Cantika menepuk keningnya. “Ya ampun, sampe lupa!” Dia tarik lengan Lian untuk mendekat pada Agni. “Tante, kenalin ini Lian.” Cantika tersenyum lebar sambil memandang Lian.
Lian mengulurkan tangan pada Agni. “Nama saya Lian.”
Agni menjabat tangan Lian sebentar. “Saya Agni, Tantenya Cantika.” Agni heran kenapa Cantika bersikap sangat akrab dengan pemuda tampan di hadapannya itu. Tapi dia tak mau ambil pusing, fokusnya hanya pada Cantika saat ini. “Yaudah, yuk, Can, kita masuk.” Agni menggeret tangan Cantika sampai gadis itu terlepas dari Lian yang digelayutinya.
“Tapi, Tan―” Cantika tidak mau beranjak. Dia heran dengan sikap Agni yang menanggapi Lian sekenanya.
“Udah, ayok. Banyak hal yang pengen Tante omongin sama kamu.” Agni malah mengempit tangan Cantika.
Cantika menggapai-gapai tangan Lian. “Ayo, ikut masuk,” ajaknya. Tapi Lian menggeleng, dia merasa
Cantika, Dokter Septian, dan Lian memasuki ruang besuk dengan langkah hati-hati. Ruangan itu terasa sempit, diisi oleh meja besi kecil dan beberapa kursi yang tersusun rapi di sekitarnya. Dokter Septian menatap Cantika dengan ekspresi yang penuh kehangatan, memberikan semangat tak terucapkan sebelum mereka memulai pertemuan itu. Lian, yang selalu setia mendampingi, memberikan senyuman kecil sebagai dukungan.Saat Robby tiba, Cantika bisa merasakan campuran perasaannya yang rumit. Dia masih marah pada Robby, namun berusaha menenangkan dirinya terlebih kali ini dia tidak sendiri.Robby langsung duduk tegak di ruang besuk, wajahnya terlihat kaku saat melihat Septian juga datang. Robby menoleh pada Cantika. “Mau ngapain lagi kamu ke sini? Bukannya urusan kita sudah selesai?” Robby mengalihkan pandangannya pada Septian, dokter yang sejak dulu kurang disukainya. “Kenapa juga kamu bawa dia ke sini? Kalian mau ngetawain saya?” Ketegangan tak terucapkan
Dua hari berlalu sejak Septian mendaftarkan rambut-rambut yang akan diuji lab DNA. Selama itu Lian, Cantika, dan Septian menjalani aktifitas seperti biasa meski masing-masing diliputi rasa cemas.“Dokter hari ini kelihatan beda. Habis makan apa?” goda salah seorang dokter perempuan pada Septian saat keduanya berada di dalam lift setelah kembali dari makan siang.Septian mendengus tawa. “Makan nasi, lauk ayam, sayur sop, sambal terasi. Kan kamu juga makan itu di kantin tadi.”Si dokter muda mencebik, tidak percaya. “Dokter Tian nggak mau ngaku, ih.” Dokter bernama Bilqis itu memasang ekspresi kecewa.“Lagian kan bahaya kalau saya tiba-tiba jadi berbeda.” Septian diam sejenak sambil menatap pantulan sosoknya di pintu lift yang tampak buram kemudian menyunggingkan senyum lebar. Membuat Bilqis langsung pura-pura bergidik. “Tuh kan, Dokter Tian nggak kayak biasanya. Hii, serem!&rdquo
Cantika merenung dengan serius di hadapan meja kerjanya di butik kecilnya. Gulungan-gulungan kain dan palet warna tersebar di sekitarnya, menciptakan pemandangan yang berantakan namun kreatif. Di sisi lain ruangan, dua orang karyawan setianya, Maya dan Rudi, sibuk menyiapkan bahan-bahan yang Cantika butuhkan untuk desain terbarunya.“Aku udah dapet kain sutra yang Mbak Cantika minta nih,” ucap Maya sambil membawa gulungan kain lembut berwarna pastel. Cantika tersenyum puas. “Makasih. Kamu taruh aja di situ.”Sementara itu, Rudi membawa palet warna dan kertas desain. “Ini adalah kombinasi warna yang udah aku susun berdasarkan referensi yang mbak Cantika kasih.”Cantika melihat palet warna dengan penuh antusiasme. “Bagus banget, Rud.”Di tengah kesibukan itu, tiba-tiba saja pintu butik terbuka perlahan, tak lama kemudian Agni memasuki ruangan dengan senyuman hangat. Cantika yang melihat Agni langsung bal
Sukses dengan live Tiktok tempo hari, Cantika makin getol membuat baju couple untuk Lian. Padahal Lian sudah melarang keras, tapi bukan Cantika namanya kalau tidak kepala batu. Lian berakhir pasrah daripada berdebat dengan gadis yang tak mau kalah itu. Terlebih dia diiming-imingi dengan honor yang lumayan sebagai model katalog pria butik Cantika. Meski Lian tidak bertekad untuk mengumpulkan banyak uang lagi, tapi diam-diam dia tidak ingin Cantika mencari model pria yang lainnya.“Monggo ke sebelah sini, Mas Lian.” Nikmah mempersilakan Lian ke sebuah kamar sambil menyerahkan setelan baju.Lian menghela napas panjang. “Iya, Mbak,” ucapnya sambil masuk kamar lalu menutup pintu.Pagi-pagi sekali Lian datang ke rumah Cantika karena semalam gadis itu memaksanya untuk menemani jogging sebagai healing. Lian langsung setuju kalau masalah olahraga. Tapi dia tidak menyangka setibanya di rumah itu akan disuruh gant
Cantika mengendarai mobilnya, membelah jalanan yang saat ini cukup padat. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar suara mesin dan hembusan angin yang melalui jendela terbuka. Lian duduk di samping Cantika, tetapi wajahnya terlihat murung.Cantika melirik Lian dari spion tengah dan mengalihkan perhatiannya sejenak dari jalanan yang padat. ”Yank? Kamu kok diem aja sih? Ada yang mengganggu pikiran kamu, ya?” tanyanya, mencoba meredakan ketegangan.Lian menghela nafas panjang sebelum menjawab, “ Nggak kok.”Cantika memperhatikan Lian dengan tajam. “Jangan bohong, Yank. Aku kenal kamu. Aku tau banget ada yang ganjal di pikiran kamu, kan?”Lian tersenyum berusaha meyakinkan Cantika jika dia baik-baik saja. “Beneran gak ada apa-apa kok.”Cantika menghela napas, menyadari jika dia memang tidak akan bisa memaksa Lian untuk bicara jika dia memang tidak mau. Suasana canggung kembali mendominasi di
“Bagaimana kondisi Anda saat ini, Pak Rahadi?”“Pak Rahadi, tolong komentarnya!”“Mbak Cantika―”Orang-orang bawahan Rahadi mengawal keluarga salah satu konglomerat Asia Tenggara itu membelah kerumunan awak media di lorong bandara. Suara riuh para pemburu berita melempar pertanyaan bersahut-sahutan dengan bunyi rana kamera. Tapi pihak Rahadi tidak memberi tanggapan. Mereka sudah menunjuk juru bicara keluarga Rahadi untuk memberitahukan perihal konferensi pers esok lusa.Tragedi yang menimpa Cantika dan kondisi Rahadi selaku pemimpin perusahaan RJD Group yang baru pulang setelah menjalani pengobatan di Malaysia memang menjadi topik panas di headline media baik dalam maupun luar negeri. Terlebih kondisi perusahaan Rahadi mengenai sahamnya yang gonjang-ganjing pasca tindak kriminal yang dilakukan menantunya juga menjadi sorotan di kalangan atas. Jadi Rahadi, Agni, dan dewan direksi sepakat untuk menggelar konferen
Keesokan harinya, Lian dan Cantika duduk bersama di halaman klinik, menikmati makan siang yang dibeli oleh Cantika di salah satu restoran fast food. Mereka duduk di bawah naungan pepohonan yang memberikan sentuhan sejuk di hari yang cerah. Suasana tenang klinik hewan membuat mereka dapat menikmati waktu santai mereka.Saat sedang makan, Lian melihat Cantika yang terlihat agak murung. “Gimana keadaan kakek kamu sekarang, Can?”Cantika menghela nafas pelan sebelum menjawab, “Udah mendingan. Tadi dokter jantung kakek sempet datang buat ngecek kondisinya, katanya sih udah stabil meski belum sepenuhnya pulih.”Lian tersenyum lega, “Semoga kakek kamu cepet pulih.”Cantika mengangguk, “Makasih, Lian. Kalo kamu sendiri gimana? Kerjaan kamu di klinik lancar?”Lian menceritakan sejumlah kejadian di klinik hewan, berbagi cerita tentang pasien yang datang dan pengalaman menariknya sebagai asisten dokter
“Halo, Can?” Lian segera mengangkat panggilan Cantika dan berhenti menyisir bulu Lilo di sofa.“Yank...” panggil Cantika dengan nada manja. “Hemm?” jawab Lian.“Aku kangen...”Lian terdiam. Dia enggan membalas kalimat itu karena malu. Tapi setelah teringat ucapan Navi tentang Cantika yang sedang galau karena bingung memintakan restu Rahadi untuk dirinya, Lian pun menyahut, “Aku juga.” Lian ingin mengesampingkan rasa malunya demi menghibur dan menguatkan Cantika.Terdengar suara Cantika yang cengengesan di seberang sana. Lian tersenyum. Dadanya terasa geli. “Padahal tadi siang kita makan bareng.”“Iya, kaaan?!” sahut Cantika penuh semangat. “Tapi demi apa deh aku sekarang ini kangeeen banget sama kamu. Aku tadi balik ke butik yang kupikirin cuma baju-baju buat kamu, tau.”Lian tersenyum. “Jangan cuma mikiri