Pada tengah malam yang sunyi, suara tangis Melvin kembali melengking, menembus keheningan dan menciptakan suasana mencekam di dalam rumah.Lampu kamar redup berpendar, menciptakan bayangan samar di dinding. Kalen, yang tertidur di sisi ranjang bayinya, langsung tersentak bangun.Ia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan sebelum akhirnya bergegas menghampiri sang anak.“Ada apa, Nak? Apa kau haus, hm?” suara Kalen bergetar, dipenuhi kekhawatiran saat ia mengangkat tubuh mungil Melvin ke dalam pelukannya.Namun, saat tangannya menyentuh kulit sang bayi, dada Kalen seolah dihantam keras. Tubuh Melvin panas, kulitnya berkeringat tetapi bibirnya tampak kering dan pucat.“Astaga, kau demam, Sayang.” Kalen menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Ia bisa merasakan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berteriak, memanggil Yanna, pengasuh yang tinggal di rumah itu.Tak butuh waktu lama, Yanna masuk dengan wajah panik. “Iya
“Kenapa kau tidak percaya padaku, John?” ucap Kalen dengan suara bergetar.Ia memijat keningnya, merasakan denyut sakit yang tak kunjung reda. John terus-menerus menyudutkannya, membuatnya lelah lahir dan batin.John menatap Kalen dengan ekspresi datar, tetapi matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan.“Karena kau selalu memperlakukan Nadya dengan buruk, Kalen. Kau sadar tidak? Semua yang kau lakukan berdampak pada Melvin. Aku bertanya sekali lagi, sebenarnya kau menyayangi anakmu atau tidak?”Kalen terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi ia mengurungkannya.Tidak ada gunanya berbicara saat ini. John tidak akan mendengarkan, tidak akan percaya apa pun alasannya.Kemarahan pria itu masih membara, dan Kalen tahu betul bahwa semua yang ia katakan hanya akan dianggap sebagai pembelaan kosong.“Terserah kau saja.” Kalen akhirnya membuka suara, suaranya lelah dan nyaris tak bernyawa. “Aku lelah, John. Jika kau ingin memakiku, lakukan saja. Aku hanya ingin i
Dering ponsel Kalen terus berbunyi, mengusik tidur nyenyaknya. Dengan mata yang masih setengah terbuka, ia meraba-raba ponselnya di atas nakas.Begitu layar menyala, nama yang tertera di layar langsung membuatnya terjaga sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menggeser ikon hijau di layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya.“Halo, Ma? Ada apa?” suaranya sedikit serak, masih terbawa sisa kantuk.Tanpa basa-basi, suara di seberang langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang menusuk.“Apa yang terjadi pada Melvin? Kalian di rumah sakit mana?” suara Eliza terdengar cemas sekaligus penuh tuntutan.Kalen menutup matanya sejenak, memijat batang hidungnya dengan lelah. Jadi, akhirnya Eliza tahu tentang kondisi Melvin.Seharusnya ia bisa memperkirakan bahwa cepat atau lambat, berita ini akan sampai ke telinga mertuanya.“Maaf, Ma. Aku yang salah karena tidak mengetahuinya lebih awal. Melvin masuk rumah sakit karena dehidrasi.” Nada suaranya penuh dengan penyesalan.“Apa
“Kopi untukmu.” Nadya meletakkan secangkir kopi moka hangat di atas meja kecil di samping Kalen sebelum duduk di sebelahnya. Aroma kopi yang khas langsung menyebar di udara, mengisi ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Sesaat, Nadya mengamati wajah pria itu. Mata Kalen tampak sayu, seperti menyimpan beban yang berat di dalamnya.“Terima kasih,” ucapnya singkat sambil mengambil cangkir tersebut. Uap tipis mengepul dari permukaan kopi saat Kalen menyesapnya perlahan. Pandangannya tetap kosong, tertuju lurus ke depan, seolah pikirannya sedang melayang ke tempat lain yang jauh. Helaan napas panjangnya terdengar begitu berat.“Riana sangat beruntung memiliki ibu yang baik hati seperti Nyonya Eliza,” ujar Nadya, mencoba mencairkan suasana. “Dan kau juga beruntung memiliki mertua sebaik dia.”Kalen menoleh pelan, menatap Nadya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sedikit kelelahan, sedikit kebingungan, bahkan sedikit kepedihan yang tersirat di matanya. “Apa menurutmu dia sangat
“Ada apa, Kalen?” tanyanya, suara lembutnya memecah keheningan di antara mereka. Ia terheran-heran pada sikap pria itu yang akhir-akhir ini sering sekali mengusir orang-orang yang mencoba berbicara dengannya.Kalen menoleh, menatap Nadya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Ada luka di sana, tertutup oleh dinginnya ekspresi yang selalu ia tunjukkan.Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya bersuara, nadanya terdengar datar namun menusuk.“Apa kau menjual kesedihanmu pada Mama, sehingga dia sangat percaya padamu?” tanyanya, lebih ke arah menuduh daripada sekadar bertanya.Nadya mengerutkan keningnya, jantungnya berdebar tak nyaman. “Kau … apa maksudmu, Kalen?” tanyanya, hatinya sedikit terluka dengan pertanyaan yang terasa seperti tuduhan itu.Kalen tetap pada posisinya, pandangannya tajam. Sejenak, ia terdiam seakan menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan kata-katanya atau tidak. Akhirnya, ia memilih untuk berbicara.“Kau tahu? Hubunganku dengan Rania tidak dia restui, dan
"Apa yang kau lakukan pada Nadya itu sama saja dengan membunuh cucumu sendiri, Nala!" suara Eliza menggema di seluruh ruangan.Tanpa menunggu izin, ia melangkah masuk dengan mata membara, menghujam langsung ke arah Nala yang berdiri dengan angkuh di tengah ruangan.Nala mengangkat dagunya sedikit, memandang besannya dengan sorot mata yang penuh keangkuhan. Ia tidak tergoyahkan.“Apa kau ingin membiarkan Nadya melukai Melvin, Nyonya Eliza?” suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. “Dia sudah pernah menyakiti anakku. Sebagai seorang ibu, wajar bila aku sangat membencinya!”Nada bicara Nala semakin tajam, seperti belati yang siap menghunjam lawannya. Namun, Eliza tidak mundur.“Tapi ini bukan tentang masa lalu yang melukai hatimu dan juga Kalen, Nala! Ini tentang masa depan Melvin!”Eliza menegakkan tubuhnya, tatapannya penuh keyakinan. “Dia harus mendapatkan ASI terbaik, dan hanya Nadya yang bisa melakukannya!”Seketika rahang Nala mengeras. Tangan kurusnya mengepal erat, kukunya hampir men
Keduanya tenggelam dalam keheningan yang canggung setelah ciuman yang baru saja terjadi. Baik Nadya maupun Kalen tak tahu harus berkata apa.Nadya berusaha mengalihkan pikirannya dengan melipat pakaian-pakaian kecil milik Melvin, jemarinya sibuk merapikan tiap helai kain, namun benaknya masih terjebak dalam perasaan yang bercampur aduk.Sementara itu, Kalen hanya duduk di sofa dengan iPad di pangkuannya, namun layar yang menyala tidak benar-benar menarik perhatiannya.Pandangannya kosong, sesekali melirik Nadya dengan ekor matanya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung melakukannya.Melvin masih terlelap di atas bangsal bayi, napas kecilnya teratur, menjadi satu-satunya suara lembut yang mengisi ruangan selain dengungan pendingin ruangan.Mereka tetap diam.Hingga tiba-tiba suara langkah kaki tergesa terdengar dari luar.“Nadya!”Sebuah suara penuh kekhawatiran memecah keheningan, disusul dengan kehadiran seorang wanita yang langsung menghampiri Nadya dan tanpa ragu merengkuhn
"Katakan apa yang Mama katakan padamu, Nadya!"Suara Kalen terdengar dalam dan penuh tekanan, menembus ruang di antara mereka seperti pisau yang tajam. Sorot matanya lekat, menuntut jawaban dari wanita yang duduk di depannya.Nadya terdiam. Seperti seekor burung kecil yang terpojok, ia menundukkan kepala, jemarinya saling menggenggam satu sama lain, memainkan ujung kukunya dengan gelisah. Matanya berkabut, dan napasnya terasa lebih berat dari biasanya.Kalen bisa melihatnya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang dipendam Nadya—sesuatu yang selama ini menghantui wanita itu hingga memilih diam dan menerima segala perlakuan buruk dari ibunya."Nadya, apa kau ingin terus-menerus menyembunyikan sesuatu dariku?"Suara Kalen lebih rendah kali ini, lebih tenang, namun justru terdengar lebih menekan.Nadya perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang semula tampak kosong kini bergetar oleh ketakutan yang sulit ia sembunyikan."Tidak. Aku… aku hanya takut kau tidak percaya padaku, Kalen."Suara Nad
"Apa?" Mata Kalen membola, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu, John? Kenapa… Rania tahu semuanya?" tanyanya dengan suara bergetar, kebingungan terpancar di raut wajahnya.John menatapnya lekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, ekspresinya tenang tapi penuh makna. "Rania bukan perempuan polos, Kalen. Dia tahu bahwa kau masih mencintai Nadya."Pernyataan itu menghantam Kalen seperti pukulan telak. Ia menelan saliva dengan susah payah, dadanya terasa sesak.Matanya kosong, pikirannya mendadak buntu, dan tangannya yang mengepal mulai gemetar.John melanjutkan dengan nada serius, "Selama ini, Rania diam-diam mencari tahu tentang pernikahan Nadya, bahkan membuntuti Jonathan. Dia ingin memastikan dugaannya benar—dan ternyata memang benar. Rumah tangga Nadya dan Jonathan tidak baik."Kalen mendongakkan kepalanya, menatap John dengan tatapan yang meminta penjelasan lebih lanjut."Rania berhasil membongkar perselingkuhan Jonathan dengan mantan kekasihnya. Jonathan tida
“Aku memiliki tugas untukmu.”Robin menaikkan satu alisnya, lalu menyesap kopinya dengan tenang sebelum menjawab, “Tugas apa? Tumben sekali kau membutuhkanku. Biasanya kau lebih suka bergerak sendiri.”Kalen tidak langsung menjawab. Ia menghembuskan napas perlahan, berusaha merangkai kata yang tepat agar Robin memahami urgensi dari tugas ini.“Aku sedang sibuk. Tapi ini juga cukup penting untuk menjebloskan seseorang ke penjara.” Tatapannya menusuk, penuh determinasi. “Maka dari itu, aku membutuhkan bantuanmu untuk membobol sistem CCTV di rumah ini.”Robin kembali menaikkan alisnya, kali ini dengan ketertarikan yang lebih besar. “CCTV? Milik siapa? Musuh lamamu?” tanyanya dengan nada ringan, tetapi ada sorot kewaspadaan dalam matanya.Kalen menghela napas panjang, lalu menatap pria di hadapannya. Ia tahu, untuk menyelesaikan tugas ini dengan sempurna, Robin perlu memahami situasi dengan lebih jelas.“Milik mantan suami mantan kekasihku. Namanya Jonathan.”Robin menatap Kalen sejenak s
Nadya menganggukkan kepalanya perlahan, tatapannya dipenuhi ketulusan saat ia menatap Kalen. Senyum tipis tersungging di bibirnya, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan yang samar.“Terima kasih, sudah menerimaku di rumah ini. Aku berjanji, Kalen. Aku tidak akan mengecewakanmu, apalagi Melvin.”Kalen hanya membalasnya dengan senyum kecil, namun sorot matanya menyorotkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih.Tangannya masih bertengger di sisi wajah Nadya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya, seolah ingin meyakinkan wanita itu bahwa ia aman, bahwa ia diterima.Tanpa banyak berpikir, Kalen memiringkan kepalanya, lalu menurunkan wajahnya perlahan.Dalam keheningan yang hanya diisi oleh tarikan napas mereka, bibirnya akhirnya menyentuh bibir Nadya.Nadya menegang seketika. Matanya membesar karena keterkejutan yang tak ia duga sama sekali. Ia bisa merasakan kehangatan bibir Kalen yang bergerak perlahan, seolah memberi waktu baginya untuk menolak. Tapi ia tidak melakuk
“Apa yang terjadi padamu, Kalen?”Mata Nadya membulat melihat pria itu duduk di sofa dengan wajah babak belur. Luka di sudut bibirnya tampak mengering, namun lebam di pipinya masih terlihat jelas.Napasnya terdengar berat, sementara jari-jarinya terus memijat pelipisnya yang terasa nyeri.Namun, Kalen tetap diam. Hanya suara napasnya yang terdengar di antara keheningan.Nadya mengalihkan pandangannya pada Gery, yang berdiri dengan wajah penuh keraguan.“Gery, ada apa? Bukankah kalian sedang mengadakan pertemuan? Kalen buru-buru berangkat karena harus meeting,” tanyanya dengan nada bingung.Gery mengangguk, lalu mengusap tengkuknya seolah ragu untuk menjawab. “Ya. Kami memang baru saja mengadakan meeting. Tapi, di sana ada Tuan Jonathan. Dia adalah investor baru dalam proyek yang akan kami jalani.”Nadya merasakan firasat buruk. “Lalu?”Gery menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kemudian mereka berkelahi.”“Apa?!”Dada Nadya terasa sesak mendengar jawaban itu. Ia spontan menoleh
Nadya menghela napas panjang sambil menuangkan sup ke dalam mangkuk. Ini sudah kesekian kalinya ia harus membuatkan sup pereda pengar untuk Kalen.Bau alkohol yang masih samar-samar tercium di udara semakin menguatkan fakta bahwa pria itu pulang dalam keadaan mabuk berat.Pukul dua dini hari tadi, John dan Julian mengantarkan Kalen pulang. Nadya tidak kaget lagi—ia sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Kalen yang melarikan diri ke dalam botol vodka setiap kali pikirannya kacau.Tapi tetap saja, melihat pria itu terkapar tak berdaya di atas ranjangnya, membuat Nadya kembali menghela napas panjang.Ia berjalan mendekat, menatap Kalen yang masih meringkuk di bawah selimut dengan ekspresi malas. Dengan suara sedikit lebih keras, ia mencoba membangunkannya.“Kalen, bangunlah. Sudah pukul delapan. Apa kau tidak pergi ke kantor?”Tidak ada respons. Pria itu hanya menggeliat sedikit, bergeming, lalu kembali diam.Nadya menghela napas kesal. “Astaga…” gumamnya pelan, sebelum akhirnya ia mendek
Bar kecil itu dipenuhi suara dentingan gelas dan obrolan samar dari para pelanggan. Lampu redup temaram menciptakan suasana yang hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir hawa dingin yang menguar dari sosok pria yang baru saja masuk.“Oh, Kalen. Apa yang membuatmu datang kemari?” Julian, yang tengah bersandar di balik meja bar, menatap pria itu dengan alis yang sedikit berkerut. Ia tak menyangka Kalen akan muncul di tempat ini, seorang diri, tanpa diundang.Kalen menghela napas kasar sebelum menjawab, “Aku butuh vodka sekarang.” Suaranya terdengar datar, tanpa emosi, seolah-olah ia kelelahan, atau mungkin putus asa.Julian melirik John yang duduk di ujung bar, seakan meminta penjelasan, tetapi pria itu hanya mengangkat bahu ringan. Tak ada yang tahu pasti apa yang tengah terjadi dengan Kalen.“Baiklah.” Julian menghela napas dan mengambil sebotol vodka dari rak. “Satu botol vodka untuk Kalen yang datang tanpa diundang.”Tanpa banyak basa-basi, Kalen meraih botol itu dan langsung meneg
Uhuk! Uhuk!Nadya sontak tersedak minuman yang baru saja diteguknya. Matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Hah?” suaranya terdengar parau di antara batuknya yang belum mereda.Ia segera menoleh ke arah Kalen yang hanya menatapnya datar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke Shopia, berharap itu hanya gurauan belaka.Tapi melihat ekspresi tenang Shopia, Nadya sadar bahwa itu adalah kenyataan yang harus diterimanya.“Apa kau… menerimanya?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian, seolah tak yakin ingin mendengar jawabannya.Kalen, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya menoleh dan menatap lurus ke dalam mata Nadya. “Menurutmu?” tanyanya balik dengan nada yang sulit diartikan.Nadya mengerutkan keningnya. “Aku tidak tahu… karena itu terserah padamu,” jawabnya dengan santai, meskipun hatinya terasa aneh setelah mengucapkannya.Shopia yang menyaksikan interaksi keduanya hanya bisa menepuk dahinya pelan.Sementara Kalen mendengkus kecil lalu membuang m
Amora menoleh cepat ke arah Shopia, lalu tatapannya beralih pada sosok wanita yang berdiri di samping sepupu Kalen itu.Matanya menyipit, meneliti dengan saksama seolah berusaha mengenali wajah yang terasa asing baginya.Namun, satu hal yang pasti—dia tahu siapa Shopia. Maka, wanita lain yang berdiri di sana pastilah seseorang yang selama ini merawat Melvin.“Ini Nadya. Ibu susu Melvin sekaligus pengasuhnya,” Kalen angkat bicara, memperkenalkan Nadya tanpa banyak basa-basi.Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas untuk membuat Amora terdiam sejenak.“Ibu… susu?” Amora mengulang kata-kata itu dengan nada terkejut. Alisnya sedikit berkerut, seakan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengarnya.Nadya yang menyadari keterkejutan itu hanya tersenyum tipis. Ia melangkah maju dan mengulurkan tangan dengan ramah.“Ya. Aku Nadya. Ibu susu Melvin. Senang bertemu denganmu,” ucapnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keyakinan.Amora melirik tangan yang terulur itu. Sejenak ia
“Hai, Kalen!”Suara ceria itu membelah keheningan ruang tamu yang dipenuhi aroma kopi.Kalen, yang tengah duduk santai di sofa sembari membaca majalah bisnis edisi terbaru, mengangkat kepalanya.Matanya yang tajam menatap sosok yang baru saja datang dengan senyum ramah di wajahnya.“Hai, Amora. Kau sudah kembali?” ucap Kalen dengan nada datar, namun masih menyiratkan ketertarikan.Amora—gadis muda dengan rambut panjang yang tergerai lembut, mata penuh semangat, dan wajah yang sekilas mengingatkan pada sosok yang pernah sangat dicintai Kalen—menganggukkan kepalanya.“Ya,” jawabnya dengan nada ringan.“Kali ini aku benar-benar tinggal di sini, Kalen. Kuliahku sudah selesai, dan aku akan membuka usaha di sini.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya, mencerminkan kegembiraannya yang tulus.Kalen mengangguk-anggukkan kepala, tangannya tetap memegang majalah yang tadi ia baca. “Kau ingin bertemu dengan Melvin?” tanyanya kemudian. “Dia sedang tidur di kamarnya.”Amora menoleh sekilas ke arah