Cantika seolah baru tersadar dengan apa yang dia lakukan. Cantika meraup wajahnya penuh penyesalan, sebelum akhirnya menatap Lian. “Lian, maafin aku… harusnya aku nggak bentak kamu. Aku terlalu kebawa emosi…”
Lian masih sedikit terkejut dengan apa yang Cantika lakukan sebelumnya, namun dia mencoba mengerti keadaan Cantika. Apa yang menimpa gadis itu belakangan ini memang cukup mengguncang mentalnya. “Aku ngerti, Can. Gapapa kok.”
Mendengar jawaban Lian itu justru membuat dada Cantika menyesak. Dia sangat merasa bersalah pada Lian. Padahal pria itu selama ini selalu bersikap baik dan perhatian padanya. Namun Cantika justru melampiaskan kemarahan padanya. “Aku bener-bener nggak sengaja, Lian,” ucap Cantika dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Lian melihat itu jadi bingung sendiri. Dia mengusap bawah mata Cantika yang baru saja mengalirkan bulir bening di sana.
“Kamu nggak usah nang
Lian dan Cantika jalan bergandengan tangan menuju lobi rumah sakit. Mereka melihat Septian jalan tergesa sambil mengantongi HP di saku jas putihnya. Septian tampak panik menyambut Lian dan Cantika. Cantika menunduk menahan emosinya yang kembali labil setelah melihat pria bermata sipit yang disebut Robby sebagai ayah kandungnya tersebut.“Can?” bisik Lian. Dia tepuk-tepuk pelan punggung tangan Cantika yang menggenggam erat tangan kirinya. Cantika menghela napas panjang kemudian mendongak. Meski sulit baginya untuk tersenyum, setidaknya dia berusaha untuk tidak terlihat marah.“Kenapa tiba-tiba minta ketemu, Can? Kamu sakit?” tanya Septian begitu posisinya dekat dengan tempat Lian dan Cantika berdiri. Pria itu tampak panik sambil memerhatikan badan Cantika. “Kan bisa langsung hubungi Om aja. Nanti Om langsung samperin ke rumah kayak biasanya,” ujar Septian dengan ramah.Mata Cantika berkaca-kaca. Ingin sekali dia berteriak melua
Cantika menghela napas lega begitu langkahnya melintas keluar dari kafe yang penuh dengan aroma kopi segar. Cahaya senja masih menyinari langit, menciptakan bayangan lembut di atas trotoar. Lian yang melangkah di dekat Cantika perlahan meraih tangan Cantika dan menggenggamnya, seolah meyakinkan gadis itu jika dirinya akan selalu ada di sisinya. Cantika tersenyum dan mereka melangkah bersama menuju parkiran. Di samping mereka, Septian masih melangkah sambil sesekali melirik ke arah Cantika. Wajahnya masih diliputi kecemasan.“Om duluan, ya?” pamit Septian sebelum mereka berpisah menuju mobil masing-masing. Lian dan Cantika mengangguk.“Oke, Om.”Septian pun berjalan menuju mobilnya yang diparkir paling ujung. Lian dan Cantika pun berjalan menuju mobil Cantika. Namun, tepat sebelum mereka tiba di mobil, dering tajam dari telepon Lian menggema di saku celananya. Dengan cepat, Lian mengeluarkan ponselnya. Layar menunjukkan pangg
Lian kemudian meletakkan foto itu kembali ke meja, kemudian duduk termenung di ruang tengah rumah Dokter Septian. Namun tatapannya tertuju pada foto lain yang terpajang di meja kayu di depannya. Foto itu menampilkan seorang anak kecil yang tersenyum riang, wajahnya memancarkan keceriaan yang begitu dikenal oleh Lian. Setiap detailnya, dari mata cokelat yang berbinar hingga senyum manis yang membuatnya tampak sangat mirip dengan dirinya sendiri saat kecil dulu. Dalam keheningan itu, Lian tenggelam dalam serangkaian kebingungan di benaknya. “Kenapa anak kecil ini mirip banget sama aku dulu?” gumam Lian, suaranya hampir tercekat oleh kebingungan dan kecampuran perasaannya. Setiap kali melihat foto itu, rasanya seperti melihat cermin masa lalu yang membawanya pada sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Tiba-tiba, langkah ringan terdengar di lantai marmer ruangan itu. Cantika muncul dengan gelas berisi air hangat di tangannya. Cantika mendekati Lian, menyadari b
“Yank, tunggu!” panggil Cantika pada Lian yang jalan pelan meninggalkannya. Lian seperti tidak mendengarkan panggilan Cantika sampai langkahnya mendekat ke pintu mobil milik gadis itu. Cantika berlari dan langsung membukakan pintu depan sebelah kiri. Lian hanya terdiam bahkan sampai Cantika menutup pintu lalu duduk di balik kemudi.Setelah memasang seat belt, Cantika tak lantas menginjak gas, dia lebih dulu menatap Lian yang sejak tadi diam. “Aku tau kalau kamu masih kaget, Yank. Tapi Om Tian itu orang baik, dia baik banget. Kalo pun ucapan tadi agak mendadak, tapi aku yakin kalau Om Tian serius.”Cantika menyalakan mesin mobilnya. “Dari awal aku juga ngerasa kalau muka kamu mirip banget, tapi aku nggak nyangka kalau ada kemungkinan kalau kamu emang anak Om Tian.”Cantika melirik Lian yang tidak meresponnya. Cantika paham jika Lian sedang kebingungan dan memutuskan untuk memberi waktu Lian untuk menenangkan dirinya.
Cantika menepuk keningnya. “Ya ampun, sampe lupa!” Dia tarik lengan Lian untuk mendekat pada Agni. “Tante, kenalin ini Lian.” Cantika tersenyum lebar sambil memandang Lian.Lian mengulurkan tangan pada Agni. “Nama saya Lian.”Agni menjabat tangan Lian sebentar. “Saya Agni, Tantenya Cantika.” Agni heran kenapa Cantika bersikap sangat akrab dengan pemuda tampan di hadapannya itu. Tapi dia tak mau ambil pusing, fokusnya hanya pada Cantika saat ini. “Yaudah, yuk, Can, kita masuk.” Agni menggeret tangan Cantika sampai gadis itu terlepas dari Lian yang digelayutinya.“Tapi, Tan―” Cantika tidak mau beranjak. Dia heran dengan sikap Agni yang menanggapi Lian sekenanya.“Udah, ayok. Banyak hal yang pengen Tante omongin sama kamu.” Agni malah mengempit tangan Cantika.Cantika menggapai-gapai tangan Lian. “Ayo, ikut masuk,” ajaknya. Tapi Lian menggeleng, dia merasa
Cantika, Dokter Septian, dan Lian memasuki ruang besuk dengan langkah hati-hati. Ruangan itu terasa sempit, diisi oleh meja besi kecil dan beberapa kursi yang tersusun rapi di sekitarnya. Dokter Septian menatap Cantika dengan ekspresi yang penuh kehangatan, memberikan semangat tak terucapkan sebelum mereka memulai pertemuan itu. Lian, yang selalu setia mendampingi, memberikan senyuman kecil sebagai dukungan.Saat Robby tiba, Cantika bisa merasakan campuran perasaannya yang rumit. Dia masih marah pada Robby, namun berusaha menenangkan dirinya terlebih kali ini dia tidak sendiri.Robby langsung duduk tegak di ruang besuk, wajahnya terlihat kaku saat melihat Septian juga datang. Robby menoleh pada Cantika. “Mau ngapain lagi kamu ke sini? Bukannya urusan kita sudah selesai?” Robby mengalihkan pandangannya pada Septian, dokter yang sejak dulu kurang disukainya. “Kenapa juga kamu bawa dia ke sini? Kalian mau ngetawain saya?” Ketegangan tak terucapkan
Dua hari berlalu sejak Septian mendaftarkan rambut-rambut yang akan diuji lab DNA. Selama itu Lian, Cantika, dan Septian menjalani aktifitas seperti biasa meski masing-masing diliputi rasa cemas.“Dokter hari ini kelihatan beda. Habis makan apa?” goda salah seorang dokter perempuan pada Septian saat keduanya berada di dalam lift setelah kembali dari makan siang.Septian mendengus tawa. “Makan nasi, lauk ayam, sayur sop, sambal terasi. Kan kamu juga makan itu di kantin tadi.”Si dokter muda mencebik, tidak percaya. “Dokter Tian nggak mau ngaku, ih.” Dokter bernama Bilqis itu memasang ekspresi kecewa.“Lagian kan bahaya kalau saya tiba-tiba jadi berbeda.” Septian diam sejenak sambil menatap pantulan sosoknya di pintu lift yang tampak buram kemudian menyunggingkan senyum lebar. Membuat Bilqis langsung pura-pura bergidik. “Tuh kan, Dokter Tian nggak kayak biasanya. Hii, serem!&rdquo
Cantika merenung dengan serius di hadapan meja kerjanya di butik kecilnya. Gulungan-gulungan kain dan palet warna tersebar di sekitarnya, menciptakan pemandangan yang berantakan namun kreatif. Di sisi lain ruangan, dua orang karyawan setianya, Maya dan Rudi, sibuk menyiapkan bahan-bahan yang Cantika butuhkan untuk desain terbarunya.“Aku udah dapet kain sutra yang Mbak Cantika minta nih,” ucap Maya sambil membawa gulungan kain lembut berwarna pastel. Cantika tersenyum puas. “Makasih. Kamu taruh aja di situ.”Sementara itu, Rudi membawa palet warna dan kertas desain. “Ini adalah kombinasi warna yang udah aku susun berdasarkan referensi yang mbak Cantika kasih.”Cantika melihat palet warna dengan penuh antusiasme. “Bagus banget, Rud.”Di tengah kesibukan itu, tiba-tiba saja pintu butik terbuka perlahan, tak lama kemudian Agni memasuki ruangan dengan senyuman hangat. Cantika yang melihat Agni langsung bal
Lian mengemasi segala keperluannya, Cantika, serta anak-anak ke dalam dua koper besar. Cantika menyisir rambut Theo. Nala dan Cio duduk menunggu di dekat mereka bertiga. Theo sesekali melirik ke adik-adiknya yang mengerjapkan mata berusaha untuk bangun sepenuhnya. “Ma, adek tidur lagi, tuh,” tunjuk Theo ke arah Cio.Lian dan Cantika sontak tertawa melihat Cio berusaha terjaga meski kepalanya oleng ke sana ke mari. Padahal sudah dimandikan, tinggal didandani, tapi nyatanya Cio dan Nala tidak tahan kantuk karena dipaksa bangun saat subuh.“Cio biarin aja tidur lagi,” ujar Lian. “Nala bangunin, biar Ayah dandanin,” imbuhnya.Theo beranjak ke tempat Nala yang diam keriyipan sambil memangku dagu di meja lipatnya. “Ngantuk banget, Dek?” tanya Theo membuyarkan kantuk Nala. Nala sedikit tersentak. “Kaget, ya? Maaf,” ucap Theo dengan sabar. Dia geret pelan tangan Nala menuju orangtua mereka. Nala kemudian duduk
Cantika tengah sibuk dengan segala aktivitasnya di butik, menyusun desain terbaru dan koordinasi dengan Rudi dan Maya sebagai tim kreatifnya. Saat itu tiba-tiba terdengar suara notifikasi hp-nya. Cantika mengalihkan pandangannya sejenak pada layar hp-nya, terlihat ada pesan WhatsApp masuk dari Dion. Cantika segera meraih hp-nya dan membuka pesan itu. Mata Cantika langsung terbelalak melihat isi kiriman foto dari Dion.Foto itu menampilkan Lian yang duduk santai di sebuah kafe, bersama Fandy. Yang jadi masalah adalah Lian membawa ketiga anak mereka untuk nongkrong di café. Cantika memperbesar foto itu dan memperhatikan setiap detailnya. Terlihat Cio yang duduk di pangkuan Lian sembari sibuk mengenyot dot susunya. Theo disuapin makan oleh Fandy, sedangkan Nala duduk di kursi tinggi balita, dengan seluruh mukanya yang sudah cemong dengan es krim.Cantika segera menoleh pada Maya dan Rudi. “Maya, Rudi, tolong kalian handle urusan ini. Aku masih ada ur
Lian berjongkok di samping ranjang. “Can, bangun, dong,” pintanya sembari mengelus kepala Cantika. Cantika mengerjap sebentar lalu menguap. “Ini jam berapa?” tanya Cantika. Matanya masih keriyipan. Dia lingkarkan lengannya di leher Lian. “Jam setengah enam.” Cantika mengernyit. “Tumben banget kamu bangunin aku jam segini, Yank?” Lian berdiri. “Lupa lagi? Hari ini kan jadwal imunisasi Cio sama Nala.” “Oiya!” Sontak mata Cantika terbuka lebar. Dia pun duduk lalu mengulet. Setelah menikah, memang sempat ada bahasan mengenai asisten rumah tangga. Cantika ingin memboyong Mbak Nikmah dan Mbak Pita dari tempat kakek ke rumahnya. Tapi Lian keberatan. Meski sudah cukup akrab dengan dua ART Rahadi itu, nyatanya Lian lebih ingin mengurus rumah dan anak-anak mereka sendirian saja. Cantika berpikir dalam-dalam. Dia juga tidak ingin kalau meninggalkan gadis-gadis itu bersama suami gantengnya saat dirinya bekerja. Jadi Cantika setuju saja asa
Enam tahun berlalu sejak pernikahan Cantika dan Lian, rumah tangga mereka dihiasi dengan canda tawa anak-anak mereka yang memiliki jarak usia begitu tipis. Di awal pernikahan, mereka begitu bersemangat dan berniat untuk memiliki banyak anak. Karena Cantika sudah merasakan sendiri betapa kesepiannya hidup sebagai anak tunggal. Sedangkan Lian, sejak dulu memang menyukai anak-anak. Namun mereka tidak menyangka jika memiliki banyak anak adalah tanggung jawab yang begitu melelahkan. Lian tak pernah sehari pun bisa bangun lebih dari jam lima pagi. Karena tugasnya sebagai Ayah rumah tangga sungguh tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Sejak pagi Lian sudah sibuk memasak nasi, sayur dan lauk pauknya. Dilanjutkan dengan membuat bekal untuk anak pertama mereka, Theo yang sudah masuk TK. Dapur diisi aroma harum dari makanan yang sedang dimasak. Sementara Cantika baru bangun tidur setelah semalam begadang mengurus beberapa desain fashion baru. Dia keluar dari kamar lalu tersenyum melihat Lian ya
“Lian!” Fandy menggedor pintu kontrakan Lian pagi-pagi sekali. “Di mana sih lo?” gumamnya sambil mengecek kembali HP-nya. Dia sudah berusaha menelepon sohibnya itu tapi nomornya tidak aktif. “Nggak mungkin jam segini Lian belum bangun. Belum masuk jam kerjanya juga,” gerutunya.Fandy yang gelisah memutuskan untuk menelepon Dion. “Bro!” ucapnya begitu panggilannya diterima.“Apa sih, gangguin orang tidur aja!” sengak Dion dengan suara malas.Fandy mendesis. “Gue nyamperin Lian di kontrakan tapi dia nggak bukain pintunya. Gue telfon juga nggak aktif nomernya.”“Oooh...” sahut Dion sambil menguap. “Dia udah di klinik, kali? Atau di rumah Om Tian.”“Oke, kalo gitu gue cek ke klinik dulu. Lo share loc alamat Dokter Septian ke gue, ya!” ucap Fandy sembari jalan menuju motor sport-nya.“I
Lian termenung di teras rumah sembari bermain dengan kucing orennya. Meski tangannya sibuk menggelitiki tubuh anabul tersebut, namun pikirannya melayang. Masih terbayang-bayang kejadian sebelumnya-- saat dia mendapat penolakan dari Kakek Cantika. Jika Rahadi tak akan memberi restu, apakah hubungannya dengan Cantika memang harus berakhir sampai di sini?Lian menggeleng, rasanya belum rela jika dia merelakan hubungannya dengan Cantika begitu saja. Saat sedang termenung, tiba-tiba saja terdengar suara deru mesin mobil yang menepi di depan rumah kontrakannya. Lian menoleh, ternyata mobil Dion yang berhenti di depan halaman kontrakan. Tak lama kemudian, Dion turun dari mobilnya sambil menenteng kantong plastik. Lian tersenyum menyapa Dion. “Bawa apaan tuh?”Dion mengangkat kresek putihnya. “Makanan kucing."”Lian mencibir karena ternyata sohibnya itu hanya membawakan makanan untuk anabulnya saja. “Buat gue gak ada?”“S
“Saya memohon restu Pak Rahadi untuk meminang Cantika menjadi istri saya,” terang Lian dengan suara tegas. Degup jantungnya menggebu sampai jemari tangannya sedikit gemetar bahkan keringat terus merembes keluar membasahi telapak tangan.Rahadi yang semula tampak sehat langsung merasa tak enak badan. Dadanya sakit, kepalanya berdenyut nyeri, tengkuk terasa panas. Agni yang menyadari sikap aneh Rahadi langsung panik lalu mengeceknya.“Ayah! Ayah kenapa?” Agni memegang bahu Rahadi. “Ada yang sakit?”Rahadi tidak menjawab. Dia coba mengatur napas dan menelan ludah untuk menyetabilkan emosi. Sebelah tangannya terangkat untuk memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Semua yang ada di ruangan itu panik juga, takut Rahadi kumat sakit jantungnya.Dengan napas berat Rahadi berujar, “Kamu masih tidak menyerah ya, Lian? Kamu anggap remeh saya?!” bentak Rahadi.Agni geleng kepala. “Ayah, tolong jangan mar
Lian duduk santai di salah satu café yang berjarak dekat dengan rumah sakit tempat Dokter Septian berpraktik. Hari itu cerah, namun pikiran Lian terombang-ambing dalam kegalauan yang mendalam. Setelah hasil tes DNA membuktikan bahwa dia memang anak biologis Septian, rasanya masih terasa aneh baginya. Tak lama kemudian, Dokter Septian datang dengan wajah berseri. Lian langsung memberikan senyuman dan menyapanya, “Selamat siang, Dok. Makasih udah meluangkan waktu.”Dokter Septian menjawab sapaan Lian dengan ramah, “Kenapa manggil ‘Dok’ lagi?”Lian baru menyadari jika dia salah menyebut panggilan untuk Septian. “Maaf—” Lian memang masih belum terbiasa memanggil Septian dengan sebutan Ayah. Rasanya masih begitu asing di lidahnya. Namun dia juga takut jika Septian akan merasa sedih jika dia tidak bersedia memanggilnya ayah.Melihat Lian yang terdiam kebingungan, Septian malah tertawa. “Ayah hany
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri