Hidup. Sebuah kata sederhana yang ketika semasa kecil dulu ia pahami sebatas kegiatan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, karena ketika seseorang dinyatakan tak memiliki kehidupan lagi maka indikasi pertama adalah menghilangnya fungsi pernafasan itu sendiri. Di usianya kini, Aruna akhirnya memahami hidup bukanlah sebatas menyerap dan mengeluarkan udara melalui lubang hidung. Hidup adalah hidup, dimana bukan hanya menghitung perputaran jarum jam dari angka dua belas untuk kembali lagi di angka yang sama atau menunggu berjalannya dari hari senin hingga hari minggu, lebih dari itu semua. Ada asa yang diperjuangkan, ada harapan bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini.
Aruna menutup krim wajah lalu menaruhnya kembali di tempatnya. Ia menatap lurus bayangan yang terpant
Mereka berlari saling mengejar di bibir pantai seperti anak kecil. Terakhir kali Damar berhasil membuat kaus bagian depan Aruna basah kuyup dengan air laut, kini giliran Aruna membalasnya. Dengan sekuat tenaga ia menghentakkan kaki di atas permukaan pasir mengejar Damar. Pria itu tergelak melihat tingkah Aruna yang sesekali kehilangan keseimbangan karena permukaan pantai yang tak stabil. “Berhenti di sana!” Teriak Aruna nyaring. Damar berjalan mundur sambil terus menertawakan Aruna, “ Menyerah saja, Runa! Kamu kalah, malam ini giliranmu tidur di sofa!”Aruna menggeram, menyesali ide bodoh yang diusulkannya tadi. Meski telah menikah b
“Kirani!” Kirani mengerjap bangun ketika merasa bahunya di guncang pelan, matanya segera menyesuaikan dengan penerangan yang kurang dan menyadari ia masih berada di dalam mobil van perusahaan. Seorang pria dengan rambut hitam legam membalut wajah lancip berkulit putih pucat tengah menatap heran Kirani. Dengan segera Kirani bergerak mundur memberi jarak, ia membenahi penampilannya yang tentunya terlihat sangat buruk sekarang. “Ananta, maaf aku tertidur. Apa Syutingnya sudah selesai?” Ananta tersenyum dan mengangguk, “Sekitar satu jam lalu,”“
Pagi menjelang, deburan ombak yang menerpa pantai membangunkan Aruna dari tidur. Kesadarannya belum sempurna, dengan mata yang masih setengah terpejam Aruna bangun dan berjalan menuju jendela membuka tirai lebar-lebar seiring dengan matanya yang juga akhirnya terbuka lebar. Hamparan laut biru dengan pasir putih membuatnya sadar berada di mana, dan membuatnya kembali mengingat apa yang terjadi di hari sebelumnya. Seperti ada dvd player dalam kepala Aruna, semua terputar kembali dengan jelas, tak heran membuat pipi Aruna bersemu merah. “Pagi,”Suara parau orang yang baru bangun tidur menyentak Aruna kembali ke kenyataan, ia tak berani berbalik.
Gemerisik tirai yang dibuka adalah hal pertama yang ia dengar, berikutnya aroma terapi perlahan menyergap penciumannya. Aruna enggan membuka mata, tadi adalah tidur paling nyaman yang pernah ia alami. Bahkan Aruna kini mulai menghitung dalam hati berharap kantuk akan mendatanginya kembali.“Bagaimana keadaannya?”Dihitungan ke dua puluh lima suara itu memecah konsentrasi Aruna.Miranti batin Aruna mengenali pemilik suara tadi.“
“Ya-ya!terus saja ejek aku sampai kamu puas Tuan!” Potong Aruna sambil meninju bahu Damar, namun sayang Aruna kalah cepat karena berikutnya Damar menangkap pergelangan tangan Aruna dan menarik Aruna hingga jarak mereka semakin dekat, bahkan Aruna dapat merasakan embusan nafas Damar di wajahnya. “Perintah diterima, aku tak akan pernah melepaskanmu sebelum aku puas, Aruna!” Desis Damar. Jarum jam nampaknya lupa untuk bergerak detik itu, karena baik Damar maupun Aruna tiba-tiba saja terhipnotis pada suasana yang mereka buat sendiri. Mereka tak lagi berada di ruang rawat rumah sakit, tidak dikelilingi barang-barang berbau obat dan lantai putih mengkilap tak ada suara dengungan pembicaraan orang-orang yang melewati pintu k
Rasanya baru sedetik yang lalu ia terpejam, namun suara bising ponsel membuat Aruna memaksakan diri untuk bangun dan bergegas mengangkat panggilan di pagi buta sebelum seluruh penghuni rumah ini bangun. “Ha—“ “Runa, dimana kalian? Apa kalian baik-baik saja?” Belum sempat Aruna tuntas mengucapkan salam, seseorang di seberang sana memotong Aruna. Aruna mengerutkan kening mengecek caller id di layar ponsel –Damar menepati janjinya memberikan Aruna ponsel baru begitu mereka menginjakan kaki di rumah, dengan satu syarat ja
“Selia, angkat lebih tinggi!” Perintah Aruna dari atas tangga. Hari ini, Aruna serta kedua karyawannya tengah sibuk mendekor ulang ruang tengah Honey Bear menjadi ruang baca dan mendongeng bagi anak-anak. Setelah menonton film You’ve Got Mail entah untuk keberapa kalinya, Aruna tergoda mengubah Honey Bear menjadi duplikasi toko buku dalam film itu. Aruna hanya perlu mengubah tata letak rak buku dan mengosongkan sebagian ruang tengah yang pada mulanya digunakan sebagai tempat mendisplay buku terbaru lalu menggantinya dengan sofa-sofa cozy yang ia temukan di gudang di lantai dua Honey Bear. Dan Sekarang, Aruna berdiri di atas tangga lipat dengan pita keemasan menjuntai dari bahu hingga lantai.
Dua bulan. Enam puluh satu hari dalam hitungan kalender matahari dan Dennis masih dalam keadaan yang sama. Pria itu tetap terlelap dalam koma ditemani mesin-mesin yang menunjang kehidupannya. Sesekali memang anak menantunya datang berkunjung, terutama pada akhir pekan. Tapi hanya satu orang yang selalu datang di setiap hari menemani Dennis, menggunting kuku Dennis ketika kuku-kukunya memanjang dan membacakan kisah dari novel untuk Dennis. “Langkah kakinya menderap, dengan nafas tersengal, sekuat tenaga gadis itu menghunuskan pisau ditangannya tepat di dada pria itu. Dua puluh centi menembus jantung. Darah membuncah keluar. Crashhh!! Anne, menyeringai ketika tangannya berubah merah semerah darah yang mengalir dari tubuh Dwayne.” Tara berhenti membaca dan mengernyit tak suka, “Memangnya bunyi nya akan seperti itu?