“Aruna, Presdir memanggilmu.”
Kalimat itu mendengung menemani langkah Aruna menuju ruang pemilik Osric Corp. Titik-titik kecil keringat muncul di pelipis bukan karena cuaca panas, melainkan karena rasa gugup dan takut. Aruna gugup karena ia hanya seorang staff internship yang tentunya tak memiliki alasan kuat hingga membuatnya dapat berhadapan langsung dengan orang seperti Dennis Daniswara. Dan gadis itu takut karena mengetahui predikat yang melekat pada pria itu. Selain pintar menjalankan perusahaan, Dennis juga pintar memilih dan memainkan hati perempuan. Dalam hati Aruna berdoa, semoga bukan alasan kedua-lah yang membuatnya di panggil hari ini.
Setelah keluar dari lift, gadis itu di sambut dua orang petugas yang berdiri di belakang counter resepsionis. Mulut Aruna tak dapat menutup karena terkejut melihat kedua orang itu serta merta tersenyum dan membungkuk mempersilahkannya masuk, padahal seingat Aruna, lantai ini adalah area terlarang bagi karyawan biasa.
“Pak Dennis telah menunggu di dalam.”
Tidak, ini tidak beres.
000ooo000
“Bagaimana kesehatan Nenekmu? Pasti sangat sulit merawat pasien Demensia untuk gadis muda sepertimu.” Dennis memecah keheningan yang terjadi sejak beberapa menit lalu setelah Aruna masuk dan duduk di ruangan ini.
Aruna meremas ujung rok-nya gugup, darimana pria ini tahu tentang keadaan keluarganya? Gadis itu yakin tak pernah menuliskan apapun mengenai kehidupan pribadinya di dalam CV.
“Nenek baik-baik saja, dan merawat nenek bukan beban bagi saya.” Jawab Aruna dengan suara bergetar, ia menunduk menatap tepian meja namun tetap dapat merasakan tatapan menyelidik Dennis, membuat bulu kuduknya merinding.
Dennis berdeham, ia berdiri dan berjalan menghampiri Aruna. Dengan santai, pria itu menaruh tangannya di atas bahu Aruna, membuat gadis itu sontak berjengit dan menahan nafas.
“Kamu gadis manis dan baik, kamu harus tahu itu Aruna.”
Aruna terbelalak kaget, ia sama sekali tak tersanjung akan pujian itu. Sebaliknya Aruna merasa terhina mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang pria yang bahkan lebih pantas menjadi kakeknya sendiri. Benar, Dennis Daniswara adalah pria berusia di akhir enam puluh tahunan. Namun karena kekayaan yang ia miliki, Dennis nampak seperti pria di awal usia kepala lima dan tak sedikit perempuan yang bahkan berusia lebih muda dari Aruna, rela bertekuk lutut di bawah kaki pria itu. Tentu, demi uangnya.
“Terima kasih.” Cicit Aruna.
“Tak perlu tegang seperti itu,” Dennis melepaskan pegangannya dan duduk di tepi meja di samping Aruna.
Merasa terdorong, Aruna akhirnya memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap langsung Dennis. Pria itu tengah menatap Aruna intens, dan Aruna merasa ia sedang di X-ray dengan tatapan itu, membuat semua isi kepalanya terbaca langsung oleh Dennis.
“Maaf, kalau boleh tahu—“
“Alasanku memanggilmu adalah karena kamu istimewa.” Potong Dennis segera.
“Maaf?”
“Kamu tak tahu seistimewa apa dirimu, dan itulah yang membuatmu istimewa.”
Semakin pria itu memujinya, Aruna semakin merasa tersinggung dan seketika emosinya tersulut. Ia tak lagi memikirkan masa depannya di perusahaan ini, ketika harga dirinya sebagai perempuan di rendahkan tak ada lagi alasan bagi Aruna untuk tetap berada disini, termasuk bersikap sopan pada pemiliknya.
“Maaf, Pak. Saya rasa—“
“Kemana ia, sejak dulu sama sekali tak dapat diandalkan.” Lagi-lagi Dennis memotong kalimat Aruna, pria itu kini bahkan mengabaikan Aruna yang menatapnya tak terima dan memilih melihat jam di tangan.
Bertepatan dengan itu, pintu terbuka.
“Dua menit tiga puluh tujuh detik. Damar,rekor keterlambatanmu semakin parah.”
“Seharusnya kamu bersyukur aku datang. Panggilanmu tadi mengacaukan kencanku.”
Damar Daniswara membanting pintu, ia mengenyakan diri begitu saja di atas sofa dan menutup mata, sama sekali tak menyadari kehadiran orang lain dalam ruangan itu.
“Kurasa kamu tak akan menyesal melewatkan kencanmu jika tahu apa yang akan kutawarkan.”
“Aku tak yakin.” Masih dengan mata tertutup, Damar membalas kalimat ayahnya., “Kamu tak tahu gadis seperti apa yang menjadi teman kencanku kali ini. Ia yang terbaik.”
“Benar-benar mirip.”Desis Aruna tanpa sadar, membuat baik Damar maupun Dennis akhirnya menyadari keberadaan gadis itu.
Aruna yang merasa malu sekaligus terkejut karena tanpa sadar mengatakannya secara lantang memilih memalingkan muka menatap pemandangan di luar, dan menyembunyikan matanya yang memerah.
“Runa?” Panggil Damar tak percaya, ia bangkit dan menatap bergantian Dennis lalu kembali pada Aruna.
“Perkiraan ku jarang meleset bukan,” Tandas Dennis.
000ooo000
Ketiganya duduk di sisi berlainan mengelilingi meja bersegi empat. Atas usul Dennis, mereka akhirnya makan siang di sebuah ruangan VVIP di restoran China. Menu utama telah tersaji dan hanya Dennis yang nampak sangat menikmati santapannya. Sementara Aruna menatap kaku pantulan bayangan wajahnya di atas sendok, dan Damar, akhirnya satu kali dalam hidupnya ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah ia harus merasa senang, sedih ataukah terancam?
“Ada yang salah dengan menu-nya? Apa kamu ingin memesan yang lain?” Tanya Dennis lembut pada Aruna.
Baik Aruna maupun Damar sama-sama tersentak ketika suara dalam Dennis memenuhi ruangan itu, seakan pria itu dapat begitu saja menjatuhkan vonis mati bagi mereka berdua.
“Tidak- sama sekali tidak.”
Meski enggan, akhirnya Aruna mengangkat dan menyuapkan makanan di hadapannya ke dalam mulut. Pahit, hanya itu yang lidahnya cecap saat ini.
“Lihat Damar, Aruna gadis yang manis. Aku menyukainya, kamu setuju bukan?”
Damar menggeram, sementara Aruna merasa badannya disiram air es. Akhirnya vonis itu jatuh.
“Kamu gila? Usianya sama denganku.”
“Lalu apa masalahnya? Bukankah sebelumnya banyak gadis yang berusia di bawah usia Aruna.”
“Ayah!” Bentak Damar frustasi,
“Benar, aku ayahmu karena itu tak sepantasnya kamu bicara dengan nada tinggi padaku.”
Dada Aruna sesak, entah untuk berapa lama lagi ia dapat menahan tangis yang ingin keluar. Kedua pria ini nampaknya terbiasa berunding tentang perempuan-perempuan mereka seakan tengah membicarakan pertandingan sepak bola semalam, mereka sama sekali tak memedulikan perasaan Aruna di sana. Ah, tunggu bukankah kesalahannya sendiri yang menurut begitu saja ketika Damar tadi memintanya ikut makan siang bersama mereka? Seharusnya gadis itu dapat membayangkan situasi seperti ini mungkin terjadi. Namun tetap saja Aruna sakit hati diperlakukan rendah seperti ini. Akhirnya Aruna menaruh serbet dan perlahan berdiri.
“Maaf, saya harus segera kembali bekerja. Terima kasih untuk jamuannya, Pak Dennis.” Aruna membungkuk dan beringsut pergi.
“Tunggu, aku belum mengijinkanmu pergi.” Cegah Dennis dingin membuat Aruna membeku di tempat.
“Biarkan ia pergi.” Ujar Damar sambil berdiri dan melanjutkan, “Aku yang akan mengantarnya.”
“Aku juga belum selesai denganmu!”
Damar menghela nafas dan menatap sendu Aruna, “Pergilah, biar pria tua ini aku yang urus.”
Aruna sempat luluh ketika melihat sebersit perhatian pada tatapan Damar untuknya, Pria inii tetap berusaha melindunginya seperti dulu. Tapi hanya beberapa saat sebelum akhirnya Aruna sadar, perhatian itu hanya sebatas rasa kemanusiaan.
Aruna hampir meraih handle pintu ketika mendengar bunyi kursi jatuh dan suara menggelegar Dennis.
“Tak ada satu pun yang boleh pergi sebelum aku mengijinkan!”
“Ayah! Kumohon lepaskan ia.”
Aruna membeku, ini pertama kalinya ia melihat Dennis naik pitam. Urat-urat merah bertonjolan di pelipis kontras dengan matanya yang juga memerah menahan amarah. Ini juga pertama kalinya Aruna melihat Damar merengek mengiba. Pria yang biasa Aruna kenal selalu nampak kuat dan percaya diri kini nampak lemah dan tak berdaya di hadapannya, pria yang lima tahun lalu mengabaikan pernyataan cintanya –kini memohon untuk kebebasannya.
“Tidak akan, sudah kukatakan aku menyukainya. Dan kurasa kali ini bukan hanya sebatas kencan tapi lebih daripada itu.” Dennis kembali pada kursi nyamannya, ia mudah sekali mengubah mode perasaannya.
“Ini gila, tak mungkin gadis ini yang akan menjadi ibu tiriku.” Desis Damar, namun terdengar sangat jelas di telinga Aruna.
Aruna menunduk, dasar bodoh! Jika dulu Damar menolak perasaanmu maka tak akan ada bedanya pula hari ini. Pria ini membelanya hanya karena ia takut memiliki ibu tiri yang seusia dengannya.
“Maaf, saya benar-benar harus pergi.” Aruna tak peduli lagi apakah Dennis akan marah atau bahkan berubah menjadi Hulk.
Ia hanya ingin segera menjauh dari kedua ayah-anak ini. Bahkan dalam benaknya Aruna telah menyusun surat pengunduran diri.
“Aku ingin kalian menikah.” Ujar Dennis sebelum menyesap teh hijau.
Hening, tak ada suara sedikitpun di ruangan itu. Bahkan tanpa sadar baik Damar maupun Aruna menahan nafas mereka begitu Dennis selesai bicara. Sementara itu,Dennis tersenyum senang melihat reaksi dua orang di hadapannya, tepat seperti yang ia bayangkan ketika ide ini melintas.
“Kuanggap kalian setuju, keluar dari pintu itu asistenku akan menemani kalian menyiapkan pesta pernikahan. Ah iya, kuharap kalian tidak keberatan pernikahannya akan dilaksanakan di Palace Hotel besok lusa, selain karena pemiliknya masih sepupuku—yang artinya kita mendapatkan harga khusus—hanya hari itu pula tempat itu kosong, kamu ingat Damar, bagaimana sulitnya memesan Palace Hotel bahkan hanya untuk satu jam, bulan lalu?” Dennis bangkit dan merapikan jasnya yang sama sekali tak kusut lalu melanjutkan, “Satu jam untuk menyatakan cinta pada seorang model internasional, dan akhirnya semua berakhir tiga hari kemudian. Kuharap kamu memiliki kenangan baru tentang Palace hotel setelah ini.”
Ayahnya entah karena alasan apa seperti sedang berusaha membongkar satu per satu kedok Damar di hadapan Aruna, Damar dapat membaca dari penjelasan Dennis tadi, informasi yang biasanya tak penting namun Dennis mengatakannya seakan sedang menjelaskan indeks saham terbaru pada teman sejawatnya. Tetapi Damar tak mengerti alasan Dennis menginginkan ia menikahi Aruna.
“Ada apa lagi? bukankah kalian tadi berebut ingin segera keluar?” Tanya Dennis pura-pura tak mengerti, namun terselip tawa geli dalam suaranya.
Dennis tak pernah menyangka menjahili anak yang lebih mirip kloningannya sendiri akan semenarik ini.
“Kamu benar-benar gila, aku tak mungkin menikahi gadis sepertinya.”
“Apanya yang tak mungkin, kamu lebih mungkin daripada diriku sendiri. Ingat, tadi kamu yang mengatakannya Damar.”
“Benar, lebih tepatnya kita tak mungkin menikahi gadis seperti Aruna.”
“Pilihannya hanya ada dua Damar, kamu menikah dengannya atau—“
Aruna tak dapat menahan tangisnya lagi, perundingan aneh antara ayah dan anak itu tentu menyakitinya, membuka luka lama yang bahkan belum selesai ia sembuhkan.
“Aku tak mungkin menjalin hubungan denganmu, Runa.”
Persis jawaban itulah yang Aruna terima lima tahun lalu. Dulu Damar benar, bahkan kali ini pun ia tak memiliki kesalahan saat mengatakan kalimat itu. Aruna memang tak pantas untuk bersanding dengan pria sekelas Damar. Kelas sosial mereka jauh berbeda, bahkan dengan memaksakan diri pun Aruna hanya akan terseret dan kemudian tenggelam terbawa arus. Lima tahun lalu, gadis itu tak menyadarinya. Ia masih polos dan silau efek drama-drama TV yang bertema Cinderella. Tapi tidak dengan sekarang, Aruna sadar benar posisinya kini, dan karena kesadaran itu pula ia melamar bekerja di Osric Corp. Agar ia selalu ingat jarak antara dirinya dan pria yang ia cintai.
“Ya Tuhan, kurasa kalimatmu tadi sangat kasar, kamu membuat Aruna menangis.”
Aruna mengusap air matanya, sebelum berlari keluar ia mengatakan, “Maaf, saya pikir lebih baik kita menganggap hari ini tak pernah terjadi. Saya permisi.”
“Sudah pulang?” Aruna mengerjap kaget, tanpa sadar kakinya melangkah membawa Aruna ke rumah, bukan ke kantor seperti seharusnya. Aruna mendengus, memangnya ia masih memiliki kewajiban untuk datang kesana setelah ini. Dennis tentu sudah melayangkan surat pemecatan untuknya sekarang. Kalaupun belum, Aruna sudah siap untuk mengajukan surat pengunduran diri. Keputusannya untuk bekerja di Osric Corp sungguh sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. “Runa, kamu baik-baik saja?” Tanya Sara khawatir, Aruna mengulas senyum terpaksa, “Aku baik-baik saja, hanya sedikit merasa tidak enak badan
“Kita menikah” Gelegar bunyi petir terdengar dari luar, tak berselang lama hujan pun turun cukup deras. Bau tanah basah menyelinap masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit. Aruna bangun dan menutup rapat jendela dengan sebelah tangan, karena satu tangannya yang lain masih memegang ponsel di telinga, meski tadi ia sempat ingin melempar ponsel itu begitu Damar mengatakan kalimat yang membuatnya entah melayang entah jatuh terperosok, akal sehat Aruna masih berjalan dan mengingatkannya berapa lembar Rupiah yang harus ia keluarkan untuk mendapatkan benda ini.“Kamu mabuk.” Decak Aruna kesal.“
“Kenapa tak bertanya aku akan membawamu kemana?” Tanya Damar begitu mereka keluar dari lingkungan rumah Aruna.“Aku tak peduli, kemana pun tak akan ada yang berubah.”“Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu.”“Pintar.”“Maaf.”Aruna diam, sejak dulu ia memang mengharapkan pria ini meminta maaf padanya. Meminta maaf atas semua yang pernah terjadi di antara merek
Gadis itu mendecak kesal ketika hembusan angin membuat helaian rambutnya terlepas dari ikatan, dengan tergesa-gesa ia mengikat ulang ikat ekor kudanya sambil berlari dan berusaha agar ia tak sampai terjatuh mengingat kakinya kini memakai sepatu high heels. “Runa, cepat!” Teriak Kirei dari puncak tangga, Kirei bersama empat temannya yang lain menunggu Aruna tak sabar untuk mengambil gambar bersama. Hari ini upacara kelulusan Aruna dan Kirei dari universitas, dan kesemua sahabat-sahabat mereka sengaja meluangkan waktu untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu, hanya satu yang tak ada. Sejak pembukaan acara, Aruna terus berdoa agar pria
Aruna merasa sedang berada dalam roller coaster. Tadi pagi ia terbangun di sebuah kamar hotel dan beberapa perempuan cantik masuk membawa perlengkapan yang tak pernah ia tahu apa namanya. Hal yang disadari berikutnya, Aruna berdiri di tengah ball room hotel mengenakan gaun yang tempo hari ia coba dengan paksa. Tak lupa, Damar mengamit lengan Aruna erat membuat nya bahkan tak dapat berjalan jika pria itu juga tak berjalan. Intinya Aruna hanya akan bergerak jika Damar yang menggiringnya. Dan sialnya, Damar menggiring Aruna kesana-kemari mengucapkan salam dan terima kasih pada setiap orang yang hadir, sebagian besar tak ada yang Aruna kenal dan mengenalinya. Bahkan tak sedikit yang menggumamkan pertanyaan ane
Aruna menarik rets jaket nya hingga hampir menyentuh dagu, ia menekan keras-keras earpiece yang menyumpal telinganya membuat tak ada suara lain yang ia dengar selain music dari ponsel di sakunya. Langkah kakinya sengaja ia buat lebar-lebar agar ia cepat menjauh dari rumah itu, Aruna butuh udara segar setelah apa yang dilihatnya tadi pagi. Karena itu, Aruna kini memilih olahraga pagi mengelilingi lingkungan rumah. “Berteman? Inikah maksud laki-laki gila itu berteman lagi? buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, mereka berdua sangat mirip. Aku saja yang bodoh menganggap kalimatnya semalam ia aka
Setelah perbincangan alot dan terabsurd yang pernah Aruna alami, akhirnya ia dan Damar duduk bergabung dalam pesta perpisahan kru dan pemain drama yang hingga detik itu Aruna tak pernah tahu apa judulnya. Alasan pertama, karena Kirani tiba-tiba datang dan memohon agar Aruna ikut, untuk alasan ini gadis itu merasa Kirani memiliki kesalahan lain pada Genta dan menggunakan Aruna sebagai tamengnya jika sewaktu-waktu Genta menyadari kesalahan Kirani. Alasan kedua, Asisten Sutradara didukung kru lainnya bersikeras agar Damar mau ikut serta karena Osric Corps salah satu penyumbang dana produksi drama ini. Aruna sempat menanyakan kenapa tadi Asisten Sutradara berteriak memanggil nama Mark Han, dan Asisten Sutradara hanya menjawab ia sedang merindukan Mark Han, penulis novel yang naskah nya diangkat menjadi ide cerita drama ini.“
Ia mencoba tertidur, Ia berbaring dengan mata terpejam namun tak tertidur. Kembali ia menghitung dari satu hingga seratus tetapi tetap ia tak dapat terlelap malam ini. Bahkan alunan music klasik yang sengaja ia putar tak dapat membuatnya tenang, dengan gusar pria itu beranjak bangun dan meraih ponselnya. “Miranti, aku membutuhkanmu.” Tak perlu menunggu lama, pintu di belakangnya terbuka. Miranti menghentakkan langkahnya sengaja agar pria ini tahu bahwa pada jam-jam seperti ini adalah waktu bagi orang normal tidur. Ah, tunggu gadis itu lupa, Damar Daniswara bukanlah orang normal. “Maaf aku mengg
Kirani menatap tangan kiri Genta yang dibungkus perban. Untunglah masih ada salep otot milik Hilma, sehingga dapat sedikit meredakan sakit di tangan Genta. Selama membalut tangan Genta, Kirani tak henti menggumamkan kata maaf dan ditanggapi pria itu dengan delikan tajam.“Apa sebaiknya tak ke rumah sakit?” Tanya Kirani.Genta menatap lekat Kirani, pertanyaan Kirani sama seperti yang gadis itu tanyakan dua tahun lalu ketika ia berkelahi dengan Taracandra. Kalau diingat-ingat Kirani selalu ada untuknya, berbuat baik padanya tak peduli sekasar apapun perlakuan Genta padanya.“Kau ingin aku muncul di berita besok pagi dengan Judul : Genta Adikara, cedera terjepit pintu pagar setelah makan malamnya bersama seorang gadis gagal. Silahkan saja, dan kalau itu terjadi aku tak akan membiarkanmu kabur. Kau harus bertanggungjawab!” Ancam Genta diikuti lengkingan anjing tetangga.“Cih! Salahmu sendiri tiba-tiba muncul dari semak-semak.”“Siapa yang bilang dari semak-semak? Kau tak melihat Rossie?”
Sekuat tenaga Kirani berusaha menepis cengkraman Genta di lengannya, Kirani menatap nanar pria itu. Siapa dirinya hingga berani ikut campur begitu dalam di hidup Kirani? Akhirnya usaha Kirani membuahkan hasil, cengkeraman Genta terlepas, dan Kirani berlari keluar.Genta mengendarai mobil dengan kecepatan terendah yang pernah ia lakukan, karena Genta harus mencari keberadaan Kirani sekarang. Genta yakin gadis itu tak mungkin segera pulang ke rumah, pilihan itu terlalu mudah. Kemungkinan besar Kirani sedang menenangkan diri di suatu tempat, dan Genta tak tahu tempat itu. Selama ini, gadis itu yang selalu mendatanginya. Sehingga Genta tak pernah tahu tempat-tempat yang sering Kirani kunjungi selain rumahnya.Genta mencoba menghubungi ponsel Kirani, dan sekali lagi ia hanya mendengar suara mesin operator. Mata pria itu memicing ketika melihat siluet seorang gadis yang mirip Kirani tengah berjalan cepat di deretan pertokoan, kepala gadis itu menunduk melihat ponsel di tangan. Genta segera
Petang menjelang. Kirani berdiri di halaman rumah menunggu Genta menjemputnya. Hilma dan Gamma sedang menginap di rumah teman mereka, sehingga Kirani bosan sendirian di rumah dan memilih menunggu di luar menikmati udara malam musim panas. Sembari menunggu, Kirani membuka internet melawan rasa takutnya sendiri mencari berita tentang rumor pernikahan Genta Adikara.Pantas saja Tania kehilangan semangatnya tadi pagi. Gadis itu tentu sama terkejutnya dengan Kirani ketika membuka laman internet, trending topic dipenuhi berita pernikahan Genta. Bahkan tak sedikit laman yang menambahkan foto-foto pria itu ketika memasuki toko perhiasan dari berbagai sudut. Statement dari salah seorang pegawai toko perhiasan yang menjadi acuan aktor itu datang untuk membeli sepasang cincin memperkuat isi berita.Kirani terus membuka halaman yang baru hingga tak menyadari Genta telah berdiri di dekatnya. Pria itu mengintip apa yang tengah Kirani lihat melalui ponsel dan tersenyum sendiri setelah mengetahuinya.
“Selamat pagi.”Sapa Tania dan Kirani bersamaan.Semua orang di ruang tim pemasaran menatap heran keduanya. Selain karena kedatangan mereka, Tania dan Kirani juga mengucapkan selamat pagi dengan nada yang sama persis, lemas dan tak bertenaga.“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya salah satu karyawan.“Tania sedih karena idolanya akan menikah. Tapi Kirani, entahlah” jelas Melani, teman dekat Tania.Baik Melani maupun staff yang lain menggelengkan kepala heran pada Tania lalu kembali pada pekerjaan mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, Hera keluar dari ruangannya. Ia menaruh dua paper bag di atas meja Tania.“Antarkan ini ke apartemen Genta Adikara”Tania mendelik kaget, ia melihat sekitar dan menjatuhkan pilihan pada Kirani yang sedang merapikan berkas di filling cabinet.“Berikan ini pada Genta Adikara!” Perintah Tania dan tak menunggu jawaban Kirani, Tania bergegas ke kamar kecil.“Ia menangis lagi.”Keluh Melani.***Kirani berjalan gontai setelah keluar dari lift. Kepalanya t
“Kirani, sahabat terbaikku. Saat membaca surat ini, apa yang sedang kau lakukan? Tunggu. Aku akan menebaknya. Kau sedang makan kaki ayam sendirian, bukan? Lihat, kau tersenyum, tebakanku benar! Karena aku mengenalmu dengan saaangat baik.Seandainya aku dapat menemanimu menghabiskan kaki ayam dan minum bir, tentu menyenangkan. Sayang sekali, kesempatan itu telah lama berlalu. Kesempatan yang sama tak akan datang lagi. Tapi, mungkin nanti. Kita lihat saja.Kirani, mewakili ibuku aku minta maaf atas apa yang telah ia katakan malam itu. Tidak-tidak, yang benar adalah untuk semua penderitaan yang harus kau lalui selama ini karena perbuatan ibuku, maafkan kami.Aku menyesal, aku terlambat mengetahui semua perlakuan ibuku. Aku tak tahu kalau ibu yang memintamu pergi dari desa, aku juga tak tahu kalau ibu yang menyebar isu buruk mengenai keluargamu. Kumohon meski aku tahu berat untukmu, suatu saat semoga kau dapat memaafkan ibuku.Aku ingin kau mengerti, ibuku sebenarnya perempuan yang kesepi
Ketika menyusuri lorong menuju ruang tim pemasaran, seseorang memanggil Kirani membuat gadis itu berhenti berjalan dan berbalik. Ia melihat Tania berlari menghampirinya dengan ponsel di tangan. Kepanikan kentara sekali di wajah Tania, perut Kirani mulas mengingat kemungkinan seniornya itu akan mengeluhkan hasil kerjanya lagi.“Apa yang kau lakukan malam kemarin?” Tanya Tania segera bahkan ketika nafasnya masih tersengal akibat mengejar Kirani dari lantai bawah.Kirani memiringka kepala ke kiri tak mengerti. Tania berjingkat-jingkat tak sabar lalu segera menunjukan gambar di layar ponselnya.“Gadis yang bersama Genta Adikara itu bukan dirimu, kan?” Tuntut Tania sambil menunjukan gambar bagian samping seorang perempuan yang berdiri di sebelah Genta.Tania memang gadis yang jeli. Bahkan Kirani harus berkali-kali melihat baru meyakini bahwa gadis dalam gambar itu dirinya sendiri. Tapi Tania sepertinya cepat sekali mengenali gadis dalam foto itu Kirani.“Bagaimana mungkin kau pergi bersama
Kirani menarik nafas dan menghembuskannya pelan, sepertinya ini sudah saatnya.“Banyak orang menganggap kelahiranku dua puluh dua tahun lalu sebagai bencana. Karena aku lahir dari rahim perempuan kedua. Ibu kandungku meninggal ketika melahirkanku, dokter bilang tekanan darah ibu terlalu tinggi tetapi masyarakat mengatakan ibu terkena karma. Ayah yang mengetahui ibu meninggal, segera mengambilku dari asuhan kakek dan nenek. Karena pilihan ayah, istri pertamanya, bunuh diri.”“Semenjak itu, kakak tiriku membenciku. Tak berselang lama, ayah menikah lagi. Istri kedua ayah teman dekat ibu Jevyan, mereka sama-sama membenciku karena aku menyebabkan adik tiriku kecelakaan saat balita. Sejak saat itu, seluruh desa memanggilku anak pembawa sial. Panggilan itu berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi keluarga kami.”“Ayah memenangkan lotere. Benar-benar seperti dalam dongeng, dengan uang hadiah itu ayah membeli sebuah kapal besar untuk menangkap ikan. Satu kapal bertambah menjadi belasan. Pers
Hingga petang selanjutnya, Genta tak dapat bersikap tenang. Ketika tak memiliki kegiatan ia akan berjalan hilir mudik tanpa tujuan membuat setiap orang yang berpapasan dengannya akan menatap heran pria itu. Seperti kali ini, Genta berjalan keluar masuk setiap ruangan dalam apartemennya mengambil satu barang lalu menaruhnya di tempat lain. Tak berapa lama Genta akan mengambil kembali dan menaruh nya di tempat semula.Genta merasa ia sedang terserang sindrom khawatir berlebihan. Berkat peristiwa di hotel kemarin, bayangan Kirani tak pernah lepas dari ingatannya. Ia takut terjadi hal buruk pada gadis itu, selain itu ada satu hal yang terus menghantui pikirannya sejak kemarin malam. Dan Genta tak dapat menahan diri untuk tak menanyakannya langsung pada Kirani.Dengan langkah cepat Genta menyambar jaket serta kunci mobil, begitu membuka pintu Genta terkejut karena Kirani telah berdiri di sana. Kirani sama terkejutnya dengan Genta karena pintu telah terbuka bahkan ketika ia belum menekan be
Genta duduk menunggu di depan kamar Serena, kedua tangannya bertumpu di atas siku. Sesekali Genta melirik jarum jam, menit-menit terasa berlalu begitu lambat. Kalimat hinaan Julianna untuk Kirani tak henti berdengung di telinga Genta. Genta tak pernah membayangkan Julianna yang biasanya angggun dan elegan sanggup menjatuhkan harga dirinya sendiri, apapun yang terjadi diantara kedua keluarga itu tentu bukan hal biasa.Kirani.Genta menangkupkan kedua tangan menutupi wajahnya. Gadis itu tak menunjukkan ekspresi apapun setelah disiram air. Seakan ia telah sering menerima perlakuan kasar seperti itu. Ada yang salah, tak seharusnya seseorang yang dihina tetap diam dan menerima seakan-akan mereka pantas mendapatkan hinaan itu. Serena keluar dari kamar sendirian, ia lalu menutup pintu di belakangnya perlahan tanpa suara.“Ia sedang membersihkan diri.” Kata Serena sambil mengambil duduk di samping Genta.“Bagaimana keadaannya?”“Entahlah.”Kening Genta berkerut dalam dan Serena melanjutkan de