Gemerisik tirai yang dibuka adalah hal pertama yang ia dengar, berikutnya aroma terapi perlahan menyergap penciumannya. Aruna enggan membuka mata, tadi adalah tidur paling nyaman yang pernah ia alami. Bahkan Aruna kini mulai menghitung dalam hati berharap kantuk akan mendatanginya kembali.
“Bagaimana keadaannya?”
Dihitungan ke dua puluh lima suara itu memecah konsentrasi Aruna.
Miranti batin Aruna mengenali pemilik suara tadi.
“
“Ya-ya!terus saja ejek aku sampai kamu puas Tuan!” Potong Aruna sambil meninju bahu Damar, namun sayang Aruna kalah cepat karena berikutnya Damar menangkap pergelangan tangan Aruna dan menarik Aruna hingga jarak mereka semakin dekat, bahkan Aruna dapat merasakan embusan nafas Damar di wajahnya. “Perintah diterima, aku tak akan pernah melepaskanmu sebelum aku puas, Aruna!” Desis Damar. Jarum jam nampaknya lupa untuk bergerak detik itu, karena baik Damar maupun Aruna tiba-tiba saja terhipnotis pada suasana yang mereka buat sendiri. Mereka tak lagi berada di ruang rawat rumah sakit, tidak dikelilingi barang-barang berbau obat dan lantai putih mengkilap tak ada suara dengungan pembicaraan orang-orang yang melewati pintu k
Rasanya baru sedetik yang lalu ia terpejam, namun suara bising ponsel membuat Aruna memaksakan diri untuk bangun dan bergegas mengangkat panggilan di pagi buta sebelum seluruh penghuni rumah ini bangun. “Ha—“ “Runa, dimana kalian? Apa kalian baik-baik saja?” Belum sempat Aruna tuntas mengucapkan salam, seseorang di seberang sana memotong Aruna. Aruna mengerutkan kening mengecek caller id di layar ponsel –Damar menepati janjinya memberikan Aruna ponsel baru begitu mereka menginjakan kaki di rumah, dengan satu syarat ja
“Selia, angkat lebih tinggi!” Perintah Aruna dari atas tangga. Hari ini, Aruna serta kedua karyawannya tengah sibuk mendekor ulang ruang tengah Honey Bear menjadi ruang baca dan mendongeng bagi anak-anak. Setelah menonton film You’ve Got Mail entah untuk keberapa kalinya, Aruna tergoda mengubah Honey Bear menjadi duplikasi toko buku dalam film itu. Aruna hanya perlu mengubah tata letak rak buku dan mengosongkan sebagian ruang tengah yang pada mulanya digunakan sebagai tempat mendisplay buku terbaru lalu menggantinya dengan sofa-sofa cozy yang ia temukan di gudang di lantai dua Honey Bear. Dan Sekarang, Aruna berdiri di atas tangga lipat dengan pita keemasan menjuntai dari bahu hingga lantai.
Dua bulan. Enam puluh satu hari dalam hitungan kalender matahari dan Dennis masih dalam keadaan yang sama. Pria itu tetap terlelap dalam koma ditemani mesin-mesin yang menunjang kehidupannya. Sesekali memang anak menantunya datang berkunjung, terutama pada akhir pekan. Tapi hanya satu orang yang selalu datang di setiap hari menemani Dennis, menggunting kuku Dennis ketika kuku-kukunya memanjang dan membacakan kisah dari novel untuk Dennis. “Langkah kakinya menderap, dengan nafas tersengal, sekuat tenaga gadis itu menghunuskan pisau ditangannya tepat di dada pria itu. Dua puluh centi menembus jantung. Darah membuncah keluar. Crashhh!! Anne, menyeringai ketika tangannya berubah merah semerah darah yang mengalir dari tubuh Dwayne.” Tara berhenti membaca dan mengernyit tak suka, “Memangnya bunyi nya akan seperti itu?
Tak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi esok hari, dan tak satu pun yang mampu mengulang hari kemarin. Baik esok maupun hari yang telah lalu semuanya hanyalah angan-angan, berbeda dengan hari ini. Hari ini adalah satu-satunya waktu manusia memiliki kehendak penuh untuk mengendalikan semuanya dengan kedua tangannya. Dan Tara menyukai fakta itu, dimana ia memiliki kendali penuh pada hari ini.Kedua tokoh utama telah hadir, lengkap sudah. Tara menendang tulang kering Damar cukup keras, membuat pria itu terbangun tapi belum cukup sadar untuk memahami situasi. Damar menggeliat dan tersentak ketika menyadari ia terbaring di lantai dengan kaki dan tangan terikat. Beberapa menit lalu Damar mengingat jelas ia berada di rumah salah satu kliennya tapi tiba-tiba saja sekarang ia berada di sebuah ruangan persegi tanpa ventilasi udara yang cukup dan hanya sebuah lampu pijar kecil yang menjadi penerang. Hal yang membuat Damar terkejut adalah, Tara tengah berjongkok di hadapannya de
Sara meregangkan jemari kakinya yang terasa kebas setelah terikat berjam-jam. Ia menyisir kamar perawatan tempatnya, Nenek juga Juna dirawat, mencari keberadaan Aruna. Dua jam lalu, Aruna minta ijin keluar sebentar untuk berbicara dengan dokter kandungannya. Tapi hingga sekarang, anak itu belum juga kembali. Rasa was-was mulai menjalari Sara. Namun tak begitu lama, karena detik itu pula pintu bergeser memperlihatkan Aruna yang masih sama pucat seperti sebelumnya.“Bibi, sudah bangun?” Aruna berlari kecil menghampiri Sara,“Aku tak begitu mudah tidur di tempat asing, berbeda dengan paman dan Nenekmu. Lihat, mereka seperti batu.”Aruna mengikuti pandangan Sara. Juna dan Nenek kini tidur pulas seperti bayi.“Bibi, apa yang kulakukan salah?”Sara tak segera menjawab, ia merapikan rambut Aruna dengan jemarinya, “Sekarang bukan saatnya memilah antara benar atau salah, tanyakan pada hatim
Musik instrumental mengalun indah, menemani sore Aruna yang saat ini tengah duduk di taman belakang rumah. Aruna sekarang sering memutar musik-musik yang menenangkan, selain bagus untuk perkembangan janinnya juga untuk mendamaikan perasaannya sendiri.“Water Lily.”Aruna menoleh ke arah suara dan menemukan Haris berdiri di ambang pintu bersama Juna. Haris membungkuk hormat sebelum berjalan mendekat. Juna tak mencegah namun ia juga tak beranjak dari tempatnya, tetap mengawasi apa yang akan dilakukan orang Damar pada keponakannya.“Pak Haris?”Haris tersenyum tanpa perlu menunggu dipersilahkan, ia sudah duduk di samping Aruna.“Ketika mengandung Damar, Mbak Sasmita juga senang mendengarkan Water Lily. Musik bagus untuk perkembangan janin.”Haris berdeham melihat keterkejutan di wajah Aruna. Keputusannya telah bulat. Ia akan mengembalikan jantung kediaman Daniswara, meski itu art
Damar mengemudikan mobilnya dengan bar-bar setelah Kanita menghubunginya. Dennis sadar. Akhirnya pria itu bangun juga. Berjuta pertanyaan sudah Damar kumpulkan dan ia urutkan dalam hati. Semakin hari, Damar semakin menyadari ia tak pantas menanggung beban ini sendirian. Ia harus membuat ayahnya juga ikut menanggungnya. Damar mendesis kesal ketika lampu merah menghadang jalannya. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya tak sabar di atas kemudi.Dering ponsel membuat Damar terkesiap, lagi-lagi ia dibuat terkejut ketika nama 'First Love' muncul di layar. Pikiran buruk melintas tanpa permisi dalam kepalanya, Damar takut terjadi sesuatu pada Aruna.“Damar,” sapa Aruna pelan, terdengar ragu-ragu memanggil namanya.“Ada apa Runa, apa terjadi sesuatu padamu?”Terdengar helaan nafas berat, “Tidak, aku-aku hanya ingin menghubungimu.”Seringaian menghiasi wajah lelah Damar. Otaknya sangat pintar dan cepat tanggap memahami situasi. Sekarang sudah pukul tujuh le