“Sudah pulang?”
Aruna mengerjap kaget, tanpa sadar kakinya melangkah membawa Aruna ke rumah, bukan ke kantor seperti seharusnya. Aruna mendengus, memangnya ia masih memiliki kewajiban untuk datang kesana setelah ini. Dennis tentu sudah melayangkan surat pemecatan untuknya sekarang. Kalaupun belum, Aruna sudah siap untuk mengajukan surat pengunduran diri. Keputusannya untuk bekerja di Osric Corp sungguh sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
“Runa, kamu baik-baik saja?” Tanya Sara khawatir,
Aruna mengulas senyum terpaksa, “Aku baik-baik saja, hanya sedikit merasa tidak enak badan jadi aku meminta ijin pulang lebih cepat.”
Sara nampak tak yakin dengan jawaban Aruna, ia mengukur suhu tubuh Aruna dengan menyentuh kening Aruna, “Tidak demam, tapi wajahmu kusut. Apa tak terjadi sesuatu di kantor?”
Adik ayah-nya ini memang memiliki insting sekuat ibu kandung, Aruna memutar otak mencari pengalih perhatian, matanya tertumbuk pada tentengan belanjaan di tangan kiri Sara.
“Bibi belanja? Lalu nenek?”
Sara salah tingkah ia membuka tutup mulutnya bingung harus mengatakan apa pada Aruna. Hal ini membuat Aruna panik, serampangan Aruna memasuki rumah tanpa merasa repot melepas sepatu.
“Nenek!” Teriak Aruna, kakiknya lemas seketika setelah menemukan Neneknya tengah tertidur di depan tv.
Nenek menggeliat dan membuka mata lalu tersenyum bahagia melihat Aruna duduk bersimpuh di sampingnya.
“Nona, Nona sudah pulang? Kukira Nona pulang larut lagi seperti kemarin.”
Aruna menghela nafas lega, jika sebelum ini ia selalu merasa sedih ketika nenek memanggilnya ‘nona’ seperti bicara pada orang asing, tapi siang ini Aruna merasa itu adalah panggilan terindah yang pernah ia dengar. Ia sempat kalut tadi, setiap hal buruk serta merta melintas begitu saja di benaknya mengingat kondisi nenek yang tak mungkin untuk di tinggal sendirian di rumah. Penyakitnya membuat Nenek dapat dengan mudah mencelakai dirinya sendiri.
“Apa kabar, Runa?” Sapa seorang pria dari balik pintu kamar Sara.
“Paman?” Tanya Aruna tak percaya, ia mengucek mata berkali-kali memastikan apa yang ia lihat bukan imajinasi atau ilusi optik, “Paman kembali?”
Juna mengerutkan cuping hidung seakan tersinggung dengan pertanyaan Aruna. Ia membungkuk di samping Aruna lalu mengacak-ngacak rambut Aruna, membuat Aruna memberengut tak terima karena masih diperlakukan seperti anak kecil.
“Apa kamu pikir pamanmu ini penipu dan laki-laki tak bertanggung jawab? satu tahun lalu aku berjanji akan berusaha menaikan derajat keluarga kita dan hari ini aku datang untuk menepati janjiku!”
“Menepati janji?”
“Besok kita akan pindah ke Thailand, bisnis pamanmu cukup berjalan baik di sana.” Jelas Sara setelah menaruh belanjaan di dapur.
“Kita akan memulai kehidupan baru di Thailand, kamu tak perlu lagi bekerja seperti robot di perusahaan sialan itu. Aku dan pamanmu juga akan berusaha mencari dokter yang cocok untuk Nenek. Yang terpenting dari semuanya adalah, keluarga kecil kita akan mengukir kenangan manis dan meninggalkan kenangan buruk di sini, untuk selamanya.”
Untuk selamanya-selamanya. Meninggalkan selamanya.
Aruna menggeleng keras, dan bangkit menuju kamar tidurnya. “Aku ingin tidur sebentar, rasanya kepalaku masih pening.”
“Baiklah, akan kubangunkan saat makan malam.” Sahut Sara yang dibalas Aruna dengan debuman pintu kamar.
000ooo000
Kenangan buruk. Aruna tak menyangkal apa yang Sara katakan tentang negara ini bagi keluarga mereka. Sepuluh tahun lalu, orang tua Aruna meninggal karena keracunan gas di klinik tempat keduanya bekerja. Setelah itu, Aruna tinggal bersama Sara dan Juna karena hanya merekalah sisa keluarga yang ia miliki selain nenek. Saat itu Aruna berusia dua belas tahun, tak banyak yang dapat ia ingat hari itu. Namun, semua orang yang menghadiri pemakaman ayah dan ibu mengatakan Aruna gadis yang cukup tegar karena tidak menangis seperti anggota keluarga yang ditinggal pergi yang lainnya. Ah, kalau jujur sebenarnya Aruna tak begitu ingat bagaimana ia melewati hari-hari itu. Terkadang bahkan Aruna merasa seakan tiba-tiba terlahir di usia tujuh belas tahun sama sekali tak ingat tentang hari-harinya ketika kecil.
Dua tahun setelah kepergian kedua orang tuanya, Nenek terserang Alzheimer. Dokter bilang, penyakit Nenek terjadi karena Nenek tak dapat menangani rasa kehilangan setelah kepergian ayah. Ayah sangat mirip dengan kakek, mungkin ketika ayah meninggal membuka kembali luka nenek saat kakek meninggal dulu. Tahun kelabu terus berjalan, klinik kecantikan Juna gulung tikar karena isu miring yang mengatakan Juna menggunakan bahan-bahan berbahaya dalam produknya. Juna harus menjalani berkali-kali pemeriksaan dan keluar masuk ruang interogasi, beruntunglah tuduhan itu tak terbukti sehingga Juna tak perlu mendekam di penjara. Namun sayangnya keberuntungan itu tak berjalan untuk bisnisnya, nama baik Juna tercoreng dan sulit untuk dikembalikan seperti semula. Hingga akhirnya Paman memilih pergi ke luar negeri mencoba peruntungan baru.
Aruna sempat berpikir Juna akan seperti karakter antagonis dalam drama-drama yang tak akan pernah kembali setelah bisnisnya sukses. Sepertinya ia memang terlalu terpengaruh drama di TV.
Gadis itu merebahkan tubuh di atas tempat tidur, rasanya punggungnya berderak ketika bergerak. Bibi benar, pekerjaan Aruna di Osric Corp. sungguh menguras tenaga bahkan untuk pegawai rendahan sepertinya. Setiap pagi ketika tiba dalam kubikel, setumpuk file telah menanti untuk di entry dan entah kapan dapat selesai ia kerjakan. Belum lagi berhelai-helai post-it di layar komputer dari staff senior yang meminta Aruna mengerjakan tugas yang sesungguhnya menjadi kewajiban mereka. Seringnya Aruna tak sempat merasakan indahnya makan siang di cafetaria atau sekedar menikmati jalan santai sepulang kerja karena tenaga nya benar-benar menghilang, diserap sedemikian rupa di kantor. Maka setiap malam Aruna akan berjalan pulang mirip seperti zombie.
Kita akan memulai kehidupan baru di Thailand,
Seharusnya ia senang dengan kemungkinan baru yang Juna bawa sekarang. Aruna tak perlu lagi bekerja di tempat itu. Tak perlu lagi bersembunyi setiap kali tanpa sengaja berpapasan dengan Damar ketika pria itu mengunjungi ayahnya, atau tak perlu lagi pura-pura tak peduli ketika teman-teman kantor membicarakan rumor tentang Damar. Karena ia tak akan pernah bertemu bahkan mendengar berita tentangnya di Thailand. Pindah ke sana membuat Aruna menghapus otomatis kenangan tentang pria itu, hal yang sama seperti yang nenek lakukan delapan tahun lalu.
Hampir saja Aruna menutup mata jika ponsel di saku blazernya tak bergetar keras dan membuat Aruna terlonjak hingga tanpa melihat siapa yang memanggil, segera ia terima.
“Halo.”
“Kamu dimana?”
Jantung Aruna bertalu mengenali suara di seberang sana, ketika mengecek caller id yang muncul di layar ia merutuki kesembronoannya sendiri yang segera menerima tanpa melihat dulu siapa yang memanggil.
“Aku di rumah, kenapa?” Jawab Aruna ketus
Tak ada gunanya berbohong dan bermulut manis untuk pria ini, lagipula sebentar lagi ia juga akan menyakiti Aruna seperti yang ia lakukan tadi.
“Kita menikah.”
“Kita menikah” Gelegar bunyi petir terdengar dari luar, tak berselang lama hujan pun turun cukup deras. Bau tanah basah menyelinap masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Aruna bangun dan menutup rapat jendela dengan sebelah tangan, karena satu tangannya yang lain masih memegang ponsel di telinga, meski tadi ia sempat ingin melempar ponsel itu begitu Damar mengatakan kalimat yang membuatnya entah melayang entah jatuh terperosok, akal sehat Aruna masih berjalan dan mengingatkannya berapa lembar Rupiah yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan benda ini.“Kamu mabuk.” Decak Aruna kesal.“
“Kenapa tak bertanya aku akan membawamu kemana?” Tanya Damar begitu mereka keluar dari lingkungan rumah Aruna.“Aku tak peduli, kemana pun tak akan ada yang berubah.”“Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu.”“Pintar.”“Maaf.”Aruna diam, sejak dulu ia memang mengharapkan pria ini meminta maaf padanya. Meminta maaf atas semua yang pernah terjadi di antara merek
Gadis itu mendecak kesal ketika hembusan angin membuat helaian rambutnya terlepas dari ikatan, dengan tergesa-gesa ia mengikat ulang ikat ekor kudanya sambil berlari dan berusaha agar ia tak sampai terjatuh mengingat kakinya kini memakai sepatu high heels. “Runa, cepat!” Teriak Kirei dari puncak tangga, Kirei bersama empat temannya yang lain menunggu Aruna tak sabar untuk mengambil gambar bersama. Hari ini upacara kelulusan Aruna dan Kirei dari universitas, dan kesemua sahabat-sahabat mereka sengaja meluangkan waktu untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu, hanya satu yang tak ada. Sejak pembukaan acara, Aruna terus berdoa agar pria
Aruna merasa sedang berada dalam roller coaster. Tadi pagi ia terbangun di sebuah kamar hotel dan beberapa perempuan cantik masuk membawa perlengkapan yang tak pernah ia tahu apa namanya. Hal yang disadari berikutnya, Aruna berdiri di tengah ball room hotel mengenakan gaun yang tempo hari ia coba dengan paksa. Tak lupa, Damar mengamit lengan Aruna erat membuat nya bahkan tak dapat berjalan jika pria itu juga tak berjalan. Intinya Aruna hanya akan bergerak jika Damar yang menggiringnya. Dan sialnya, Damar menggiring Aruna kesana-kemari mengucapkan salam dan terima kasih pada setiap orang yang hadir, sebagian besar tak ada yang Aruna kenal dan mengenalinya. Bahkan tak sedikit yang menggumamkan pertanyaan ane
Aruna menarik rets jaket nya hingga hampir menyentuh dagu, ia menekan keras-keras earpiece yang menyumpal telinganya membuat tak ada suara lain yang ia dengar selain music dari ponsel di sakunya. Langkah kakinya sengaja ia buat lebar-lebar agar ia cepat menjauh dari rumah itu, Aruna butuh udara segar setelah apa yang dilihatnya tadi pagi. Karena itu, Aruna kini memilih olahraga pagi mengelilingi lingkungan rumah. “Berteman? Inikah maksud laki-laki gila itu berteman lagi? buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, mereka berdua sangat mirip. Aku saja yang bodoh menganggap kalimatnya semalam ia aka
Setelah perbincangan alot dan terabsurd yang pernah Aruna alami, akhirnya ia dan Damar duduk bergabung dalam pesta perpisahan kru dan pemain drama yang hingga detik itu Aruna tak pernah tahu apa judulnya. Alasan pertama, karena Kirani tiba-tiba datang dan memohon agar Aruna ikut, untuk alasan ini gadis itu merasa Kirani memiliki kesalahan lain pada Genta dan menggunakan Aruna sebagai tamengnya jika sewaktu-waktu Genta menyadari kesalahan Kirani. Alasan kedua, Asisten Sutradara didukung kru lainnya bersikeras agar Damar mau ikut serta karena Osric Corps salah satu penyumbang dana produksi drama ini. Aruna sempat menanyakan kenapa tadi Asisten Sutradara berteriak memanggil nama Mark Han, dan Asisten Sutradara hanya menjawab ia sedang merindukan Mark Han, penulis novel yang naskah nya diangkat menjadi ide cerita drama ini.“
Ia mencoba tertidur, Ia berbaring dengan mata terpejam namun tak tertidur. Kembali ia menghitung dari satu hingga seratus tetapi tetap ia tak dapat terlelap malam ini. Bahkan alunan music klasik yang sengaja ia putar tak dapat membuatnya tenang, dengan gusar pria itu beranjak bangun dan meraih ponselnya. “Miranti, aku membutuhkanmu.” Tak perlu menunggu lama, pintu di belakangnya terbuka. Miranti menghentakkan langkahnya sengaja agar pria ini tahu bahwa pada jam-jam seperti ini adalah waktu bagi orang normal tidur. Ah, tunggu gadis itu lupa, Damar Daniswara bukanlah orang normal. “Maaf aku mengg
Hingar bingar ruang karaoke itu tak mempengaruhi mereka. Keduanya terdiam, Aruna tak dapat membaca apa yang sedang Damar pikirkan setelah ia mengatakan kebenaran tadi. Damar menatapnya datar, yah tatapan andalan pria itu sebenarnya.Perlahan mereka kembali ke posisi semula, menatap lurus para kru yang teramat menghayati penampilan mereka sendiri di atas panggung, bahkan Kirani hampir jatuh terjungkal ketika menyanyikan lagu Listen milik Beyonce, meski dengan pelafalan dan pencapaian nada yang payah, Kirani sangat menghayatinya karena sepertinya lagu itu sedikit banyak ia tujukan untuk Genta. Salah satu alasan kenapa karaoke