Cantika keluar kamar dipapah Lian. ART yang barusan memberitahukan kedatangan dokter Septian masih menunggu di depan pintu. “Dokter Tian kok ke sini? Navi yang nyuruh buat meriksa aku?” tanya Cantika pada ART muda itu.
“Kayaknya cuma mau jengukin Mbak Cantika, deh. Soalnya aku ndak liat Dokter Septian bawa tas dokter tapi bawanya buah-buahan.”
Cantika manggut-manggut. Lian tiba-tiba teringat. “Oiya, tas aku ketinggalan di kamar kamu, Can. Aku ambil dulu.” Lian melepas tangan Cantika lalu menatap pada ART yang masih menemani mereka. “Emm, Mbak...”
“Nama saya Nikmah,” ujar ART muda itu seolah paham kalau Lian ingin tahu namanya.
“Iya, Mbak Nikmah, tolong anterin Cantika ke depan, nanti aku nyusul,” pinta Lian sambil menyerahkan Cantika pada Nikmah.
Cantika menatap Lian yang masuk lagi ke kamarnya lalu menatap Nikmah sambil mencebik. “Mbak Cantika kenapa? Ada yang aneh di mu
“Habis ini tolong kamu sortir tanggal kedaluwarsa, yang udah paling deket nanti taruh di barisan depan,” ujar Dokter Bambang pada Lian di antara rak pakan pet premium.“Siap, Dok,” jawab Lian sambil mengikat kantong sampah. Dia sisihkan kantong sampah itu kemudian mulai berdiri di depan rak pakan.“Oya, cewek kamu udah lama nggak ke sini. Apa kabarnya?” tanya Dokter Bambang tiba-tiba.Lian sontak bengong, fokusnya terhadap cetakan tanggal expired di sebuah kaleng pakan basah jadi buyar. Pikirannya mencoba mencerna makna dari pertanyaan Dokter Bambang barusan, apa dia bermaksud menyindir Lian yang belakangan ini sering disamperi oleh Cantika? Lian jadi tidak enak hati, takut jika Dokter Bambang merasa terganggu karena menganggap Lian terlalu banyak pacarana.“Lian?” panggil Dokter Bambang.“Ah, iya, Dok.” Lian agak terperanjat dan buru-buru menjawab, “Dia belum lama
“Kalian mau langsung pergi sekarang?” tanya Syabila berusaha terlihat biasa saja— meski sesuatu di balik dadanya saat ini terasa campur aduk setelah mendengar ucapan Arumy sebelumnya.Lian, Arumy, dan Kuncoro menoleh pada Syabila. Arumy mendekat pada gadis itu. “Maaf ya, Bila. Aku nggak bisa duduk ngobrol sama kamu lagi soalnya aku buru-buru, habis ini aku mesti balik kampung.”Syabila mengangguk pelan. “Yaudah, gapapa kok.”Selama menunggu kepulangan Lian tadi, Syabila dan Arumy memang sempat berkenalan singkat. Keduanya bahkan tampak langsung akrab ketika bertukar cerita tentang Lian. Terlebih mereka seumuran, dan Syabila langsung mencoba menarik hati Arumy supaya bisa akrab dengan adik angkat dari pemuda yang disukainya itu.“Kita berangkat sekarang?” tanya Kuncoro. Lian dan Arumy mengangguk. Syabila menenangkan diri dan buru-buru menyerahkan kantong plastik berisi teh botol dan beberapa cemilan yan
Satu minggu berlalu setelah Arumy menjenguk Cantika dan memberinya restu sebagai kakak ipar. Cantika hampir tiap hari datang ke klinik Lian untuk mengajaknya makan siang. Lian juga mau tidak mau memasak porsi ekstra untuk dimakan bersama Cantika. Meski tugas memasakkan Cantika hanya dua hari sekali, sedangkan di selang hari akan diajak Cantika makan di luar. Seperti hari ini.“Mau makan di mana, Yank?” tanya Cantika sambil fokus dengan jalanan. Lian yang duduk di sebelahnya coba berpikir. “Jangan yang jauh deh pokoknya. Istirahat siangku tinggal 50 menitan,” ucap Lian.“Makanya kamu mau di mana?” desak Cantika. Dia juga bingung kalau Lian tidak memberinya saran.“Warung Bu Endah aja,” ajak Lian. Cantika menelengkan kepala sambil mengernyit. “Deket kok, abis ini ada perempatan, kita belok kiri, lurus aja. Ntar nemu banner gede, warteg Bu Endah gitu hurufnya gede-gede,” terang Lian untuk menjawab
Dada cantika masih berdebar kencang saat melihat laki-laki di hadapannya. Meski Cantika tidak mengenalinya karena dia tidak ada di lokasi penyekapan, namun dia merupakan pimpinan komplotan kejam yang menculiknya kala itu. Lian memerhatikan tubuh Cantika yang agak gemetar, Lian meraih tangan Cantika dan menggenggamnya. “Kamu gak usah maksain diri.”Tapi Cantika malah menoleh pada Lian dan bicara penuh penekanan. “Aku kan udah bilang, aku gapapa.”“Tapi—” Lian ragu, namun akhirnya dia tidak melanjutkan kalimatnya. Lian coba untuk percaya pada Cantika.Lian mengerti jika Cantika sedang emosional— marah pada orang-orang yang menculiknya, dan lebih marah lagi karena dugaannya meleset. Cantika mendekati pria kurus berusia 30 tahunan yang tubuhnya dipenuhi memar itu. Kemungkinan sebelunya dia memang sudah diinterogasi oleh polisi hingga diberi tekanan fisik.“Kamu masih nggak mau buka mulut?” tanya Cant
Mobil yang dikendarai oleh Navi berhenti di halaman rumah Rahadi. Lian yang duduk di samping kemudi segera melepas seat belt. Sore ini Navi memang sengaja samperin Lian di klinik, karena dia cemas melihat Cantika yang berhari-hari tidak mau keluar dari kamarnya.“Sorry, Bro. Sepupu gue emang ngerepotin,” ucap Navi. Meski Lian jelas tahu jika Navi adalah salah satu orang yang paling khawatir dengan keadaan Cantika.“Gapapa, gue sebenernya emang pengen ke sini dari kemarin-kemarin. Tapi Cantika selalu ngelarang gue,” jelas Lian menceritakan yang sebenarnya. Lian dan Navi turun dari mobil, keduanya berjalan menuju rumah.“Gue udah nggak tau lagi harus bujuk dia kayak gimana, udah berhari-hari dia di kamar, udah kayak zombie aja,” omel Navi sambil menepuk bahu Lian. “Lo langsung ke kamarnya aja.”“Oke.” Lian mengangguk lalu melangkah menuju kamar Cantika. Sementara itu Navi naik ke
“... Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Robby Setiawan dengan pidana penjara dua puluh tahun.”TOK! TOK! TOK! Ketukan palu sebanyak tiga kali mengakhiri pembacaan putusan oleh Hakim Ketua.Semua yang hadir langsung riuh. Napas Cantika memburu, tangannya mengepal, perasaannya campur aduk saat bertemu pandang dengan Robby yang langsung dikawal beberapa petugas polisi. Rahang Cantika mengerat melihat ayahnya terus memandangnya dengan ekspresi wajah datar seolah tidak menyiratkan penyesalan.Cantika buang muka karena tidak kuasa menahan emosi negatif di dirinya. Sedangkan Robby ditarik petugas menuju tempat lain. Para pemburu berita gerak cepat merubung pihak Robby maupun Cantika. Namun beberapa orang bawahan Rahadi yang dipimpin Morgan sigap menjaga Cantika. Lian mendekap pundak Cantika sambil berjalan keluar ruang sidang.“Mbak Cantika tolong jawab pertanyaan―”“Mbak, sebentar saja―”“Mbak Cantika―&r
Cantika terdiam tak percaya dengan ucapan Robby yang mengatakan jika dia bukanlah anak kandung Robby. “Maksud papa apa? Tega banget papa bilang gitu?”“Kenyataannya kamu memang bukan anakku, Cantika… karena mama kamu selingkuh,”ucap Robby tanpa keraguan di matanya. Seolah apa yang dia katakan memang sebuah kebenaran. Cantika menggeleng lemah, tak ingin percaya dengan ucapan Robby yang tak berdasar itu.“Papa yang selingkuh sama tante Ariny, kenapa papa malah nuduh mama? Maling jangan teriak maling!” Emosi Cantika tak terbendung lagi hingga dia bicara dengan nada tinggi pada Robby. Namun Robby malah terkekeh, seperti tidak ada rasa sesal yang tersirat di wajahnya. Hal itu yang membuat perasaan Cantika makin pedih, seperti diremas oleh sesuatu yang tak terlihat.“Saya selingkuh karena mama kamu yang selingkuh lebih dulu— saya tahu itu. Selama ini mama kamu selalu dekat dengan Dokter Septian, bahkan mereka memi
Cantika seolah baru tersadar dengan apa yang dia lakukan. Cantika meraup wajahnya penuh penyesalan, sebelum akhirnya menatap Lian. “Lian, maafin aku… harusnya aku nggak bentak kamu. Aku terlalu kebawa emosi…”Lian masih sedikit terkejut dengan apa yang Cantika lakukan sebelumnya, namun dia mencoba mengerti keadaan Cantika. Apa yang menimpa gadis itu belakangan ini memang cukup mengguncang mentalnya. “Aku ngerti, Can. Gapapa kok.”Mendengar jawaban Lian itu justru membuat dada Cantika menyesak. Dia sangat merasa bersalah pada Lian. Padahal pria itu selama ini selalu bersikap baik dan perhatian padanya. Namun Cantika justru melampiaskan kemarahan padanya. “Aku bener-bener nggak sengaja, Lian,” ucap Cantika dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Lian melihat itu jadi bingung sendiri. Dia mengusap bawah mata Cantika yang baru saja mengalirkan bulir bening di sana.“Kamu nggak usah nang
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri