Happy weekend, guys!
"Terima kasih, Ma," bisik Sky lemah. Ia sadar perkataan sang ibu memang benar. Alice mengelus rambut putrinya. "Sama-sama, Sayang." Sementara Alice pergi menemui Edmund, Sky menghampiri pria yang baru saja berdiri "dengan bantuan seorang balita". "Ayo, Paman Louis. Berjalanlah dengan hati-hati. Aku akan memegangimu sehingga kau tidak akan tersandung lagi," ujar Summer sambil memegangi tangan Louis yang disangkut ke pundaknya. "Aku tidak apa-apa, Summer. Kamu tidak perlu mengeluarkan tenaga sebanyak itu untukku. Kamu baru saja pulih," Louis mengusap kepala Summer dengan tangannya yang lain. Bibir sang balita langsung mengerucut. "Aku sudah sehat lagi, Paman. Tenagaku sudah kembali, jadi jangan khawatir. Tapi kalau memang kamu takut aku sakit lagi, bagaimana kalau Mama saja yang memapahmu?" Alis Sky naik mendesak dahi. "Aku?" "Ya, kemarilah Mama. Tolong gantikan posisiku!" Sky mendadak canggung, sedangkan Louis tersenyum simpul. Saat itulah, pengawal yang sejak tadi mem
Begitu Edmund kembali masuk ke rumah, ia terbelalak. Hanya ada Omega yang berbaring di sofa. Louis tidak ada di sana. "Di mana bosmu?" Omega terperanjat. Ia langsung bangkit dari sofa, berdiri tegak seperti sedang mengikuti upacara. "Ya, Tuan?" tanyanya, setengah berbisik. "Apakah dia di kamar putriku? Dia tidak menghiraukan peringatan dariku?" Mata Edmund kembali terpelotot dan memerah. Omega menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, Edmund sudah menderapkan langkah menuju kamar Summer dan Sky. "Kurang ajar sekali dia! Dia kira aku hanya bercanda? Ternyata dia belum mendapat cukup pelajaran," gerutunya samar. Khawatir tuannya bonyok lagi, Omega cepat-cepat menghadang Edmund. "Maaf, Tuan Hills. Tolong jangan salah paham. Tuan Louis tidak bermaksud untuk menentang perkataan Anda. Dia hanya ingin memenuhi keinginan Nona Kecil." "Tidak ada gunanya kau membela bosmu yang kurang ajar itu. Jadi menyingkirlah! Jangan coba-coba menghalangiku!" "Saya hanya mengatakan kebenaran, Tu
Setibanya di ruang makan, Summer langsung menghampiri Edmund. "Halo, Kakek. Apakah kamu sudah bosan menunggu?" Summer berjinjit, memberi Edmund kecupan di pipi. Mendapat perlakuan manis tersebut, pria paruh baya itu tersenyum. "Ya, Kakek sedikit bosan. Apa yang membuatmu begitu lama?" Summer menunjuk ransel kecil yang ia letakkan di ruang sebelah. "Aku harus menyiapkan perlengkapan dengan teliti, Kakek. Perjalanan hari ini penting. Maaf kalau aku sudah membuatmu bosan." Tiba-tiba, mata Summer membulat. "Nenek, apakah itu berat?" Summer menghampiri Alice yang sedang membawa sebuah panci besar. Saat ia hendak membantunya, sang nenek berkata, "Jangan dipegang, Sayang. Ini panas." Summer cepat-cepat menarik tangannya. "Ups, maaf, Nenek. Aku hanya berniat membantu." "Tidak masalah, Sayang. Lain kali berhati-hatilah dalam memegang sesuatu, oke?" tutur Alice sembari meletakkan panci di atas meja. Samar mengangguk manis. "Oke, Nenek." "Bagus. Sekarang duduklah. Kamu ha
Di depan danau biru yang dikelilingi oleh pegunungan, Summer merentangkan tangan dan menghirup napas dalam-dalam. Matanya terpejam, senyumnya mengembang. Ia suka menikmati udara pagi yang segar. Ketika pelupuknya kembali terangkat, ia langsung berputar menghadap pria di sampingnya. "Bagaimana, Paman Louis? Bukankah ini sangat menyegarkan?" Louis membuka mata. Saat ia menoleh, Summer telah menunggu jawabannya dengan wajah bercahaya. "Ya, paru-paruku terasa bersih sekarang. Terima kasih sudah mengajakku kemari, Summer. Aku jadi tahu bahwa keindahan tempat ini ternyata belum berubah." Summer terkikik bangga. "Sama-sama, Paman. Sekarang ...." Balita itu menarik tangan Louis, mengajaknya menghadap ke belakang. "Tunjukkan di mana kamu berada saat pertama kali melihat Mama. Mama bilang, waktu itu kamu sedang bermain bersama Bibi Emily dan Paman Russell." Louis dengan senang hati menggenggam tangan mungil Summer. Bersama-sama, mereka berjalan menelusuri tepian danau. "Ya,
"Paman Freddy, aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi," ujar Summer di sela tawanya yang menggelitik. Ia tidak sadar bahwa tindakannya telah membuat Sky mengernyit dan Louis tersenyum miris. Hanya Edmund yang merasa bangga dan lega karena rencana yang ia atur tampaknya akan berhasil. "Aku juga senang bertemu denganmu lagi, Summer. Kau tahu? Aku terus terbayang-bayang akan petualangan kita dulu. Itu adalah petualang terbaik yang pernah kualami." Summer menjauhkan kepalanya dari Freddy. "Benarkah? Kamu tidak mengucapkan itu untuk menghiburku saja, kan? Beberapa bulan ini, kamu pasti mengalami banyak hal seru. Kurasa, salah satunya pasti lebih seru dari petualangan kita dulu." Freddy menggeleng dengan raut jenaka. "Tidak, Summer. Petualanganku akhir-akhir ini memang cukup seru, tapi terasa hampa tanpa kehadiran kamu dan ibumu." Pria itu melirik Sky dengan senyum penuh arti. Sky berpura-pura tidak tahu. Sementara itu, Summer memicingkan mata. "Memangnya kamu ke mana
Louis senang saat Summer memilih untuk berjalan bersamanya di bukit. Ia merasa bahwa kehadiran Freddy tidak berpengaruh. Ia mulai percaya diri bahwa Summer tidak akan meninggalkannya. "Manusia Mungil, sudah berapa kali kamu mendaki bukit ini?" "Sudah tidak terhitung, Paman. Setiap kali kami kembali ke Kanada, kami menyempatkan waktu untuk datang ke sini," jawab sang balita dengan suara yang manis. "Apakah kalian tidak bosan?" Summer menggeleng cepat. "Itu mustahil. Ini adalah salah satu tempat favoritku. Selain karena pemandangannya yang luar biasa indah, aku juga suka setiap kali Mama menceritakan tentang pertemuan pertama kalian. Itu cerita terbaik yang pernah kudengar." Melihat bagaimana Summer mengacungkan jempol mungilnya, Louis tertawa. Hatinya terasa lebih ringan. Ia pun menoleh ke belakang. Sky sedang berjalan bersama Freddy. Edmund dan Alice tertinggal agak jauh di barisan akhir. "Sky, apakah kau tidak bosan mengulangi cerita itu?" tanyanya sambil meninggika
Louis tersenyum melihat foto di ponselnya. Itu diambil di atas bukit dengan latar pemandangan yang sangat menakjubkan. Pegunungan di kejauhan tampak megah dengan lapisan salju tipis di puncaknya. Danau nun jauh di bawah tampak biru memukau dan seperti menyala. Pepohonan hijau yang berbaris rapat di sekeliling danau juga tak kalah mengesankan. Dan yang terpenting, subjek foto tersebut adalah dirinya bersama Sky dan Summer. Senyum mereka begitu lebar di sana. Meskipun gaya mereka agak kaku karena Edmund menghalangi mereka untuk terlihat akrab, mereka tetap terlihat seperti keluarga yang sempurna. "Bos, saya rasa, layar ponsel Anda bisa jebol kalau Anda terus menatapnya," bisik Omega. Louis mengerjap. Ia melirik tipis. Sang pengawal sedang nyengir. "Apakah saya akan mendapat bonus karena sudah memotret dengan sangat baik?" Sembari mendengus, Louis menyimpan ponsel ke dalam saku jaketnya. "Tadinya aku sempat berpikir begitu. Tapi karena kau juga mengambil foto mereka bersam
"Sayang sekali, ini masih terlalu awal untuk melihat aurora," gumam Summer sembari mendongak ke angkasa. "Bagaimana kalau dua bulan lagi, kamu datang lagi ke sini, Paman Louis? Kita bisa menari-nari sambil mengikuti pergerakan cahayanya." Mendengar itu, Louis tersenyum. Ia berhenti mengatur teleskopnya, menoleh ke arah si gadis kecil. "Itu ide bagus, Summer. Kita bisa menari-nari bertiga. Aku bisa memakai jas, sedangkan kau dan ibumu mengenakan gaun yang indah. Itu akan menjadi pesta bintang yang menyenangkan." "Kurasa itu ide yang kurang bijak, Tuan Louis Harper," celetuk Freddy tanpa terduga. Saat Louis menoleh, ia memasang senyum yang terkesan meremehkan. "Dua bulan lagi, di sini sudah musim gugur. Udara terlalu dingin untuk Summer dan Sky mengenakan gaun cantik. Mereka bisa membeku. Lagi pula, mereka lebih suka hangat." Wajah Louis sontak berubah kaku. "Kau kira aku tega membiarkan mereka kedinginan? Aku bisa saja membangun gedung berdinding dan beratap kaca yang dilengk
"Louis, mau berapa lama lagi kita di sini?" tanya Sky manis. Ia sedang duduk di depan Louis sambil bersandar di dadanya. Dengan pose berendam seperti itu, mereka terlihat sangat mesra. "Apakah kau sudah bosan?" tanya Louis serak. Sky menggeleng manja. "Tidak. Hanya saja, kita sudah selesai bergulat. Apa lagi yang mau kau lakukan di sini?" "Aku masih mau melakukan ini," Louis lanjut memainkan titik sensitif sang istri. Melihat betapa nakal jemari Louis, Sky mendengus geli. "Itu bisa kau lakukan di kamar, Louis. Tidak harus di sini." "Ya, tapi kalau kita keluar dari air, aku tidak bisa melakukan ini," Louis mengambil setangkup air. Saat ia menuangkannya di tubuh Sky, air tersebut mengalir dengan indah. Sky hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Ternyata, bukan hanya dirinya yang tak banyak berubah. Louis juga. Mereka berdua masih kekanakan. Selagi Louis bersenang-senang dengan tubuhnya, Sky mulai mencari kesibukan. Ia menatap sekeliling. Tak lama kemudian, ia bertanya, "Louis,
"Maaf, Louis. Aku sebetulnya tidak mau melanggar kesepakatan, tapi aku harus mengangkat telepon. Siapa tahu ini penting," tutur Sky seraya memeriksa panggilan. "Oh, ternyata ini ayahku. Halo, Papa." Sky berbincang dengan sang ayah selama beberapa saat. Sesekali ia melirik Louis. Raut sang suami lagi-lagi menggelitik hatinya. Saat percakapan mereka usai, Louis langsung menyita ponselnya. "Demi kenyamanan bersama, bagaimana kalau kita mematikan ponselmu juga? Kita boleh menyalakannya lagi setelah aku selesai memanjakanmu." "Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?" Louis menggeleng ringan. Ia matikan ponsel Sky dan meletakkannya di atas meja. "Semua orang tahu kita sedang berbulan madu. Mereka seharusnya mengerti kalau kita sedang tidak mau diganggu. Lagi pula, yang terpenting saat ini adalah kita." Sembari tersenyum manis, Louis menyodorkan tangan. "Apakah kau sudah siap untuk dimanjakan?" "Ya! Walaupun aku sudah bukan anak kecil, aku masih suka dimanjakan," Sky meleta
Beberapa saat yang lalu, Louis dan Sky memasuki kapal. Mereka langsung berjalan menuju kabin mereka. Sepanjang jalan, Sky terus berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya. Louis dengan senang hati mendengarkan. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka. "Louis, lihat! Itu koper kita!" Sambil tertawa, Sky mempercepat langkah. Meski demikian, ia tetap menjaga tangan Louis dalam genggamannya. Louis pun mengikuti dengan langkah ringan. "Akhirnya, kita sampai di kamar kita. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Perlukah kita merekam momen ini? Kurasa Summer juga pasti senang melihatnya," tutur Sky dengan mata berbinar. Louis selalu suka melihatnya. Ia tersenyum manis. "Sky, bagaimana kalau saat ini, kita nikmati saja momen-momen sepenuhnya? Lupakan tentang orang lain. Fokus saja pada kita berdua." "Tapi Summer bukan orang lain. Dia putri kita," timpal Sky dengan alis melengkung tinggi. Kebingungan yang terukir di wajahnya membuat Louis tertawa gemas. Apalagi, gelengan ke
Setibanya di kediaman Harper, perhatian Orion langsung tertuju pada dua bocah di ruang tamu. Mereka sedang duduk bersampingan di sebuah sofa. Tatapan mereka serius, terpaku pada ponsel. "Selamat pagi, Summer, River," sapa Orion sembari mendekat. Para bocah akhirnya mengangkat pandangan. "Selamat pagi, Paman Orion." Namun kemudian, mata mereka kembali pada ponsel. Merasa diabaikan, kening Orion berkerut. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Tolong jangan ganggu kami, Paman Orion. Kami sedang serius," gerutu Summer. Alisnya tertaut lucu. Penasaran, Orion berdiri di belakang sofa. Ia membungkuk, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan para bocah. "Siapa perempuan itu?" tanyanya ketika mendapati media sosial milik seseorang yang tidak ia kenal. Summer menghela napas panjang. Gayanya sudah seperti orang dewasa. "Paman Orion, bukankah sudah kubilang untuk tidak mengganggu kami?" "Aku tidak mengganggu. Hanya bertanya. Siapa perempuan itu? Kenapa kalian mengamati media sos
"Tunggu," Summer menahan kedua orang tuanya agar tidak membalikkan badan. "Mama dan Papa jangan menoleh. Nanti dia tahu kalau kita sedang membicarakan dirinya. Coba Papa geser kamera ke arah kiri. Oh, maksudku kanan. Nah, itu dia! Zoom sekarang!" Louis memenuhi perintah sang putri. Mendapati seorang wanita tinggi semampai yang sejak tadi memang berkeliaran di dekat mereka, ia melirik ke samping. Sesuai dugaan, Sky sedang mengerucutkan bibir. "Perempuan itu lagi," gerutu Sky dengan nada tak senang. Summer seketika terbelalak. "Apakah Mama mengenalnya?" Sky mengedikkan bahu. "Tidak. Hanya saja, sejak kami tiba di sini, dia terus mondar-mandir di sekitar Papa. Mama rasa dia sedang tebar pesona untuk mendapatkan perhatian Papa." Louis merasa gemas dengan tingkah istrinya itu. Ia menggosok-gosok lengannya, berbisik dengan senyum tertahan, "Sky, kenapa raut wajahmu manyun begitu? Apakah kau cemburu?" "Cemburu?" Mata Sky membulat. "Tidak. Aku tahu kau tidak akan terpesona oleh
"Kau tidak jadi memberi mereka pelajaran?" bisik Brandon di sisi Briony. Matanya juga terpaku pada dua bocah yang saling berpelukan. Briony menghela napas panjang. Dahinya mengernyit. "Apakah mereka sengaja berpose lucu seperti itu agar aku tidak memarahi mereka?" gumam Briony, curiga. Brandon menggeleng santai. "Kurasa tidak. Mereka memang masih tidur. Lihatlah, wajah mereka tampak begitu damai." Mata Briony memicing. "Mereka tidak berpura-pura, kan? Kau tahu, dua bocah ini cerdas. Mereka bisa saja bersandiwara untuk menyelamatkan diri. Mereka sudah menjebak kita." Tiba-tiba, alarm dari ponsel River berbunyi. Bocah itu tersentak. Karena River bergerak, Summer ikut terbangun. "Apakah ini sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak. Matanya memicing karena silau. "Ya, alarmku sudah berbunyi. Itu artinya ini sudah pagi," jawab River sembari meraih ponsel yang berada di dekat kepalanya. Summer pun meregangkan badan. Ia menjadi semakin mirip dengan ulat yang menggeliat.
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,