“Kenapa tak bertanya aku akan membawamu kemana?” Tanya Damar begitu mereka keluar dari lingkungan rumah Aruna.
“Aku tak peduli, kemana pun tak akan ada yang berubah.”
“Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu.”
“Pintar.”
“Maaf.”
Aruna diam, sejak dulu ia memang mengharapkan pria ini meminta maaf padanya. Meminta maaf atas semua yang pernah terjadi di antara mereka, maaf untuk kehadirannya yang begitu lancang dalam hidupnya dan juga maaf karena telah mengabaikannya sekian lama. Tapi malam ini, setelah mendengar permintaan maaf itu Aruna sama sekali tak merasa lega seperti yang ia kira. Kosong, ia merasa tawar akan permintaan maaf yang Damar katakan.
“Tak perlu meminta maaf kalau tak ingin. Lagipula semuanya sudah terjadi.”
“Aku tak meminta maaf untuk yang lalu, aku minta maaf untuk hari-hari ke depan.”
“Apa maksudmu?”
“Diam dan lihat saja.” Kata Damar dingin, ia tetap fokus mengemudi tak memedulikan Aruna yang hampir mirip kepiting rebus.
000ooo000
“Keluarlah.” Kata Damar sebelum ia sendiri keluar dari dalam mobil dan membiarkan Aruna menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
“Pria ini benar-benar.” Desisnya
Pikiran pertama yang muncul dalam benak Aruna ketika Damar menghentikan mobilnya di pemakaman adalah, pria ini berniat membunuhnya dan segera melenyapkan mayatnya. Ia tak menyangka kebencian Damar padanya begitu besar hingga membuat pria itu tega melakukan kejahatan.
“Apapun yang kamu pikirkan sekarang, itu salah.” Kata Damar ketika mereka mulai memasuki kompleks pemakaman.
“Ha?” Teriak Aruna kaget,
“Aku tahu kegemaranmu membaca novel thriller maka aku tahu jalan pikiranmu sekarang, asal kau tahu aku bukan pengikut Stephen King.” Jelas Damar menyebutkan penulis novel misteri pembunuhan kesukaan Aruna, pipi Aruna bersemu merah lagi-lagi pikirannya terbaca dengan mudah dalam satu hari.
“Lalu apa maksudnya membawaku kesini.”
“Jangan cerewet dan ikuti saja aku.”
“Cih, bukankah dari tadi aku mengikutimu.”
Hanya orang gila yang berani mengunjungi areal pemakaman di malam hari, dan keduanya mungkin pantas dikategorikan gila karena berani datang ke sana. Sejak ‘makan siang’ tadi, keduanya memang nampak seperti orang gila karena kegilaan si tua Dennis .
“Lagi-lagi gadis itu menangis karena mu,” Kata Dennis pongah. Ia memutari meja dan menghampiri Damar, “Sayang sekali, padahal ia nampak cantik saat tersenyum. Aku sungguh menyukainya.”
“Kamu gila.”
“Kamu tahu itu dengan jelas, karena itu menikah-lah dengannya.”
Damar sejak lahir telah terbiasa dengan ide-ide gila Dennis, tapi untuk kali ini ia tak habis pikir. Bertanding dalam segala hal bukan hal asing bagi mereka , meskipun mereka ayah dan anak tak ada kata mengalah bagi keduanya. Tapi memperebutkan seorang gadis? Tidak, ini di luar batas. Terlebih jika gadis yang Dennis inginkan adalah Aruna. Damar memahami benar bagaimana tabiat Dennis, dan demi apapun ia tak ingin hal itu menimpa Aruna.
Aruna berhenti berjalan mengikuti Damar yang juga berhenti beberapa langkah di depannya. Pria itu duduk bersimpuh di samping batu nisan dengan tulisan “Sasmita Praba”. Damar menoleh pada Aruna, mengulurkan tangannya dan tersenyum. Pertama kalinya Aruna melihat senyum itu sejak lima tahun lalu.
“Mendekatlah, beri salam pada ibuku.”
Angin malam berhembus pelan, membuat dedaunan berjatuhan dan menimbulkan bunyi gemerisik mengiringi roda-roda dalam otak Aruna yang berjalan sangat lambat malam ini, bahkan kecepatan otaknya tak melebihi kecepatan jalan seekor penyu besar.
Beri salam pada ibuku?
Sasmita Praba, pantas saja Aruna tak asing pada nama itu. Sasmita Praba adalah seorang penulis novel roman ternama, bahkan tak sedikit novel yang ditulisnya diangkat ke layar lebar dan panggung teater. Namun selain karyanya, Sasmita Praba tak pernah membuka kehidupan pribadinya pada publik. Masyarakat termasuk Aruna hanya mengetahui Sasmita Praba adalah seorang orang tua tunggal dan meninggal lima tahun lalu karena penyakit lambung akut. Mungkinkah mereka Sasmita Praba yang sama?
“Halo, apa kabar?” Kata Aruna terbata-bata, ia masih merasa kebingungan terlebih saat ini Damar tengah merangkul bahunya.
“Ibu, maaf aku mengunjungimu malam-malam dan maaf karena calon menantumu kurang sopan menyapamu, tapi ia gadis yang baik. Tenang saja.”
Aruna berniat mengelak karena lagi-lagi Damar mengatakan kata calon tapi ia tak sampai hati melakukan itu, ketika melihat tatapan Damar pada nisan ibunya. Antara sedih, bahagia juga rindu. Aruna paham betul bagaimana arti tatapan Damar sekarang, ia tengah merindukan ibu nya. Kerinduan yang tak akan pernah selesai dan terobati oleh apapun. Merasakannya membuat bahagia dan sedih pada saat bersamaan, bahagia karena ketika merindukan seseorang membuat ingatan tentang orang itu menjadi lebih jelas daripada sebelumnya dan sedih karena kenangan itu hanya akan tetap sebatas kenangan, tak akan pernah terulang. Aruna tak ingin mengganggu Damar, biarlah ini jadi waktu khusus ia dengan ibunya.
000ooo000
Tirai putih perlahan terbuka dan menampilkan Damar dengan setelan tuxedo duduk di atas sofa tengah menatapnya dingin. Sama hal nya dengan Aruna. Gadis itu, meski memakai gaun pengantin namun ia sama sekali tak tersenyum seperti kebanyakan calon mempelai wanita yang lainnya. Keduanya saling memberikan tatapan membunuh, dan ya! Aruna memang berharap pria di hadapannya menghilang dari pandangan.
“Selanjutnya.” Kata Damar,
Aruna membelalak, ini gaun kelima yang ia coba dan masih juga pria ini menyuruhnya mencoba yang lain.
“Tunggu,” Aruna menghentikan pegawai wanita yang hendak mengambil gaun yang lain, “Damar, kesalahan bukan pada gaunnya tapi ada padaku. Aku tak akan cocok memakai gaun yang manapun. Karena itu kurasa akan sia-sia meskipun aku mencoba seluruh gaun yang ada, dengan kata lain pernikahan ini tak a—“
“Baiklah, kami ambil yang ini.” Potong Damar segera lalu berlalu meninggalkan Aruna dengan pegawai tadi.
“Apa? “ Pekik Aruna, “Pria gila.”
“Tapi tampan, anda beruntung mendapatkannya.”
“Beruntung? Aku tak yakin.”
Jika bukan karena pertemuan aneh tadi siang, mendapatkan perlakuan penuh kejutan seperti ini gadis itu tentu akan pingsan saking bahagia. Tapi tidak sekarang, karena sebaliknya Aruna merasa sedang dipermainkan, jelas masih terngiang di telinganya bagaimana kasar dan lantangnya penolakan Damar pada tawaran Dennis. Kini, Damar berbalik seratus delapan puluh derajat memaksa Aruna. Ayolah, Aruna bukanlah gadis yang perlu dikasihani dan ia tak membutuhkan belas kasihan Damar untuk menikahinya.
Setelah kembali memakai pakaiannya, Aruna tergesa-gesa mencari Damar, Ia harus meluruskan semua ini. Aruna tertawa hambar ketika menemukan Damar tengah bercengkerama dengan seorang perempuan –sangat cantik dan cukup mengundang, mereka bahkan tak menyadari tengah berada di ruang umum membuat Aruna harus berpura-pura membersihkan tenggorokan agar Damar menyadari kehadirannya. Pada usahanya yang keempat akhirnya Damar sadar, beruntung perempuan tadi mengerti tatapan membunuh Aruna dan memilih pergi.
“Ah, kamu sudah selesai?”
Aruna mengangguk, “Ada yang ingin kukatakan—“
“Kita pulang sekarang,” Kata Damar acuh,
“Kurasa ada yang harus kita luruskan.”Ujar Aruna ketika mereka sudah di dalam mobil, “Aku tak pernah setuju dengan apapun yang kamu dan ayahmu rencanakan.”
“Aku tahu.”
“Lalu, untuk apa semua ini?”
“Kamu tahu penyebab ibuku meninggal? Ia mengidap penyakit lambung kronis, dokter bilang jika penyakit ibu karena stress berlebihan. Dan penyebab stress ibu, ayahku. Meski mereka telah bercerai sejak usiaku delapan tahun tapi efeknya terus berlanjut hingga akhirnya penyakit itu merenggut nyawa ibu. ”
Aruna tak mengerti kenapa Damar perlu menjelaskan perihal kematian ibunya, karena ia rasa tak ada kaitannya sama sekali dengan pertanyaannya barusan. Kecuali penjelasan itu menjawab pertanyaan Aruna saat di pemakaman tadi. Sebaliknya Damar menarik nafas dalam-dalam sambil terus memperhatikan jalan, ia seperti tengah menyusun kata yang sesuai.
“Pria tua itu tengah mengincarmu, dan ketika ia menginginkan sesuatu ia akan berusaha agar dunia mendukung keinginannya. Aku yakin, kamu tak ingin berakhir seperti ibuku. Karena itu, satu-satunya cara menghindari pria gila itu adalah kita menikah.”
Lampu lalu lintas berganti merah. Aruna memerhatikan pejalan kaki yang tengah melintas di depan mereka, seorang gadis seusianya. Gadis itu memeluk setumpuk map yang sepertinya berkas-berkas yang terpaksa harus dibawa pulang untuk segera diselesaikan, jam tidur yang tak akan didapat karena harus mengerjakan tugas kantor yang takan pernah habis. Dulu semua itu penderitaan bagi Aruna, namun kini rutinitas itu bagaikan surga jika dibanding harus menjalani kondisi yang baru saja Damar ungkapkan.
Gadis itu mendecak kesal ketika hembusan angin membuat helaian rambutnya terlepas dari ikatan, dengan tergesa-gesa ia mengikat ulang ikat ekor kudanya sambil berlari dan berusaha agar ia tak sampai terjatuh mengingat kakinya kini memakai sepatu high heels. “Runa, cepat!” Teriak Kirei dari puncak tangga, Kirei bersama empat temannya yang lain menunggu Aruna tak sabar untuk mengambil gambar bersama. Hari ini upacara kelulusan Aruna dan Kirei dari universitas, dan kesemua sahabat-sahabat mereka sengaja meluangkan waktu untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu, hanya satu yang tak ada. Sejak pembukaan acara, Aruna terus berdoa agar pria
Aruna merasa sedang berada dalam roller coaster. Tadi pagi ia terbangun di sebuah kamar hotel dan beberapa perempuan cantik masuk membawa perlengkapan yang tak pernah ia tahu apa namanya. Hal yang disadari berikutnya, Aruna berdiri di tengah ball room hotel mengenakan gaun yang tempo hari ia coba dengan paksa. Tak lupa, Damar mengamit lengan Aruna erat membuat nya bahkan tak dapat berjalan jika pria itu juga tak berjalan. Intinya Aruna hanya akan bergerak jika Damar yang menggiringnya. Dan sialnya, Damar menggiring Aruna kesana-kemari mengucapkan salam dan terima kasih pada setiap orang yang hadir, sebagian besar tak ada yang Aruna kenal dan mengenalinya. Bahkan tak sedikit yang menggumamkan pertanyaan ane
Aruna menarik rets jaket nya hingga hampir menyentuh dagu, ia menekan keras-keras earpiece yang menyumpal telinganya membuat tak ada suara lain yang ia dengar selain music dari ponsel di sakunya. Langkah kakinya sengaja ia buat lebar-lebar agar ia cepat menjauh dari rumah itu, Aruna butuh udara segar setelah apa yang dilihatnya tadi pagi. Karena itu, Aruna kini memilih olahraga pagi mengelilingi lingkungan rumah. “Berteman? Inikah maksud laki-laki gila itu berteman lagi? buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, mereka berdua sangat mirip. Aku saja yang bodoh menganggap kalimatnya semalam ia aka
Setelah perbincangan alot dan terabsurd yang pernah Aruna alami, akhirnya ia dan Damar duduk bergabung dalam pesta perpisahan kru dan pemain drama yang hingga detik itu Aruna tak pernah tahu apa judulnya. Alasan pertama, karena Kirani tiba-tiba datang dan memohon agar Aruna ikut, untuk alasan ini gadis itu merasa Kirani memiliki kesalahan lain pada Genta dan menggunakan Aruna sebagai tamengnya jika sewaktu-waktu Genta menyadari kesalahan Kirani. Alasan kedua, Asisten Sutradara didukung kru lainnya bersikeras agar Damar mau ikut serta karena Osric Corps salah satu penyumbang dana produksi drama ini. Aruna sempat menanyakan kenapa tadi Asisten Sutradara berteriak memanggil nama Mark Han, dan Asisten Sutradara hanya menjawab ia sedang merindukan Mark Han, penulis novel yang naskah nya diangkat menjadi ide cerita drama ini.“
Ia mencoba tertidur, Ia berbaring dengan mata terpejam namun tak tertidur. Kembali ia menghitung dari satu hingga seratus tetapi tetap ia tak dapat terlelap malam ini. Bahkan alunan music klasik yang sengaja ia putar tak dapat membuatnya tenang, dengan gusar pria itu beranjak bangun dan meraih ponselnya. “Miranti, aku membutuhkanmu.” Tak perlu menunggu lama, pintu di belakangnya terbuka. Miranti menghentakkan langkahnya sengaja agar pria ini tahu bahwa pada jam-jam seperti ini adalah waktu bagi orang normal tidur. Ah, tunggu gadis itu lupa, Damar Daniswara bukanlah orang normal. “Maaf aku mengg
Hingar bingar ruang karaoke itu tak mempengaruhi mereka. Keduanya terdiam, Aruna tak dapat membaca apa yang sedang Damar pikirkan setelah ia mengatakan kebenaran tadi. Damar menatapnya datar, yah tatapan andalan pria itu sebenarnya.Perlahan mereka kembali ke posisi semula, menatap lurus para kru yang teramat menghayati penampilan mereka sendiri di atas panggung, bahkan Kirani hampir jatuh terjungkal ketika menyanyikan lagu Listen milik Beyonce, meski dengan pelafalan dan pencapaian nada yang payah, Kirani sangat menghayatinya karena sepertinya lagu itu sedikit banyak ia tujukan untuk Genta. Salah satu alasan kenapa karaoke
“Tuan, maafkan saya. Saya yang membuat Tuan jatuh sakit, kalau saja tadi saya menemani Tuan, mungkin—“ “Sudahlah.” Damar memotong permintaan maaf Paman Haris, “Ini bukan salahmu, aku yang memintamu tak mengantarku tadi.” “Tapi, Tuan—“ Haris tetap bersikeras mengajukan permintaan maafnya, berkali-kali ia membungkuk dalam pada Damar. Haris merasa bersalah karena membiarkan tuan muda-nya jatuh sakit dan itu artinya melanggar janjinya sendiri pada orang yang ia sayangi. Alasan kenapa Haris bertahan di rumah ini karena permintaan Sasmita, ibu Damar. Jika buk
“Dampak Krisis Global, 300 Pengusaha Gulung Tikar Tingkat Pengangguran Melonjak Tinggi” Aruna melipat Koran di tangannya dengan kesal lalu meneguk cola-nya namun ia mendesis ketika menyadari kaleng itu sudah kosong. Ia menghempaskan punggung sedikit kasar ke sandaran kursi dan menyisir sekitar. Sepi, hanya ada beberapa perempuan paruh baya yang tengah berjalan santai di seberang jalan, bukan hal aneh karena pada office hours seperti sekarang sebagian besar penduduk Bandung tengah bekerja di tempat mereka masing-masing. Ya, sebagian besar dan ia bukan bagian dari sebagian besar itu. Aruna tak lagi menjadi bagian penduduk I
Kirani menatap tangan kiri Genta yang dibungkus perban. Untunglah masih ada salep otot milik Hilma, sehingga dapat sedikit meredakan sakit di tangan Genta. Selama membalut tangan Genta, Kirani tak henti menggumamkan kata maaf dan ditanggapi pria itu dengan delikan tajam.“Apa sebaiknya tak ke rumah sakit?” Tanya Kirani.Genta menatap lekat Kirani, pertanyaan Kirani sama seperti yang gadis itu tanyakan dua tahun lalu ketika ia berkelahi dengan Taracandra. Kalau diingat-ingat Kirani selalu ada untuknya, berbuat baik padanya tak peduli sekasar apapun perlakuan Genta padanya.“Kau ingin aku muncul di berita besok pagi dengan Judul : Genta Adikara, cedera terjepit pintu pagar setelah makan malamnya bersama seorang gadis gagal. Silahkan saja, dan kalau itu terjadi aku tak akan membiarkanmu kabur. Kau harus bertanggungjawab!” Ancam Genta diikuti lengkingan anjing tetangga.“Cih! Salahmu sendiri tiba-tiba muncul dari semak-semak.”“Siapa yang bilang dari semak-semak? Kau tak melihat Rossie?”
Sekuat tenaga Kirani berusaha menepis cengkraman Genta di lengannya, Kirani menatap nanar pria itu. Siapa dirinya hingga berani ikut campur begitu dalam di hidup Kirani? Akhirnya usaha Kirani membuahkan hasil, cengkeraman Genta terlepas, dan Kirani berlari keluar.Genta mengendarai mobil dengan kecepatan terendah yang pernah ia lakukan, karena Genta harus mencari keberadaan Kirani sekarang. Genta yakin gadis itu tak mungkin segera pulang ke rumah, pilihan itu terlalu mudah. Kemungkinan besar Kirani sedang menenangkan diri di suatu tempat, dan Genta tak tahu tempat itu. Selama ini, gadis itu yang selalu mendatanginya. Sehingga Genta tak pernah tahu tempat-tempat yang sering Kirani kunjungi selain rumahnya.Genta mencoba menghubungi ponsel Kirani, dan sekali lagi ia hanya mendengar suara mesin operator. Mata pria itu memicing ketika melihat siluet seorang gadis yang mirip Kirani tengah berjalan cepat di deretan pertokoan, kepala gadis itu menunduk melihat ponsel di tangan. Genta segera
Petang menjelang. Kirani berdiri di halaman rumah menunggu Genta menjemputnya. Hilma dan Gamma sedang menginap di rumah teman mereka, sehingga Kirani bosan sendirian di rumah dan memilih menunggu di luar menikmati udara malam musim panas. Sembari menunggu, Kirani membuka internet melawan rasa takutnya sendiri mencari berita tentang rumor pernikahan Genta Adikara.Pantas saja Tania kehilangan semangatnya tadi pagi. Gadis itu tentu sama terkejutnya dengan Kirani ketika membuka laman internet, trending topic dipenuhi berita pernikahan Genta. Bahkan tak sedikit laman yang menambahkan foto-foto pria itu ketika memasuki toko perhiasan dari berbagai sudut. Statement dari salah seorang pegawai toko perhiasan yang menjadi acuan aktor itu datang untuk membeli sepasang cincin memperkuat isi berita.Kirani terus membuka halaman yang baru hingga tak menyadari Genta telah berdiri di dekatnya. Pria itu mengintip apa yang tengah Kirani lihat melalui ponsel dan tersenyum sendiri setelah mengetahuinya.
“Selamat pagi.”Sapa Tania dan Kirani bersamaan.Semua orang di ruang tim pemasaran menatap heran keduanya. Selain karena kedatangan mereka, Tania dan Kirani juga mengucapkan selamat pagi dengan nada yang sama persis, lemas dan tak bertenaga.“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya salah satu karyawan.“Tania sedih karena idolanya akan menikah. Tapi Kirani, entahlah” jelas Melani, teman dekat Tania.Baik Melani maupun staff yang lain menggelengkan kepala heran pada Tania lalu kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, Hera keluar dari ruangannya. Ia menaruh dua paper bag di atas meja Tania.“Antarkan ini ke apartemen Genta Adikara”Tania mendelik kaget, ia melihat sekitar dan menjatuhkan pilihan pada Kirani yang sedang merapikan berkas di filling cabinet.“Berikan ini pada Genta Adikara!” Perintah Tania dan tak menunggu jawaban Kirani, Tania bergegas ke kamar kecil.“Ia menangis lagi.”Keluh Melani.***Kirani berjalan gontai setelah keluar dari lift. Kepalanya t
“Kirani, sahabat terbaikku. Saat membaca surat ini, apa yang sedang kau lakukan? Tunggu. Aku akan menebaknya. Kau sedang makan kaki ayam sendirian, bukan? Lihat, kau tersenyum, tebakanku benar! Karena aku mengenalmu dengan saaangat baik.Seandainya aku dapat menemanimu menghabiskan kaki ayam dan minum bir, tentu menyenangkan. Sayang sekali, kesempatan itu telah lama berlalu. Kesempatan yang sama tak akan datang lagi. Tapi, mungkin nanti. Kita lihat saja.Kirani, mewakili ibuku aku minta maaf atas apa yang telah ia katakan malam itu. Tidak-tidak, yang benar adalah untuk semua penderitaan yang harus kau lalui selama ini karena perbuatan ibuku, maafkan kami.Aku menyesal, aku terlambat mengetahui semua perlakuan ibuku. Aku tak tahu kalau ibu yang memintamu pergi dari desa, aku juga tak tahu kalau ibu yang menyebar isu buruk mengenai keluargamu. Kumohon meski aku tahu berat untukmu, suatu saat semoga kau dapat memaafkan ibuku.Aku ingin kau mengerti, ibuku sebenarnya perempuan yang kesepi
Ketika menyusuri lorong menuju ruang tim pemasaran, seseorang memanggil Kirani membuat gadis itu berhenti berjalan dan berbalik. Ia melihat Tania berlari menghampirinya dengan ponsel di tangan. Kepanikan kentara sekali di wajah Tania, perut Kirani mulas mengingat kemungkinan seniornya itu akan mengeluhkan hasil kerjanya lagi.“Apa yang kau lakukan malam kemarin?” Tanya Tania segera bahkan ketika nafasnya masih tersengal akibat mengejar Kirani dari lantai bawah.Kirani memiringka kepala ke kiri tak mengerti. Tania berjingkat-jingkat tak sabar lalu segera menunjukan gambar di layar ponselnya.“Gadis yang bersama Genta Adikara itu bukan dirimu, kan?” Tuntut Tania sambil menunjukan gambar bagian samping seorang perempuan yang berdiri di sebelah Genta.Tania memang gadis yang jeli. Bahkan Kirani harus berkali-kali melihat baru meyakini bahwa gadis dalam gambar itu dirinya sendiri. Tapi Tania sepertinya cepat sekali mengenali gadis dalam foto itu Kirani.“Bagaimana mungkin kau pergi bersama
Kirani menarik nafas dan menghembuskannya pelan, sepertinya ini sudah saatnya.“Banyak orang menganggap kelahiranku dua puluh dua tahun lalu sebagai bencana. Karena aku lahir dari rahim perempuan kedua. Ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku, dokter bilang tekanan darah ibu terlalu tinggi tetapi masyarakat mengatakan ibu terkena karma. Ayah yang mengetahui ibu meninggal, segera mengambilku dari asuhan kakek dan nenek. Karena pilihan ayah, istri pertamanya, bunuh diri.”“Semenjak itu, kakak tiriku membenciku. Tak berselang lama, ayah menikah lagi. Istri kedua ayah teman dekat ibu Jevyan, mereka sama-sama membenciku karena aku menyebabkan adik tiriku kecelakaan saat balita. Sejak saat itu, seluruh desa memanggilku anak pembawa sial. Panggilan itu berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi keluarga kami.”“Ayah memenangkan lotere. Benar-benar seperti dalam dongeng, dengan uang hadiah itu ayah membeli sebuah kapal besar untuk menangkap ikan. Satu kapal bertambah menjadi belasan. Pers
Hingga petang selanjutnya, Genta tak dapat bersikap tenang. Ketika tak memiliki kegiatan ia akan berjalan hilir mudik tanpa tujuan membuat setiap orang yang berpapasan dengannya akan menatap heran pria itu. Seperti kali ini, Genta berjalan keluar masuk setiap ruangan dalam apartemennya mengambil satu barang lalu menaruhnya di tempat lain. Tak berapa lama Genta akan mengambil kembali dan menaruh nya di tempat semula.Genta merasa ia sedang terserang sindrom khawatir berlebihan. Berkat peristiwa di hotel kemarin, bayangan Kirani tak pernah lepas dari ingatannya. Ia takut terjadi hal buruk pada gadis itu, selain itu ada satu hal yang terus menghantui pikirannya sejak kemarin malam. Dan Genta tak dapat menahan diri untuk tak menanyakannya langsung pada Kirani.Dengan langkah cepat Genta menyambar jaket serta kunci mobil, begitu membuka pintu Genta terkejut karena Kirani telah berdiri di sana. Kirani sama terkejutnya dengan Genta karena pintu telah terbuka bahkan ketika ia belum menekan be
Genta duduk menunggu di depan kamar Serena, kedua tangannya bertumpu di atas siku. Sesekali Genta melirik jarum jam, menit-menit terasa berlalu begitu lambat. Kalimat hinaan Julianna untuk Kirani tak henti berdengung di telinga Genta. Genta tak pernah membayangkan Julianna yang biasanya angggun dan elegan sanggup menjatuhkan harga dirinya sendiri, apapun yang terjadi diantara kedua keluarga itu tentu bukan hal biasa.Kirani.Genta menangkupkan kedua tangan menutupi wajahnya. Gadis itu tak menunjukkan ekspresi apapun setelah disiram air. Seakan ia telah sering menerima perlakuan kasar seperti itu. Ada yang salah, tak seharusnya seseorang yang dihina tetap diam dan menerima seakan-akan mereka pantas mendapatkan hinaan itu. Serena keluar dari kamar sendirian, ia lalu menutup pintu di belakangnya perlahan tanpa suara.“Ia sedang membersihkan diri.” Kata Serena sambil mengambil duduk di samping Genta.“Bagaimana keadaannya?”“Entahlah.”Kening Genta berkerut dalam dan Serena melanjutkan de