"Apa kau melihat bahwa sebenarnya Kalen juga tidak ingin kehilangan Nadya untuk kedua kalinya?" tanya Julian, matanya menatap lekat pada Shopia yang sedang sibuk dengan makanannya.Keduanya tengah duduk di salah satu sudut kafetaria yang cukup ramai. Hawa malam yang sejuk terasa menyusup dari jendela besar di belakang mereka, membawa aroma kopi dan pastry yang menggoda selera.Shopia terkekeh kecil, menaruh sendoknya sebelum menatap Julian dengan sorot mata penuh arti.“Tentu saja. Rania sering berbincang denganku jika Kalen masih sering menyebut nama Nadya ketika dia sedang mabuk.”Julian yang baru saja menyesap kopinya hampir tersedak. Ia menatap Shopia dengan ekspresi tercengang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“What? Are you serious?” ujarnya dengan alis terangkat tinggi.Shopia tertawa melihat reaksi Julian yang berlebihan. Ia mengambil cangkir vanila latte-nya, mengaduk perlahan, sebelum mengangguk mantap.“Yeah. Rania sangat lapang dada menerima bahwa
"Selamat malam, Nona Lily."Suara Julian terdengar begitu tenang, namun ada nada licik yang tersirat di dalamnya.Senyum kecil yang tersungging di bibirnya lebih menyerupai senyum misterius yang membuat bulu kuduk Lily meremang. Ada sesuatu yang terasa tidak beres dari cara pria itu menatapnya.Lily menelan ludah, langkahnya refleks mundur selangkah, tubuhnya tiba-tiba terasa kaku."Si—siapa kau? Ada urusan apa datang kemari?" tanyanya dengan nada gugup, matanya menatap ke kanan dan kiri, seolah mencari jalan keluar jika keadaan semakin berbahaya.Julian mengamati reaksi itu dengan tatapan penuh arti. Ia lalu mengangkat tangan dan meniupkan asap vape ke udara, membiarkan kepulan putih itu menguar di sekitar mereka, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam."Aku akan memberitahumu ... jika kau mau bekerja sama denganku, Nona."Lily semakin tidak nyaman. "Aku tidak tahu siapa kau dan maksud kedatanganmu kemari untuk apa."Julian mendesah pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Baiklah."
“Apa?!” Mata Kalen membola, seolah hendak melompat keluar dari rongganya, mengisyaratkan keterkejutan yang begitu mengguncang relung kesadarannya.Informasi yang meluncur dari bibir Julian menghantamnya seperti gelombang pasang, membanjiri pikirannya dengan amarah yang nyaris tak tertahankan.Julian mengangguk pelan, sorot matanya teduh namun menyiratkan ketegasan yang tak terbantahkan.“Aku sudah merekamnya. Ini bukan sekadar dugaan kosong, Kalen. Fakta berbicara lebih lantang dari kemarahan kita.”Tangannya yang kokoh menyodorkan ponsel itu, layar hitamnya seakan menyimpan seribu luka yang akan segera menganga lebar.“Terserah padamu apakah ingin membawa ini ke ranah hukum. Tapi satu hal yang pasti, ibumu sudah melangkahi batas yang seharusnya tidak boleh dilewati.”Nadya, yang sejak tadi diam, merasakan dadanya sesak oleh beban yang mendadak terasa begitu berat.Udara di ruangan seakan mengental, menekan paru-parunya dengan ketegangan yang tak kasat mata. “Jadi... Nyonya Nala bena
Ketika pintu rumah terbuka, Kalen melangkah masuk dengan wajah penuh ketegangan. Napasnya sedikit memburu, menahan gejolak emosi yang sejak tadi berputar di dadanya.Begitu melihat ibunya duduk dengan sikap angkuh di ruang tamu, ia segera membuka suara tanpa basa-basi.“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!” suaranya tegas, nyaris bergetar oleh emosi yang ditahannya.Nala yang tengah menikmati secangkir teh hanya melirik sekilas sebelum meletakkan cangkir itu di atas meja.Tatapan matanya datar, tak menunjukkan sedikit pun keterkejutan atas kedatangan putranya. Dengan nada dingin, ia bertanya,“Apa lagi yang ingin kau bicarakan, Kalen?”Kalen mengepalkan tangan, berusaha meredam amarah yang hampir meledak. Namun, ketegangan itu sulit dikendalikan.“Kenapa kau tega melakukan ini pada Melvin? Aku sudah tahu semuanya!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk tajam ke arah ibunya.Nala masih mempertahankan ekspresi angkuhnya. Ia menyandarkan tubuh ke sofa, kedua lengannya terlipat di de
Pertanyaan itu membuat Nadya terdiam. Sekilas, matanya meredup, namun ia segera mengulas senyum kecil, meski senyum itu tak sepenuhnya sampai ke matanya.“Aku belum memikirkan soal itu, Julian.” Suaranya terdengar datar, namun penuh ketulusan. “Fokusku saat ini hanya pada Melvin. Aku ingin memberikan ASI yang terbaik untuknya.”Julian masih menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Nadya merasa bahwa pria itu masih menyimpan kata-kata lain yang ingin diungkapkan.“Andai ternyata Kalen lah yang mengajakmu menikah, apakah kau akan menerimanya?”Pertanyaan itu membuat Nadya terkejut. Sontak, ia terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepala dengan ringan.“Kalen? Tidak mungkin, Julian.” Nadya menghela napas, lalu melanjutkan, “Dia hanya… membutuhkan bantuanku demi Melvin. Tidak akan berniat menikahiku. Itu tidak ada dalam kamus hidupnya.”Julian menatapnya tajam, seakan tidak sepenuhnya setuju dengan jawaban itu. “Ada.” Suaranya terdengar m
Senyumnya makin melebar saat melihat ekspresi Kalen yang seketika berubah. Mata pria itu sedikit menyipit, rahangnya menegang, namun dengan cepat ia menyembunyikan reaksinya dengan mendengus pelan."Aku tidak peduli, Julian." Kalen mengibaskan tangannya, mengusir pembicaraan itu begitu saja. "Sebaiknya kau pulang. Aku ingin istirahat. Hari ini sangat melelahkan."Julian mencebikkan bibirnya, lalu menggelengkan kepala dengan ekspresi pasrah. Baik Nadya maupun Kalen memang sama-sama keras kepala.Sama-sama enggan mengakui perasaan masing-masing. Atau mungkin, mereka memang sudah menutup hati?Tidak ada yang tahu, kecuali hati mereka sendiri.Akhirnya, Julian memilih untuk tidak memperpanjang percakapan. Ia berpamitan karena malam sudah semakin larut.Namun, Kalen tidak langsung pergi ke kamarnya. Setelah Julian pergi, langkahnya justru membawanya ke sebuah ruangan lain—kamar Melvin.Di dalamnya, Nadya masih terjaga, duduk di tepi ranjang kecil Melvin dengan wajah lembut yang diterangi c
Nadya menghentikan aktivitasnya, tangan yang tadi hendak mengangkat wajan kini terhenti di udara. Pandangannya tertuju pada Kalen, penuh keterkejutan dan kebingungan."Apa kau... tidak sedang mabuk, Kalen?" tanyanya akhirnya, berusaha mencari logika di balik kata-kata pria itu.Kalen mengerutkan kening, merasa sedikit tersinggung. "Tidak. Apakah pertanyaanku tidak masuk akal bagimu?"Nadya menghela napas panjang, lalu menggeleng pelan. Ia kembali fokus pada omelet yang hampir matang, membaliknya sekali lagi sebelum menjawab."Aku hanya tidak menyangka jika pertanyaan itu akan keluar dari mulutmu," ujarnya lirih. Kemudian, ia menatap Kalen dengan mata yang penuh ketidakpercayaan."Bukankah kau selalu berharap semua ini segera berakhir? Kau tidak pernah benar-benar menerima kehadiranku di rumah ini."Hening.Kalen terdiam. Yang dikatakan Nadya benar-benar menusuk ke dalam relung hatinya. Dan ya, Nadya tidak salah.Dulu, ia memang menginginkan semua ini cepat berlalu. Ia menolak, membero
Fajar baru saja menyingsing ketika Kalen melangkahkan kakinya di tanah pemakaman yang masih basah oleh embun pagi.Setelah sekian lama menghindari tempat ini, akhirnya ia memberanikan diri untuk datang ke makam Rania.Rasa kehilangan yang dulu terasa seperti pusaran tak berdasar kini mulai mereda, meski luka itu tak pernah benar-benar hilang.Langkahnya tertahan sejenak di depan nisan yang bertuliskan nama wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan kehangatan.Jantungnya berdetak lebih lambat, seolah ingin memberi ruang bagi emosi yang mulai bergejolak di dadanya.Ia mengulurkan tangan, menyentuh batu nisan yang terasa dingin di telapak tangannya, lalu berbisik lirih, suaranya hampir tertelan oleh hembusan angin pagi."Hi, Rania. Aku datang."Matanya menatap lekat foto Rania yang tersemat di atas pusara. Senyum lembut wanita itu seakan menatapnya dengan penuh pengertian, meski hanya dalam diam."Maafkan aku karena begitu lama tak datang berkunjung kemari," lanjutnya, suaranya sedi
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan