Cantika dan Lian sudah duduk berhadapan dengan seorang petugas polisi yang mencatat tiap kata dari mulut Cantika. Sejak tadi, Cantika duduk dengan tatapan tegar. Meski Lian yang duduk di sampingnya bisa merasakan jika gadis itu sedang berusaha menutupi rasa tegangnya. Lian meraih tangan Cantika, lalu meremasnya dengan lembut sebagai bentuk dukungan untuknya. Cantika sempat menoleh pada Lian lalu tersenyum, seolah memberitahu Lian jika dia baik-baik saja.
“Saat ini para pelaku sudah kami tahan, mereka juga sudah diinterogasi beberapa kali. Dari hasil interogasi, bisa disimpulkan jika mereka memang tidak memiliki dendam pribadi pada saudari Cantika,” jelas petugas polisi tersebut. Cantika mengangguk mengiyakan. “Saya emang nggak kenal mereka, Pak. Saya juga yakin kalo mereka orang suruhan.”
“Dari keterangan, kemungkinan motif yang mendasari penculikan itu adalah dendam. Maaf— kalau boleh tahu apa selama ini anda memiliki musuh? Atau seseorang yang memiliki dendam pada
Lian agak bingung saat menyusuri rumah Rahadi yang begitu besar. Entah berapa luas rumah yang membuat Lian lelah hanya untuk pergi ke dapur saja.Lian celingukan karena sebelumnya memang belum pernah menginjakkan kaki di dapur. Hingga dia berpapasan dengan seorang perempuan usia awal 30an. Lian langsung menahan perempuan itu.“Permisi, Mbak. Numpang nanya.”“Mas Lian?”Lian mengernyit heran karena perempuan itu mengenalinya. “Mbak kenal saya?”“Kenal dong, Mas.” Perempuan di depan Lian mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Kenalin, Mas. Nama saya Pita. Saya ART di sini,” jelasnya.Lian tersenyum dan mengangguk dan membalas uluran tangan Pita.“Saya beberapa kali liat mas dateng ke sini ketemu Mbak Cantika. Terus Mbak Cantika juga sering ngajak saya gosipin Mas Lian.”“Hmm... Jadi biasanya saya jadi bahan gosip nih? Digosipin gimana biasanya?&
Cantika keluar kamar dipapah Lian. ART yang barusan memberitahukan kedatangan dokter Septian masih menunggu di depan pintu. “Dokter Tian kok ke sini? Navi yang nyuruh buat meriksa aku?” tanya Cantika pada ART muda itu.“Kayaknya cuma mau jengukin Mbak Cantika, deh. Soalnya aku ndak liat Dokter Septian bawa tas dokter tapi bawanya buah-buahan.”Cantika manggut-manggut. Lian tiba-tiba teringat. “Oiya, tas aku ketinggalan di kamar kamu, Can. Aku ambil dulu.” Lian melepas tangan Cantika lalu menatap pada ART yang masih menemani mereka. “Emm, Mbak...”“Nama saya Nikmah,” ujar ART muda itu seolah paham kalau Lian ingin tahu namanya.“Iya, Mbak Nikmah, tolong anterin Cantika ke depan, nanti aku nyusul,” pinta Lian sambil menyerahkan Cantika pada Nikmah.Cantika menatap Lian yang masuk lagi ke kamarnya lalu menatap Nikmah sambil mencebik. “Mbak Cantika kenapa? Ada yang aneh di mu
“Habis ini tolong kamu sortir tanggal kedaluwarsa, yang udah paling deket nanti taruh di barisan depan,” ujar Dokter Bambang pada Lian di antara rak pakan pet premium.“Siap, Dok,” jawab Lian sambil mengikat kantong sampah. Dia sisihkan kantong sampah itu kemudian mulai berdiri di depan rak pakan.“Oya, cewek kamu udah lama nggak ke sini. Apa kabarnya?” tanya Dokter Bambang tiba-tiba.Lian sontak bengong, fokusnya terhadap cetakan tanggal expired di sebuah kaleng pakan basah jadi buyar. Pikirannya mencoba mencerna makna dari pertanyaan Dokter Bambang barusan, apa dia bermaksud menyindir Lian yang belakangan ini sering disamperi oleh Cantika? Lian jadi tidak enak hati, takut jika Dokter Bambang merasa terganggu karena menganggap Lian terlalu banyak pacarana.“Lian?” panggil Dokter Bambang.“Ah, iya, Dok.” Lian agak terperanjat dan buru-buru menjawab, “Dia belum lama
“Kalian mau langsung pergi sekarang?” tanya Syabila berusaha terlihat biasa saja— meski sesuatu di balik dadanya saat ini terasa campur aduk setelah mendengar ucapan Arumy sebelumnya.Lian, Arumy, dan Kuncoro menoleh pada Syabila. Arumy mendekat pada gadis itu. “Maaf ya, Bila. Aku nggak bisa duduk ngobrol sama kamu lagi soalnya aku buru-buru, habis ini aku mesti balik kampung.”Syabila mengangguk pelan. “Yaudah, gapapa kok.”Selama menunggu kepulangan Lian tadi, Syabila dan Arumy memang sempat berkenalan singkat. Keduanya bahkan tampak langsung akrab ketika bertukar cerita tentang Lian. Terlebih mereka seumuran, dan Syabila langsung mencoba menarik hati Arumy supaya bisa akrab dengan adik angkat dari pemuda yang disukainya itu.“Kita berangkat sekarang?” tanya Kuncoro. Lian dan Arumy mengangguk. Syabila menenangkan diri dan buru-buru menyerahkan kantong plastik berisi teh botol dan beberapa cemilan yan
Satu minggu berlalu setelah Arumy menjenguk Cantika dan memberinya restu sebagai kakak ipar. Cantika hampir tiap hari datang ke klinik Lian untuk mengajaknya makan siang. Lian juga mau tidak mau memasak porsi ekstra untuk dimakan bersama Cantika. Meski tugas memasakkan Cantika hanya dua hari sekali, sedangkan di selang hari akan diajak Cantika makan di luar. Seperti hari ini.“Mau makan di mana, Yank?” tanya Cantika sambil fokus dengan jalanan. Lian yang duduk di sebelahnya coba berpikir. “Jangan yang jauh deh pokoknya. Istirahat siangku tinggal 50 menitan,” ucap Lian.“Makanya kamu mau di mana?” desak Cantika. Dia juga bingung kalau Lian tidak memberinya saran.“Warung Bu Endah aja,” ajak Lian. Cantika menelengkan kepala sambil mengernyit. “Deket kok, abis ini ada perempatan, kita belok kiri, lurus aja. Ntar nemu banner gede, warteg Bu Endah gitu hurufnya gede-gede,” terang Lian untuk menjawab
Dada cantika masih berdebar kencang saat melihat laki-laki di hadapannya. Meski Cantika tidak mengenalinya karena dia tidak ada di lokasi penyekapan, namun dia merupakan pimpinan komplotan kejam yang menculiknya kala itu. Lian memerhatikan tubuh Cantika yang agak gemetar, Lian meraih tangan Cantika dan menggenggamnya. “Kamu gak usah maksain diri.”Tapi Cantika malah menoleh pada Lian dan bicara penuh penekanan. “Aku kan udah bilang, aku gapapa.”“Tapi—” Lian ragu, namun akhirnya dia tidak melanjutkan kalimatnya. Lian coba untuk percaya pada Cantika.Lian mengerti jika Cantika sedang emosional— marah pada orang-orang yang menculiknya, dan lebih marah lagi karena dugaannya meleset. Cantika mendekati pria kurus berusia 30 tahunan yang tubuhnya dipenuhi memar itu. Kemungkinan sebelunya dia memang sudah diinterogasi oleh polisi hingga diberi tekanan fisik.“Kamu masih nggak mau buka mulut?” tanya Cant
Mobil yang dikendarai oleh Navi berhenti di halaman rumah Rahadi. Lian yang duduk di samping kemudi segera melepas seat belt. Sore ini Navi memang sengaja samperin Lian di klinik, karena dia cemas melihat Cantika yang berhari-hari tidak mau keluar dari kamarnya.“Sorry, Bro. Sepupu gue emang ngerepotin,” ucap Navi. Meski Lian jelas tahu jika Navi adalah salah satu orang yang paling khawatir dengan keadaan Cantika.“Gapapa, gue sebenernya emang pengen ke sini dari kemarin-kemarin. Tapi Cantika selalu ngelarang gue,” jelas Lian menceritakan yang sebenarnya. Lian dan Navi turun dari mobil, keduanya berjalan menuju rumah.“Gue udah nggak tau lagi harus bujuk dia kayak gimana, udah berhari-hari dia di kamar, udah kayak zombie aja,” omel Navi sambil menepuk bahu Lian. “Lo langsung ke kamarnya aja.”“Oke.” Lian mengangguk lalu melangkah menuju kamar Cantika. Sementara itu Navi naik ke
“... Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Robby Setiawan dengan pidana penjara dua puluh tahun.”TOK! TOK! TOK! Ketukan palu sebanyak tiga kali mengakhiri pembacaan putusan oleh Hakim Ketua.Semua yang hadir langsung riuh. Napas Cantika memburu, tangannya mengepal, perasaannya campur aduk saat bertemu pandang dengan Robby yang langsung dikawal beberapa petugas polisi. Rahang Cantika mengerat melihat ayahnya terus memandangnya dengan ekspresi wajah datar seolah tidak menyiratkan penyesalan.Cantika buang muka karena tidak kuasa menahan emosi negatif di dirinya. Sedangkan Robby ditarik petugas menuju tempat lain. Para pemburu berita gerak cepat merubung pihak Robby maupun Cantika. Namun beberapa orang bawahan Rahadi yang dipimpin Morgan sigap menjaga Cantika. Lian mendekap pundak Cantika sambil berjalan keluar ruang sidang.“Mbak Cantika tolong jawab pertanyaan―”“Mbak, sebentar saja―”“Mbak Cantika―&r