Aruna merasa sedang berada dalam roller coaster. Tadi pagi ia terbangun di sebuah kamar hotel dan beberapa perempuan cantik masuk membawa perlengkapan yang tak pernah ia tahu apa namanya. Hal yang disadari berikutnya, Aruna berdiri di tengah ball room hotel mengenakan gaun yang tempo hari ia coba dengan paksa. Tak lupa, Damar mengamit lengan Aruna erat membuat nya bahkan tak dapat berjalan jika pria itu juga tak berjalan. Intinya Aruna hanya akan bergerak jika Damar yang menggiringnya. Dan sialnya, Damar menggiring Aruna kesana-kemari mengucapkan salam dan terima kasih pada setiap orang yang hadir, sebagian besar tak ada yang Aruna kenal dan mengenalinya. Bahkan tak sedikit yang menggumamkan pertanyaan aneh ketika melihat gadis itu. Aruna seakan dapat membaca pikiran para tamu , tentu mereka heran bagaimana perempuan biasa seperti nya yang akhirnya berhak berdiri di samping Damar Daniswara.
Dan ketika kesadaran Aruna belum sempurna, ia telah memakai baju tradisional merah muda menatap kosong pemandangan di luar mobil. Damar duduk di samping Aruna, pria itu menyumpal telinga dengan earphone sejak masuk mobil tadi. Haris, sopir keluarga Daniswara juga fokus mengemudi, membuat suasana di dalam mobil semakin sunyi. Seharusnya mereka kini menuju rumah besar keluarga Daniswara, sesuai tradisi menurut leluhur keluarga Dennis. Tapi Damar menolak tradisi itu membuat orang-orang yang membantu Aruna mengganti pakaian dengan pakaian tradisional, merenggut tak suka.
Akhirnya, mobil membawa mereka menuju rumah pribadi Damar. Aruna memandangi gedung-gedung yang dilaluinya. Mereka nampak berlari menjauh, kaki Aruna gatal ingin melompat keluar dan mengikuti mereka berlari. Ia bosan, dan akhirnya Aruna teringat pada buku baru yang dibelinya minggu lalu. Buku itu belum pernah ia baca, dan kalau tak salah kemarin malam Aruna memasukan buku itu ke dalam tas ransel bersama perlengkapannya yang lain.
“Apa yang kamu baca?” Tanya Damar ketika aku tiba di halaman kesepuluh.
Tanpa mengatakan apapun dan tak beranjak dari kalimat yang tengah ia baca, Aruna mengangkat buku dan membiarkan Damar melihat sampul buku.
“Kamu suka buku itu?”
Aruna mengangkat bahu acuh, “Entahlah, aku baru mulai membacanya. Aku hanya penasaran karena melihat sampul bukunya yang menarik.”
“Sampul buku?”
Aruna mengangguk,
“Kamu sama sekali tak tertarik pada ide ceritanya?”
“Hum, aku tak terlalu memerhatikannya saat membeli.”
Melalui ekor matanya, Aruna melihat Damar melepaskan earphone dan memasukannya ke dalam tas. Ia duduk tegak dan memalingkan wajah ke luar jendela seperti yang Aruna lakukan beberapa menit yang lalu.
“Kamu tahu siapa penulisnya?”
“Mark Han? Entahlah aku baru membaca yang ini.” Jawab Aruna, lalu menambahkan, “Tapi kalau boleh kukatakan, tulisannya terlalu cengeng untuk ukuran penulis pria.”
“Itu karena kamu hanya menyukai novel yang mengandung darah dan pisau di dalamnya.”
Lagi-lagi Aruna mengangkat bahu, tapi mulai merasa terhanyut dalam pembicaraan ini. Aruna merasa mereka seperti kembali ke lima tahun lalu.
“Mungkin juga.” Aruna membalik buku sampai ke halaman terakhir, “Tapi sepertinya Mark Han memang penulis cengeng. Lihat, ada berapa kalimat rengekan di dalam buku ini.”
“Apa kamu membeli buku ini hanya untuk mengejek penulisnya?.” Bentak Damar marah
“Aku kan tertarik pada sampul bukunya.”
Damar mengangguk, “Benar, kamu memang selalu melihat semua dari permukaan. Tak berubah sama sekali.”
“Apa yang salah? Lagipula kenapa tiba - tiba kamu begitu peduli pada bacaanku?” Tanya Aruna tak terima.
“Aku? Siapa bilang aku peduli. Aku hanya ingin mencairkan suasana, tadi itu terlalu sepi.”
Aruna mendengus, lihat siapa yang bicara. Siapa pula tadi yang menyumpal telinga dan bersikap tak ada orang lain selain dirinya dalam mobil ini.
Aruna baru akan kembali membuka buku namun Damar lebih cepat merampas buku itu dan memasukan ke dalam tasnya.
“Hei! Pria gila kembalikan bukuku, aku belum selesai membacanya.”
“Bukankah kamu bilang buku ini cengeng?”
“Tapi aku masih mau membacanya!”
Mobil tiba-tiba berhenti dan keduanya sontak melirik pada Haris.
“Kenapa berhenti?” Tanya Damar
“Ada seseorang di depan gerbang.”
000ooo000
“Nyonya, Tuan menunggu anda untuk makan malam di bawah.”
Aruna berbalik memunggungi cermin dan tersenyum pada perempuan paruh baya yang beberapa jam lalu mengenalkan diri sebagai Bibi Hanifah, kepala pelayan rumah ini. Hujan kembali turun sore ini, dan Aruna lupa menutup pintu kaca yang memisahkan kamar dengan beranda. Hanifah menghampiri pintu itu dan menutupnya tanpa suara, Aruna memperhatikan gerak-gerik Hanifah, ada pertanyaan besar yang bersarang di benaknya sejak menginjakan kaki di sini, Aruna tengah mempertimbangkan untuk menanyakannya pada Hanifah.
“Bi, ada yang ingin kutanyakan—“
“Maaf Nyonya, kenapa anda belum berganti pakaian? Apakah perlu saya bantu?” Potong Hanifah segera, merujuk pada Aruna yang masih mengenakan kebaya.
“Ah, tidak-tidak perlu. Aku hanya terlalu bingung hingga lupa mengganti pakaian, sebentar lagi aku akan bersiap-siap dan turun. Tapi, apa—“
“Kalau begitu, saya mohon diri kembali bekerja Nyonya.”
Sangat jelas Hanifah sedang menghindar dari pertanyannya, Aruna yakin itu. Setiap kali Aruna hendak bertanya, Hanifah segera memotong kalimat Aruna, seakan Hanifah tahu jelas apa yang akan Aruna tanyakan dan membuat ia yakin, Hanifah mengetahui jawabannya. Atau mungkin di rumah ini hanya Aruna yang tak mengetahui siapa gadis yang menghadang mobil mereka di gerbang tadi? Bahkan gadis itu nampak akrab dengan penghuni rumah ini, menandakan gadis itu sering datang ke sini. Apakah ia kerabat Damar? Atau mungkin…
Apapun itu, ia harus mencari tahu sendiri. Jika Hanifah atau orang-orang di sini tak ingin memberitahunya maka ia akan mencari tahu sendiri.
000ooo000
Suara tawa menyambut kedatangan Aruna di ruang makan, bahkan derai tawa itu terus berlanjut hingga Aruna duduk di kursi dan mulai menyantap makanannya. Bagus, Aruna merasa menjadi makhluk astral, tak terlihat sama sekali. Baik Damar maupun gadis itu larut dalam perbincangan mereka, perbincangan yang tak dapat ia tangkap sama sekali karena mereka menggunakan bahasa Inggris dan mungkin sedikit Perancis. Melalui sudut matanya, Aruna meneliti gadis itu. Demi apapun, jika Aruna menjadi seorang pria ia pasti sudah jatuh bertekuk lutut di depan perempuan ini. Tak perlu disebutkan bagaimana sempurna fisiknya karena tanpa fisik yang sesempurna itu, ia memiliki senyum memikat, membuat orang yang melihat tanpa sadar ikut tersenyum ketika ia tersenyum.
“Miranti, kuharap kau tak benar-benar melakukannya.” Kata Damar akhirnya dengan bahasa Indonesia.
Ah, akhirnya Aruna tahu nama gadis itu Miranti, cantik secantik orangnya. Aruna mengaduk sup dengan sedikit kasar, entah kenapa panas dari sup itu menular ke dalam hatinya sekarang. Aruna tak ingin makan lagi, ia meraih jeruk dan berharap dapat meredakan rasa panas itu.
“Tentu tidak Mas, aku tak mungkin sekejam itu.”
Mas? Usia Damar dan Miranti nampaknya tak terpaut jauh, tapi kenapa ia memanggil Damar dengan sebutan Mas?
Trang!
Tak tahu bagaimana caranya, jeruk yang tengah Aruna kupas meloncat dan jatuh di tepi mangkuk sup Damar mengakibatkan isinya tumpah.
“Mas!” Teriak Miranti panik, beberapa pelayan segera membantu Damar membersihkan diri
Sementara Aruna, ia masih kaget dan tetap pada posisinya, “Aneh sekali, kenapa tiba-tiba meloncat?” Aruna menoleh ke samping, “Kamu tak apa? Maafkan aku.”
“Maaf? Setelah menumpahkan kuah panas kamu hanya mengatakan maaf?” Tanya Miranti berang, mukanya merah padam.
Aruna mengerutkan alisnya, kenapa perempuan ini yang marah?
“Sudahlah, ini hanya kuah sup.” Kata Damar menengahi, ia berdiri, “ Ranti, kamu selesaikan saja makan malamnya, aku akan membersihkan diri. Runa, setelah kamu selesai ada yang ingin kubicarakan.”
“Meskipun aku tak setuju, tapi selamat untuk penikahan kalian.” Desis Miranti sepeninggal Damar.
Aruna mengangguk, “ Aku mengerti, lagipula kamu tak sendiri. Banyak orang yang tak menyetujui pernikahan ini.”
Termasuk diriku sendiri.
Miranti mengibaskan rambut ikalnya, “ Kamu tak mengerti, bagaimanapun kamu tak akan pernah mengerti.”
“Bagian mana yang tak kumengerti—“ Aruna berhenti untuk memastikan harus memanggil apa pada Miranti. Mir – Mira –atau Ranti.
“Miranti.”
“Bagian mana yang tak kumengerti Miranti. Semua orang beranggapan sama, kami tak sepadan. Kamu tak perlu ragu untuk mengatakannya. “
“Bodoh,” Decak Miranti kesal, ia menaruh sendoknya dan meneguk segelas air.
Lihat, bahkan gadis itu tetap nampak anggun meski tengah marah. Aruna meremas ujung kausnya, entah kenapa ada rasa cemburu ketika melihat Miranti. Rasa cemburu yang lebih besar dibanding dulu, ketika Damar memacari gadis-gadis popular di sekolah. Ini tidak benar, tak seharusnya ia masih memiliki perasaan itu, seharusnya ia membenci Damar.
“Kudengar kamu berhasil menikah dengan Damar setelah mengejarnya sejak sekolah menengah? Kuakui kamu cukup hebat.”
“Apa?” Aruna terperangah, kata mengejar nampaknya terlalu berlebihan.
Benar jika semasa SMA ia menyatakan perasaannya pada Damar, tapi hanya sebatas itu. Ketika mereka berpisah dan Damar menghilang, Aruna bahkan berusaha setengah mati menghilangkan perasaan sepihak nya.
“Tunggu sebentar, informasi yang kamu dengar itu tak sepenuhnya benar. Aku memang sempat menyukai Damar dulu, tapi mengejar-ngejar? Informan mu sepertinya kurang berpengalaman. Perlu kutambahkan, bahkan pernikahan ini di luar rencana kami. Baik aku ataupun Damar tak pernah mengira akan menikah. Jadi—“ Aruna mengigit bibirnya kaget, ia hampir saja kelepasan bicara menceritakan asal muasal pernikahan ‘aneh’ mereka.
“Sudahlah,” Miranti beranjak bangun, ia menaruh serbet ke atas meja, “Aku datang ke sini untuk mewujudkan mimpiku bukan untuk mendengar curahan hatimu.”
“Benar, kenapa tiba-tiba aku ingin menceritakannya pada perempuan itu?” Tanya Aruna pada dirinya sendiri, tapi di dasar hatinya Aruna merasa memang sudah seharusnya ia mengatakan kebenaran itu pada Miranti, meski ia tak tahu karena apa.
000ooo000
“Berhenti! Dasar pencuri sialan, berhenti!” Pekik Aruna di tengah usahanya mengejar pria yang mencuri tas nya.
Tetes air mata kini bercampur dengan keringat yang melaju dengan deras, paru-parunya pun terasa sangat kering sekarang, pandangannya perlahan mengabur. Gadis itu sadar tubuhnya tak mampu lagi untuk berlari, tapi ia tak mungkin menyerah begitu saja. Kelengahannya membiarkan penjambret itu mengambil tasnya akan menjadi kekecewaan gadis itu hingga tua. Aruna menguatkan derap langkah kakinya, namun tenaganya benar-benar habis, dan kemudian ia hanya melihat kegelapan.
“Jemarinya bergerak!” Teriakan Kirei yang pertama kali menyambut Aruna.
Selanjutnya, ia melihat seberkas cahaya. Aruna berusaha bangun meski kepalanya terasa teramat ringan. Ia tahu sedang berada di sebuah perpustakaan langganannya, namun ia lupa bagaimana ia bisa tertidur di salah satu bangku panjang dengan Kirei berjongkok di sampingnya.
“Damar, dia sadar.” Kata Kirei, Aruna menyadari kini mereka bertiga menjadi bahan tontonan seisi perpustakaan.
Bertiga? Aruna mengurut pelipisnya yang berdenyut-denyut karena menghantam trotoar. Bagaimana murid baru ini bisa ada di sini?
“Ini.” Kata Damar sambil menyerahkan tas selempang Aruna, “Cek isinya, apa masih lengkap? Aku tak tahu apa pencuri itu sempat mengambil sesuatu atau tidak ketika kabur tadi”
Aruna mengikuti saran Damar dan menghembuskan nafas lega, sama sekali tak ada yang hilang.
Aruna menggeleng, “Semuanya lengkap,”
“Hey, mana kata terima kasihmu Runa, andai saja tadi kamu tidak pingsan kamu pasti akan kagum melihat aksi Damar menghadang penjambret tadi.” Jelas Kirei,
Aruna membelalak kaget, “Apa? Terima kasih banyak.”
“Bukan masalah, melihat teman kesulitan mana mungkin aku diam saja.”
Ah, benar meski di sekolah mereka tak pernah bertegur sapa mereka tetap teman, kan?
“Sebagai ucapan terima kasih, aku akan membelikanmu Mie ayam.” Usul Aruna, selain karena kedai makanan terdekat adalah penjual Mie ayam, Mie ayam adalah makanan pertama yang melintas di pikirannya saat itu.
“Kepalamu masih sakit?” Tanya Kirei ketika mereka tengah menyantap Mie ayam.
“Sedikit.” Aruna menurunkan tangan, tanpa sadar ia kembali memijat pelipisnya.
“Apanya yang sedikit, kamu jatuh dengan bunyi ‘duk!’ keras tadi. Kalau sempat kusarankan periksakan ke dokter, aku takut kepalamu kenapa-kenapa.” Kata Damar dengan mulut penuh Mie ayam, ia nampak lahap sekali.
Aruna mengangguk, dan teringat.” Bagaimana kamu mengalahkan penjambret tadi, padahal larinya sangat cepat.”
“Ketika kalian berlari melewati salon di sana, kebetulan aku sedang menemani temanku. Dan ikut mengejar, sepertinya ia juga sama kelelahannya denganmu, hanya dengan beberapa pukulan ia menyerah, tidak begitu menyenangkan sebenarnya.” Jelas Damar tak ayal membuat Aruna dan Kirei menganga.
Menyenangkan? Damar bilang mengejar penjambret itu menyenangkan?
“Um, tadi kamu bilang sedang berada di salon bersama temanmu, sekarang dimana dia?” Tanya Kirei, pipinya bersemu merah Kirei berharap teman yang Damar maksud adalah Dimitri, bertemu dengannya di luar jam sekolah tentu keajaiban sendiri bagi Kirei.
“Entahlah,” Damar mengangkat bahu acuh,” Mungkin masih berada di salon, kalian para perempuan selalu menghabiskan waktu berabad-abad di dalam sana, kan?”
“Perempuan, jadi kamu sedang berkencan?”Tanya Aruna,”Dan kamu meninggalkannya sendirian? Ya Tuhan, aku tak mau kena masalah di sekolah besok.”
Aruna tahu bagaimana kesan Damar di sekolah, idola para siswi dan tak jarang terjadi pertempuran sengit di antara kaum hawa hanya karena orang ini, baik itu satu sekolah ataupun dari luar sekolah. Aruna tidak mau jadi salah satu dari mereka, hidupnya sudah cukup menderita tanpa tambahan konyol seperti itu.
“Kami belum tentu akan berkencan, masih banyak yang harus ku nilai. Karena itu tenang saja kalian aman.”
“Tetap saja, aku harus segera pergi sebelum teman kencanmu melihat. Rei, kita pergi sekarang.” Ujar Aruna tergesa-gesa sambil menarik dompet dari saku jaket, dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana.
“Tunggu!” Kirei menahan lengan Aruna, “Kukira dompet mu ada dalam tas?”
“Bukan,” Jawab Aruna
“Biasanya orang panik ketika tas nya di curi karena di sana ada dompetnya, jadi sebenarnya apa isi tasmu?” Tanya Kirei tak dapat menyembunyikan emosinya, asal tahu saja tadi ia sedang berebut pakaian diskon ketika insiden itu terjadi, dan harus merelakan dress incarannya lepas dari genggaman.
Kirei yang tak sabar akhirnya menarik tas Aruna dan membongkar isinya, “Hanya sebuah buku? Kita berlari berkilo-kilo meter hanya mengejar sebuah buku?”
Aruna menyeringai, “Maafkan aku, aku belum selesai membacanya. Aku bisa mati penasaran kalau buku ini hilang sebelum selesai kubaca.”
“Ya Tuhan!” Mati-matian Kirei berusaha tak memaki sahabatnya yang satu ini, sementara Damar tersenyum melihat mereka, sepertinya keputusannya pindah sekolah memang benar, tahun ini akan menjadi tahun yang menyenangkan.
000ooo000
Aruna ingat Damar mengatakan akan membicarakan sesuatu dengannya, tapi ia tak ingat apakah Damar mengatakan dimana mereka akan bicara. Rumah ini begitu luas, dan Aruna belum tahu kebiasaan pria itu. Akhirnya, ia berdiri seperti orang bodoh di bawah tangga. Mungkin Damar akan kesal menunggu dan akhirnya mencari Aruna.
“Apa ada yang bisa saya lakukan, Nyonya?”
“Ya Tuhan, Bibi mengagetkanku!” Kata Aruna, Hanifah tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. “Apa Bibi tahu Damar berada di mana?”
Hanifah tersenyum, dan entah kenapa Aruna merasa risih dengan senyuman itu.
“ Tuan sedang berada di ruang kerjanya di lantai dua,”
“Apakah ruangan itu yang berada di depan kamarku?”
Hanifah mengangguk patuh lalu mengikuti Aruna naik,
“Maaf Nyonya, Tuan tidak suka seseorang masuk ke dalam ruang kerjanya.” Kata Hanifah ketika Aruna hendak meraih handle,
“Bahkan kami para pelayan dilarang untuk membersihkan ruangan ini, Tuan mengurus semuanya sendiri.” Lanjut Hanifah, “Lebih baik Nyonya menunggu di kamar.”
“Begitu?” Tanya Aruna ragu,
Sekali lagi Hanifah mengangguk dan kembali tersenyum, senyuman yang membuat Aruna menggaruk kepalanya salah tingkah dan berlari kecil kembali ke kamarnya.
Aruna menutup pintu kamar pelan-pelan dan berjalan menuju pintu kaca. Hujan turun semakin deras, hanya langit gelap yang terlihat dan sesekali petir membelah permukaan hitam, membuat Aruna teringat pada Nenek di rumah. Apa yang sedang nenek lakukan sekarang? Aruna takut Nenek menangis merindukannya. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu sebelum Aruna bekerja di Osric Corps. Saat itu, Aruna menjadi seorang talent coordinator yang membuatnya jarang berada di rumah. Pekerjaannya sebagai talent coordinator memang memberi penghasilan yang lumayan besar, namun dengan resiko sebanding yaitu rela untuk lembur di waktu tak terduga. Dan ketika hal itu terjadi, Aruna akan menemukan ponselnya penuh dengan panggilan dan pesan dari Sara yang isinya sama, Nenek ingin ia pulang.
Tapi hari ini, ponselnya masih tak bersuara. Ada kecewa menghinggapi, ia merasa benar-benar diasingkan oleh keluarganya sendiri. Aruna duduk dan memeluk kakinya sendiri di balik pintu kaca, ia memandang satu-persatu titik hujan yang berjatuhan. Bagaimana ia ke depannya? Pernikahan ini? Perempuan tadi? Alasan utama bagi Aruna menerima pernikahan ini karena ia ingin menyelamatkan keluarganya dari jerat kemiskinan, sementara bagi Damar… Aruna mendesah lelah. selain karena Damar tak ingin ia melihat Aruna sebagai ibu tirinya, Ia tak tahu pasti apa alasan pria itu menerima semua ini. Tapi jika mempertimbangkan alasan itu, hati kecil Aruna mengatakan kemungkinan lain, Damar menyayanginya. Di satu sisi alasan itu sangat logis namun di sisi lain sangat tak masuk akal.
“Tidak, aku pasti kehilangan akalku.” Kata Aruna sambil mengerjap dan menepuk-nepuk pipinya pelan.
“Akhirnya kamu sadar.” Timpal Damar, “Hanya orang yang kehilangan akalnya yang bersedia menikah denganku.”
“Boleh kuganti kata bersedia dengan kata terpaksa?”
000ooo000
Aruna menatap bekal makanannya kesal. Hari ini pembukaan Stadion Olahraga terbesar di Asia Tenggara dan kelasnya mendapatkan kehormatan sebagai pengunjung pertama hari itu. Ketika teman-temannya yang lain asik menikmati penganan yang dihidangkan, Aruna terpaksa memakan bekal buatan Sara apalagi kalau bukan karena uang sakunya yang terbatas. Air liur Aruna rasanya sudah mengumpul di ujung lidah ketika melihat teman-temannya yang lain sibuk makan. Seandainya Kirei tidak sedang mengunjungi kakeknya, mungkin ia tak akan makan sendiri. Kirei sama sepertinya, ia selalu membawa bekal sendiri namun dengan alasan yang berbeda,Ibu Kirei seorang ahli gizi sehingga ia lebih merasa aman membuatkan anak-anaknya makanan sendiri.
“Ah, akhirnya aku duduk juga.”
Dengan santai Damar duduk di samping Aruna dan mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas.
“Mau apa kamu di sini?”
“Makan, kamu juga kenapa tak mulai makan dari tadi hanya menusuk-nusuknya dengan sendok.”
“Bukan itu, kenapa kau memakan bekal mu disini?”
Masih dengan mulut yang mengunyah Damar menjawab,”Di kelas ini, hanya kamu yang selalu membawa bekal ke sekolah jadi kupikir memakan bekal bersamamu paling nyaman.”
Aruna menatap Damar dengan pandangan menyelidik, sejak kapan pria ini memperhatikannya?
“Kenapa menatapku seperti itu?” Tanya Damar, ia mengikuti arah pandang Aruna, “Kamu mau bekalku? Baiklah ini.”
Damar menaruh sebagian bekalnya di kotak Aruna, “Cobalah, itu aku buat sendiri.”
000oooo000
Aruna dan Damar kemudian hanya duduk diam tak mengatakan apapun, memandang hujan di luar. Pikiran Aruna masih penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tadi, terutama mengenai Miranti. Jika gadis itu memang kerabat Damar, seharusnya Miranti datang di pesta pernikahan tapi sebaliknya ia malah datang ke rumah ini. Meski belum memiliki cukup bukti, Aruna yakin Miranti bukan saudara atau kerabat Damar, ia tak lebih dari itu.
“Aku tak pernah mengira semuanya akan jadi seperti ini,” Damar akhirnya memecah kesunyian, Aruna mendongak menemukan Damar masih memandang lurus ke depan ia tersenyum
“Maafkan aku. Seharusnya itu yang kukatakan karena secara tak langsung memaksamu masuk ke dalam duniaku.” Lanjut Damar, “Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini, kau seharusnya menikah karena kau dan suami mu saling mencintai. Seandainya saja kamu tak pernah bertemu ayahku, semua ini takkan terjadi.”
Aruna merenungkan semua ucapan Damar, entah kenapa tiba-tiba ia merasa bersalah. Alasan Aruna menerima pernikahan ini juga tak sepenuhnya paksaan, Alasannya menikah dengan Damar bahkan lebih buruk dari alasan pria itu sendiri. Aruna menikah karena uang, dan ia tak menyembunyikan hal ini sama sekali. Rumah orang tuanya, pagi itu dengan gamblang Aruna katakan ia ingin Damar menebus rumah orang tua Aruna dari para lintah darat.
“Kurasa hubungan kita lebih tepat disebut simbiosis mutualisme, kamu menikahiku untuk menghindari rasa malu sementara aku, kamu tahu apa yang membuatku akhirnya tunduk. “ Aruna menunduk menatap jari-jari kakinya, “Mengenai kemungkinan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kurasa bukan hanya aku yang kehilangan kemungkinan itu. Kamu juga.”
“Aku?” Tanya Damar yang nampak sangat meragukan pernyataan Aruna, gadis itu mengangguk tegas sebagai jawaban.
Sejak bertemu dengan Miranti di depan gerbang Aruna tahu ada yang berbeda dari gadis itu, tapi Aruna baru menyadarinya saat makan malam tadi. Aruna seakan melihat dirinya sendiri lima tahun lalu pada sosok Miranti, gadis itu mencintai Damar. Hanya pria buta yang berani menolak gadis sesempurna Miranti, dan Damar tidak buta sama hal nya seperti Aruna yang tak buta pada tanda-tanda yang ada. Seluruh penghuni rumah ini mengenal Miranti, mereka menyapa Miranti seakan Miranti memang sudah sering berkunjung, artinya Damar mengijinkan Miranti memasuki kehidupannya. Satu perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan kondisi Aruna lima tahun lalu, selalu ada sisi tersembunyi dari kehidupan Damar yang tak bisa Aruna masuki. Dan semua tanda itu mengarah pada satu titik, Damar membalas perasaan Miranti.
Perih. Sungguh Aruna tak berbohong, Aruna memang berusaha untuk membenci pria ini tapi menghapus seseorang yang pernah mengisi hati nya sama saja dengan berusaha mengembalikan kaca yang telah pecah agar kembali utuh, tetap meninggalkan bekas.
“Kamu salah menilaiku, Runa.”
Aruna mengangguk, “Aku selalu ragu untuk menjatuhkan penilaianku. Sejak dulu kamu selalu membuatku bingung—“
Kenapa kamu dulu membantuku dan akhirnya mau menjadi temanku. Kenapa dulu kamu selalu ada di sisiku kemudian menjauhiku?
“Tapi aku bersyukur orang yang kunikahi itu kamu, Aruna.”
“Apa?”
“Kamu teman lamaku, dan bukankah dalam pernikahan seorang suami dan istri mereka juga sepasang teman? Jadi, kupikir ini tak ada salahnya untuk di coba. Kita akan berhasil selama kita mampu untuk berusaha dan mengembalikan hubungan kita seperti dulu.”
“Maksudmu?” Otak Aruna bekerja lamban ketika Damar mengatakan ia mensyukuri pernikahan ini.
“Ck,” Damar mendecak tak sabar lalu mengulurkan tangannya menjabat paksa tangan Aruna “Mari kita ‘kembali’ berteman, Aruna Wimala.”
Aruna menarik rets jaket nya hingga hampir menyentuh dagu, ia menekan keras-keras earpiece yang menyumpal telinganya membuat tak ada suara lain yang ia dengar selain music dari ponsel di sakunya. Langkah kakinya sengaja ia buat lebar-lebar agar ia cepat menjauh dari rumah itu, Aruna butuh udara segar setelah apa yang dilihatnya tadi pagi. Karena itu, Aruna kini memilih olahraga pagi mengelilingi lingkungan rumah. “Berteman? Inikah maksud laki-laki gila itu berteman lagi? buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, mereka berdua sangat mirip. Aku saja yang bodoh menganggap kalimatnya semalam ia aka
Setelah perbincangan alot dan terabsurd yang pernah Aruna alami, akhirnya ia dan Damar duduk bergabung dalam pesta perpisahan kru dan pemain drama yang hingga detik itu Aruna tak pernah tahu apa judulnya. Alasan pertama, karena Kirani tiba-tiba datang dan memohon agar Aruna ikut, untuk alasan ini gadis itu merasa Kirani memiliki kesalahan lain pada Genta dan menggunakan Aruna sebagai tamengnya jika sewaktu-waktu Genta menyadari kesalahan Kirani. Alasan kedua, Asisten Sutradara didukung kru lainnya bersikeras agar Damar mau ikut serta karena Osric Corps salah satu penyumbang dana produksi drama ini. Aruna sempat menanyakan kenapa tadi Asisten Sutradara berteriak memanggil nama Mark Han, dan Asisten Sutradara hanya menjawab ia sedang merindukan Mark Han, penulis novel yang naskah nya diangkat menjadi ide cerita drama ini.“
Ia mencoba tertidur, Ia berbaring dengan mata terpejam namun tak tertidur. Kembali ia menghitung dari satu hingga seratus tetapi tetap ia tak dapat terlelap malam ini. Bahkan alunan music klasik yang sengaja ia putar tak dapat membuatnya tenang, dengan gusar pria itu beranjak bangun dan meraih ponselnya. “Miranti, aku membutuhkanmu.” Tak perlu menunggu lama, pintu di belakangnya terbuka. Miranti menghentakkan langkahnya sengaja agar pria ini tahu bahwa pada jam-jam seperti ini adalah waktu bagi orang normal tidur. Ah, tunggu gadis itu lupa, Damar Daniswara bukanlah orang normal. “Maaf aku mengg
Hingar bingar ruang karaoke itu tak mempengaruhi mereka. Keduanya terdiam, Aruna tak dapat membaca apa yang sedang Damar pikirkan setelah ia mengatakan kebenaran tadi. Damar menatapnya datar, yah tatapan andalan pria itu sebenarnya.Perlahan mereka kembali ke posisi semula, menatap lurus para kru yang teramat menghayati penampilan mereka sendiri di atas panggung, bahkan Kirani hampir jatuh terjungkal ketika menyanyikan lagu Listen milik Beyonce, meski dengan pelafalan dan pencapaian nada yang payah, Kirani sangat menghayatinya karena sepertinya lagu itu sedikit banyak ia tujukan untuk Genta. Salah satu alasan kenapa karaoke
“Tuan, maafkan saya. Saya yang membuat Tuan jatuh sakit, kalau saja tadi saya menemani Tuan, mungkin—“ “Sudahlah.” Damar memotong permintaan maaf Paman Haris, “Ini bukan salahmu, aku yang memintamu tak mengantarku tadi.” “Tapi, Tuan—“ Haris tetap bersikeras mengajukan permintaan maafnya, berkali-kali ia membungkuk dalam pada Damar. Haris merasa bersalah karena membiarkan tuan muda-nya jatuh sakit dan itu artinya melanggar janjinya sendiri pada orang yang ia sayangi. Alasan kenapa Haris bertahan di rumah ini karena permintaan Sasmita, ibu Damar. Jika buk
“Dampak Krisis Global, 300 Pengusaha Gulung Tikar Tingkat Pengangguran Melonjak Tinggi” Aruna melipat Koran di tangannya dengan kesal lalu meneguk cola-nya namun ia mendesis ketika menyadari kaleng itu sudah kosong. Ia menghempaskan punggung sedikit kasar ke sandaran kursi dan menyisir sekitar. Sepi, hanya ada beberapa perempuan paruh baya yang tengah berjalan santai di seberang jalan, bukan hal aneh karena pada office hours seperti sekarang sebagian besar penduduk Bandung tengah bekerja di tempat mereka masing-masing. Ya, sebagian besar dan ia bukan bagian dari sebagian besar itu. Aruna tak lagi menjadi bagian penduduk I
Malam telah kehilangan sinar rembulan, suara burung hantu bersahutan dari balik pepohonan. Ini bukan waktu yang tepat untuk terjaga, apalagi berkendara.Pukul satu petang.Damar Daniswara melirik jam analog yang terpasang di dashboard mobil. Lebih dari enam jam ia menghabiskan waktunya di luar rumah. Sudah saat nya ia kembali pulang. 'Pulang' rasanya kata itu masih terdengar ganjil di telinganya sendiri. Pulang berarti ia akan kembali ke sebuah tempat yang dinamakan rumah, tempat dimana ada yang menunggunya, tempat ia melepaskan kepenatan,tempat dimana ia mendapatkan kenyamaňan,
Mereka memilih makan malam di restoran khas meksiko. Aruna tak keberatan, ah-sebenarnya gadis tak banyak membantah ketika Damar mengusulkan akan makan dimana. Pertama karena ia tak begitu mengetahui tempat-tempat semacam itu, kedua….sejak siang tadi sepertinya otaknya sedang mengajukan cuti. Tapi, kurasa bukan hanya aku seorang yang memiliki gangguan dengan otaknya, sepertinya suamiku –err, aku berhak memanggilnya begitu, kan? –juga mengalami hal yang sama denganku. Batin Aruna begitu pelayan pergi meninggalkan mereka. Malam ini, Damar nampak berbeda. Ia tak lagi dingin dan bersikap seperlunya pada Aruna. Damar kembali menjadi s