"Kenapa kau tidak memberitahuku, Yanna?!"Suara Kalen menggelegar di seluruh ruangan, membuat atmosfer rumah itu terasa lebih tegang. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya memerah menahan amarah.Yanna langsung menundukkan kepalanya, bahunya bergetar karena ketakutan. "Ma—maafkan saya, Tuan. Saya tidak memberitahu Tuan karena… karena Nyonya besar melarang saya menghubungi Tuan," ucapnya dengan suara lirih, takut melihat kilatan emosi di mata Kalen.Kalen mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras menahan emosi yang membakar dadanya. Napasnya memburu, pikirannya kacau.Namun, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu lagi, suara tangisan Melvin yang begitu kencang tiba-tiba terdengar dari dalam kamar. Jeritan itu menyayat hati Kalen, membuatnya spontan menoleh ke arah sumber suara."Sial!" Kalen mengumpat pelan. Dengan langkah lebar dan penuh kemarahan, ia berjalan cepat menuju kamar anaknya.Tanpa ragu, ia membuka pintu dengan gerakan kasar.Brak!Pintu kamar terbuka dengan keras, membu
“Cukup!” teriak Kalen menatap nanar wajah ibunya. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap-luap dalam dirinya.“Kali ini aku tidak akan membiarkan kau ikut campur urusanku, Ma. Lihat! Apa yang sedang dia lakukan pada Melvin?” ucapnya sembari menunjuk ke arah Lily yang berdiri canggung dengan bayi mungil dalam gendongannya.Wajah Lily pucat, tangannya gemetar, jelas terlihat ia merasa tidak nyaman. Melvin yang berada dalam dekapannya menangis semakin keras, seolah merasakan ketegangan yang memenuhi ruangan.“Bahkan menggendong Melvin saja tidak becus!” Kalen mendengus kasar sebelum dengan sigap mengambil alih buah hatinya dari tangan Lily.Dengan segera, Melvin menempelkan wajah mungilnya di dada ayahnya, tangisnya sedikit mereda meski masih tersendat-sendat.“Apa yang kau lakukan, Kalen? Beri Lily kesempatan terlebih dahulu, baru kau bisa menilainya!” Nala membela Lily dengan suara penuh ketegasan.Tatapan matanya yang tajam mengarah ke Kalen, menunjukkan ketidak
“Astaga, ASI-ku terus keluar. Stok kantong ASI sudah menipis,” keluh Nadya sembari menatap botol penampung ASI yang hampir penuh.Sejak tadi, ia terus memompa karena produksi ASI-nya seolah tidak mau berhenti.Ia mengusap dahinya yang mulai berkeringat, tubuhnya terasa lelah setelah berjam-jam duduk di sudut kamar kontrakannya yang sederhana.Di antara suara dengungan pompa ASI yang monoton, pikirannya melayang ke sosok kecil yang baru saja lepas dari dekapannya. Melvin. Bayi mungil itu kini berada jauh darinya.“Melvin. Apakah kau sedang diberi ASI oleh Lily?” gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian kamar.Matanya menerawang, membayangkan bayi itu sedang berada di pelukan perempuan lain.“Aku senang kau mendapat ibu susu penggantiku karena nenekmu amat sangat membenciku. Tapi, di sisi lain aku juga mengkhawatirkanmu, Nak.”Nadya menghela napas panjang, menekan rasa sesak di dadanya. Meskipun hanya dua minggu ia menggendong, menyusui, dan merawat Melvin, ikatan batin
Pada tengah malam yang sunyi, suara tangis Melvin kembali melengking, menembus keheningan dan menciptakan suasana mencekam di dalam rumah.Lampu kamar redup berpendar, menciptakan bayangan samar di dinding. Kalen, yang tertidur di sisi ranjang bayinya, langsung tersentak bangun.Ia mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan sebelum akhirnya bergegas menghampiri sang anak.“Ada apa, Nak? Apa kau haus, hm?” suara Kalen bergetar, dipenuhi kekhawatiran saat ia mengangkat tubuh mungil Melvin ke dalam pelukannya.Namun, saat tangannya menyentuh kulit sang bayi, dada Kalen seolah dihantam keras. Tubuh Melvin panas, kulitnya berkeringat tetapi bibirnya tampak kering dan pucat.“Astaga, kau demam, Sayang.” Kalen menahan napas, jantungnya berdegup cepat. Ia bisa merasakan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berteriak, memanggil Yanna, pengasuh yang tinggal di rumah itu.Tak butuh waktu lama, Yanna masuk dengan wajah panik. “Iya
“Kenapa kau tidak percaya padaku, John?” ucap Kalen dengan suara bergetar.Ia memijat keningnya, merasakan denyut sakit yang tak kunjung reda. John terus-menerus menyudutkannya, membuatnya lelah lahir dan batin.John menatap Kalen dengan ekspresi datar, tetapi matanya menyiratkan kemarahan yang tertahan.“Karena kau selalu memperlakukan Nadya dengan buruk, Kalen. Kau sadar tidak? Semua yang kau lakukan berdampak pada Melvin. Aku bertanya sekali lagi, sebenarnya kau menyayangi anakmu atau tidak?”Kalen terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi ia mengurungkannya.Tidak ada gunanya berbicara saat ini. John tidak akan mendengarkan, tidak akan percaya apa pun alasannya.Kemarahan pria itu masih membara, dan Kalen tahu betul bahwa semua yang ia katakan hanya akan dianggap sebagai pembelaan kosong.“Terserah kau saja.” Kalen akhirnya membuka suara, suaranya lelah dan nyaris tak bernyawa. “Aku lelah, John. Jika kau ingin memakiku, lakukan saja. Aku hanya ingin i
Dering ponsel Kalen terus berbunyi, mengusik tidur nyenyaknya. Dengan mata yang masih setengah terbuka, ia meraba-raba ponselnya di atas nakas.Begitu layar menyala, nama yang tertera di layar langsung membuatnya terjaga sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menggeser ikon hijau di layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya.“Halo, Ma? Ada apa?” suaranya sedikit serak, masih terbawa sisa kantuk.Tanpa basa-basi, suara di seberang langsung menghujaninya dengan pertanyaan yang menusuk.“Apa yang terjadi pada Melvin? Kalian di rumah sakit mana?” suara Eliza terdengar cemas sekaligus penuh tuntutan.Kalen menutup matanya sejenak, memijat batang hidungnya dengan lelah. Jadi, akhirnya Eliza tahu tentang kondisi Melvin.Seharusnya ia bisa memperkirakan bahwa cepat atau lambat, berita ini akan sampai ke telinga mertuanya.“Maaf, Ma. Aku yang salah karena tidak mengetahuinya lebih awal. Melvin masuk rumah sakit karena dehidrasi.” Nada suaranya penuh dengan penyesalan.“Apa
“Kopi untukmu.” Nadya meletakkan secangkir kopi moka hangat di atas meja kecil di samping Kalen sebelum duduk di sebelahnya. Aroma kopi yang khas langsung menyebar di udara, mengisi ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. Sesaat, Nadya mengamati wajah pria itu. Mata Kalen tampak sayu, seperti menyimpan beban yang berat di dalamnya.“Terima kasih,” ucapnya singkat sambil mengambil cangkir tersebut. Uap tipis mengepul dari permukaan kopi saat Kalen menyesapnya perlahan. Pandangannya tetap kosong, tertuju lurus ke depan, seolah pikirannya sedang melayang ke tempat lain yang jauh. Helaan napas panjangnya terdengar begitu berat.“Riana sangat beruntung memiliki ibu yang baik hati seperti Nyonya Eliza,” ujar Nadya, mencoba mencairkan suasana. “Dan kau juga beruntung memiliki mertua sebaik dia.”Kalen menoleh pelan, menatap Nadya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sedikit kelelahan, sedikit kebingungan, bahkan sedikit kepedihan yang tersirat di matanya. “Apa menurutmu dia sangat
“Ada apa, Kalen?” tanyanya, suara lembutnya memecah keheningan di antara mereka. Ia terheran-heran pada sikap pria itu yang akhir-akhir ini sering sekali mengusir orang-orang yang mencoba berbicara dengannya.Kalen menoleh, menatap Nadya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Ada luka di sana, tertutup oleh dinginnya ekspresi yang selalu ia tunjukkan.Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya bersuara, nadanya terdengar datar namun menusuk.“Apa kau menjual kesedihanmu pada Mama, sehingga dia sangat percaya padamu?” tanyanya, lebih ke arah menuduh daripada sekadar bertanya.Nadya mengerutkan keningnya, jantungnya berdebar tak nyaman. “Kau … apa maksudmu, Kalen?” tanyanya, hatinya sedikit terluka dengan pertanyaan yang terasa seperti tuduhan itu.Kalen tetap pada posisinya, pandangannya tajam. Sejenak, ia terdiam seakan menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan kata-katanya atau tidak. Akhirnya, ia memilih untuk berbicara.“Kau tahu? Hubunganku dengan Rania tidak dia restui, dan
“Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bunuh diri. Apa kau gila?” suara tegas itu terdengar diiringi genggaman kuat pada pergelangan tangannya.Wanita itu tersentak, lalu menoleh dengan wajah basah air mata. Seorang pria muda dengan jas dokter dan wajah cemas menatapnya tajam.Davian langsung menaruh kacamatanya di saku jas, lalu menarik wanita itu turun dari pagar dengan cermat dan cepat.Napasnya memburu. Ia menatap wanita yang kini terduduk di trotoar, menangis sesenggukan tanpa bisa menyembunyikan rasa hancurnya.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang,” tanya Davian lembut, menekuk lutut di hadapan wanita itu.Namun, wanita itu menggeleng pelan. Ia menarik tangannya dari genggaman Davian dan menunduk.“Tidak perlu mengurusku. Bahkan orang tuaku saja ingin menjualku pada mucikari. Apa gunanya aku hidup di dunia ini jika orang tuaku saja membuangku begitu hinanya?”Kalimat itu menggema di telinga Davian, menusuk hatinya. Ia terdiam sejenak, tak menemukan kata.Matanya menatap
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung KL’s Group hari itu penuh dengan petinggi perusahaan dan kepala divisi yang mengenakan setelan terbaik mereka.Mata-mata tertuju pada satu sosok muda yang berdiri di samping Kalen, CEO yang sudah memimpin selama lebih dari dua dekade. Kini, estafet itu akan diberikan kepada darah dagingnya sendiri.“Perkenalkan, Melvin,” ujar Kalen lantang, suaranya memenuhi ruang rapat dengan wibawa yang masih kuat meskipun usianya tak lagi muda.“Putra pertamaku yang akan menjabat sebagai CEO di kantor ini mulai hari ini. Aku akan tetap memantaunya selama beberapa bulan ke depan untuk melihat potensinya dengan baik.”Beberapa orang bertepuk tangan pelan, sementara sebagian lainnya saling pandang, mencoba menebak bagaimana kepemimpinan Melvin akan berjalan.Sebagian besar dari mereka tahu reputasi Melvin—brilian, tapi keras kepala. Pintar, tapi sering kali terlalu tajam dalam bicara. Sifat yang mewarisi Kalen, namun dengan ketidaksabaran khas anak muda.Ha
Dua puluh dua tahun kemudian…Suasana ruang keluarga itu masih sama seperti bertahun-tahun lalu—hangat, luas, dan penuh kenangan.Namun kini, aroma kopi dan dokumen kantor menggantikan bau susu bayi dan tawa anak-anak. Waktu telah berjalan jauh, dan generasi baru telah tumbuh dewasa.“Melvin. Mulai besok kau masuk kantor dan bekerja seperti saat kau magang enam bulan yang lalu. Tidak ada penolakan apa pun kecuali kau mengalami diare,” kata Kalen tegas, tanpa basa-basi.Ia berdiri di depan rak buku dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku, memperlihatkan gurat-gurat usia dan ketegasan yang kian menguat.Melvin, yang kini berusia dua puluh lima tahun dengan tubuh tinggi tegap dan wajah tampan mirip ayahnya, hanya memutar bola matanya.Dengan malas ia mengempaskan tubuhnya ke sofa empuk berwarna krem dan menatap ayahnya dengan tatapan datar dan penuh protes.“Apa tidak bisa lusa saja? Besok aku masih harus bertemu dengan teman-temanku, Pa,” ucapnya beralasan, nada suaranya
Kalen perlahan membuka matanya. Ia sempat kebingungan beberapa detik sebelum kesadarannya pulih sepenuhnya.Begitu melihat Nadya yang tengah menyusui, ia segera bangkit dan menghampiri dengan langkah pelan, khawatir mengganggu.Ia duduk di kursi dekat ranjang dan tersenyum melihat pemandangan indah di depannya. "Pemandangan paling indah di dunia," gumamnya.Nadya tersenyum kecil menatap suaminya. "Sudah kenyang tidurnya?"Kalen terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya begitu. Tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu?""Ya, sepertinya kau tidur terlalu pulas. Tadi Mama dan Papa datang menjenguk," jawab Nadya sambil memandangi bayi mereka.Kalen membelalakkan mata, lalu menatap Nadya dengan raut bersalah. "Apa? Serius? Aku bahkan tidak mendengar apa-apa… Maaf ya, Sayang. Aku benar-benar kelelahan."Nadya menggeleng pelan, wajahnya tetap lembut. "Tak apa, Kalen. Mama mengerti. Dia tahu kau begadang semalaman menemaniku."Kalen menghela napas lega dan mengangguk. Ia memandangi b
"Nadya..." pintu ruangan terbuka pelan. Eliza dan Ferdy melangkah masuk dengan langkah hati-hati. Mata Eliza langsung berkaca-kaca begitu melihat putrinya terbaring di ranjang rumah sakit.Eliza menghampiri dan memeluk anaknya dengan lembut. Ia mencium kening Nadya dengan penuh kasih. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kata Kalen, kau terus menangis sepanjang persalinan."Nadya tersenyum lemah dan menoleh ke arah sofa, melihat Kalen yang tertidur dengan kepala bersandar ke sisi tangan sofa. "Apa Kalen yang menghubungi Mama dan Papa?" tanyanya pelan.Eliza mengangguk, wajahnya masih diliputi rasa khawatir. "Ya. Dia menangis saat menelepon kami... suaranya gemetar saat bilang kau terus menangis. Dia sangat mengkhawatirkanmu, Nadya. Ada apa sebenarnya?"Nadya terdiam sejenak, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah mencoba meredakan gejolak di dadanya."Aku hanya... teringat kejadian tiga tahun lalu," ucapnya akhirnya, suaranya berge
Suara detak mesin monitor rumah sakit berdentang pelan di ruangan bersalin yang terasa dingin, meski udara di dalamnya cukup hangat.Malam itu langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi jendela besar di sisi ruangan. Di atas ranjang bersalin, Nadya menggenggam erat seprai putih di bawah tubuhnya.Napasnya berat, bibirnya kering, dan wajahnya tampak pucat karena menahan rasa sakit luar biasa dari kontraksi yang terus datang bergelombang.Sembilan bulan sudah ia mengandung, dan kini saat itu telah tiba—waktu untuk melahirkan anak kedua.Rasa sakit itu begitu nyata, begitu kuat, mengingatkannya pada tiga tahun silam. Saat ia berjuang melahirkan bayinya yang telah tiada… seorang diri.Tak ada seorang pun dari keluarga mantan suaminya, Jonathan, yang menemani atau peduli. Ia merasa seperti bertarung sendirian antara hidup dan mati.Namun, kali ini berbeda. Di sisinya ada Kalen—pria yang kini menjadi suaminya, yang mencintainya dengan tulus, dan yang tak pernah lelah menemaninya se
Di bawah langit biru cerah dan hembusan angin laut yang sejuk, villa mewah di tepi pantai Spiaggia San Vito Lo Capo tampak bagaikan istana dalam dongeng.Laut yang tenang menjadi latar sempurna untuk pernikahan Julian dan Shopia. Hari itu, bukan hanya momen sakral untuk pasangan pengantin, tapi juga momen penuh haru dan sukacita bagi keluarga dan sahabat yang hadir.Musim semi menghiasi Italia dengan bunga-bunga yang bermekaran. Aroma lavender dan melati menyatu dengan garam laut, menciptakan atmosfer yang mendamaikan.Nadya yang tengah hamil lima bulan tampak anggun dengan gaun sifon berwarna pastel yang mengembang lembut di sekeliling tubuhnya.Ia berdiri di samping suaminya, Kalen, memandangi prosesi pemberkatan pernikahan sepupunya, Shopia, dengan mata berkaca-kaca.Usai prosesi, para tamu mulai memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Nadya dan Kalen melangkah mendekati Julian dan Shopia, bergabung dengan gelombang orang-orang yang memeluk dan menyalami mereka."Selamat,
Kalen memutar bola matanya dan tertawa pelan. “Hanya dua menit, Sayang. Bukan dua jam.” Balasnya sambil mencondongkan tubuh, ingin menyentuh tangannya.Nadya mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal sebelum senyum lebarnya merekah. “Karena hari ini aku sedang ingin memarahimu, jadi biarkan saja. Sekarang make a wish dulu dan tiup lilinnya.”Kalen tertawa pelan, lalu menatap kue ulang tahun di hadapannya. Cahaya lilin menari lembut di antara angin malam yang tenang. Ia menutup mata, dan dalam diam ia berdoa.Bukan untuk kesuksesan atau kekayaan, tapi untuk kebahagiaan sederhana yang ada di hadapannya malam itu—istri yang setia menantinya, anak yang tumbuh dalam cinta, dan hidup yang tak perlu sempurna, selama mereka saling memiliki.Lilin itu padam seiring doanya berhembus, dan Nadya langsung bertepuk tangan sambil tersenyum sumringah.“Selamat ulang tahun, Kalen. Semoga hanya aku yang bisa membuatmu bahagia dan selalu menjadi tempat ternyamanmu.”Nadya mengucapkan kalimat itu dengan
“Kau masih di mana, Kalen?” Suara Nadya terdengar pelan namun mengandung nada khawatir saat ia menghubungi Kalen.Tangannya sibuk merapikan taplak meja putih yang telah ia pilih dengan penuh pertimbangan pagi tadi.Di atasnya, dua buah piring porselen bermotif elegan telah tersusun rapi, disertai lilin kecil dan bunga mawar yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah mereka.Malam itu bukan hari jadi pernikahan mereka, bukan ulang tahun, tapi Nadya ingin memberikan sesuatu yang sederhana namun bermakna—sebuah malam tenang hanya untuk mereka berdua.“Aku masih di kantor, Sayang. Baru saja selesai meeting dan evaluasi beberapa proyek yang hampir selesai,” jawab Kalen dari seberang telepon. Suaranya terdengar lelah namun tetap hangat.Nadya menatap langit yang mulai meredup, rona jingga senja perlahan memudar di antara dedaunan yang bergoyang pelan tertiup angin.“Tapi, kau tidak lupa, kan?” tanyanya pelan, ada sedikit ketakutan yang tak ia ucapkan—takut momen yang ia siapkan dengan