“Hah! Sayangnya aku tidak mau pergi, kau mau apa?” tantang Mila.
Disentuhnya dengan lembut pipi lelaki di hadapannya itu.
Mila sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dia menyukai targetnya itu, tampan dan sangat gagah, tidak akan memalukan dirinya jika dikenalkan pada keluarganya.
“Menikahlah denganku, pria tampan. Aku akan memberikan apapun yang kau mau,” Mila memegang wajah pria itu dengan kedua tangannya.
“Lepaskan aku, sebelum kesabaranku habis!” pria itu menepis tangan Mila.
Mila tidak mau mendengarkannya, dia kembali mengalungkan lengannya di leher pria muda itu, kali ini lebih rapat.
“Menikahlah denganku...,” bisiknya di telinga sang adam.
Tubuh pria itu mendadak memanas, merasakan hembusan napas Mila di telinganya. Pertahanan yang dia bangun sudah runtuh, dengan sigap ia menggendong Mila keluar dari bar.
Tangannya yang kekar melingkar erat di pinggang Mila.
Tapi, Mila tidak terganggu, malah tertawa-tawa sendiri. Mungkin efek alkohol membuat akal sehatnya tidak bekerja.
“Jadi kita akan menikah, ya?” celotehnya sembari tertawa mengejek.
Pria kekar itu membawa Mila ke kamar hotel yang tidak jauh dari bar. Dia merebahkan Mila di tempat tidur, dan berjalan untuk meninggalkan gadis itu di sana.
“Mau ke mana, tampan?”
Mila bergerak cepat dengan menarik tangan lelaki itu sehingga ia ikut berbaring di ranjang.
Pria itu berusaha berdiri. Meskipun kesadarannya sudah menipis, dia tidak ingin berhubungan dengan wanita yang bukan istrinya. Itu akan merusak citranya sebagai pria baik-baik, meskipun dia sering mendatangi bar.
Mila beranjak, memeluk erat lelaki itu dari belakang.
Demi menyelesaikan misinya, ia rela menjadi gadis nakal malam ini. Alkohol yang diminumnya menghilangkan rasa malu yang mungkin ada.
“Kau yang meminta, jadi jangan salahkan aku,” seru pria itu sembari membalikkan tubuhnya.
Kedua tangan lelaki itu meremas pinggul Mila kuat.
Ia mulai mencium lembut perempuan itu, dan mendapatkan balasan serupa. Kelembutan itu berubah menjadi sangat liar ketika libido mereka mulai naik.
Pria itu menidurkan Mila, memberikan sentuhan yang lebih menggila sampai mereka berdua hilang kendali.
Saat sedang asyik, Mila mendadak merasa ingin muntah. Ia langsung mendorong kuat dada lelaki itu, sambil menahan muntahan.
Lelaki itu pun melepaskan Mila, membiarkannya berlari menuju ke kamar mandi.
Mila memuntahkan isi perutnya yang meronta. Ia memang payah dalam hal minum.
Setelah lega, gadis itu kembali ke kamar, tetapi pemandangan di hadapannya membuatnya kecewa.
“Sialan!” cibir Mila ketika melihat targetnya terlelap tidur. “Payah!”
Sejenak, ia menatap lelaki itu. Wajahnya terlihat begitu polos dan manis, dengan kumis tipis yang belum dicukur.
Jika sudah begini, rencananya bisa gagal.
"Aha, aku tahu!"
Satu ide gila lain muncul di kepalanya. Jika ia tak berhasil menjebak pria itu dengan tidur bersamanya, maka mereka harus pura-pura tidur bersama.
Dia perlahan membuka kemeja dan celana panjang sang target hingga pria itu telanjang dada dan hanya mengenakan boxer.
"Ck, boleh juga!"
Mila berdecak kagum sewaktu melihat dada dan perut sixpack sang pria. Otot lengannya pun begitu indah.
Lantas, ia melepaskan pakaiannya sendiri, hingga menyisakan sepasang pakaian dalam di tubuhnya. Diambilnya ponselnya, lalu ia mulai mencari posisi yang pas untuk meletakkannya.
Mila tersenyum, lalu mulai menyetel kamera ponselnya dengan timer sepuluh detik, agar ia bisa mengambil fotonya bersama lelaki itu.
Dengan senyuman licik di bibirnya, Mila cepat bergabung dengan pria itu di ranjang. Beberapa kali ia mengambil foto mereka berdua.
Gambarnya begitu jelas.
Merasa puas, gadis itu kembali berbaring di ranjang. Diselimutinya tubuh mereka.
Efek minuman yang mereka tenggak membuat mereka tertidur lelap malam itu. Lalu Keesokan harinya, Mila yang lebih dulu terbangun.
Ia terkejut saat mendapati dirinya berada dalam pelukan seorang pria.
“Apa yang telah terjadi?” desisnya panik.
Saat ia mencoba mengingat kejadian semalam, pria itu pun membuka mata. Tatapan polosnya tertuju kepada Mila, penuh dengan kebingungan.
Hanya dalam tempo beberapa detik, otak Mila mampu mengingat lagi rencananya semalam.
“Aaarrkkk!” jerit Mila histeris, atau pura-pura histeris.
Ia melepaskan diri dari pelukan lelaki itu, sementara sang pria terbengong.
“Apa yang kamu lakukan padaku?” teriak Mila sambil menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman.
Baju mereka berserakan di lantai, tentu saja ini ulah Mila.
“Aku ....” Lelaki itu berusaha mengingat kejadian semalam.
Ia hanya ingat mereka berdua pergi ke hotel. Kesalahan apa yang telah dilakukannya?
Mendadak hatinya berdebar, saat memikirkan insiden yang mungkin terjadi di antara mereka, apalagi mereka sama-sama dalam keadaan nyaris telanjang.
“Benarkah aku melakukannya?” tanya lelaki itu ragu.
“Tentu saja, kau harus bertanggung jawab!” teriak Mila yang mulai berakting menangis.
"Apa? Bertanggung jawab?"
Pemuda itu masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh wanita itu. Meskipun dia menciumnya, tapi seingatnya dia tak melakukan lebih dari itu.
Ataukah ingatannya salah?
“Ini tidak mungkin!” sangkalnya tegas.
“Apakah kau benar-benar lupa? Semalam kau mencumbuku begitu panas, dan sekarang kau melupakannya begitu saja,” sahut Mila dengan suara bergetar.
Suara tangisannya semakin keras, sambil mengoceh dan meratapi betapa malang nasibnya sudah kehilangan keperawanannya. Pria yang tidur dengannya tidak mau bertanggung jawab.
“Aku tidak mau tahu, kau harus menikahiku!” tekan Mila sembari menyeka air matanya.
“Aku tidak mau, aku tidak merasa melakukannya.” Lelaki itu menolak untuk bertanggung jawab.
Dia turun dari ranjang, memunguti bajunya dan cepat-cepat memakainya.
Mila menyusul lelaki itu, dengan selimut membalut tubuhnya. Ia menghadang pemuda tampan itu agar tidak meninggalkan begitu saja.
“Apa kau tidak memiliki hati? Setelah merenggut kesucianku kamu pergi begitu saja?” seru Mila dengan mata nanar.
Lelaki itu mendengus. Ia ingat apa yang sempat ia ucapkan semalam.
Dia bukan lelaki brengsek, jika memang dia merasa melakukannya pasti dia akan bertanggung jawab.
“Nona, bukankah aku sudah memperingatkanmu semalam? Kau yang memintanya, jadi aku tidak perlu bertanggung jawab.”
Tanpa menoleh lagi, lelaki itu meninggalkan kamar hotel, menyisakan Mila yang kesal sendirian.
"HEI!"
Brak!
Lelaki itu menutup pintu dengan keras.
Mila berteriak kesal. Ia sudah menjatuhkan harga dirinya semalam, tapi apa hanya ini hasilnya? Dia tidak mendapatkan satu lelaki pun untuk dinikahi.
"Sial—"
Umpatan Mila terhenti ketika melihat satu benda tipis berwarna dasar putih. Sebuah name tag. Sepertinya ini milik pemuda itu yang tak sempat terambil olehnya.
“Aha! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Agil Angga Sanjaya, jadi dia pegawaiku? Ini malah akan semakin mudah.”
Mila tersenyum licik setelah mengetahui nama serta perusahaan tempat lelaki itu bekerja.
Ia mulai memutar otak cerdasnya, dan berpikir untuk akan memanfaatkan pegawainya yang telah berani menggodanya itu, sehingga rencananya untuk mendapatkan suami akan berhasil.
Mila memandang name tag di tangannya itu sembari menyeringai.
“Pergilah selagi kau bisa, Agil, karena aku akan menangkapmu kembali.”
“Hai, Agil, kita bertemu lagi.” Mila memutar kursinya, seusai mendengar sapaan sopan dari mulut pegawainya. Bibirnya tersenyum merekah, dan tangannya melambai manja. Sedangkan pria di depannya syok. Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok bos yang selama ini belum pernah ditemui secara langsung.Bagaimana tidak. Baru saja Agil duduk di kursi, ia sudah mendapat perintah untuk menghadap ibu pimpinan perusahaan. Dia cemas, takut melakukan kesalahan dan dipecat. Padahal dia masih anak baru.Namun ternyata, wajah wanita yang duduk di kursi kebesarannya itu, adalah wanita yang sama dengan semalam. "Bos ...." Lelaki itu tak sanggup berkata-kata. Agil kaget, melihat orang yang semalam tidur dengannya ternyata adalah bos di perusahaannya. Agil mendengus, ia memaki dalam hati kenapa harus bertemu dengan wanita yang berada di bar malam itu. Sangat merepotkan! Agil segera duduk setelah dipersilahkan oleh Mila. Firasatnya mengatakan pekerjaannya berada dalam bahaya karena nasibnya be
“Pa, kenalkan, ini Agil calon suami Mila.” Mila memasuki kediaman keluarga Mahendra sembari menggandeng mesra tangan Agil yang berhasil dibujuknya untuk menikah. Pemuda desa itu terkesima dengan rumah mewah milik atasannya. Matanya tak bosan memandang benda-benda yang tidak ada di tempat kosnya, seperti lampu gantung kristal, juga guci-guci antik yang tak kalah mewahnya. “Nama kamu siapa?” tanya Danu sambil menatap pria yang dibawa putrinya tersebut. Mila menyenggol lengan Agil dengan siku kirinya, agar dia kembali fokus pada tujuan mereka datang ke rumah ini. “Agil, Pak,” jawabnya dengan kepala tertunduk sebagai tanda hormat. Danu mengangguk, dan menyuruhnya duduk. Pemuda itu merasa tidak nyaman karena tatapan keluarga Mila seakan ingin mengulitinya. Dirinya seperti orang yang telah melakukan kesalahan, dan siap untuk diadili. “Kamu bekerja di mana?” tanya Sarah, ibu tiri Mila. “Di kantor Mila,” sahut Mila cepat. Mila sudah memberikan pengarahan kepada Agil sebelum mereka data
“Apa? Pergi dari rumah?” Mila tertawa mendengar persyaratan yang diajukan oleh ibu tirinya itu.Perempuan itu menggelengkan kepala. Dia mulai berpikir jika ibu tirinya semakin aneh. Wanita itu mulai mengambil alih dan mengatur rumah sesuka hatinya.“Mila, seorang istri memang sepatutnya mengikuti suaminya. Ah, aku lupa dia kan pria miskin,” ejek Delvin sembari tertawa.Dada Mila bergemuruh, dia kecewa dengan keluarganya. Terutama sang ayah yang hanya diam melihat putri kandungnya terus disudutkan.“Baiklah, saya akan membawa Mila keluar dari rumah ini,” sahut Agil tiba-tiba.Mila terkejut, dan menoleh cepat ke arah Agil.“Agil, aku minta kamu diam!” desis Mila sambil melotot ke arah calon suami kontraknya itu.Mila sebal. Bagaimana bisa Agil lancang memutuskan hal itu tanpa izin darinya? Dia tak memikirkan resikonya, Mila bisa kehilangan rumah yang sudah ia tinggali sejak kecil.Sarah tersenyum, dia senang mendengar jawaban dari Agil. Satu usahanya telah tampak hasilnya, yaitu menguasa
“Lihatlah! Betapa tidak serasinya mereka,” cemooh Delvin seraya menunjuk keberadaan pasangan yang baru menikah itu. Mila melirik ke arah Delvin yang tengah mencibirnya. Pria itu kesal karena Mila mendapatkan posisi yang telah dia incar selama ini. “Masih percaya diri berdiri di sini?” tanya Delvin dengan tatapan menghina. "Delvin, pertanyaan itu lebih pantas untukmu," Mila membalikan omongan Delvin. “Dia itu cuma anak kampung yang ingin menjadi orang kaya. Makanya pemuda desa itu mendekatimu,” tegasnya sedikit ngotot. Mila mendekati Delvin dan langsung melayangkan tamparan. Plak! "Jaga mulutmu, bajingan!" Delvin tersenyum sinis, "Kau lebih membela manusia tidak berguna daripada adikmu sendiri!" "Adik?" Mila mengerutkan hidungnya, menatap jijik Delvin. "Sudah kalian jangan berkelahi, malu sama tamu," Agil berusaha melerai perdebatan Mila dan Delvin. "Di mana harga dirimu?!" Mila berbalik memarahi Agil. "Kamu ini mau jadi suamiku! Posisimu lebih tinggi dari bajingan ini!"
"Tolong bawa surat ini ke notaris, ingat jangan sampai bocor," perintah Mila kepada sekretarisnya untuk mengesahkan perjanjian antara dia dengan Agil. "Baik, aku permisi dulu," katanya cepat pergi tidak mau mengganggi waktu bulan madu bosnya. Agil terbangun mendengar pintu kamar yang tertutup sedikit keras. Matanya menatap lekat perempuan yang baru saja kehilangan keperawananya. "Kau bohongi aku?" ucapnya dengan mata yang tak lepas memandangi Mila. "Bohong apa?" Katanya dengan masuk ke selimutnya lagi. "Kau selama ini masih perawan kan?" ujar Agil mendesak agar Mila mengakuinya. "Kau ini bicara apa? Kau sudah merenggutnya malam itu," katanya dengan wajah yang sedikit berpikir mengenai jawaban dari pertanyaan Agil. Agil membuka selimutnya menunjukan seprai yang terlihat bercak darah. "Kau mau mengelak apa lagi?" Mila tidak sudah tidak bisa berkilah lagi, "Ya sudahlah, toh kita saat ini juga sudah menikah." "Jadi benar kamu menjebakku?" kesal Agil, harusnya dia tidak terlibat
“Pa, kamu tega mengusirku?!” tanya Mila dengan bibir bergetar.Mila tak pernah menyangka ayahnya tega mengusir dirinya. Sehebat apa pun perdebatan mereka berdua tidak sampai sejauh ini.Tapi semenjak sang ayah menikah lagi, banyak masalah sepele yang menjadi besar.Danu menatap Mila dengan serius. “Harusnya, aku tidak membesarkan anak sepertimu.”Lelaki paruh baya itu sudah kehilangan kendali, sampai tidak sadar berkata kasar kepada putrinya."Pa," ucapnya lirih. Mila tak percaya mendengar kalimat itu keluar dari ayahnya. Dada Mila bergemuruh, ia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan umum.“Satpam! Usir mereka berdua dari sini!” perintah Danu.Delvin tersenyum seraya melambaikan tangan sebagai tanda kemenangannya. Mila berontak, ingin sekali dia menampar adik tirinya. Dan membuka mata ayahnya, jika Delvin itu bukan orang yang baik.Namun, badan satpam sangat besar sehingga tenaganya berontak bukan hal besar bagi mereka. Dia tetap bisa menarik Mila dengan gampang.Sa
Mila mengipasi tubuhnya yang sangat panas, ia menaiki bus dengan ragu jantunngnya berdebar-debar mengingat tingkat keamanan di bus itu. Ia sering mendengar jika banyak kejahatan saat naik kendaraan umum. Matanya menatap lurus ke arah bangku-bangku yang sudah diduduki penumpang, ia menutup hidungnya ketika bermacam-macam bau menyengat di dalamnya. Maklum, Agil yang tidak memiliki uang banyak lebih memilih naik bus kelas ekonomi yang lebih murah. "Ayo duduk." Agil menarik tangan Mila yang tak kunjung menyusulnya duduk. "Kamu yakin kita naik bus ini?" ujarnya saat duduk di samping jendela. Agil mengangguk serta meminta tas ransel yang di gendong Mila. "Menyesal sekali aku ikut, andai saja aku setuju pindah ke cabang pasti tidak akan semenderita ini," batin Mila menyesali perbuatannya. Mila turun dari bus langsung berlari dan memuntahkan isi perutnya, ia menahan mual karena berbagai macam bau. Yang membuat dia sampai muntah setelah penumpang di depannya kentut dengan bau yang luar b
Cucu kurang ajar!” Begitu masuk, seorang lelaki tua tiba-tiba berteriak kepada Agil. "Shit!" Mila reflek mengumpat, ia masih trauma dengan teriakan yang baru kemarin dia dengar. Rasanya ingin membalas Lelaki tua yang baru masuk ke ruang tamu berjalan mendekati Agil sembari mengacungkan tongkatnya. "Berani kau pulang?" “Ampun kek!” Agil berlari menghindari pukulan kakeknya. “Beraninya kamu tidak mengundang kakekmu!” teriak Pramono. Pramono adalah kakek Agil, dialah yang merawat Agil semenjak dia kecil. Karena keluarganya mengalami kecelakaan. Selain itu, dia adalah cucu satu-satunya yang sangat disayang. Karena dia sangat disayang menyebabkan Agil tidak boleh pergi ke mana-mana, Pramono terus menganggap Agil cucu kecilnya. Yang harus dalam pengawasanya terus. “Kakek, Agil bisa jelaskan. Kakek berhenti dulu,” pinta Agil. Pramono tidak mau mendengar perkataan Agil, dia masih geregetan dengan Agil karena merasa tidak dianggap oleh cucunya yang sudah beranjak dewasa itu. “Kamu