Fokus keempat penculik langsung teralihkan pada mobil sedan. Mereka saling pandang, mengira-ngira mungkin bosnya yang akan turun dari sana. Tapi tak sesuai ekspektasi mereka, karena yang turun adalah dua pemuda tampan gagah yang tidak mereka kenal. Melihat Fandy dan Dion turun dari mobil sambil membawa tongkat golf dan tongkat baseball seketika membuat Lian merasa lega, dia coba mengatur napasnya.
“Udah capek, belom?” tanya Fandy.
“Lumayan...” jawab Lian dengan napas terengah-engah.
“Gaya lo!” sengak Dion sambil nyengir.
Para penculik yang menyadari bahwa musuh mereka bertambah langsung kesal dan meludah sembarangan. “Habisi mereka semua!” seru si pria bertopi.
Perkelahian antara pihak Lian dan para penculik pun berlangsung cukup alot. Meski Lian mendapatkan tambahan tenaga, tidak serta merta membuat empat pria berbadan gempal yang mereka lawan kewalahan. Dion dan Fandy bahkan bebera
Di dalam mobil ambulans, para petugas segera memberikan pertolongan pertama pada Cantika. Membalut beberapa luka di beberapa bagian tubuhnya dengan perban agar darah tidak terus mengalir dari luka tersebut. Di samping Cantika, Lian duduk sambil terus memegangi tangannya. Dalam kediamannya, sejatinya Lian hanya berusaha menenangkan dirinya. Mengusir segala pikiran negatif yang membuatnya gemetaran sejak tadi.“Cantika gapapa kan, Mbak?” tanya Lian pada petugas medis yang baru saja selesai membalut luka Cantika dengan perban sementara. Petugas itu berusaha menenangkan Lian. “Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk tau kondisinya, Mas. Mas doain aja, supaya mbaknya gapapa.”Lian mengangguk. Petugas medis itu memerhatikan Lian yang juga terluka di beberapa bagian. “Mas kayaknya juga terluka, biar saya bantu obati.”Lian menggeleng cepat. “Nggak usah, saya gapapa. Mbak tolong Cantika aja, lukanya lebih parah.”
Cantika sudah dipindahkan di kamar rawat VIP. Sekeliling ruangan terlihat mewah dan dipenuhi dengan segala fasilitas yang memanjakan pasien seperti tv, kamar mandi pribadi, hingga penyaring udara di samping ranjang.Terdengar suara derit pintu yang dibuka. Tak lama kemudian Lian masuk, lalu kembali menutup pintu dengan perlahan. Dengan langkah hati-hati Lian mendekat pada Cantika, lalu duduk di kursi yang ada di samping bed pasien. Lian terdiam sejenak, memerhatikan Cantika yang pucat dan penuh memar. Melihat itu, rasa ngilu kembali menyerang dadanya. Tak ada yang menyangka jika kejadian seperti ini bisa menimpa Cantika— namun Lian tetap merasa bersalah.“Maafin aku, Can…” gumam Lian sambil meraih tangan kanan Cantika, lalu meremasnya dengan lembut. “Kalo aja aku datang lebih cepet, kamu pasti nggak akan sampe seperti ini.” Lian diserang rasa sesal hingga matanya terasa panas.“Maafin aku yang gagal jagain kamu
Ariny yang semula menggandeng lengan Robby langsung melepasnya dan menghampiri Cantika. “Cantika...” Ariny bereskpresi sedih melihat kondisi Cantika. Gilang mengikuti Ariny, dan menatap Cantika dengan ekspresi yang sulit dibaca oleh Cantika. “Gue ikut prihatin sama kondisi lo sekarang, Can,” ucap Gilang. Cantika mengabaikan itu.Sementara itu Robby jalan perlahan dengan raut muka sedih dan tak percaya.“Cantika, kamu gapapa, Nak?” tanya Robby dengan raut cemas. Cantika hanya menjawabnya dengan gelengan.Lian yang sudah berdiri dari kursi tapi tetap di samping bed Cantika menunduk memberi hormat pada Robby. Robby membalas dengan menepuk bahu Lian. “Makasih, kamu udah nolong anak saya.” Robby setengah meremas ujung bahu Lian.Lian hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Karena dia tidak tahu apakah pantas baginya jika berkata bahwa menyelamatkan Cantika adalah tanggung jawabnya sebagai pria yang menci
Cantika dan Lian sudah duduk berhadapan dengan seorang petugas polisi yang mencatat tiap kata dari mulut Cantika. Sejak tadi, Cantika duduk dengan tatapan tegar. Meski Lian yang duduk di sampingnya bisa merasakan jika gadis itu sedang berusaha menutupi rasa tegangnya. Lian meraih tangan Cantika, lalu meremasnya dengan lembut sebagai bentuk dukungan untuknya. Cantika sempat menoleh pada Lian lalu tersenyum, seolah memberitahu Lian jika dia baik-baik saja. “Saat ini para pelaku sudah kami tahan, mereka juga sudah diinterogasi beberapa kali. Dari hasil interogasi, bisa disimpulkan jika mereka memang tidak memiliki dendam pribadi pada saudari Cantika,” jelas petugas polisi tersebut. Cantika mengangguk mengiyakan. “Saya emang nggak kenal mereka, Pak. Saya juga yakin kalo mereka orang suruhan.” “Dari keterangan, kemungkinan motif yang mendasari penculikan itu adalah dendam. Maaf— kalau boleh tahu apa selama ini anda memiliki musuh? Atau seseorang yang memiliki dendam pada
Lian agak bingung saat menyusuri rumah Rahadi yang begitu besar. Entah berapa luas rumah yang membuat Lian lelah hanya untuk pergi ke dapur saja.Lian celingukan karena sebelumnya memang belum pernah menginjakkan kaki di dapur. Hingga dia berpapasan dengan seorang perempuan usia awal 30an. Lian langsung menahan perempuan itu.“Permisi, Mbak. Numpang nanya.”“Mas Lian?”Lian mengernyit heran karena perempuan itu mengenalinya. “Mbak kenal saya?”“Kenal dong, Mas.” Perempuan di depan Lian mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Kenalin, Mas. Nama saya Pita. Saya ART di sini,” jelasnya.Lian tersenyum dan mengangguk dan membalas uluran tangan Pita.“Saya beberapa kali liat mas dateng ke sini ketemu Mbak Cantika. Terus Mbak Cantika juga sering ngajak saya gosipin Mas Lian.”“Hmm... Jadi biasanya saya jadi bahan gosip nih? Digosipin gimana biasanya?&
Cantika keluar kamar dipapah Lian. ART yang barusan memberitahukan kedatangan dokter Septian masih menunggu di depan pintu. “Dokter Tian kok ke sini? Navi yang nyuruh buat meriksa aku?” tanya Cantika pada ART muda itu.“Kayaknya cuma mau jengukin Mbak Cantika, deh. Soalnya aku ndak liat Dokter Septian bawa tas dokter tapi bawanya buah-buahan.”Cantika manggut-manggut. Lian tiba-tiba teringat. “Oiya, tas aku ketinggalan di kamar kamu, Can. Aku ambil dulu.” Lian melepas tangan Cantika lalu menatap pada ART yang masih menemani mereka. “Emm, Mbak...”“Nama saya Nikmah,” ujar ART muda itu seolah paham kalau Lian ingin tahu namanya.“Iya, Mbak Nikmah, tolong anterin Cantika ke depan, nanti aku nyusul,” pinta Lian sambil menyerahkan Cantika pada Nikmah.Cantika menatap Lian yang masuk lagi ke kamarnya lalu menatap Nikmah sambil mencebik. “Mbak Cantika kenapa? Ada yang aneh di mu
“Habis ini tolong kamu sortir tanggal kedaluwarsa, yang udah paling deket nanti taruh di barisan depan,” ujar Dokter Bambang pada Lian di antara rak pakan pet premium.“Siap, Dok,” jawab Lian sambil mengikat kantong sampah. Dia sisihkan kantong sampah itu kemudian mulai berdiri di depan rak pakan.“Oya, cewek kamu udah lama nggak ke sini. Apa kabarnya?” tanya Dokter Bambang tiba-tiba.Lian sontak bengong, fokusnya terhadap cetakan tanggal expired di sebuah kaleng pakan basah jadi buyar. Pikirannya mencoba mencerna makna dari pertanyaan Dokter Bambang barusan, apa dia bermaksud menyindir Lian yang belakangan ini sering disamperi oleh Cantika? Lian jadi tidak enak hati, takut jika Dokter Bambang merasa terganggu karena menganggap Lian terlalu banyak pacarana.“Lian?” panggil Dokter Bambang.“Ah, iya, Dok.” Lian agak terperanjat dan buru-buru menjawab, “Dia belum lama
“Kalian mau langsung pergi sekarang?” tanya Syabila berusaha terlihat biasa saja— meski sesuatu di balik dadanya saat ini terasa campur aduk setelah mendengar ucapan Arumy sebelumnya.Lian, Arumy, dan Kuncoro menoleh pada Syabila. Arumy mendekat pada gadis itu. “Maaf ya, Bila. Aku nggak bisa duduk ngobrol sama kamu lagi soalnya aku buru-buru, habis ini aku mesti balik kampung.”Syabila mengangguk pelan. “Yaudah, gapapa kok.”Selama menunggu kepulangan Lian tadi, Syabila dan Arumy memang sempat berkenalan singkat. Keduanya bahkan tampak langsung akrab ketika bertukar cerita tentang Lian. Terlebih mereka seumuran, dan Syabila langsung mencoba menarik hati Arumy supaya bisa akrab dengan adik angkat dari pemuda yang disukainya itu.“Kita berangkat sekarang?” tanya Kuncoro. Lian dan Arumy mengangguk. Syabila menenangkan diri dan buru-buru menyerahkan kantong plastik berisi teh botol dan beberapa cemilan yan