Ke Kanada kita? Kira-kira, apa yang terjadi di sana nanti?
"Kau sudah memesan tiket ke Kanada untukku?" gumam Louis dengan nada ringan. Begitu Emily mengangguk, tawa Louis mengudara. Pria itu memeluk sang adik dari samping, mengecup kepalanya berulang kali. "Terima kasih banyak, Tuan Putri. Kau memang saudara perempuan terbaik di muka bumi," bisiknya hangat. Emily mendengus. "Kau hanya memujiku kalau ada maunya saja. Sekarang cepatlah bersiap. Pesawatmu akan segera berangkat. Ajak satu orang pengawal saja karena hanya dua kursi yang tersisa. Dan jangan khawatirkan perusahaan. Cayden dan Orion akan mem-backup pekerjaanmu. Kalau perlu, Russell juga kuseret agar tidak bersenang-senang terus bersama teman-temannya di luar sana." "Baiklah. Sekali lagi, terima kasih, Emily. Aku akan memberimu hadiah yang keren saat kau melahirkan nanti." Emily mengangguk-angguk sembari mendesah panjang. "Aku akan menantikan itu. Sekarang bersiaplah! Summer membutuhkanmu." "Oke. Omega!" Pengawal termuda berlari cepat menghampiri bosnya. "Ya, Tuan?"
Summer membuka pintu dengan penuh semangat. Ia tidak sempat lagi mengintai siapa yang ada di luar. Namun, begitu melihat siapa yang datang, keceriaannya memudar. Senyumnya mengendur, semangatnya meredup. "Kakek? Nenek?" "Halo, Summer. Apakah kau sudah sehat?" sapa Alice sembari mengelus kepala cucunya. Summer berkedip lugu. "Ya." "Tapi kenapa kau terlihat lesu? Apakah kamu tidak rindu kepada kami?" sambung Edmund sambil memasang tampang kecewa. Summer mendengus samar. Pundaknya turun sedikit. "Aku rindu." "Lalu kenapa kau tidak memeluk kami? Biasanya kau sudah melompat-lompat menyambut kami. Apakah kepalamu masih sakit?" Edmund mengusap kepala sang cucu sehingga rambutnya bertambah kusut. Tak ingin membuat kakek dan neneknya kecewa, Summer melangkah maju. Dengan dua lengan kecilnya, ia memeluk kaki mereka. "Aku senang bisa bertemu kalian lagi, Kakek, Nenek," ucapnya, kurang bersemangat. Mendengar itu, Alice dan Edmund pun bertukar pandang. Mereka berdiskusi ta
Sky membuka pintu dengan jantung berdebar. Ia berencana untuk mendorong Louis menjauh dari situ, mengajaknya bicara di tempat yang lebih aman—tanpa sepengetahuan Edmund. Namun, begitu tatapan mereka bertemu, Louis langsung merengkuhnya ke dalam pelukan. Sky bahkan tidak punya kesempatan untuk menarik napas. "Sky, maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud untuk membuatmu menderita. Aku tidak sadar dengan apa yang kulakukan malam itu. Aku menyesal telah menjadi laki-laki berengsek yang menyakitimu." Sky berkedip-kedip bingung. Ia tidak tahu mana yang harus ia lakukan terlebih dulu. Menenangkan Louis atau membawanya pergi. Belum sempat ia membuat keputusan, Louis menangkup kedua pipinya. "Bagaimana keadaanmu sekarang, hmm? Apakah kau masih trauma? Apakah kehadiranku menakutimu? Seberapa besar kebencianmu terhadapku?" Sky menggeleng sebisanya. Kedua tangannya menggenggam lengan bawah Louis, mengisyaratkan sang pria bahwa ia tidak perlu menangkup pipinya begitu erat. "Aku tidak
"Kurang ajar! Setelah apa yang kau lakukan kepada putriku 5 tahun yang lalu, kau masih berani menyentuhnya? Kau memang harus dihajar!" Sky tersentak mendengar suara Edmund yang menggelegar. Belum sempat ia bereaksi, ia telah ditarik ke belakang. Detik berikutnya, sebuah pukulan mendarat di rahang Louis. "Papa!" Sky cepat-cepat menarik ayahnya mundur. Sementara itu, Omega spontan memegangi lengan Louis. "Tuan, Anda baik-baik saja?Kenapa Anda tidak mengelak?" bisiknya, merasa iba. "Kau gila? Dia calon mertuaku. Mana mungkin aku menghindar dari pukulannya? Itu sama saja dengan menantang. Sekarang mundurlah tiga langkah. Jangan berbuat apa-apa. Biarkan aku menyelesaikan urusanku sebagai seorang pria." Louis menegakkan punggungnya. Meski rahangnya berdenyut-denyut nyeri, ia tidak mau terlihat lemah. Saat itulah, telunjuk Edmund meruncing di depan hidungnya. "Laki-laki ini sudah kurang ajar padamu, Sky. Kamu masih bertanya kenapa Papa memukulnya?" "Kurang ajar bagaimana, P
"Sayang," Sky mengelus rambut sang putri dengan penuh harap. Wajahnya penuh kerutan, gelisah kalau Summer tidak mau bangun untuk menghentikan kakeknya. "Sayang, maaf kalau Mama membangunkanmu, tapi Louis sudah tiba. Kamu mau bertemu dengannya, kan?" Tidak mendapat reaksi, ia mulai mengguncang pundak sang putri. "Sayang, bangunlah. Paman Louis sudah tidak sabar ingin melihatmu. Dia mencemaskan kamu." Malangnya, Summer tetap bergeming. Balita itu terus terpejam dengan mulut yang sedikit menganga. Khawatir Louis kehabisan waktu, Sky akhirnya menggendong Summer. Awalnya, balita itu tidak terusik. Namun, saat ia mulai berlari, kelopak mata sayunya mulai bergerak. "Mama? Kita mau ke mana?" Mendengar suara kecil itu, Sky mendesah lega. "Kita mau menemui Paman Louis, Sayang. Dia sudah tiba. Dia menunggumu di depan." Mata Summer seketika melebar. "Benarkah? Kalau begitu, berlarilah lebih cepat, Mama." Sementara itu, di pekarangan, Alice masih kewalahan mengontrol suaminy
"Summer Hills, apakah kau sadar dengan apa yang sedang kau lakukan? Kau membiarkan orang jahat untuk masuk ke rumahmu!" seru Edmund, penuh penekanan. "Sebelum kau menyesali keputusanmu, jaga jaraklah darinya. Biarkan dia pergi dari sini agar kita bisa hidup tenang. Kau tidak boleh membiarkan dia membuat kamu dan ibumu sengsara lagi," tambahnya kemudian dengan suara serak yang mengharapkan pengertian. Bukannya takut atau merasa bersalah, Summer malah memiringkan kepala. "Aku heran, kenapa Kakek menyebut Paman Louis jahat?" Sambil mengerucutkan bibir, Summer mengingat kembali momen-momen yang ia lewati bersama Louis. "Selama aku berada di T City, Paman Louis merawatku dengan baik. Dia mentraktirku makanan lezat, dia mencuci mukaku dengan lembut, menyisir rambutku dengan sabar. Dia juga mengobati lukaku dengan hati-hati dan membacakan cerita sampai aku tertidur pulas." "Lihat?" sela Edmund, agak mengagetkan. "Dia sudah membuatmu terluka. Kakek sudah memeriksamu tadi. Ada ba
"Terima kasih, Ma," bisik Sky lemah. Ia sadar perkataan sang ibu memang benar. Alice mengelus rambut putrinya. "Sama-sama, Sayang." Sementara Alice pergi menemui Edmund, Sky menghampiri pria yang baru saja berdiri "dengan bantuan seorang balita". "Ayo, Paman Louis. Berjalanlah dengan hati-hati. Aku akan memegangimu sehingga kau tidak akan tersandung lagi," ujar Summer sambil memegangi tangan Louis yang disangkut ke pundaknya. "Aku tidak apa-apa, Summer. Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga sebanyak itu untukku. Kamu baru saja pulih," Louis mengusap kepala Summer dengan tangannya yang lain. Bibir sang balita langsung mengerucut. "Aku sudah sehat lagi, Paman. Tenagaku sudah kembali, jadi jangan khawatir. Tapi kalau memang kamu takut aku sakit lagi, bagaimana kalau Mama saja yang memapahmu?" Alis Sky naik mendesak dahi. "Aku?" "Ya, kemarilah Mama. Tolong gantikan posisiku!" Sky mendadak canggung, sedangkan Louis tersenyum simpul. Saat itulah, pengawal yang sejak tadi mem
Begitu Edmund kembali masuk ke rumah, ia terbelalak. Hanya ada Omega yang berbaring di sofa. Louis tidak ada di sana. "Di mana bosmu?" Omega terperanjat. Ia langsung bangkit dari sofa, berdiri tegak seperti sedang mengikuti upacara. "Ya, Tuan?" tanyanya, setengah berbisik. "Apakah dia di kamar putriku? Dia tidak menghiraukan peringatan dariku?" Mata Edmund kembali terpelotot dan memerah. Omega menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, Edmund sudah menderapkan langkah menuju kamar Summer dan Sky. "Kurang ajar sekali dia! Dia kira aku hanya bercanda? Ternyata dia belum mendapat cukup pelajaran," gerutunya samar. Khawatir tuannya bonyok lagi, Omega cepat-cepat menghadang Edmund. "Maaf, Tuan Hills. Tolong jangan salah paham. Tuan Louis tidak bermaksud untuk menentang perkataan Anda. Dia hanya ingin memenuhi keinginan Nona Kecil." "Tidak ada gunanya kau membela bosmu yang kurang ajar itu. Jadi menyingkirlah! Jangan coba-coba menghalangiku!" "Saya hanya mengatakan kebenaran, Tu
"Louis, kau dengar itu? Sepertinya, Summer mengetuk pintu. Dia memanggil kita," bisik Sky di sela desah napasnya. Bukannya berhenti untuk menyimak, Louis malah melanjutkan kegiatannya di bawah selimut. "Itu halusinasimu saja, Sayang. Dia tidak mungkin mencari kita sepagi ini. Paling-paling, dia sedang di pekarangan belakang mengintai Papoy," balas Louis dengan suara yang menggelitik telinga. "Louis, aku serius. Coba dengar! Summer memanggil kita," bisik Sky, mulai mengernyitkan wajah. Tak mendapat respons dari suaminya, ia pun mengangkat tangan. Namun, belum sempat ia menyibak selimut yang menutupi mereka, Louis menangkap pergelangan tangannya dan menekannya ke bantal. "Jangan bergerak. Aku sedikit lagi klimaks," pintanya serak. "Tapi—" "Tenang saja. Kalaupun itu Summer, dia tidak akan masuk. Kurasa aku sudah mengunci pintu semalam. Jadi, mari kita lanjutkan. Satu menit saja." Sementara Louis membungkam mulut Sky, di luar pintu, Summer menunggu dengan raut kebingungan.
"Lihatlah putri kita, Louis. Bukankah dia sangat lucu? Dia terlihat begitu kecil dibandingkan anak-anak lain, dan cara duduknya manis sekali," bisik Sky sembari mengintip dari jendela. Louis yang berdiri di sisi Sky pun melebarkan senyum. Matanya juga tertuju pada satu-satunya balita di kelas itu. "Ya, dia sangat menggemaskan. Apakah kamu yang mengajarinya untuk duduk seperti itu?" bisiknya seraya melirik wajah haru sang istri. Sky menggeleng. "Tidak. Tapi Summer memang sering melipat tangan di atas meja kalau sedang menyimak sesuatu. Tidak kusangka dia akan membawa kebiasaannya ke dalam kelas. Oh, lihat! Dia mengangkat tangan." Sky menepuk-nepuk lengan Louis. Pandangan Louis pun kembali ke depan. Menyaksikan bagaimana Summer menjawab pertanyaan guru dan mendapat tepuk tangan dari murid-murid lain, rasa bangga juga terbit dalam hatinya. "Putri kita bukan hanya lucu, tapi juga cerdas. Kamu berhasil mengajarinya. Terima kasih, Sayang," Louis mengecup pelipis sang istri. "Kamu m
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku