "Di mana lokasi rumah Anda?"
Seketika, Eliza menjelaskan tempat tinggalnya kepada dokter muda yang sedang fokus memeriksa kondisi bayinya. Dokter itu hanya tercengang mendengar keterangan dari ibu pasien.
"Jika kondisi anak Anda seperti ini, mengapa tidak pesan taksi secara online?"
Pertanyaan itu jelas membuat Eliza menangis. "Saya tidak bisa menghubungi taksi secara online."
"Apa Anda kehabisan paket internet?" Dokter itu kembali bertanya. Selain rasa penasaran, hal ini juga untuk menenangkan si ibu yang tampak sangat panik. Setidaknya mengobrol seperti ini, si ibu bisa sedikit tenang.
Alih-alih menjawab, Eliza mengeluarkan sesuatu dari dalam saku rok yang di pakainya.
Dokter itu memperhatikan apa yang sedang di pegang wanita tersebut. Keningnya berkerut saat melihat wanita itu mengeluarkan dompet dan ponsel dari dalam kantong plastik.
"Saya tidak punya aplikasinya dok, karena handphone ini tidak bisa mendownload."
Ponsel jadul itu membuat sang dokter terkejut. Saat zaman yang sudah semakin canggih namun wanita itu terlihat begitu menyedihkan dan udik hingga tidak memiliki handphone Android. Padahal manfaat handphone itu sangatlah banyak dan penting. Namun, semua itu ditahannya.
"Ayah bayinya mana?"
Kini, seorang perawat yang penasaran ikut bertanya.
"Saya tidak tahu," jawab Eliza kembali. Ya, sudah 4 hari suaminya tidak pulang. Bahkan, pria itu tidak pernah membalas pesan yang dikirim Eliza, termasuk permohonannya tadi.
Dokter muda itu hanya diam memandang Eliza.
Namun, tatapan matanya berpindah ke arah kaki wanita tersebut. Seketika dia membelalak. Segera dia memerintahkan sang perawat untuk memeriksa.
Sayangnya, Eliza menolak. "Saya tidak apa-apa dok, tolong selamatkan anak saya."
"Anak ibu dalam penanganan, sebaiknya ibu duduk agar kondisi kaki ibu dilihat dan diobati," jelas dokter tersebut.
"Kaki saya tidak apa-apa Dok, saya hanya terinjak paku."
Lagi, Eliza menolak. Sebenarnya, dia takut uang yang dimilikinya tidak cukup untuk biaya berobat putranya karena harus membayar uang pengobatan kakinya.
"Saya akan periksa Bu," ucap perawat tersebut yang memaksa Eliza untuk duduk di atas tempat tidur yang berada di samping bayi Eliza.
Eliza akhirnya hanya diam dan menurut. Dia duduk di atas tempat tidur dan membiarkan perawat memeriksa kakinya yang terasa sakit dan berdenyut nyeri.
"Dok ini pakunya masih ada yang menempel di kaki dan gak bisa dicabut."
Dokter itu lantas mendekati Eliza dan melihat paku yang menancap di kaki wanita tersebut.
Melihat ini saja, dokter itu sudah merinding. Dia tahu seperti apa rasa sakit yang dialami oleh wanita tersebut. Bahkan kakinya sudah membiru. Dengan kondisi kaki yang seperti ini ibu muda itu tetap bisa sampai ke rumah sakit membawa anaknya, sungguh sangat menyedihkan.
Setelah melakukan tindakan terhadap bayi, dokter itu kemudian berpindah kepada ibu muda yang berwajib pucat dengan bibir biru, serta tubuh menggigil kedinginan. Dokter itu merasa prihatin ketika melihat kondisi bayi berserta ibunya.
Disuntik biusnya kaki Eliza. Setelah memastikan bius itu bekerja, dokter muda itu mencabut paku dengan memakai alat semacam tang.
"Pakunya panjang sekali, ini juga paku berkarat."
Dokter itu menunjukkan paku yang dilumuri cairan berwarna merah tersebut.
Setelah paku dicabut, barulah darah mengalir dari kaki yang berlubang.
Namun, Eliza hanya diam memandang paku di tangan dokter itu. Kepalanya dipenuhi sang putra.
Di saat yang sama, seorang dokter tampak masuk ke dalam ruang UGD. "Apa ini bayinya?"
"Iya dok," jawab perawat.
Dokter itu segera melihat catatan pasien dan kemudian memeriksa detak jantung bayi.
Terdengar helaan nafas pelan dari bibir dokter tersebut. "Langsung masukkan ke ruang NICU."
Deg!
Mendengar perkataan dokter itu, membuat jantung Eliza berdetak semakin cepat. "Bagaimana kondisi bayi saya dok?" tanyanya dengan bibir yang bergetar.
"Sebaiknya ibu banyak berdoa," ucap si dokter yang kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Eliza yang baru diobati, seketika berjalan dengan dengan cepat mengikuti dokter yang menangani bayinya. Wanita itu menghentikan langkah kakinya.
Namun, seorang perawat menghentikannya di depan ruang NICU. "Mohon tunggu di sini dulu Bu."
"Tapi anak saya?" Eliza menangis sambil menutup mulutnya.
"Ibu harap tunggu di sini, agar dokter bisa menangani dengan baik."
Setelah mengatakan itu, sang perawat kemudian masuk ke dalam ruangan.
Eliza hanya diam dan memandang pintu yang tertutup dengan rapat. Dia ingin mengintip kedalam namun sayangnya tidak ada celah untuk mengintip.
Cukup lama Eliza menunggu dokter keluar dari dalam ruangan NICU. Dia sudah tidak sabar untuk mengetahui kondisi bayinya. Ada rasa lega ketika melihat dokter keluar dari dalam ruangan. Dia berharap dokter memberikan kabar baik untuknya.
Hanya saja, harapannya tak terkabul.
Begitu sang dokter keluar, dia mengumumkan kabar yang membuat Eliza terpukul.
"Kondisi bayi ibu kritis. Dan bayi sudah tidak sadarkan diri sejak 2 jam yang lalu," jelasnya.
Bugh!
Seketika Eliza limbung dan terjatuh ke belakang. Bersyukur dokter Rizki dengan sigap menangkap tubuh kurus si wanita.
"Dokter, tolong selamatkan anak saya dok. Saya tidak ingin jika sampai anak saya meninggal." Eliza menangis dan meremas tangan dokter laki-laki tersebut.
Kondisi Eliza yang seperti ini membuat dokter Rizki tidak tega untuk memberitahukan kondisi bayi malang tersebut.
"Kami akan mengusahakan yang terbaik. Di mana ayahnya? Saya ingin berbicara dengan beliau," ucap pria di depan Eliza itu kembali.
"Dia tak bisa dihubungi, Dok."
Dokter Rizki mengerutkan kening. Dia hendak bertanya, tetapi seorang perawat tiba-tiba keluar NICU dengan panik.
"Dokter kondisi pasien semakin kritis!"
Perawat yang berada di dalam ruang NICU keluar memanggil dokter Rizki. "Dokter kondisi pasien semakin kritis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke ruang ICU. Eliza sudah tidak berkata apa-apa lagi.Wanita itu hanya terus berdoa agar sang putra bisa selamat. Dia tidak sanggup dan belum mampu untuk ditingkatkan putranya. Bahkan, saat hari sudah berganti, wanita itu tetap duduk di depan ruangan.Tulangnya sudah terasa lemas dan tidak sanggup untuk berdiri. Barulah ia merasakan denyutan nyeri di telapak kakinya saat efek bius menghilang. Ceklek!Seorang perawat tampak membuka ruangan NICU.Hal ini membuat Eliza seketika berdiri. "Sus, apa saya boleh masuk ke dalam?" tanyanya."Maaf Bu, kita harus menunggu dokter dulu. Ibu juga di minta ke kasir, untuk menyelesaikan administrasi." "Baik, Mbak."Eliza menuruti perintah perawat untuk kasir. Reaksi obat bius yang sudah mulai hilang membuat dia kembali merasakan sakit dan nyeri di telapak kakinya.Wanita it
Apa yang dilakukan oleh wanita itu membuat orang-orang di sana terkejut! Sandy sendiri langsung mencegah sang ibu. "Mama jangan seperti ini, kasihan Eliza!" ucapnya. "Kasihan kamu bilang? Wanita ini tidak becus. Dia benar-benar wanita kampung yang tidak berpendidikan. Sudah mama bilang sama kamu jangan menikahinya, kamu tetap saja menikahinya. Lihatlah mengurus satu anak pun dia tidak bisa. Lihat cucuku mati karena wanita ini. " Wati menangis dan semakin menarik kuat rambut Eliza. Namun, Eliza seperti sebongkah batu yang tidak merespon apapun. Matanya terus saja menatap tubuh mungil anaknya. "Seharusnya aku hanya memiliki menantu Mirna saja. Mirna wanita hebat, pintar, cerdas, berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik tidak seperti kau benalu. Bahkan mengurus anak pun tidak bisa." Wati terus saja mengamuk dan menarik rambut Eliza sekuat tenaganya. Lagi-lagi, Eliza tetap tidak merespon perkataan Wati. Bahkan jika wanita itu ingin membunuhnya saat ini juga, dia akan mati
Nathan kini duduk di meja kerjanya.Matanya tertuju ke layar komputer namun pikirannya hanya terfokus dengan bayinya. Dia sudah mengatakan masalah ibu asi kepada maminya dan berharap sang mami bisa dengan cepat mendapatkan pendonor ASI untuk anaknya. Namun ternyata mencari pendonor ASI bukanlah hal yang mudah!Padahal, Maminya sudah mencari lewat perantara asisten rumah tangga, tetangga dekat rumah, dan teman-teman sesama sosialitanya. Namun tidak menemukan wanita yang bisa menjadi donor ASI. Karena untuk menjadi pendonor ASI ,wanita itu memang memiliki ASI yang banyak. Dan biasanya jika anak sudah berusia 1 tahun ke atas, produksi ASI pun berkurang. Kepala Nathan serasa ingin meledak ketika memikirkan ini semua.Jika tidak segera mendapatkan ibu susu untuk bayinya, dia mencemaskan tumbuh kembang anak malang tersebut. Pria itu menjangkau ponsel yang diletakkannya di atas meja dan menghubungi asisten pribadinya. Setelah berbicara dengan orang kepercayaannya itu, Nathan menutup
"Tentu saja rumah sakit ini sangat menerima donor ASI, kalau mbak ingin donor ASI langsung ke ruang perawatan bayi saja di lantai 4." Eliza tersenyum. "Baik mbak, terima kasih." Setelah administrasi selesai, ia pun pergi ke lantai 4 sesuai arahan dari wanita yang duduk di kasir tersebut. Eliza tahu di mana ruang perawatan bayi karena memang Ibnu lahir di sini. Setelah lahir, Ibnu sempat dimasukkan ke box inkubator karena sudah terlalu banyak minum air ketuban. Bahkan bayi Ibnu lahir dengan kondisi bibir biru dan tidak menangis.Jadi, Eliza selalu berkunjung ke ruang bayi sambil mengantarkan ASI untuk anaknya. Rumah sakit ini sungguh bersejarah.Tempat anaknya dilahirkan dan menghembuskan nafas terakhirnya.Dada Eliza seketika merasa sesak kala mengingat itu.Untungnya, dia sudah tiba di ruangan yang dimaksud.Jadi, Eliza berusaha tegar--membuka pintu dan melihat tiga perawat di ruang bayi. "Permisi sus." "Ya dek, ada apa?" tanya perawat yang sedang berjaga di ruang bayi.Mem
Perawat itu diam selama beberapa detik ketika melihat senyum menawan pria satu anak tersebut. "Iya mas," jawabnya kemudian. Sudah satu minggu ini selalu bertemu dengan Nathan. Namun baru kali ini perawat itu melihat senyum di wajah tampan pria itu. "Asinya juga sangat banyak mas, jadi ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Apa ibu itu mau menjadi pendonor tetap untuk anak saya?" "Saya belum tahu mas," jawab si perawat. "Apa saya bisa menghubungi ibu itu." Nathan sangat senang, karena dia tidak perlu susah-susah untuk mencari pendonor ASI. "Maaf mas, saya juga lupa tadi meminta nomor handphone," sesal si perawat. "Apa ibu itu meninggalkan alamat, agar saya bisa datangi ke rumahnya." Tanya dengan penuh semangat. "Maaf mas, alamatnya juga tidak ada." Nathan mendengus kesal. Dia berharap wanita yang memberikan ASI untuk anaknya bisa segera dihubungi namun ternyata tidak. "Kalau saya boleh tahu nama yang mendonorkan ASI untuk anak saya?" tanyanya dengan begitu pena
Bagi semua orang, kuburan merupakan tempat yang paling menakutkan, namun tidak untuk Eliza. Wanita muda itu terlihat nyaman duduk di depan kuburan anaknya. Air mata mengalir dengan deras seakan tidak ada keringnya. Bahkan mata yang biasanya bulat dan besar, kini sudah terlihat sangat kecil dan sembab. "Nak, ibu mau cari kerjaan, biar gak suntuk di rumah. Ibu mau cari uang untuk beli kambing akikah, Ibnu. Soalnya ibu dah janji, untuk beli 2 kambing. Ibu juga akan membuatkan batu nisan yang cantik." Eliza memeluk tumpukan tanah kuburan anaknya dan berharap bisa melepaskan rasa rindu yang menyesakkan dada. Mau bagaimanapun orang mengatakan harus ikhlas, namun tetap Eliza belum bisa mengikhlaskan anaknya. "Nak, ibu pamit pulang ya soalnya sudah sore. Maafkan ibu yang tidak bisa meluk Ibnu. Andaikan waktu bisa di putar kembali, pagi itu ibu akan langsung bawa Ibnu ke rumah sakit. Agar Ibnu bisa langsung di rawat." Eliza mengusap papan nama anaknya dan kemudian memeluk papan itu cukup l
Sudah 10 hari, namun rasa sakit di kakinya tidak juga hilang, hingga Eliza kesulitan berjalan. "Eliza," panggil seorang pria.Eliza tidak yakin ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Namun tetap saja dia menghentikan langkah kakinya serta menoleh ke belakang."Hai, bagaimana kabar kamu?" Tanya pria dengan gaya sok akrabnya. "Baik," jawab Eliza yang sedikit tersenyum."Masih ingat dengan saya?" Dokter berwajah manis itu tersenyum ramah dan bertanya. "Dokter," jawab Eliza. Meskipun malam itu kondisinya sangat buruk, namun Eliza tidak bisa melupakan sang dokter yang sudah berusaha menyelesaikan anaknya. "Iya, saya dokter Rizki, senang bisa berjumpa dengan kamu lagi. Bagaimana kondisi kaki kamu?" Dokter itu bertanya dan memandang kaki Eliza.Saat Eliza lewat di depannya, dia sangat mengingat wanita muda tersebut. Rizki memanggil Eliza karena dia melihat wanita itu berjalan sambil menyeret kakinya."Masih sakit dok, mungkin sebentar lagi sehat." Eliza tersenyum dan memandang ke a
Apa suntik mati katanya? Dokter Rizki tercengang ketika mendengar permintaan Elisa. "Saya takut suntik tapi kalau yang dikasih suntik mati, saya nggak takut." Eliza berkata dengan putus asa."Saya mengerti perasaan kamu, tapi kamu tidak boleh seperti ini. Kamu harus menyayangi diri kamu sendiri. Kasihan anak kamu, dia akan merasa sedih jika melihat ibunya menangis." Dokter itu beranjak dari duduknya dan berdiri di samping Eliza. Eliza dengan cepat menghapus air matanya. Dia hanya diam ketika dokter itu memeriksa detak jantung, perut dan tensi darahnya."Tensi darah rendah 90/70, asam lambung naik," kata dokter Rizky setelah melakukan pemeriksaan terhadap Eliza."Ada harapan untuk mati gak dok?" Eliza bertanya dengan antusias."Mati lagi yang di omongin." Dokter itu memandang Eliza dengan marah. "Yang sudah mati, dikubur, mereka menangis dan memohon agar bisa hidup kembali. Kamu yang masih hidup, malah sibuk ingin mati." Dokter itu berkata dengan kesal."Saya cuma nanya dok," Eli
"Hubby, Noah," teriak Eliza.Nathan yang sedang membalas pesan chat, langsung terkejut ketika mendengar suara teriakan Eliza. "Ada apa?" Tanya Nathan yang terlihat kebingungan. "Noah." Eliza terlalu panik dan langsung menarik kaki Noah yang sudah muncul."Ha... Ha..," Noah tertawa ngakak ketika Eliza narik kakinya."Kamu sudah Daddy dapatkan. Sekarang cari Daddy." Kini Nathan yang masuk ke dalam tumpukan bola hingga tibuhnya menghilang. Jika tadi ekspresi Eliza panik, namun kini ekspresi wajahnya terlihat bengong. Ternyata ayah dan anak itu sedang bermain petak umpet. Tapi sangat tidak adil, ketika Noah bersembunyi, Nathan tidak mencari. Bahkan sibuk membalas pesan, namun saat Nathan bersembunyi, putranya itu bersusah payah mencari."Ya sudah ketahuan." Nathan akhirnya muncul dari tumpukan bola, setelah Noah menemukannya."Hubby, sudah jam 7, apa nggak ke kantor?" Eliza akhirnya ikut duduk di dalam kolam bola. "Oh ya ini mau siap-siap. Hari rapat, jam 9, jadi gak buru-buru." Natha
"Aduh." Nathan terkejut dan membuka matanya. Dilihatnya Noah duduk di atas dadanya. Nathan benar-benar kesal karena Noah sudah membangunnya dengan cara yang tidak baik. Padahal Ia sudah memotong rambutnya dengan ukuran 2 cm. Sedangkan jenggot, kumis serta jambang dibuang habis. Namun ternyata Noah tidak kehilangan cara jitu untuk membangunkan sang Daddy. Anak kecil itu menarik bulu mata Nathan hingga menjerit dan membuka matanya. Nathan kesal dan kembali memejamkan matanya. Karena tidak mau di larang berhenti sama istrinya, akhirnya mereka tidur jam 2 malam. Jam 5 pagi, Eliza kembali membangunkan Nathan dan mengajak ibadah bersama. Setelah itu mereka kembali tidur. Baru saja tertidur 30 menit, pria itu kemudian bangun karena di ganggu putranya. "Banun," kata Noah sambil menarik telinga Daddy nya. "Sakit nak," kata Nathan sambil memegang tangan kecil Noah yang sedang menarik telinganya. "Dad, tulun." Noah berkata sambil memandang ke arah pintu. "Daddy masih ngantuk, Kenapa tid
Di sedang panik, handphonenya justru berdering. Dilihatnya nama Dirga memanggil. "Halo bang." Yuna dengan cepat menjawab sambungan telepon dari Dirga. "Lagi apa?" tanya Dirga. Tidak bisa dipungkiri bahwa pria itu sudah sangat merindukan istri nakalnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka bertemu. "Lagi di kamar," jawab Yuna dengan suara yang dibuat selembut mungkin."Pakai baju nggak?" goda Dirga."Ya jelas pakailah," jawab Yuna dengan wajah memerah. Apa yang terjadi kemarin masih teringat jelas dalam ingatannya. Hal ini yang membuat wanita cantik itu sangat malu. "Kalau begitu Abang video call ya." Meskipun Dirga sudah menjadi suami Yuna, namun ternyata pria itu tidak ingin melakukan video call jika kondisi istrinya tidak dalam keadaan berbusana. Walau bagaimanapun mereka baru tahap pernikahan yang sesungguhnya."Iya." Wajah Yuna tampak sangat bahagia ketika mendengar perkataan Dirga.Bagaikan remaja yang sedang jatuh cinta, suami istri itu pun mulai melepaskan rindu lew
Sherly tidak bisa lari karena Albert sudah menangkap tangannya. "Lepaskan aku, aku mohon lepaskan aku." Wanita itu berteriak ketika tangannya ditarik Albert ke dalam kamar khusus. Dengan bersusah payah ia menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh pria gila itu. Namun usahanya sia-sia. Tubuhnya yang ramping ditari seperti goni beras.Tubuh Sherly menggigil ketika berada di dalam kamar dengan pencahayaan minim. Tempat yang begitu sangat dia takutkan. Berada di dalam kamar ini seakan ajalnya semakin dekat. Ia teringat dengan berita pagi tadi, seorang wanita meninggal setelah kekasihnya melakukan hubungan seks extrim. Bisa dikatakan kelainan seks seperti ini sangat membahayakan pasangan, bahkan berujung kematian."Albert, aku mohon jangan perlakukan aku seperti ini." Air mata Sherly mengalir dengan deras. Tatapan matanya menata pria itu dengan putus asa. "Apa kau bisa memilih? Apa kau lupa nyawamu milikku. Apapun yang aku lakukan kau tidak bisa menolak. Namun tidak apa, aku senang wanit
Rizky diam sambil memandang istrinya. Seperti apa buruk ibu kandung Kiara memperlakukannya, ia sudah tahu. Jadi wajar jika Kiara sangat rindu dengan sosok ibu yang baik seperti Mawar. Setiap kali kembali dari masion, wajah Kiara tampak berbinar-binar. Selama 3 hari, ceritanya terus saja tentang Mawar, Hermawan, Eliza, Noah dan Nathan. Ini bukti jika Kiara sangat suka di sini."Apa mau tinggal di sini?" Rizky bertanya sambil mengusap kepala istrinya.Dengan cepat Kiara menganggukan kepalanya. Disaat hamil seperti ini, ia sangat membutuhkan perhatian seorang ibu. Hanya Mawar, yang memberikannya rasa hangat, perhatian dan kasih sayang. "Apa boleh?" Tanya Kiara yang langsung menghentikan makannya. "Tentu saja boleh." Rizky menganggukkan kepalanya. Ia senang jika Kiara di sini. Sebagai seorang dokter, jam kerja tidak bisa di tentukan. Bisa dikatakan jam kerjanya selalu over setiap hari. Hal ini yang membuat Kiara sering ditinggal berdua dengan Yura. Sedangkan asisten rumah tangga, Kiara
Yang dirindukan akhirnya bisa kembali dirasakan. Meskipun hanya menginap beberapa hari di kamar hotel, namun Eliza sudah sangat merindukan momen makan malam seperti ini. Ia kembali merasakan hangatnya makan bersama dengan kedua mertua dan Noah. Meja makan ini tidak hanya diisi oleh keluarga Hermawan saja. Namun juga ada Rizky, Kiara, Yura, Marwan dan Lusi. "Akhirnya pengantin baru pulang juga," kata Rizky yang sengaja menggoda Nathan dan Eliza."Mesra-mesraan kami sudah tidak kondusif lagi sejak datangnya si pengganggu kecil," jawab Nathan sambil memandang ke arah Eliza yang sedang fokus menyuapi Noah. "Jika tidak di ganggu Noah, kalian bisa satu bulan di kamar hotel," sindir Hermawan.Eliza tidak menjawab perkataan dari Hermawan. Namun dalam hatinya mengiyakan perkataan dari Papa mertuanya itu. Nathan sangat keras kepala dan tidak mau diajak pulang."Mereka enak-enakan mesran di kamar hotel, sedangkan om dan tante sampai nggak tidur 5 malam karena Noah yang rewel tengah malam." Ri
"Kalau begitu masuk dulu kita bahas semuanya di dalam." Mega tersenyum dan mempersilakan Dirga untuk masuk. "Abang, aku buat kopi dulu ya." Yuna berkata dengan tersenyum malu. "Iya terima kasih," jawab Dirga dengan tersenyum. Selama Yuna bekerja di perusahaan milik Nathan. Wanita itulah yang selalu membuatkannya kopi. Bisa dikatakan kopi buatan Yuna sudah sangat cocok di lidah Dirga. "Kenapa nggak suruh asisten rumah tangga aja ngerjain?" Mega berkata sambil memandang Yuna. "Yuna sudah sangat tahu seleranya bang Dirga, Mami. Karena itu Yuna yang akan membuatkannya." Yuna tersenyum ceria dan kemudian pergi ke dapur. "Sebenarnya ada apa?" tanya Indrawan baru berani bertanya setelah putri kesayangannya pergi."Maaf Pak, Saya lupa meminta nomor handphone bapak. Jika saya meminta nomor handphone bapak ke Yuna, takutnya dia justru akan curiga." Dirga berkata dengan sedikit tersenyum "Bisa tolong ceritakan, biar mami gak bingung seperti ini." Mega memandang menantu dengan canggung.
Yuna pulang ke rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimana caranya untuk mengatakan kepada kedua orang tuanya Jika ia ingin menikahi Dirga. "Kenapa diam saja?" Dirga tahu bahwa istrinya saat ini pasti sedang gugup. Karena itu Dirga mengajak Yuna berbicara. "Aku bingung bagaimana cara mengatakan ke papi dan mami bawa aku ingin menikahi Abang," jawab Yuna dengan jujur.Dirga tersenyum tipis mendengar jawaban istrinya. "Jangan katakan jika adik yang ingin menikahi Abang.""Abang mintanya aku tanggung jawab, Abang juga minta agar aku menikahi Abang. Lalu bagaimana caranya aku katakan ke Papi dan Mami kalau aku ingin menikahi, sedangkan Abang bilang jangan katakan?" Yuna dibuat bingung dan kesal dengan perkataan Dirga yang dianggapnya plin-plan."Adik katakan ke orang tua, Abang datang melamar." "Kok seperti itu?" Yuna semakin bingung. "Abang ini laki-laki, rasanya tidak mungkin jika Abang minta adik yang melamar. Yang seharusnya laki-laki yang melamar dan menikahi perempuan
Tiba-tiba saja Mawar merasa cemas. Meskipun Dirga tahu bahwa Yuna memiliki penyakit kejiwaan, namun apakah pria itu akan sabar menghadapi sikap Yuna nanti?"Setelah menikah, Dirga yang akan jadi kepala rumah tangga. Sudah menjadi tanggung jawab Dirga untuk menjaga, mendidik, melindungi dan menghargai istrinya. Dirga pasti bisa mengatasi Yuna. Kita doakan agar mereka bahagia." Hermawan berkata sambil mengusap tangan istrinya. "Mami gak perlu cemas, Yuna sangat nurut sama Dirga. Terbukti selama dikantor hanya Dirga yang mampu mengendalikan Yuna," ungkap Nathan."Oh syukurlah kalau begitu." Mawar akhirnya bisa bernapas lega setelah mendengar perkataan Nathan. "Mi, Aku mau balik ke kamar lagi. Aku mau tidur, masih ngantuk." Nathan berkata setelah menghabiskan roti dan juga secangkir kopi. Hermawan dan Mawar hanya menjawab perkataan putranya dengan anggukan kepala. Nathan beranjak dari duduknya. Senyum terbit di bibirnya ketika melihat Noah yang asik bertempur dengan beberapa robotnya.