Dua bulan. Enam puluh satu hari dalam hitungan kalender matahari dan Dennis masih dalam keadaan yang sama. Pria itu tetap terlelap dalam koma ditemani mesin-mesin yang menunjang kehidupannya. Sesekali memang anak menantunya datang berkunjung, terutama pada akhir pekan. Tapi hanya satu orang yang selalu datang di setiap hari menemani Dennis, menggunting kuku Dennis ketika kuku-kukunya memanjang dan membacakan kisah dari novel untuk Dennis.
“Langkah kakinya menderap, dengan nafas tersengal, sekuat tenaga gadis itu menghunuskan pisau ditangannya tepat di dada pria itu. Dua puluh centi menembus jantung. Darah membuncah keluar. Crashhh!! Anne, menyeringai ketika tangannya berubah merah semerah darah yang mengalir dari tubuh Dwayne.” Tara berhenti membaca dan mengernyit tak suka, “Memangnya bunyi nya akan seperti itu?
Tak ada yang dapat menebak apa yang akan terjadi esok hari, dan tak satu pun yang mampu mengulang hari kemarin. Baik esok maupun hari yang telah lalu semuanya hanyalah angan-angan, berbeda dengan hari ini. Hari ini adalah satu-satunya waktu manusia memiliki kehendak penuh untuk mengendalikan semuanya dengan kedua tangannya. Dan Tara menyukai fakta itu, dimana ia memiliki kendali penuh pada hari ini.Kedua tokoh utama telah hadir, lengkap sudah. Tara menendang tulang kering Damar cukup keras, membuat pria itu terbangun tapi belum cukup sadar untuk memahami situasi. Damar menggeliat dan tersentak ketika menyadari ia terbaring di lantai dengan kaki dan tangan terikat. Beberapa menit lalu Damar mengingat jelas ia berada di rumah salah satu kliennya tapi tiba-tiba saja sekarang ia berada di sebuah ruangan persegi tanpa ventilasi udara yang cukup dan hanya sebuah lampu pijar kecil yang menjadi penerang. Hal yang membuat Damar terkejut adalah, Tara tengah berjongkok di hadapannya de
Sara meregangkan jemari kakinya yang terasa kebas setelah terikat berjam-jam. Ia menyisir kamar perawatan tempatnya, Nenek juga Juna dirawat, mencari keberadaan Aruna. Dua jam lalu, Aruna minta ijin keluar sebentar untuk berbicara dengan dokter kandungannya. Tapi hingga sekarang, anak itu belum juga kembali. Rasa was-was mulai menjalari Sara. Namun tak begitu lama, karena detik itu pula pintu bergeser memperlihatkan Aruna yang masih sama pucat seperti sebelumnya.“Bibi, sudah bangun?” Aruna berlari kecil menghampiri Sara,“Aku tak begitu mudah tidur di tempat asing, berbeda dengan paman dan Nenekmu. Lihat, mereka seperti batu.”Aruna mengikuti pandangan Sara. Juna dan Nenek kini tidur pulas seperti bayi.“Bibi, apa yang kulakukan salah?”Sara tak segera menjawab, ia merapikan rambut Aruna dengan jemarinya, “Sekarang bukan saatnya memilah antara benar atau salah, tanyakan pada hatim
Musik instrumental mengalun indah, menemani sore Aruna yang saat ini tengah duduk di taman belakang rumah. Aruna sekarang sering memutar musik-musik yang menenangkan, selain bagus untuk perkembangan janinnya juga untuk mendamaikan perasaannya sendiri.“Water Lily.”Aruna menoleh ke arah suara dan menemukan Haris berdiri di ambang pintu bersama Juna. Haris membungkuk hormat sebelum berjalan mendekat. Juna tak mencegah namun ia juga tak beranjak dari tempatnya, tetap mengawasi apa yang akan dilakukan orang Damar pada keponakannya.“Pak Haris?”Haris tersenyum tanpa perlu menunggu dipersilahkan, ia sudah duduk di samping Aruna.“Ketika mengandung Damar, Mbak Sasmita juga senang mendengarkan Water Lily. Musik bagus untuk perkembangan janin.”Haris berdeham melihat keterkejutan di wajah Aruna. Keputusannya telah bulat. Ia akan mengembalikan jantung kediaman Daniswara, meski itu art
Damar mengemudikan mobilnya dengan bar-bar setelah Kanita menghubunginya. Dennis sadar. Akhirnya pria itu bangun juga. Berjuta pertanyaan sudah Damar kumpulkan dan ia urutkan dalam hati. Semakin hari, Damar semakin menyadari ia tak pantas menanggung beban ini sendirian. Ia harus membuat ayahnya juga ikut menanggungnya. Damar mendesis kesal ketika lampu merah menghadang jalannya. Ia mengetuk-ngetuk jemarinya tak sabar di atas kemudi.Dering ponsel membuat Damar terkesiap, lagi-lagi ia dibuat terkejut ketika nama 'First Love' muncul di layar. Pikiran buruk melintas tanpa permisi dalam kepalanya, Damar takut terjadi sesuatu pada Aruna.“Damar,” sapa Aruna pelan, terdengar ragu-ragu memanggil namanya.“Ada apa Runa, apa terjadi sesuatu padamu?”Terdengar helaan nafas berat, “Tidak, aku-aku hanya ingin menghubungimu.”Seringaian menghiasi wajah lelah Damar. Otaknya sangat pintar dan cepat tanggap memahami situasi. Sekarang sudah pukul tujuh le
Benar-salah, semua itu hanya masalah kata. Bagi seseorang kebenaran namun bagi orang lain bisa jadi kesalahan. Hal yang dianggap benar di suatu tempat bisa saja salah di tempat lain. Maka pantaskah seseorang dinyatakan bersalah tanpa melihat latar belakang ia mengambil keputusan yang bagi umum ‘salah’? Mungkin saja baginya, apa yang ia pilih dan ia lakukan adalah hal benar untuknya. Mungkin itu adalah pilihan satu-satunya yang ia miliki untuk tetap bertahan, atau sesungguhnya sejak kecil hanya ‘kesalahan’ itu yang telah ditanamkan dalam dirinya, dari lingkungan tempatnya tumbuh dan berkembang ia mempelajari nilai-nilai itu. Jadi mungkin saja yang bersalah di sini adalah masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat-lah yang mengajarkan pemikiran ‘salah’ itu padanya, membuat ia tak tahu apa yang ‘benar’ yang seharusnya ia lakukanLalu, sebenarnya siapakah yang pantas disalahkan?YYYAnak itu merangkak menggapai-gapai ka
Relativitas. Bagi orang lain mungkin menarik tapi belum tentu bagi sebagian yang lain. Sama halnya dengan sepatu yang sekarang bertengger apik di atas display. Liana, Kepala Divisi Desain berkeras menyatakan desain sepatunya akan menjadi hits musim ini. Dengan hiasan pita-pita di tumit serta desain rumit di bagian depan akan membuat sepatu itu berbeda dibandingkan sepatu dari merk lainnya.Berbeda dengan Hera, sang Ketua Tim Pemasaran. Perempuan dengan rambut ikal sebahu hasil salon kecantikan ternama itu tetap pada pendapatnya bahwa sepatu yang Liana presentasikan tak akan laku di pasaran. Sepatu itu terlalu memakan biaya, membuat harga nya tinggi sehingga hanya segelintir orang yang akan membelinya mengingat ekonomi global tengah krisis.“Lebih baik singkirkan desain kekanak-kanakanmu, tampilkan yang lebih realistis,” tandas Hera tak pelak membuat muka Liana pucat pasi.Kirani mengerut di kursinya. Gadis itu tak begitu mengerti apa yang orang-orang tadi perdebatkan, jelas karena Kir
Lantai tiga yang menjadi markas tim pemasaran QTy Shoes pagi itu lebih ramai dari biasanya. Seluruh anggota tim berkumpul menjadi satu di meja pantry memperbincangkan berita terbaru, QTy Shoes akhirnya mendapatkan brand ambassador yang baru untuk musim gugur tahun ini.“Jangan biarkan ia kecewa, terakhir Handy Shoes membuatnya murka dan sejak saat itu ia tak pernah menggunakan produk lokal lagi hingga ia memilih Qty,” jelas Hera.“Kudengar ia sangat perfeksionis. Apa tidak sebaiknya kita pertimbangkan artis yang lain saja?” usul Tania , perempuan yang hari ini kacamatanya berwarna merah muda.Hera dan beberapa karyawan lain menggeleng tak setuju, dan Bernandy asissten Hera menambahkan,“Mungkin akan sulit menghadapi artis sepertinya, tapi ini kesempatan yang bagus. Setelah rumor yang menimpanya dua tahun lalu, dan setelah ia kembali dari luar negeri, karirnya sekarang kembali cemerlang setelah bermain di drama See The Sky. Seluruh pasang mata di Asia Tenggara tengah memerhatikannya, s
Suasana D’Light café petang itu lebih ramai dibanding sebelumnya, bagaimana tidak satu angkatan Sekolah Menengah Pelita tengah berkumpul di sana. Dalam kartu identitas, usia mereka memang dituliskan telah berkepala dua, tapi lihatlah tingkah mereka kini jauh dari kata dewasa. Bertemu dengan teman semasa remaja tanpa sadar membuat mereka kembali bertingkah seperti anak belasan tahun, tanpa malu saling ejek disertai teriakan heboh membuat setiap ibu hamil yang mendengar dapat melahirkan kapan saja.“Kirani, apa kamu tidak ingin seperti kami?” Jamal, pria berambut klimis yang duduk di seberang Kirani tiba-tiba melemparkan pertanyaan yang membuat Kirani berhenti tertawa.“A-apa maksudmu?” Kirani balik bertanya, pura-pura tak mengerti kemana arah pertanyaan Jamal.“Hei… jangan pura-pura tidak mengerti, sampai kapan kamu mau membiarkan Jevyan menunggu?”Kirani terdiam dan melirik Jevyan yang tengah berbincang di meja bar dengan Damian, mantan ketua tim basket putra. Kirani tak buta pada per