“Tidak bisa!” seru Mila seraya berdiri.
Perempuan itu menatap tajam sang ayah. Dia tidak bisa terima dengan keputusan yang diambil oleh Danu secara tidak masuk akal.
Persyaratan konyol yang ayahnya berikan membuatnya kesal. Dalam hatinya ia terus bertanya, haruskah seorang CEO memiliki pasangan?
“Keputusan Papa sudah bulat, Delvin yang akan menggantikanmu,” sergah Danu tak mau kompromi.
Lelaki tua itu juga menegaskan, jika sang putri menginginkan jabatan itu maka dia harus segera menikah.
“Kenapa harus menikah? Apa tidak ada cara lain?” Mila mencoba membujuk sang ayah agar mengganti persyaratannya.
“Mila, umurmu sudah cukup untuk menikah. Papamu ini sudah tua, sudah ingin menimang cucu darimu,” ungkap Danu. Danu takut Mila akan menjadi perawan tua karena terlalu sibuk bekerja.
“Pa, kenapa harus Delvin?” tanya Mila putus asa.
Gadis itu tidak memahami keputusan sang ayah. Dia sudah mati-matian mengembangkan perusahaan hingga besar.
Kini, sang ayah malah seenaknya menggantikan dirinya dengan adik tirinya yang tidak kompeten.
“Mila, kamu masih bisa bekerja di cabang. Berilah adikmu kesempatan,” pinta Danu memberikan alternatif.
Danu melanjutkan, "Lagipula, Delvin akan segera bertunangan dan menikah, dia pasti akan lebih dewasa setelah memiliki keluarga."
Mila mengepalkan tangannya, ia geram dengan jawaban ayahnya yang tidak memikirkan perasaan anak kandungnya sendiri.
"Memberikan perusahaan kepada anak yang baru terjun di perusahaannya bukanlah ide yang bagus, Pa!" Mila berusaha berdebat lagi.
Mila memiliki firasat, jika adik tirinya tidak akan segan-segan menendangnya saat dia sudah menjadi pimpinan. Karena dia tahu, Delvin juga sangat menginginkan posisi itu untuk menguasai perusahaan.
Gagasan sang ayah untuk menaikkan posisi anak tirinya sangat mengancam kedudukan Mila sebagai anak kandung, sekaligus direktur perusahaan.
Gadis itu berpikir keras, mencari cara untuk menghentikan tindakan ayahnya yang akan merugikan perusahaan itu sendiri. Ia berusaha keras melindungi karyawan-karyawan yang sudah lama bekerja untuknya.
“Kenapa bukan Delvin saja yang berada di kantor cabang, Pa? Kemampuannya saat ini bahkan masih kalah jauh dari Riska.”
Dia membandingkan kinerja Delvin dengan sekretarisnya. Jika memang posisinya harus diganti, Riska sekretarisnya lebih pantas menduduki jabatan penting itu.
"Delvin akan berkeluarga, jadi wajar jika dia tinggal di kantor pusat bersama keluarganya," jawab sang papa.
"Lalu, apa Papa tidak memikirkan aku?"
"Apa kau juga mau menikah?"
"Sial!" umpat Mila dalam hati.
Mila tidak percaya jika Delvin bisa bekerja lebih baik darinya. Bagaimana nasib karyawan di sini jika dipegang oleh orang tidak kompeten? Kalau sudah bangkrut, apa Papa mau bertanggung jawab juga?
Mila tahu ayahnya itu tipe orang kolot yang lebih menyukai anak lelaki ketimbang perempuan. Sudah jelas akan sulit untuk meyakinkan ayahnya, tapi ia tak mau menyerah begitu saja.
“Jadi, hanya menikah persyaratan Papa?” tanya Mila menarik kesimpulan.
Danu mengangguk.
"Baik," sahutnya sembari mengangkat dagu. "Aku akan membawa CALON SUAMI yang Papa inginkan."
Gadis itu berjalan keluar dari kantor ayahnya dengan dada membusung. Tidak lupa ia membanting pintu ruangan itu dan melangkahkan kakinya lebar-lebar.
Bila syarat satu-satunya yang ayahnya tuntut adalah menikah, maka ia akan melakukannya.
Masalahnya, Mila belum punya calon suami yang bisa diajak menikah. Jangankan calon suami, pacar pun ia tak ada.
Selama ini dirinya terlalu fokus dalam meniti karier hingga percintaannya terabaikan.
"Aaah! Papa sialan!" erangnya putus asa sambil memukul setir mobil.
Gadis itu merasa stres akibat persyaratan yang diberikan oleh bapaknya. Bagaimana bisa dia menikah dalam waktu dekat?
Akhirnya, ia memilih untuk melampiaskan kegalauannya dengan pergi ke bar, dan minum. Sedikit alkohol mungkin bisa membuat pikirannya lebih jernih, dan ia bisa membuat rencana yang cemerlang.
"Vodka satu," pesannya kepada bartender.
Desakan untuk menikah dari ayahnya membuatnya kalut. Dia yang sudah jomlo bertahun-tahun, bagaimana bisa mendapatkan calon suami dengan cepat?
Perempuan yang sudah setengah mabuk itu turun dari kursi. Ia memindai seluruh lelaki yang ada di tempat itu.
Rata-rata lelaki di sana sudah memiliki wanita, entah satu, dua, atau tiga wanita sekaligus. Mila mendengkus, dan kembali minum sambil mencari pria lain.
"Apakah sungguh tidak ada lelaki baik-baik dan polos di tempat ini?" cibir Mila, lalu meneguk kembali vodkanya.
Netra mulai menjelajahi sisi lain dari bar, dan akhirnya matanya tertuju ke sofa paling pojok.
Dia menatap lekat lelaki berparas tampan yang sedang meneguk minuman sendirian. Lelaki itu memakai kemeja hitam pas bodi, dengan dua kancing atas yang terbuka.
Wajahnya tampak tenang, dan tangannya yang kekar terus memutar-mutar gelas minumannya. Sebuah pemandangan langka di tempat penuh dosa ini.
Mila jadi bertanya-tanya, untuk apa lelaki itu datang ke sini? Atau inilah jawaban dari Tuhan untuk masalahnya?
Mila tersenyum miring, lalu berjalan ke arah lelaki itu. Sesekali langkahnya gontai, tapi buru-buru bisa dikendalikan.
“Malam yang membosankan, bukan?” celetuk Mila sembari tersenyum manis, dan duduk di depannya.
Pria itu hanya meliriknya malas, tipe pria yang suka playing-hard-to-get, yang justru membuat Mila tertantang untuk menaklukkannya.
“Malam yang begitu syahdu, apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengusir kesepian ini?” imbuhnya dengan suara yang lebih lantang agar pria yang masih sibuk dengan gelasnya itu memberinya lebih banyak perhatian.
Dan Mila berhasil, lelaki itu tersenyum, lalu kembali meneguk minuman yang ada di depannya.
Matanya mulai memperhatikan Mila yang memang terlihat cantik dengan dress merah yang menantang.
“Gelasmu sudah kosong, keberatan kalau kubelikan lagi?” usulnya sembari mengangkat tangan ke arah sang bartender.
“Mas, tambah,” serunya cepat.Mila memesankan minuman tanpa persetujuan dari lelaki itu. Dia masih asyik menikmati sisa minuman miliknya.
“Perempuan secantik dirimu, datang sendiri?” tanya pria itu, pandangannya beredar di area tempat duduknya.
Mila menganggukkan kepala, sembari mengibaskan rambutnya ke belakang.
"Dan pria setampan dirimu tak memiliki teman?" Ia balik menggodanya. Pria itu tertawa.
Mila tersenyum, ia berhasil memancing pemuda tampan itu.
"Dan kau datang untuk menemaniku?" tanya pria itu lagi.
Mila tertawa. Sepertinya pria ini lawan yang sepadan untuknya. Mila semakin gemas dibuatnya.
“Aku tak keberatan," jawab gadis itu terus terang.
"Tetapi, apakah kamu belum memiliki kekasih? Tak mungkin pria setampan dirimu belum laku.” Ia kembali bermain api dengan wajah sok polos.
Lelaki itu menaruh gelas, memandang Mila sembari menyeringai.
“Aku masih lajang, tanpa kekasih, apalagi istri. Kenapa? Kau tertarik kepadaku?” Pria itu merasa heran dengan perempuan asing yang terkesan berani dan ingin tahu tenang dirinya itu.
“Menikahlah denganku,” ujar Mila tiba-tiba.
Pria tampan itu melebarkan kedua matanya. “Menikah?”
Ia menertawakan ucapan Mila. Perempuan itu gila! Bukan hanya mengajak berpacaran, atau menghabiskan malam bersama, tetapi menikah?
Dia kembali meneguk vodka yang baru datang, dan mengabaikan omong kosong Mila.
Perempuan itu tak tinggal diam, sudah kepalang tanggung. Apa yang dimulainya harus diselesaikan.
Ia mendekat lalu mengalungkan lengannya ke leher pria incarannya itu.
“Kenapa kau diam? Takut?” tanya gadis itu dengan senyuman nakal.
Karena tak kunjung mendapat balasan, Mila mulai menggodanya.
Dia menyentuh dagu pria itu, dan memberikan ciuman kecil di lehernya. Ia memainkan jakunnya, hingga pria itu kehilangan kesabarannya.
Ia mendorong gadis di sampingnya itu agar sedikit menjauh. Selanjutnya pemuda itu menatap Mila tajam.
Mulutnya berucap lirih, tapi penuh ancaman, “Berhenti, Nona, selagi aku bisa mengendalikan diriku ... atau kau akan menerima akibatnya!”
“Hah! Sayangnya aku tidak mau pergi, kau mau apa?” tantang Mila. Disentuhnya dengan lembut pipi lelaki di hadapannya itu. Mila sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Dia menyukai targetnya itu, tampan dan sangat gagah, tidak akan memalukan dirinya jika dikenalkan pada keluarganya. “Menikahlah denganku, pria tampan. Aku akan memberikan apapun yang kau mau,” Mila memegang wajah pria itu dengan kedua tangannya. “Lepaskan aku, sebelum kesabaranku habis!” pria itu menepis tangan Mila. Mila tidak mau mendengarkannya, dia kembali mengalungkan lengannya di leher pria muda itu, kali ini lebih rapat. “Menikahlah denganku...,” bisiknya di telinga sang adam. Tubuh pria itu mendadak memanas, merasakan hembusan napas Mila di telinganya. Pertahanan yang dia bangun sudah runtuh, dengan sigap ia menggendong Mila keluar dari bar.Tangannya yang kekar melingkar erat di pinggang Mila. Tapi, Mila tidak terganggu, malah tertawa-tawa sendiri. Mungkin efek alkohol membuat akal sehatnya tidak bekerj
“Hai, Agil, kita bertemu lagi.” Mila memutar kursinya, seusai mendengar sapaan sopan dari mulut pegawainya. Bibirnya tersenyum merekah, dan tangannya melambai manja. Sedangkan pria di depannya syok. Jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok bos yang selama ini belum pernah ditemui secara langsung.Bagaimana tidak. Baru saja Agil duduk di kursi, ia sudah mendapat perintah untuk menghadap ibu pimpinan perusahaan. Dia cemas, takut melakukan kesalahan dan dipecat. Padahal dia masih anak baru.Namun ternyata, wajah wanita yang duduk di kursi kebesarannya itu, adalah wanita yang sama dengan semalam. "Bos ...." Lelaki itu tak sanggup berkata-kata. Agil kaget, melihat orang yang semalam tidur dengannya ternyata adalah bos di perusahaannya. Agil mendengus, ia memaki dalam hati kenapa harus bertemu dengan wanita yang berada di bar malam itu. Sangat merepotkan! Agil segera duduk setelah dipersilahkan oleh Mila. Firasatnya mengatakan pekerjaannya berada dalam bahaya karena nasibnya be
“Pa, kenalkan, ini Agil calon suami Mila.” Mila memasuki kediaman keluarga Mahendra sembari menggandeng mesra tangan Agil yang berhasil dibujuknya untuk menikah. Pemuda desa itu terkesima dengan rumah mewah milik atasannya. Matanya tak bosan memandang benda-benda yang tidak ada di tempat kosnya, seperti lampu gantung kristal, juga guci-guci antik yang tak kalah mewahnya. “Nama kamu siapa?” tanya Danu sambil menatap pria yang dibawa putrinya tersebut. Mila menyenggol lengan Agil dengan siku kirinya, agar dia kembali fokus pada tujuan mereka datang ke rumah ini. “Agil, Pak,” jawabnya dengan kepala tertunduk sebagai tanda hormat. Danu mengangguk, dan menyuruhnya duduk. Pemuda itu merasa tidak nyaman karena tatapan keluarga Mila seakan ingin mengulitinya. Dirinya seperti orang yang telah melakukan kesalahan, dan siap untuk diadili. “Kamu bekerja di mana?” tanya Sarah, ibu tiri Mila. “Di kantor Mila,” sahut Mila cepat. Mila sudah memberikan pengarahan kepada Agil sebelum mereka data
“Apa? Pergi dari rumah?” Mila tertawa mendengar persyaratan yang diajukan oleh ibu tirinya itu.Perempuan itu menggelengkan kepala. Dia mulai berpikir jika ibu tirinya semakin aneh. Wanita itu mulai mengambil alih dan mengatur rumah sesuka hatinya.“Mila, seorang istri memang sepatutnya mengikuti suaminya. Ah, aku lupa dia kan pria miskin,” ejek Delvin sembari tertawa.Dada Mila bergemuruh, dia kecewa dengan keluarganya. Terutama sang ayah yang hanya diam melihat putri kandungnya terus disudutkan.“Baiklah, saya akan membawa Mila keluar dari rumah ini,” sahut Agil tiba-tiba.Mila terkejut, dan menoleh cepat ke arah Agil.“Agil, aku minta kamu diam!” desis Mila sambil melotot ke arah calon suami kontraknya itu.Mila sebal. Bagaimana bisa Agil lancang memutuskan hal itu tanpa izin darinya? Dia tak memikirkan resikonya, Mila bisa kehilangan rumah yang sudah ia tinggali sejak kecil.Sarah tersenyum, dia senang mendengar jawaban dari Agil. Satu usahanya telah tampak hasilnya, yaitu menguasa
“Lihatlah! Betapa tidak serasinya mereka,” cemooh Delvin seraya menunjuk keberadaan pasangan yang baru menikah itu. Mila melirik ke arah Delvin yang tengah mencibirnya. Pria itu kesal karena Mila mendapatkan posisi yang telah dia incar selama ini. “Masih percaya diri berdiri di sini?” tanya Delvin dengan tatapan menghina. "Delvin, pertanyaan itu lebih pantas untukmu," Mila membalikan omongan Delvin. “Dia itu cuma anak kampung yang ingin menjadi orang kaya. Makanya pemuda desa itu mendekatimu,” tegasnya sedikit ngotot. Mila mendekati Delvin dan langsung melayangkan tamparan. Plak! "Jaga mulutmu, bajingan!" Delvin tersenyum sinis, "Kau lebih membela manusia tidak berguna daripada adikmu sendiri!" "Adik?" Mila mengerutkan hidungnya, menatap jijik Delvin. "Sudah kalian jangan berkelahi, malu sama tamu," Agil berusaha melerai perdebatan Mila dan Delvin. "Di mana harga dirimu?!" Mila berbalik memarahi Agil. "Kamu ini mau jadi suamiku! Posisimu lebih tinggi dari bajingan ini!"
"Tolong bawa surat ini ke notaris, ingat jangan sampai bocor," perintah Mila kepada sekretarisnya untuk mengesahkan perjanjian antara dia dengan Agil. "Baik, aku permisi dulu," katanya cepat pergi tidak mau mengganggi waktu bulan madu bosnya. Agil terbangun mendengar pintu kamar yang tertutup sedikit keras. Matanya menatap lekat perempuan yang baru saja kehilangan keperawananya. "Kau bohongi aku?" ucapnya dengan mata yang tak lepas memandangi Mila. "Bohong apa?" Katanya dengan masuk ke selimutnya lagi. "Kau selama ini masih perawan kan?" ujar Agil mendesak agar Mila mengakuinya. "Kau ini bicara apa? Kau sudah merenggutnya malam itu," katanya dengan wajah yang sedikit berpikir mengenai jawaban dari pertanyaan Agil. Agil membuka selimutnya menunjukan seprai yang terlihat bercak darah. "Kau mau mengelak apa lagi?" Mila tidak sudah tidak bisa berkilah lagi, "Ya sudahlah, toh kita saat ini juga sudah menikah." "Jadi benar kamu menjebakku?" kesal Agil, harusnya dia tidak terlibat
“Pa, kamu tega mengusirku?!” tanya Mila dengan bibir bergetar.Mila tak pernah menyangka ayahnya tega mengusir dirinya. Sehebat apa pun perdebatan mereka berdua tidak sampai sejauh ini.Tapi semenjak sang ayah menikah lagi, banyak masalah sepele yang menjadi besar.Danu menatap Mila dengan serius. “Harusnya, aku tidak membesarkan anak sepertimu.”Lelaki paruh baya itu sudah kehilangan kendali, sampai tidak sadar berkata kasar kepada putrinya."Pa," ucapnya lirih. Mila tak percaya mendengar kalimat itu keluar dari ayahnya. Dada Mila bergemuruh, ia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan umum.“Satpam! Usir mereka berdua dari sini!” perintah Danu.Delvin tersenyum seraya melambaikan tangan sebagai tanda kemenangannya. Mila berontak, ingin sekali dia menampar adik tirinya. Dan membuka mata ayahnya, jika Delvin itu bukan orang yang baik.Namun, badan satpam sangat besar sehingga tenaganya berontak bukan hal besar bagi mereka. Dia tetap bisa menarik Mila dengan gampang.Sa
Mila mengipasi tubuhnya yang sangat panas, ia menaiki bus dengan ragu jantunngnya berdebar-debar mengingat tingkat keamanan di bus itu. Ia sering mendengar jika banyak kejahatan saat naik kendaraan umum. Matanya menatap lurus ke arah bangku-bangku yang sudah diduduki penumpang, ia menutup hidungnya ketika bermacam-macam bau menyengat di dalamnya. Maklum, Agil yang tidak memiliki uang banyak lebih memilih naik bus kelas ekonomi yang lebih murah. "Ayo duduk." Agil menarik tangan Mila yang tak kunjung menyusulnya duduk. "Kamu yakin kita naik bus ini?" ujarnya saat duduk di samping jendela. Agil mengangguk serta meminta tas ransel yang di gendong Mila. "Menyesal sekali aku ikut, andai saja aku setuju pindah ke cabang pasti tidak akan semenderita ini," batin Mila menyesali perbuatannya. Mila turun dari bus langsung berlari dan memuntahkan isi perutnya, ia menahan mual karena berbagai macam bau. Yang membuat dia sampai muntah setelah penumpang di depannya kentut dengan bau yang luar b