Begitu tiba di rumah, Nadya langsung masuk ke kamarnya tanpa berkata apa pun.Langkahnya terdengar lemah, seakan seluruh energi dalam dirinya terkuras habis setelah pertemuan tak terduga dengan Jonathan dan negosiasi dingin dengan Kalen.Di dalam kamar, Melvin masih tertidur nyenyak. Nadya dengan hati-hati mengangkat bayi itu dari stroller dan menidurkannya di atas tempat tidur.Senyum tipis terukir di wajahnya saat melihat wajah polos Melvin yang damai dalam tidurnya. Bayi itu tidak tahu apa-apa tentang keributan yang terjadi di antara orang-orang dewasa di sekelilingnya.Setelah memastikan Melvin tetap nyaman, Nadya beranjak ke meja kecil di sudut ruangan.Ia menarik napas dalam, lalu mengambil selembar kertas dan mulai menuliskan perjanjian yang harus Kalen tandatangani."Aku harus meminta tanda tangan pria itu agar tidak bohong. Aku akan menagihnya setiap tanggal satu setiap bulannya."Suara Nadya lirih saat berbicara pada dirinya sendiri. Tangannya mulai bergerak, menuliskan seti
“Tidak!” Kalen buru-buru menghapus air matanya dengan gerakan cepat dan kasar, seolah ingin menghapus bukti kelemahannya di hadapan siapa pun.Matanya yang masih sedikit memerah kini menatap tajam wanita yang berdiri di hadapannya.“Ada apa kemari? Kenapa tidak bilang padaku jika hendak datang?” suaranya terdengar datar, nyaris dingin, berusaha menyembunyikan emosinya yang baru saja berkecamuk.Shopia, sepupunya, hanya menaikkan sebelah alis dengan ekspresi skeptis. “Aku tahu Nadya ada di sini. Bibi Eliza yang memberitahuku. Jadi, aku ingin bertemu dengannya.”Kalen mengembuskan napas berat, jelas-jelas tak ingin memperpanjang percakapan ini. “Sebaiknya besok saja. Nadya sedang istirahat dan ini sudah malam, Shopia.”Ia beranjak dari duduknya, mencoba mengakhiri interaksi itu sebelum semakin melelahkan baginya.Namun, Shopia tak bergeming. Dengan tangan terlipat di dadanya, ia menatap Kalen dengan sorot mata penuh penilaian.“Kau dan Nadya … masih bertengkar?” tanyanya dengan nada yan
“Apa?” Mata Nadya membulat mendengar ucapan Nala barusan. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Tangannya gemetar, dan ia harus berusaha keras menahan guncangan emosinya.“Ta—tapi, Nyonya—” suaranya bergetar, mencoba mencari celah untuk mempertahankan dirinya.“Tidak ada tapi-tapi!” bentak Nala tajam. Mata wanita itu menyala penuh determinasi. “Kau sendiri yang bilang akan angkat kaki dari rumah ini begitu aku menemukan penggantimu, kan? Sekarang, apa lagi alasanmu, huh? Kau bilang tidak akan menggoda anakku lagi.”Nadya menggigit bibirnya. Ada perasaan sakit yang menyelinap di hatinya mendengar tuduhan itu. Dia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab.“Ini bukan tentang menggoda Kalen atau apa pun itu, Nyonya,” ujar Nadya dengan suara lebih mantap.“Tapi, belum tentu Melvin cocok minum ASI dari ibu susu yang baru. Melvin masih dalam fase menyeimbangkan tubuhnya. Dia butuh adaptasi, dan itu tidak bisa sembarangan.”Nala mendengus sinis. “Halah! Banyak
"Kau keterlaluan, Bibi!" seru Shopia, matanya menatap penuh dengan rasa kecewa dan amarah karena cara Nala mengusir Nadya begitu kasar.Namun, Nala sama sekali tidak terganggu oleh kata-kata keponakannya itu. Dia mendengus dan menatap Shopia dengan pandangan dingin."Dia memang pantas mendapatkannya, Shopia. Dia sudah membuat anakku hampir mati karena ulahnya! Nadya tidak pantas mendapat maaf dari Kalen!"Suara Nala penuh dengan kebencian yang masih tertanam kuat dalam hatinya.Kilasan kejadian lima tahun lalu kembali berputar dalam pikirannya—Kalen yang hancur, putus asa, dan nyaris kehilangan dirinya sendiri setelah pengkhianatan yang menurutnya dilakukan oleh Nadya.Rasa sakit yang dialami putranya kala itu begitu membekas dalam ingatan Nala. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa wanita itu kembali ke dalam kehidupan Kalen, seolah tidak terjadi apa-apa."Bibi, bahkan Kalen sendiri telah memaafkan Nadya. Dia membutuhkan Nadya untuk mengasuh Melvin," ujar Shopia dengan nada geram. N
"Kenapa kau tidak memberitahuku, Yanna?!"Suara Kalen menggelegar di seluruh ruangan, membuat atmosfer rumah itu terasa lebih tegang. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya memerah menahan amarah.Yanna langsung menundukkan kepalanya, bahunya bergetar karena ketakutan. "Ma—maafkan saya, Tuan. Saya tidak memberitahu Tuan karena… karena Nyonya besar melarang saya menghubungi Tuan," ucapnya dengan suara lirih, takut melihat kilatan emosi di mata Kalen.Kalen mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras menahan emosi yang membakar dadanya. Napasnya memburu, pikirannya kacau.Namun, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu lagi, suara tangisan Melvin yang begitu kencang tiba-tiba terdengar dari dalam kamar. Jeritan itu menyayat hati Kalen, membuatnya spontan menoleh ke arah sumber suara."Sial!" Kalen mengumpat pelan. Dengan langkah lebar dan penuh kemarahan, ia berjalan cepat menuju kamar anaknya.Tanpa ragu, ia membuka pintu dengan gerakan kasar.Brak!Pintu kamar terbuka dengan keras, membu
“Cukup!” teriak Kalen menatap nanar wajah ibunya. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap dalam dirinya.“Kali ini aku tidak akan membiarkan kau ikut campur urusanku, Ma. Lihat! Apa yang sedang dia lakukan pada Melvin?” ucapnya sembari menunjuk ke arah Lily yang berdiri canggung dengan bayi mungil dalam gendongannya.Wajah Lily pucat, tangannya gemetar, jelas terlihat ia merasa tidak nyaman. Melvin yang berada dalam dekapannya menangis semakin keras, seolah merasakan ketegangan yang memenuhi ruangan.“Bahkan menggendong Melvin saja tidak becus!” Kalen mendengus kasar sebelum dengan sigap mengambil alih buah hatinya dari tangan Lily.Dengan segera, Melvin menempelkan wajah mungilnya di dada ayahnya, tangisnya sedikit mereda meski masih tersendat-sendat.“Apa yang kau lakukan, Kalen? Beri Lily kesempatan terlebih dahulu, baru kau bisa menilainya!” Nala membela Lily dengan suara penuh ketegasan.Tatapan matanya yang tajam mengarah ke Kalen, menunjukkan ketidak
“Astaga, ASI-ku terus keluar. Stok kantong ASI sudah menipis,” keluh Nadya sembari menatap botol penampung ASI yang hampir penuh.Sejak tadi, ia terus memompa karena produksi ASI-nya seolah tidak mau berhenti.Ia mengusap dahinya yang mulai berkeringat, tubuhnya terasa lelah setelah berjam-jam duduk di sudut kamar kontrakannya yang sederhana.Di antara suara dengungan pompa ASI yang monoton, pikirannya melayang ke sosok kecil yang baru saja lepas dari dekapannya. Melvin. Bayi mungil itu kini berada jauh darinya.“Melvin. Apakah kau sedang diberi ASI oleh Lily?” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian kamar.Matanya menerawang, membayangkan bayi itu sedang berada di pelukan perempuan lain.“Aku senang kau mendapat ibu susu penggantiku karena nenekmu amat sangat membenciku. Tapi, di sisi lain aku juga mengkhawatirkanmu, Nak.”Nadya menghela napas panjang, menekan rasa sesak di dadanya. Meskipun hanya dua minggu ia menggendong, menyusui, dan merawat Melvin, ikatan batin
Pada tengah malam yang sunyi, suara tangis Melvin kembali melengking, menembus keheningan dan menciptakan suasana mencekam di dalam rumah.Lampu kamar redup berpendar, menciptakan bayangan samar di dinding. Kalen, yang tertidur di sisi ranjang bayinya, langsung tersentak bangun.Ia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan sebelum akhirnya bergegas menghampiri sang anak.“Ada apa, Nak? Apa kau haus, hm?” suara Kalen bergetar, dipenuhi kekhawatiran saat ia mengangkat tubuh mungil Melvin ke dalam pelukannya.Namun, saat tangannya menyentuh kulit sang bayi, dada Kalen seolah dihantam keras. Tubuh Melvin panas, kulitnya berkeringat tetapi bibirnya tampak kering dan pucat.“Astaga, kau demam, Sayang.” Kalen menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Ia bisa merasakan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berteriak, memanggil Yanna, pengasuh yang tinggal di rumah itu.Tak butuh waktu lama, Yanna masuk dengan wajah panik. “Iya
"Apa?" Mata Kalen membola, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu, John? Kenapa… Rania tahu semuanya?" tanyanya dengan suara bergetar, kebingungan terpancar di raut wajahnya.John menatapnya lekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya tenang tapi penuh makna. "Rania bukan perempuan polos, Kalen. Dia tahu bahwa kau masih mencintai Nadya."Pernyataan itu menghantam Kalen seperti pukulan telak. Ia menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak.Matanya kosong, pikirannya mendadak buntu, dan tangannya yang mengepal mulai gemetar.John melanjutkan dengan nada serius, "Selama ini, Rania diam-diam mencari tahu tentang pernikahan Nadya, bahkan membuntuti Jonathan. Dia ingin memastikan dugaannya benar—dan ternyata memang benar. Rumah tangga Nadya dan Jonathan tidak baik."Kalen mendongakkan kepalanya, menatap John dengan tatapan yang meminta penjelasan lebih lanjut."Rania berhasil membongkar perselingkuhan Jonathan dengan mantan kekasihnya. Jonathan tida
“Aku memiliki tugas untukmu.”Robin menaikkan satu alisnya, lalu menyesap kopinya dengan tenang sebelum menjawab, “Tugas apa? Tumben sekali kau membutuhkanku. Biasanya kau lebih suka bergerak sendiri.”Kalen tidak langsung menjawab. Ia menghembuskan napas perlahan, berusaha merangkai kata yang tepat agar Robin memahami urgensi dari tugas ini.“Aku sedang sibuk. Tapi ini juga cukup penting untuk menjebloskan seseorang ke penjara.” Tatapannya menusuk, penuh determinasi. “Maka dari itu, aku membutuhkan bantuanmu untuk membobol sistem CCTV di rumah ini.”Robin kembali menaikkan alisnya, kali ini dengan ketertarikan yang lebih besar. “CCTV? Milik siapa? Musuh lamamu?” tanyanya dengan nada ringan, tetapi ada sorot kewaspadaan dalam matanya.Kalen menghela napas panjang, lalu menatap pria di hadapannya. Ia tahu, untuk menyelesaikan tugas ini dengan sempurna, Robin perlu memahami situasi dengan lebih jelas.“Milik mantan suami mantan kekasihku. Namanya Jonathan.”Robin menatap Kalen sejenak s
Nadya menganggukkan kepalanya perlahan, tatapannya dipenuhi ketulusan saat ia menatap Kalen. Senyum tipis tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan yang samar.“Terima kasih, sudah menerimaku di rumah ini. Aku berjanji, Kalen. Aku tidak akan mengecewakanmu, apalagi Melvin.”Kalen hanya membalasnya dengan senyum kecil, namun sorot matanya menyorotkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih.Tangannya masih bertengger di sisi wajah Nadya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya, seolah ingin meyakinkan wanita itu bahwa ia aman, bahwa ia diterima.Tanpa banyak berpikir, Kalen memiringkan kepalanya, lalu menurunkan wajahnya perlahan.Dalam keheningan yang hanya diisi oleh tarikan napas mereka, bibirnya akhirnya menyentuh bibir Nadya.Nadya menegang seketika. Matanya membesar karena keterkejutan yang tak ia duga sama sekali. Ia bisa merasakan kehangatan bibir Kalen yang bergerak perlahan, seolah memberi waktu baginya untuk menolak. Tapi ia tidak melakuk
“Apa yang terjadi padamu, Kalen?”Mata Nadya membulat melihat pria itu duduk di sofa dengan wajah babak belur. Luka di sudut bibirnya tampak mengering, namun lebam di pipinya masih terlihat jelas.Napasnya terdengar berat, sementara jari-jarinya terus memijat pelipisnya yang terasa nyeri.Namun, Kalen tetap diam. Hanya suara napasnya yang terdengar di antara keheningan.Nadya mengalihkan pandangannya pada Gery, yang berdiri dengan wajah penuh keraguan.“Gery, ada apa? Bukankah kalian sedang mengadakan pertemuan? Kalen buru-buru berangkat karena harus meeting,” tanyanya dengan nada bingung.Gery mengangguk, lalu mengusap tengkuknya seolah ragu untuk menjawab. “Ya. Kami memang baru saja mengadakan meeting. Tapi, di sana ada Tuan Jonathan. Dia adalah investor baru dalam proyek yang akan kami jalani.”Nadya merasakan firasat buruk. “Lalu?”Gery menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kemudian mereka berkelahi.”“Apa?!”Dada Nadya terasa sesak mendengar jawaban itu. Ia spontan menoleh
Nadya menghela napas panjang sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. Ini sudah kesekian kalinya ia harus membuatkan sup pereda pengar untuk Kalen.Bau alkohol yang masih samar-samar tercium di udara semakin menguatkan fakta bahwa pria itu pulang dalam keadaan mabuk berat.Pukul dua dini hari tadi, John dan Julian mengantarkan Kalen pulang. Nadya tidak kaget lagi—ia sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Kalen yang melarikan diri ke dalam botol vodka setiap kali pikirannya kacau.Tapi tetap saja, melihat pria itu terkapar tak berdaya di atas ranjangnya, membuat Nadya kembali menghela napas panjang.Ia berjalan mendekat, menatap Kalen yang masih meringkuk di bawah selimut dengan ekspresi malas. Dengan suara sedikit lebih keras, ia mencoba membangunkannya.“Kalen, bangunlah. Sudah pukul delapan. Apa kau tidak pergi ke kantor?”Tidak ada respons. Pria itu hanya menggeliat sedikit, bergeming, lalu kembali diam.Nadya menghela napas kesal. “Astaga…” gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mendek
Bar kecil itu dipenuhi suara dentingan gelas dan obrolan samar dari para pelanggan. Lampu redup temaram menciptakan suasana yang hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menguar dari sosok pria yang baru saja masuk.“Oh, Kalen. Apa yang membuatmu datang kemari?” Julian, yang tengah bersandar di balik meja bar, menatap pria itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia tak menyangka Kalen akan muncul di tempat ini, seorang diri, tanpa diundang.Kalen menghela napas kasar sebelum menjawab, “Aku butuh vodka sekarang.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, seolah-olah ia kelelahan, atau mungkin putus asa.Julian melirik John yang duduk di ujung bar, seakan meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya mengangkat bahu ringan. Tak ada yang tahu pasti apa yang tengah terjadi dengan Kalen.“Baiklah.” Julian menghela napas dan mengambil sebotol vodka dari rak. “Satu botol vodka untuk Kalen yang datang tanpa diundang.”Tanpa banyak basa-basi, Kalen meraih botol itu dan langsung meneg
Uhuk! Uhuk!Nadya sontak tersedak minuman yang baru saja diteguknya. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Hah?” suaranya terdengar parau di antara batuknya yang belum mereda.Ia segera menoleh ke arah Kalen yang hanya menatapnya datar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Shopia, berharap itu hanya gurauan belaka.Tapi melihat ekspresi tenang Shopia, Nadya sadar bahwa itu adalah kenyataan yang harus diterimanya.“Apa kau… menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian, seolah tak yakin ingin mendengar jawabannya.Kalen, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh dan menatap lurus ke dalam mata Nadya. “Menurutmu?” tanyanya balik dengan nada yang sulit diartikan.Nadya mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu… karena itu terserah padamu,” jawabnya dengan santai, meskipun hatinya terasa aneh setelah mengucapkannya.Shopia yang menyaksikan interaksi keduanya hanya bisa menepuk dahinya pelan.Sementara Kalen mendengkus kecil lalu membuang m
Amora menoleh cepat ke arah Shopia, lalu tatapannya beralih pada sosok wanita yang berdiri di samping sepupu Kalen itu.Matanya menyipit, meneliti dengan saksama seolah berusaha mengenali wajah yang terasa asing baginya.Namun, satu hal yang pasti—dia tahu siapa Shopia. Maka, wanita lain yang berdiri di sana pastilah seseorang yang selama ini merawat Melvin.“Ini Nadya. Ibu susu Melvin sekaligus pengasuhnya,” Kalen angkat bicara, memperkenalkan Nadya tanpa banyak basa-basi.Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat Amora terdiam sejenak.“Ibu… susu?” Amora mengulang kata-kata itu dengan nada terkejut. Alisnya sedikit berkerut, seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya.Nadya yang menyadari keterkejutan itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan dengan ramah.“Ya. Aku Nadya. Ibu susu Melvin. Senang bertemu denganmu,” ucapnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.Amora melirik tangan yang terulur itu. Sejenak ia
“Hai, Kalen!”Suara ceria itu membelah keheningan ruang tamu yang dipenuhi aroma kopi.Kalen, yang tengah duduk santai di sofa sembari membaca majalah bisnis edisi terbaru, mengangkat kepalanya.Matanya yang tajam menatap sosok yang baru saja datang dengan senyum ramah di wajahnya.“Hai, Amora. Kau sudah kembali?” ucap Kalen dengan nada datar, namun masih menyiratkan ketertarikan.Amora—gadis muda dengan rambut panjang yang tergerai lembut, mata penuh semangat, dan wajah yang sekilas mengingatkan pada sosok yang pernah sangat dicintai Kalen—menganggukkan kepalanya.“Ya,” jawabnya dengan nada ringan.“Kali ini aku benar-benar tinggal di sini, Kalen. Kuliahku sudah selesai, dan aku akan membuka usaha di sini.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya, mencerminkan kegembiraannya yang tulus.Kalen mengangguk-anggukkan kepala, tangannya tetap memegang majalah yang tadi ia baca. “Kau ingin bertemu dengan Melvin?” tanyanya kemudian. “Dia sedang tidur di kamarnya.”Amora menoleh sekilas ke arah