Suasana D’Light café petang itu lebih ramai dibanding sebelumnya, bagaimana tidak satu angkatan Sekolah Menengah Pelita tengah berkumpul di sana. Dalam kartu identitas, usia mereka memang dituliskan telah berkepala dua, tapi lihatlah tingkah mereka kini jauh dari kata dewasa. Bertemu dengan teman semasa remaja tanpa sadar membuat mereka kembali bertingkah seperti anak belasan tahun, tanpa malu saling ejek disertai teriakan heboh membuat setiap ibu hamil yang mendengar dapat melahirkan kapan saja.“Kirani, apa kamu tidak ingin seperti kami?” Jamal, pria berambut klimis yang duduk di seberang Kirani tiba-tiba melemparkan pertanyaan yang membuat Kirani berhenti tertawa.“A-apa maksudmu?” Kirani balik bertanya, pura-pura tak mengerti kemana arah pertanyaan Jamal.“Hei… jangan pura-pura tidak mengerti, sampai kapan kamu mau membiarkan Jevyan menunggu?”Kirani terdiam dan melirik Jevyan yang tengah berbincang di meja bar dengan Damian, mantan ketua tim basket putra. Kirani tak buta pada per
Kirani menatap menembus jendela kaca mobil, memerhatikan tetesan air hujan yang membasahi kaca. Malam ini, titik-titik air hujan nampak lebih menarik dibandingkan pria yang duduk di balik kursi pengemudi. Setelah mengetahui Genta Adikara telah kembali dari studinya di luar negeri, Kirani sempat membayangkan adegan-adegan pertemuan mereka. Tapi diantara sekian banyak gambaran yang Kirani reka, tak pernah Kirani membayangkan Genta akan bersikap seakan-akan mereka orang asing yang pertama kali bertemu.Lama tidak bertemuJantungnya seperti akan melompat dari tempatnya ketika melihat Genta Adikara berdiri hanya beberapa langkah di depannya. Kirani juga yakin, selama sepersekian detik pria itu melihatnya. Tapi kalimat selanjutnya membuat Kirani mengerutkan kening heran, sapaan itu bukan Genta berikan untuknya melainkan Jevyan.“Kapan kamu pulang dari Hokaido?” Genta memecah keheningan ketika mereka tiba di lampu merah.“Minggu lalu,”jawab Jevyan singkat, wajahnya ditekuk seribu sejak memas
“Aku mencintai Kirani,” tegas Jevyan.“Jevyan, apa kamu sadar apa yang baru kamu katakan?” tanya Genta, urat-urat di pelipisnya bermunculan bahkan telinganya kini memerah menahan amarah.“Sepenuhnya aku sadar atas apa yang aku katakan. Aku mencintai Kirani, sejak dulu hingga kini, dan aku mohon, kamu jangan ikut campur.”Jevyan menaruh kaleng bir ke atas meja, ia menegakan duduknya dan mencoba tak menatap langsung mata Genta, bagaimanapun aura Genta cukup memperngaruhi nyalinya sekarang.“Aku tak akan ikut campur jika ini tak ada kaitannya dengan adikku. Ingat kau dan Serena—““Aku tahu, aku akan segera menyelesaikan semuanya dengan Serena.” Tandas Jevyan, “Kau berhak menyebutku brengsek, tapi sejak awal aku tak pernah menginginkan perjodohan ini, juga Serena. Kau juga tahu itu. Selain itu, saat meninggalkan negeri ini aku sangat menyesal telah melepaskan Kirani, dan kali ini aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama.”Genta mengurut cuping hidungnya, memang mudah jika semua sesuai
Sesuai perkiraan Genta, di kepala Kirani kini bersimpangan berbagai pertanyaan. Begitu banyaknya hingga Kirani kebingungan untuk memilih pertanyaan yang mana yang harus ditanyakan terlebih dulu. Selama sepersekian detik Kirani terpaku memerhatikan Genta yang menunggunya dengan sabar. Dengan sabar. Aneh. Dua kata itu sebelumnya tak pernah sesuai bagi Genta jika berhubungan dengan Kirani. Selama di luar negeri apakah ada hal yang telah merubah pria itu? Gumam Kirani dalam hati.Perubahan. Sejak semalam Kirani menyadari perasaan yang ia miliki untuk pria di depannya tak pernah berubah. Sesuatu yang janggal terjadi bagi Kirani. Perasaan layaknya bunga yang harus dirawat agar dapat hidup dan tumbuh, tapi hal yang sebaliknya berlaku bagi Kirani. Kirani tak pernah mencoba merawat perasaannya untuk Genta. Selama dua tahun terakhir ia bukan memendam perasaan itu, tetapi sejak hari keberangkatan Genta Adikara ke kamp militer Kirani telah melepaskan semua perasaannya untuk pria itu.Melepaskan d
Gamma tertawa kegirangan sambil berlari mengelilingi seisi rumah, kedua tangannya erat memeluk flat shoes milik Kirani.“Gamma, kembalikan sepatuku! Kau bisa merusaknya, tahu.” Pekik Kirani geram, rumah mereka tak begitu besar tapi karena kaki Gamma yang begitu gesit membuat Kirani kesulitan mengejar balita itu.Gamma tak menjawab, ia tetap tertawa sambil sesekali meleletkan lidah meledek lari Kirani yang lambat. Kirani melirik jarum jam, dua jam lagi Genta Adikara akan menjemputnya dan hanya sepatu itu yang pantas Kirani gunakan bersama gaun pemberian Genta. Kirani menjatuhkan diri ke atas sofa, ia menyerah mengejar Gamma yang sekarang bersembunyi di kamar depan, mungkin ganti mengganggu ibunya yang sedang bekerja.“Aku benar-benar gila.” Lirih Kirani seraya mengusap peluh akibat berlari mengejar Gamma.Genta Adikara, sepertinya pria itu memang kerasukan hantu dari luar negeri. Karena dalam keadaan normal sangat tak mungkin Genta mengajak Kirani menghadiri pesta keluarganya, bahkan m
“Mam-a!Blrrrph!”“Ya Tuhan Ares, lihat kau membasahi baju Ayah.” Keluh Damar seraya mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan noda liur di jasnya.Sementara itu, Ares Daniswara, sang pelaku utama tertawa senang melihat wajah ayahnya gusar. Belum merasa puas Ares mulai menarik simpul dasi di leher Damar. Jemari bulatnya cekatan merusak dasi yang ayahnya kenakan.“Ares, apa yang kau lakukan?”Lagi-lagi Damar mengeluh, Ares membalas Damar dengan cengiran lebar tanpa suara memperlihatkan gigi susu nya yang baru tumbuh sedikit.“Hah, kau selalu seperti ini. Minta maaf dengan senyum manis seperti itu, kau tahu aku akan kalah bukan?”Damar menjawil hidung Ares membuat bayi itu tertawa geli dan menggeliat-geliat senang dalam gendongannya. Damar lalu melihat jarum jam tangannya dan melihat sekeliling. Lounge hotel mewah itu mulai ramai, tak heran sepuluh menit lagi acara akan dimulai. Damar menjulurkan leher mencari sosok yang dikenalnya. Hanya satu dua yang ia kenal dan Damar malas menyapa me
Kirani membungkuk dalam di atas wastafel. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya, beruntung tak ada siapapun di kamar kecil ini, sehingga tak akan ada yang menatapnya jijik atau ingin tahu. Gadis itu membasuh muka dan menarik kasar kertas tisu untuk mengeringkan wajahnya. Seorang perempuan dengan make up yang telah luntur memandang sendu Kirani dari dalam cermin. Perempuan itu tak menangis, tapi Kirani tahu perempuan itu sedang ingin menangis.“Semuanya telah berlalu. Ini hanya ketakutanmu yang berlebihan. Kau hanya terlalu takut, Kirani. Kau lebih kuat sekarang, Kirani, kau lebih kuat dari yang kau kira.” Rapal Kirani sambil menatap dalam mata perempuan di balik cermin.Perlahan senyum terbit di wajah perempuan itu. Meski sebuah senyuman lemah, tak apa. Setidaknya perempuan itu tak nampak seburuk tadi.Kirani tertegun begitu membuka pintu kamar mandi. Jevyan telah berdiri menunggunya. Jevyan menyandarkan bahu ke dinding dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Pria itu mengenakan
“Kirani , senyummu cantik.”Lagi-lagi pendengaran Kirani terganggu. Kirani tak mendengar apapun selain detak jantungnya yang bergemuruh kencang. Matanya menatap lurus-lurus Genta yang juga tersenyum saat ini. Haruskah Kirani membalasnya dengan senyummu juga cantik, Genta ? Ide gila! Sebagai pengalihan rasa gugup Kirani merapikan rok gaunnya yang sama sekali tak kusut.Sementara itu, memerlukan beberapa detik bagi Genta menyadari bahwa mulutnya-lah yang mengucapkan kalimat pujian untuk Kirani. Bahkan Genta baru menyadari hingga detik ini ia masih tersenyum memerhatikan Kirani, seolah ada dua Genta dalam tubuhnya sekarang. Beruntung tak berapa lama salah seorang pegawai pamannya menghampiri.“Genta Adikara , Tuan Besar memanggil anda.”Orang itu merentangkan tangan kanannya meminta Genta mengikutinya. Genta nampak enggan meninggalkan Kirani tapi Kirani mengangkat kedua tangan menandakan ia tak apa ditinggalkan sendiri.Sepeninggal Genta, Kirani berkeliling ruangan mencari tempat duduk y