“Kirani!”
Kirani mengerjap bangun ketika merasa bahunya di guncang pelan, matanya segera menyesuaikan dengan penerangan yang kurang dan menyadari ia masih berada di dalam mobil van perusahaan. Seorang pria dengan rambut hitam legam membalut wajah lancip berkulit putih pucat tengah menatap heran Kirani. Dengan segera Kirani bergerak mundur memberi jarak, ia membenahi penampilannya yang tentunya terlihat sangat buruk sekarang.
“Ananta, maaf aku tertidur. Apa Syutingnya sudah selesai?”
Ananta tersenyum dan mengangguk, “Sekitar satu jam lalu,”
“
Pagi menjelang, deburan ombak yang menerpa pantai membangunkan Aruna dari tidur. Kesadarannya belum sempurna, dengan mata yang masih setengah terpejam Aruna bangun dan berjalan menuju jendela membuka tirai lebar-lebar seiring dengan matanya yang juga akhirnya terbuka lebar. Hamparan laut biru dengan pasir putih membuatnya sadar berada di mana, dan membuatnya kembali mengingat apa yang terjadi di hari sebelumnya. Seperti ada dvd player dalam kepala Aruna, semua terputar kembali dengan jelas, tak heran membuat pipi Aruna bersemu merah. “Pagi,”Suara parau orang yang baru bangun tidur menyentak Aruna kembali ke kenyataan, ia tak berani berbalik.
Gemerisik tirai yang dibuka adalah hal pertama yang ia dengar, berikutnya aroma terapi perlahan menyergap penciumannya. Aruna enggan membuka mata, tadi adalah tidur paling nyaman yang pernah ia alami. Bahkan Aruna kini mulai menghitung dalam hati berharap kantuk akan mendatanginya kembali.“Bagaimana keadaannya?”Dihitungan ke dua puluh lima suara itu memecah konsentrasi Aruna.Miranti batin Aruna mengenali pemilik suara tadi.“
“Ya-ya!terus saja ejek aku sampai kamu puas Tuan!” Potong Aruna sambil meninju bahu Damar, namun sayang Aruna kalah cepat karena berikutnya Damar menangkap pergelangan tangan Aruna dan menarik Aruna hingga jarak mereka semakin dekat, bahkan Aruna dapat merasakan embusan nafas Damar di wajahnya. “Perintah diterima, aku tak akan pernah melepaskanmu sebelum aku puas, Aruna!” Desis Damar. Jarum jam nampaknya lupa untuk bergerak detik itu, karena baik Damar maupun Aruna tiba-tiba saja terhipnotis pada suasana yang mereka buat sendiri. Mereka tak lagi berada di ruang rawat rumah sakit, tidak dikelilingi barang-barang berbau obat dan lantai putih mengkilap tak ada suara dengungan pembicaraan orang-orang yang melewati pintu k
Rasanya baru sedetik yang lalu ia terpejam, namun suara bising ponsel membuat Aruna memaksakan diri untuk bangun dan bergegas mengangkat panggilan di pagi buta sebelum seluruh penghuni rumah ini bangun. “Ha—“ “Runa, dimana kalian? Apa kalian baik-baik saja?” Belum sempat Aruna tuntas mengucapkan salam, seseorang di seberang sana memotong Aruna. Aruna mengerutkan kening mengecek caller id di layar ponsel –Damar menepati janjinya memberikan Aruna ponsel baru begitu mereka menginjakan kaki di rumah, dengan satu syarat ja
“Selia, angkat lebih tinggi!” Perintah Aruna dari atas tangga. Hari ini, Aruna serta kedua karyawannya tengah sibuk mendekor ulang ruang tengah Honey Bear menjadi ruang baca dan mendongeng bagi anak-anak. Setelah menonton film You’ve Got Mail entah untuk keberapa kalinya, Aruna tergoda mengubah Honey Bear menjadi duplikasi toko buku dalam film itu. Aruna hanya perlu mengubah tata letak rak buku dan mengosongkan sebagian ruang tengah yang pada mulanya digunakan sebagai tempat mendisplay buku terbaru lalu menggantinya dengan sofa-sofa cozy yang ia temukan di gudang di lantai dua Honey Bear. Dan Sekarang, Aruna berdiri di atas tangga lipat dengan pita keemasan menjuntai dari bahu hingga lantai.
Dua bulan. Enam puluh satu hari dalam hitungan kalender matahari dan Dennis masih dalam keadaan yang sama. Pria itu tetap terlelap dalam koma ditemani mesin-mesin yang menunjang kehidupannya. Sesekali memang anak menantunya datang berkunjung, terutama pada akhir pekan. Tapi hanya satu orang yang selalu datang di setiap hari menemani Dennis, menggunting kuku Dennis ketika kuku-kukunya memanjang dan membacakan kisah dari novel untuk Dennis. “Langkah kakinya menderap, dengan nafas tersengal, sekuat tenaga gadis itu menghunuskan pisau ditangannya tepat di dada pria itu. Dua puluh centi menembus jantung. Darah membuncah keluar. Crashhh!! Anne, menyeringai ketika tangannya berubah merah semerah darah yang mengalir dari tubuh Dwayne.” Tara berhenti membaca dan mengernyit tak suka, “Memangnya bunyi nya akan seperti itu?
Tak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi esok hari, dan tak satu pun yang mampu mengulang hari kemarin. Baik esok maupun hari yang telah lalu semuanya hanyalah angan-angan, berbeda dengan hari ini. Hari ini adalah satu-satunya waktu manusia memiliki kehendak penuh untuk mengendalikan semuanya dengan kedua tangannya. Dan Tara menyukai fakta itu, dimana ia memiliki kendali penuh pada hari ini.Kedua tokoh utama telah hadir, lengkap sudah. Tara menendang tulang kering Damar cukup keras, membuat pria itu terbangun tapi belum cukup sadar untuk memahami situasi. Damar menggeliat dan tersentak ketika menyadari ia terbaring di lantai dengan kaki dan tangan terikat. Beberapa menit lalu Damar mengingat jelas ia berada di rumah salah satu kliennya tapi tiba-tiba saja sekarang ia berada di sebuah ruangan persegi tanpa ventilasi udara yang cukup dan hanya sebuah lampu pijar kecil yang menjadi penerang. Hal yang membuat Damar terkejut adalah, Tara tengah berjongkok di hadapannya de
Sara meregangkan jemari kakinya yang terasa kebas setelah terikat berjam-jam. Ia menyisir kamar perawatan tempatnya, Nenek juga Juna dirawat, mencari keberadaan Aruna. Dua jam lalu, Aruna minta ijin keluar sebentar untuk berbicara dengan dokter kandungannya. Tapi hingga sekarang, anak itu belum juga kembali. Rasa was-was mulai menjalari Sara. Namun tak begitu lama, karena detik itu pula pintu bergeser memperlihatkan Aruna yang masih sama pucat seperti sebelumnya.“Bibi, sudah bangun?” Aruna berlari kecil menghampiri Sara,“Aku tak begitu mudah tidur di tempat asing, berbeda dengan paman dan Nenekmu. Lihat, mereka seperti batu.”Aruna mengikuti pandangan Sara. Juna dan Nenek kini tidur pulas seperti bayi.“Bibi, apa yang kulakukan salah?”Sara tak segera menjawab, ia merapikan rambut Aruna dengan jemarinya, “Sekarang bukan saatnya memilah antara benar atau salah, tanyakan pada hatim
Kirani menatap tangan kiri Genta yang dibungkus perban. Untunglah masih ada salep otot milik Hilma, sehingga dapat sedikit meredakan sakit di tangan Genta. Selama membalut tangan Genta, Kirani tak henti menggumamkan kata maaf dan ditanggapi pria itu dengan delikan tajam.“Apa sebaiknya tak ke rumah sakit?” Tanya Kirani.Genta menatap lekat Kirani, pertanyaan Kirani sama seperti yang gadis itu tanyakan dua tahun lalu ketika ia berkelahi dengan Taracandra. Kalau diingat-ingat Kirani selalu ada untuknya, berbuat baik padanya tak peduli sekasar apapun perlakuan Genta padanya.“Kau ingin aku muncul di berita besok pagi dengan Judul : Genta Adikara, cedera terjepit pintu pagar setelah makan malamnya bersama seorang gadis gagal. Silahkan saja, dan kalau itu terjadi aku tak akan membiarkanmu kabur. Kau harus bertanggungjawab!” Ancam Genta diikuti lengkingan anjing tetangga.“Cih! Salahmu sendiri tiba-tiba muncul dari semak-semak.”“Siapa yang bilang dari semak-semak? Kau tak melihat Rossie?”
Sekuat tenaga Kirani berusaha menepis cengkraman Genta di lengannya, Kirani menatap nanar pria itu. Siapa dirinya hingga berani ikut campur begitu dalam di hidup Kirani? Akhirnya usaha Kirani membuahkan hasil, cengkeraman Genta terlepas, dan Kirani berlari keluar.Genta mengendarai mobil dengan kecepatan terendah yang pernah ia lakukan, karena Genta harus mencari keberadaan Kirani sekarang. Genta yakin gadis itu tak mungkin segera pulang ke rumah, pilihan itu terlalu mudah. Kemungkinan besar Kirani sedang menenangkan diri di suatu tempat, dan Genta tak tahu tempat itu. Selama ini, gadis itu yang selalu mendatanginya. Sehingga Genta tak pernah tahu tempat-tempat yang sering Kirani kunjungi selain rumahnya.Genta mencoba menghubungi ponsel Kirani, dan sekali lagi ia hanya mendengar suara mesin operator. Mata pria itu memicing ketika melihat siluet seorang gadis yang mirip Kirani tengah berjalan cepat di deretan pertokoan, kepala gadis itu menunduk melihat ponsel di tangan. Genta segera
Petang menjelang. Kirani berdiri di halaman rumah menunggu Genta menjemputnya. Hilma dan Gamma sedang menginap di rumah teman mereka, sehingga Kirani bosan sendirian di rumah dan memilih menunggu di luar menikmati udara malam musim panas. Sembari menunggu, Kirani membuka internet melawan rasa takutnya sendiri mencari berita tentang rumor pernikahan Genta Adikara.Pantas saja Tania kehilangan semangatnya tadi pagi. Gadis itu tentu sama terkejutnya dengan Kirani ketika membuka laman internet, trending topic dipenuhi berita pernikahan Genta. Bahkan tak sedikit laman yang menambahkan foto-foto pria itu ketika memasuki toko perhiasan dari berbagai sudut. Statement dari salah seorang pegawai toko perhiasan yang menjadi acuan aktor itu datang untuk membeli sepasang cincin memperkuat isi berita.Kirani terus membuka halaman yang baru hingga tak menyadari Genta telah berdiri di dekatnya. Pria itu mengintip apa yang tengah Kirani lihat melalui ponsel dan tersenyum sendiri setelah mengetahuinya.
“Selamat pagi.”Sapa Tania dan Kirani bersamaan.Semua orang di ruang tim pemasaran menatap heran keduanya. Selain karena kedatangan mereka, Tania dan Kirani juga mengucapkan selamat pagi dengan nada yang sama persis, lemas dan tak bertenaga.“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya salah satu karyawan.“Tania sedih karena idolanya akan menikah. Tapi Kirani, entahlah” jelas Melani, teman dekat Tania.Baik Melani maupun staff yang lain menggelengkan kepala heran pada Tania lalu kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, Hera keluar dari ruangannya. Ia menaruh dua paper bag di atas meja Tania.“Antarkan ini ke apartemen Genta Adikara”Tania mendelik kaget, ia melihat sekitar dan menjatuhkan pilihan pada Kirani yang sedang merapikan berkas di filling cabinet.“Berikan ini pada Genta Adikara!” Perintah Tania dan tak menunggu jawaban Kirani, Tania bergegas ke kamar kecil.“Ia menangis lagi.”Keluh Melani.***Kirani berjalan gontai setelah keluar dari lift. Kepalanya t
“Kirani, sahabat terbaikku. Saat membaca surat ini, apa yang sedang kau lakukan? Tunggu. Aku akan menebaknya. Kau sedang makan kaki ayam sendirian, bukan? Lihat, kau tersenyum, tebakanku benar! Karena aku mengenalmu dengan saaangat baik.Seandainya aku dapat menemanimu menghabiskan kaki ayam dan minum bir, tentu menyenangkan. Sayang sekali, kesempatan itu telah lama berlalu. Kesempatan yang sama tak akan datang lagi. Tapi, mungkin nanti. Kita lihat saja.Kirani, mewakili ibuku aku minta maaf atas apa yang telah ia katakan malam itu. Tidak-tidak, yang benar adalah untuk semua penderitaan yang harus kau lalui selama ini karena perbuatan ibuku, maafkan kami.Aku menyesal, aku terlambat mengetahui semua perlakuan ibuku. Aku tak tahu kalau ibu yang memintamu pergi dari desa, aku juga tak tahu kalau ibu yang menyebar isu buruk mengenai keluargamu. Kumohon meski aku tahu berat untukmu, suatu saat semoga kau dapat memaafkan ibuku.Aku ingin kau mengerti, ibuku sebenarnya perempuan yang kesepi
Ketika menyusuri lorong menuju ruang tim pemasaran, seseorang memanggil Kirani membuat gadis itu berhenti berjalan dan berbalik. Ia melihat Tania berlari menghampirinya dengan ponsel di tangan. Kepanikan kentara sekali di wajah Tania, perut Kirani mulas mengingat kemungkinan seniornya itu akan mengeluhkan hasil kerjanya lagi.“Apa yang kau lakukan malam kemarin?” Tanya Tania segera bahkan ketika nafasnya masih tersengal akibat mengejar Kirani dari lantai bawah.Kirani memiringka kepala ke kiri tak mengerti. Tania berjingkat-jingkat tak sabar lalu segera menunjukan gambar di layar ponselnya.“Gadis yang bersama Genta Adikara itu bukan dirimu, kan?” Tuntut Tania sambil menunjukan gambar bagian samping seorang perempuan yang berdiri di sebelah Genta.Tania memang gadis yang jeli. Bahkan Kirani harus berkali-kali melihat baru meyakini bahwa gadis dalam gambar itu dirinya sendiri. Tapi Tania sepertinya cepat sekali mengenali gadis dalam foto itu Kirani.“Bagaimana mungkin kau pergi bersama
Kirani menarik nafas dan menghembuskannya pelan, sepertinya ini sudah saatnya.“Banyak orang menganggap kelahiranku dua puluh dua tahun lalu sebagai bencana. Karena aku lahir dari rahim perempuan kedua. Ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku, dokter bilang tekanan darah ibu terlalu tinggi tetapi masyarakat mengatakan ibu terkena karma. Ayah yang mengetahui ibu meninggal, segera mengambilku dari asuhan kakek dan nenek. Karena pilihan ayah, istri pertamanya, bunuh diri.”“Semenjak itu, kakak tiriku membenciku. Tak berselang lama, ayah menikah lagi. Istri kedua ayah teman dekat ibu Jevyan, mereka sama-sama membenciku karena aku menyebabkan adik tiriku kecelakaan saat balita. Sejak saat itu, seluruh desa memanggilku anak pembawa sial. Panggilan itu berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi keluarga kami.”“Ayah memenangkan lotere. Benar-benar seperti dalam dongeng, dengan uang hadiah itu ayah membeli sebuah kapal besar untuk menangkap ikan. Satu kapal bertambah menjadi belasan. Pers
Hingga petang selanjutnya, Genta tak dapat bersikap tenang. Ketika tak memiliki kegiatan ia akan berjalan hilir mudik tanpa tujuan membuat setiap orang yang berpapasan dengannya akan menatap heran pria itu. Seperti kali ini, Genta berjalan keluar masuk setiap ruangan dalam apartemennya mengambil satu barang lalu menaruhnya di tempat lain. Tak berapa lama Genta akan mengambil kembali dan menaruh nya di tempat semula.Genta merasa ia sedang terserang sindrom khawatir berlebihan. Berkat peristiwa di hotel kemarin, bayangan Kirani tak pernah lepas dari ingatannya. Ia takut terjadi hal buruk pada gadis itu, selain itu ada satu hal yang terus menghantui pikirannya sejak kemarin malam. Dan Genta tak dapat menahan diri untuk tak menanyakannya langsung pada Kirani.Dengan langkah cepat Genta menyambar jaket serta kunci mobil, begitu membuka pintu Genta terkejut karena Kirani telah berdiri di sana. Kirani sama terkejutnya dengan Genta karena pintu telah terbuka bahkan ketika ia belum menekan be
Genta duduk menunggu di depan kamar Serena, kedua tangannya bertumpu di atas siku. Sesekali Genta melirik jarum jam, menit-menit terasa berlalu begitu lambat. Kalimat hinaan Julianna untuk Kirani tak henti berdengung di telinga Genta. Genta tak pernah membayangkan Julianna yang biasanya angggun dan elegan sanggup menjatuhkan harga dirinya sendiri, apapun yang terjadi diantara kedua keluarga itu tentu bukan hal biasa.Kirani.Genta menangkupkan kedua tangan menutupi wajahnya. Gadis itu tak menunjukkan ekspresi apapun setelah disiram air. Seakan ia telah sering menerima perlakuan kasar seperti itu. Ada yang salah, tak seharusnya seseorang yang dihina tetap diam dan menerima seakan-akan mereka pantas mendapatkan hinaan itu. Serena keluar dari kamar sendirian, ia lalu menutup pintu di belakangnya perlahan tanpa suara.“Ia sedang membersihkan diri.” Kata Serena sambil mengambil duduk di samping Genta.“Bagaimana keadaannya?”“Entahlah.”Kening Genta berkerut dalam dan Serena melanjutkan de