Malam telah kehilangan sinar rembulan, suara burung hantu bersahutan dari balik pepohonan. Ini bukan waktu yang tepat untuk terjaga, apalagi berkendara.
Pukul satu petang.
Damar Daniswara melirik jam analog yang terpasang di dashboard mobil. Lebih dari enam jam ia menghabiskan waktunya di luar rumah. Sudah saat nya ia kembali pulang. 'Pulang' rasanya kata itu masih terdengar ganjil di telinganya sendiri. Pulang berarti ia akan kembali ke sebuah tempat yang dinamakan rumah, tempat dimana ada yang menunggunya, tempat ia melepaskan kepenatan,tempat dimana ia mendapatkan kenyamaňan,
Mereka memilih makan malam di restoran khas meksiko. Aruna tak keberatan, ah-sebenarnya gadis tak banyak membantah ketika Damar mengusulkan akan makan dimana. Pertama karena ia tak begitu mengetahui tempat-tempat semacam itu, kedua….sejak siang tadi sepertinya otaknya sedang mengajukan cuti. Tapi, kurasa bukan hanya aku seorang yang memiliki gangguan dengan otaknya, sepertinya suamiku –err, aku berhak memanggilnya begitu, kan? –juga mengalami hal yang sama denganku. Batin Aruna begitu pelayan pergi meninggalkan mereka. Malam ini, Damar nampak berbeda. Ia tak lagi dingin dan bersikap seperlunya pada Aruna. Damar kembali menjadi s
Damar menyukai wajah itu ketika tengah membaca buku. Ketika setengah dari penghuni kelas ini berhamburan berlari menuju kantin sekolah, ia satu-satunya orang yang tetap tak beranjak dari kursi. Sebuah buku bersampul merah hati telah memaku gadis itu untuk diam di tempat. Damar hafal jelas apa yang tengah dibaca Aruna, seri Stephen King yang lainnya. Novel horror yang menceritakan penyebaran virus zombie melalui jaringan seluler. Ini ketiga kalinya Damar mendapati Aruna membaca buku itu. Damar menghela nafas, ia bahkan tak pernah satu kali pun membaca hingga tamat novel itu setiap kali Aruna meminjamkannya. Aruna menoleh ketika menyadari ada seseorang yang memerhatikannya.
Hidup. Sebuah kata sederhana yang ketika semasa kecil dulu ia pahami sebatas kegiatan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, karena ketika seseorang dinyatakan tak memiliki kehidupan lagi maka indikasi pertama adalah menghilangnya fungsi pernafasan itu sendiri. Di usianya kini, Aruna akhirnya memahami hidup bukanlah sebatas menyerap dan mengeluarkan udara melalui lubang hidung. Hidup adalah hidup, dimana bukan hanya menghitung perputaran jarum jam dari angka dua belas untuk kembali lagi di angka yang sama atau menunggu berjalannya dari hari senin hingga hari minggu, lebih dari itu semua. Ada asa yang diperjuangkan, ada harapan bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini.Aruna menutup krim wajah lalu menaruhnya kembali di tempatnya. Ia menatap lurus bayangan yang terpant
Mereka berlari saling mengejar di bibir pantai seperti anak kecil. Terakhir kali Damar berhasil membuat kaus bagian depan Aruna basah kuyup dengan air laut, kini giliran Aruna membalasnya. Dengan sekuat tenaga ia menghentakkan kaki di atas permukaan pasir mengejar Damar. Pria itu tergelak melihat tingkah Aruna yang sesekali kehilangan keseimbangan karena permukaan pantai yang tak stabil. “Berhenti di sana!” Teriak Aruna nyaring. Damar berjalan mundur sambil terus menertawakan Aruna, “ Menyerah saja, Runa! Kamu kalah, malam ini giliranmu tidur di sofa!”Aruna menggeram, menyesali ide bodoh yang diusulkannya tadi. Meski telah menikah b
“Kirani!” Kirani mengerjap bangun ketika merasa bahunya di guncang pelan, matanya segera menyesuaikan dengan penerangan yang kurang dan menyadari ia masih berada di dalam mobil van perusahaan. Seorang pria dengan rambut hitam legam membalut wajah lancip berkulit putih pucat tengah menatap heran Kirani. Dengan segera Kirani bergerak mundur memberi jarak, ia membenahi penampilannya yang tentunya terlihat sangat buruk sekarang. “Ananta, maaf aku tertidur. Apa Syutingnya sudah selesai?” Ananta tersenyum dan mengangguk, “Sekitar satu jam lalu,”“
Pagi menjelang, deburan ombak yang menerpa pantai membangunkan Aruna dari tidur. Kesadarannya belum sempurna, dengan mata yang masih setengah terpejam Aruna bangun dan berjalan menuju jendela membuka tirai lebar-lebar seiring dengan matanya yang juga akhirnya terbuka lebar. Hamparan laut biru dengan pasir putih membuatnya sadar berada di mana, dan membuatnya kembali mengingat apa yang terjadi di hari sebelumnya. Seperti ada dvd player dalam kepala Aruna, semua terputar kembali dengan jelas, tak heran membuat pipi Aruna bersemu merah. “Pagi,”Suara parau orang yang baru bangun tidur menyentak Aruna kembali ke kenyataan, ia tak berani berbalik.
Gemerisik tirai yang dibuka adalah hal pertama yang ia dengar, berikutnya aroma terapi perlahan menyergap penciumannya. Aruna enggan membuka mata, tadi adalah tidur paling nyaman yang pernah ia alami. Bahkan Aruna kini mulai menghitung dalam hati berharap kantuk akan mendatanginya kembali.“Bagaimana keadaannya?”Dihitungan ke dua puluh lima suara itu memecah konsentrasi Aruna.Miranti batin Aruna mengenali pemilik suara tadi.“
“Ya-ya!terus saja ejek aku sampai kamu puas Tuan!” Potong Aruna sambil meninju bahu Damar, namun sayang Aruna kalah cepat karena berikutnya Damar menangkap pergelangan tangan Aruna dan menarik Aruna hingga jarak mereka semakin dekat, bahkan Aruna dapat merasakan embusan nafas Damar di wajahnya. “Perintah diterima, aku tak akan pernah melepaskanmu sebelum aku puas, Aruna!” Desis Damar. Jarum jam nampaknya lupa untuk bergerak detik itu, karena baik Damar maupun Aruna tiba-tiba saja terhipnotis pada suasana yang mereka buat sendiri. Mereka tak lagi berada di ruang rawat rumah sakit, tidak dikelilingi barang-barang berbau obat dan lantai putih mengkilap tak ada suara dengungan pembicaraan orang-orang yang melewati pintu k