MENJADI PUSAT PERHATIAN
" Kamu siapa?" tanya Jasmine pada Alan. Saat melihat Alan, Jasmine sebenarnya mengingat sosok Alan yang menolongnya saat kecelakaan waktu itu. Jasmine juga mengingat ucapannya dirinya ketika reflek mengajak Alan menikah, sebelum pingsan. Dua kata sakral yang pernah Jasmine ungkapkan murni diucapkan sebab kemunculan Alan yang mirip dengan mantan kekasihnya dahulu. Bohong jika Jasmine bilang sudah hilang rasa, nyatanya baru melihat pria yang mirip dengan masa lalunya saja langsung mengajaknya menikah. Saat ini Jasmine terpaksa memilih berpura-pura lupa ingatan. Dirinya tidak mungkin bisa menahan malu, jika ketahuan kemarin dalam keadaan setengah sadar telah mengajaknya menikah. Jasmine sebenarnya tidak menyangka juga dipertemukan kembali dengan pria yang mirip mantan kekasihnya itu di sirkuit balapan motor sport. Jasmine mengira nama Alan yang di koar-koarkan penonton di arena balapan saat itu bukanlah Alan mantan kekasihnya. Alan mematung mendengar pertanyaan Jasmine padanya. "Siapa aku? Dia nggak inget aku? Mana mungkin? Dia mimi bukan? Ayolah jangan bercanda! Ini sungguh tidak lucu," Alan bermonolog sendiri. Wajah yang awalnya sumringah kini berubah kecewa. Jasmine memindai penampilan Alan. Hatinya tiba-tiba ikut sakit melihat raut kekecewaan di wajah Alan ulah pertanyaannya. " Apa rangkaian bunga itu untukku?" tanya Jasmine. Ia melihat buket bunga di balik tubuh tegap Alan. "Oh, iya. Ini!" Alan memberikan buket bunga yang dirinya bawa pada Jasmine. Jasmine menyambut dengan suka cita lalu menghirup dalam-dalam aroma bunga favoritnya itu. Alan memperhatikan Jasmine. Melihat gadis itu menghirup aroma bunga pemberiannya, membuat memori Alan berputar pada kenangan mimi yang menghirup aroma bunga yang sama. " Dia Mimi!"seru Alan pelan, sangat pelan hampir tidak terdengar. Jasmine yang merasa namanya dipanggil pun merespon"Ya ...! Apakah kamu pria yang mendonorkan darahnya untukku? Bunda tadi sudah sedikit bercerita tentangmu." Jasmine menghirup lagi aroma bunga di tangannya sambil menunggu jawaban Alan. " Aku nggak nyangka, kamu masih ingat bunga yang aku suka," ucap Jasmine dalam hati. Hatinya sangat bahagia saat itu, mendapatkan rangkain bunga dari orang yang sama dari masa lalunya. Tanpa Jasmine sedari cara ia menghirup aroma bunga sedari tadi menjadi perhatian Alan. " Kamu sungguh tidak mengenaliku?" tanya Alan akhirnya. Pria itu ingin memastikan sekali lagi. Jasmine justru mengulurkan tangan kanannya. Sebelah tangannya lagi memeluk buket bunga pemberian Alan. "Namaku Jasmine. Kamu siapa?" Senyum selebar mungkin terpaksa Jasmine lakukan saat ini. Sebenarnya kedua kelopak mata Jasmine sudah memanas. Gadis itu berjuang mati-matian agar bulir bening yang mendobrak meminta ditumpahkan tidak keluar di hadapan Alan. Gadis itu tidak ingin rencananya gagal sebelum dirinya mulai. " Alan! Ryota Alan Winata," jawab Alan. Pria itu membalas jabatan tangan Jasmine. Meski selalu menghindar dari wanita yang mengejarnya, Alan berniat menjadikan Jasmine sebagai pengecualian. Alan tidak ingin kehilangan Jasmine untuk kedua kalinya. "Em ... maaf!" Jasmine menaikan kedua alisnya sebagai kode pada Alan, meminta tangannya dilepaskan. Alan langsung melepaskannya. "Urung memeluk. Berjabat tangan secara sadar mungkin cukup," gumam Alan. Pria itu menertawakan kebodohannya sendiri yang mulai terbawa suasana. "Kenapa tertawa? Ada yang lucu?," tanya Jasmine pada Alan. Alan menggeleng. Kemudian melanjutkan tawanya. " Kamu inget aku suka bunga ini?" tanya Jasmine," ma-maksud aku. Aku mau ucapin makasih banyak," ralat Jasmine. Gadis itu menyadari keteledoran ucapannya. "Untuk?" Alan yang mulai menaruh curiga pada Jasmine sengaja memberikan pertanyaan absurd. Jasmine tidak langsung menjawab. Ia terlihat berfikir. " Alan mulai curiga nggak, ya?" "Heii ...?" Alan mengulanginya. Memejamkan mata sesaat guna membuang kegugupan, kemudian Jasmine menjawab cepat," untuk kamu yang sudah berkenan mendonorkan darah buat aku. Jika tidak ada kamu mungkin aku ...," Kalimat Jasmine terhenti ketika jari telunjuk Alan tiba-tiba mendarat di bibirnya. " Jangan asal bicara! Aku nggak suka," terang Alan. Demi apapun saat ini jantung Jasmine rasanya ingin meledak saking tidak karuan rasa yang ia rasakan. Dari dahulu, sampai takdir saat ini mempertemukan mereka, usai terpisah sembilan tahun lamanya. Pria itu masih sama, selalu tidak pernah gagal membuat jantungnya berdegup kencang seperti ini. Sayangnya kini Jasmine sedang berpura-pura lupa pada Alan. Jika tidak pasti Jasmine sudah memeluk pria yang teramat ia rindukan kehadirannya itu. Alan menyingkirkan jarinya dari bibir ranum Jasmine. Jasmine sendiri saat ini memilih mengipas kipas wajahnya yang terasa panas. Ceklek! Terdengar suara handle pintu ditekan dari luar yang berhasil memecah kecanggungan antara Jasmine dan Alan. " Kamu baru saja siuman, lho! kenapa banyak sekali yang dimau, Mimi!" cicit Gina. Wanita dewasa itu menutup pintu ruang rawat kembali. "Mimi?" monolog Alan. Setahu Alan Mimi adalah panggilan orang terdekat Jasmine, mantan kekasihnya dahulu. "Jika mereka bukan orang yang sama, mengapa memiliki nama panggilan yang sama? Apakah sebuah kebetulan?" Kembali kepala Alan dipenuhi tentang pertanyaan tentang wanita yang ada di hadapannya itu. "Ups, sorry. Ternyata Kamu ada tamu? Haruskah aku kembali nanti?" tanya Gina pada Jasmine. Wanita kepercayaan Jasmine itu baru menyadari kehadiran Alan di sana usai menutup pintu. " Tidak perlu. Saya juga harus pergi sekarang," jawab Alan. Ia rasa ini alasan yang tepat untuk Alan pergi dari sana. Setelah berpamitan Alan pergi meninggalkan kamar rawat VVIP tempat Jasmine dirawat. Satu bulan berlalu. Baik Jasmine maupun Alan sama-sama disibukan dengan pekerjaan mereka masing-masing. Namun, dalam diam Alan sudah meminta orang kepercayaannya, mencari tahu tentang Jasmine, gadis yang di tolongnya di sirkuit balapan dengan alibi bertanggung jawab telah membuatnya kecelakaan waktu itu. Dari orang kepercayaannya itulah, Alan tahu keluarga Jasmine yang sekarang adalah seorang konglomerat dengan berbagai bisnis yang mendunia. " Tadi malam nona Jasmine tidak pulang ke rumah bundanya tuan," ungkap orang kepercayaan Alan melalui sambungan telepon. "Maksud kamu? Dia pulang ke mana?" tanya Alan. Meski pelacakannya dalam sebulan terakhir belum membuktikan Jasmine yang ditolongnya adalah gadis yang sama dengan mantan kekasihnya. Alan tetap mengkhawatirkan keadaan dan ingin tahu aktifitas kesehariannya. Alan bahkan tidak tanggung-tanggung dalam mengeluarkan uang guna info yang dirinya dapat itu. "Kemarin sore nona Jasmine kembali pergi balapan. Pulang balapan saya lihat dia dengan motor sportnya pulang ke apartemen yang tidak jauh lokasinya dari kantor miliknya," jawab orang kepercayaan Alan. Akhirnya Alan meminta kabar segera jika mendapat info Jasmine kembali pergi balapan. Seminggu kemudian Alan mendapat info jikalau Jasmine di hari weekend akan pergi ke sirkuit balapan. Dengan penuh semangat Alan pun turut serta mempersiapkan motor sportnya. Alan berencana menemui Jasmine di sirkuit balapan besok. Di hari minggu pagi sirkuit tempat mereka biasa balapan memang sudah ramai penonton yang akan menyaksikan sesi latihan rutin para pembalap motor sport. Alan sendiri selama sebulan terakhir memang sering absen dari jadual latihan sebab kesibukannya di dunia bisnis. Para penggemar Alan kembali dibuat histeris bukan main hari itu kala mengetahui pembalap favorit mereka hari itu kembali hadir disesi latihan. "Alan!" "Alan!" Sorak riuh antusias penonton menyebut nama Alan. Alan sendiri sudah tidak heran lagi dengan kejadian seperti itu. Menjadi pusat perhatian, di manapun dirinya berada. Jasmine yang baru tiba di sirkuit untuk ikut sesi latihan sengaja mendekat dan memarkirkan motor sportnya dekat dengan Alan. Jasmine membuka helm full face miliknya. Rambut indah itu tergerai menyempurnakan kecantikan gadis itu meski sudah dibalut baju savety balapan. " Hai, apa kabar?" sapa Alan pada Jasmine.TEMPAT FAFORIT" Pria mana lagi yang kamu kencani, Mimi? Berita kamu lagi-lagi menjadi trending topik di media sosial."Gina memberikan iPad di tangannya pada Jasmine. Membiarkan gadis itu melihat berita tentang dirinya." Aku nggak sengaja ketemu dia kemarin di sirkuit! Dan jelas pertemuan kita kemarin bukan kencan Gina. Kita sedang latihan balapan," terang Jasmine.Jasmine tidak menyangka pertemuan tidak sengaja dirinya dan Alan itu bisa tertangkap Paparazzi. Bagaimana entah dirinya nanti akan menjelaskan pada Alan tentang berita ini. Jasmine khawatir Alan akan tidak nyaman sebab berita itu. Segera Jasmine mencari ponsel miliknya untuk meminta maaf. Namun, sangat kebetulan sekali ketika ponsel itu ditemukan terdapat notifikasi panggilan masuk dari Alan." Aku baru mau telfon kamu," cicit Jasmine pada Alan di seberang sana."Kenapa ?" tanya Alan.Jasmine bukan langsung menjawab justru bertanya kembali pada Alan. " Kamu sendiri telepon ada apa?" " Ladies first!" titah Alan. Pria itu
" Di sini tempat ternyaman. Selain pemandangan hijau dedaunan, bunga-bunga yang indah juga bantu bikin mood langsung happy lagi setelah suntuk dengan pekerjaan."Lagi-lagi Alan hanya fokus pada setiap pergerakan Jasmine tanpa berkomentar. Alan bahkan reflek langsung memeluk gadis itu saat ini. Alan sangat merindukan Jasmine.Jasmine yang kaget tentu reflek ingin melepaskan diri dari pelukan Alan. " Sebentar saja," racau Alan.Jasmine tidak mengindahkan permintaan Alan, gadis itu terus berontak meminta dilepaskan." Mimi, sebentar saja! 30 detik izinkan aku memelukmu!"Jasmine yang mendengar Alan memanggilnya Mimi sontak kaget dan bingung, " apa dia tahu selama ini aku pura-pura lupa ingatan?" tanya Jasmine dalam hati.Meski begitu Jasmine tidak ingin tahu lebih lanjut. Gadis itu memilih melanjutkan aktingnya, dan menganggap barusan ia baru saja salah dengar." Aku kangen," racau Alan, lagi.Pria itu akhirnya mengurai pelukannya pada Jasmine." Aku nggak salah dengar? Kamu kangen ak
" Alan, aku mau ikut mereka pulang saja! Aku nggak mau sendirian."Jasmine terlihat kalut kali ini. Alan yang melihat keadaan gadis itu ikut merasa terpukul atas apa yang menimpamya."Kamu ada aku! Kamu tidak pernah sendiri."Alan membawa Jasmine kedalam pelukannya. Alan usap punggung rapuh gadis itu naik turun, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan di sana.Sedang di hadapan Jasmine dan Alan terlihat dua pasang orang terakhir meninggalkan makam tanpa berpamitan. "Kita pulang juga, yuk!" Alan mencoba membujuk Jasmine pulang. Namun, gelengan saja yang pria itu dapat."Hari sudah mulai petang. Kita bisa berkunjung lagi besok," bujuk Alan, lagi. Pria itu tidak menyerah membujuk Jasmine. Sampai akhirnya Jasmine mau mengikuti bujukan Alan untuk turut pulang bersama.Alan mengantar Jasmine pulang ke apartemen setelah sebelumnya bertanya. Ya, saat itu Jasmine memang butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Di tinggal pergi kembali oleh orang tua selamanya nyatanya membuat Jasmi
Kalimat sang wanita menggantung ketika mendengar langkah memasuki ruangan yang terbuka lebar pintunya itu."Siapa kamu sebenarnya? Mengapa terus bersama Jasmine sedari kemarin?"Sang wanita menatap penuh tanya pada Alan yang memasukan ke dua tangan ke saku celana ketika masuk ke sana. Pembawaannya yang tenang membuat Alan berkali-kali lebih tampan, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh suasana yang sedang tegang di sana.Alan bukannya menjawab justru menoleh kearah Jasmine. Jasmine sendiri yang melihat kakak iparnya mengalihkan pembicaraan pun semakin geram kemudian angkat bicara kembali." Kita sedang bicara! Kamu jangan coba mengalihkan pembicaraan, ya!" Protes Jasmine. Gadis itu tidak terima kakak iparnya justru fokus pada Alan.Meski bukan anak kandung dari bunda Fatma, Jasmine lah yang paling dekat keberadaannya sebagai seorang anak semasa hidup Fatma. Dua anak Fatma lainya terlalu sibuk dengan urusan mereka, bahkan sekedar hanya untuk meluangkan waktu menemani makan bersa
"Kita perlu selidiki ini?"Alan menyerahkan botol yang ia temukan itu pada Jasmine. "Ini biasa bunda konsumsi. Kemarin ketika sedang telepon aku, bunda juga bilang baru mau minum vitamin. Tapi setelahnya ...,"Jasmine tidak melanjutkan kalimatnya. Mata yang tadi fokus membaca tulisan di botol obat yang gadis itu bolak-balik, kini beradu tatap dengan Alan."Jangan- jangan!"Alan dan Jasmine berucap serempak. Nyatanya saat ini isi pikiran mereka sama. Segera Alan menghubungi temannya yang bekerja di bagian farmasi. Pria itu yakin temannya akan mengecek dan mendapatkan hasil analisanya lebih cepat dari pada di tempat umum yang harus mengantri terlebih dahulu.Setelah menghubungi teman Alan, dan menyatakan menyanggupi. Alan mengajak Jasmine pergi ke sana bersamanya.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Alan sampai di lokasi yang kebetulan berjarak 30 menit saja dari perumahan elit tempat almarhum bunda Fatma tinggal."Apa yang harus gue bantu, bro?" Teman Alan menyapa ketika Alan dan Jasmin
"Mama kamu yang membuat aku harus pergi dari hidup kamu."Jasmine mendorong tubuh Alan yang semakin dekat padanya tadi."Aish! Sial!"Alan mengumpat juga terlihat kesal, dari raut wajahnya terlihat jelas pria itu sedang marah saat ini."Dia bukan mama kandungku," terang Alan, pelan. Saking pelannya Jasmine sampai meminta Alan mengulanginya, " hah?""Iya, mami kandungku tinggal di Jepang. Baru satu tahun terakhir beliau kembali ke sini," jelas Alan, yang kemudian melanjutkannya kembali, "Papaku menikahi dia karena di jebak.""Kamu? Tidak sedang berbohong, kan?"Jasmine menanggapi penjelasan Alan dengan pertanyaan yang seakan meragukan semua ucapan pria itu."Astaga! Buat apa aku bohong? Apa terlihat di wajahku, aku seorang pembohong, Hem?"Alan tidak habis pikir dengan pertanyaan yang baru Jasmine lontarkan padanya."Selama ini aku benci kamu, sebab wanita itu juga yang sudah menyebabkan kematian kedua orang tuaku."Jasmine menatap lekat ke dua iris hazel milik Alan. Mencari kebohonga
Hari ini Alan datang ke pusat farmasi tempat teman semasa kuliahnya bekerja. Sang teman dari Alan itu memberitakan telah mendapatkan hasil pengecekan isi dari botol obat yang Alan bawa dua hari yang lalu."Gue rasa ada orang yang sengaja mengganti isinya!"Alan melihat selembaran yang temannya berikan guna memastikan ucapkan sang kawan."Thanks, bro! Gue harus segera hubungi dia."Alan mencari benda pipih miliknya di dalam saku celana, mengetik di bagian pencarian kontak nama Jasmine di sana. Namun, pria itu tidak menemukannya."Bagaimana bisa gue belum punya nomor, dia ? Dasar, bodoh!"Alan mengumpat keteledoran dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya yang sudah selama itu bertemu Jasmine kembali sampai tidak memiliki kontaknya.Akhirnya Alan memilih menghubungi Tio guna mencari kontak Jasmine untuk dirinya. Sedang pagi itu di apartemen Jasmine berada bersama Gina sekretaris pribadinya. Gina membahas perihal syarat isi surat wasiat almarhum bunda Fatma dengan Jasmine."Jadi kapa
Jasmine saat ini telah mengantongi satu bukti, jika kejanggalan yang selama ini dirinya rasakan, benar adanya pada kematian bunda Fatma.Jasmine tinggal mencari bukti lain guna mengungkap siapa sebenarnya dalang dibalik pembunuhan berencana sang bunda."Bagaimana jika kamu menikah saja? Orang yang menginginkan bunda Fatma meninggal akan menjadi yang paling tidak terima karenanya?"Alan berceloteh menawarkan sebuah solusi yang menurutnya paling mudah memancing sang pelaku muncul."Siapa yang mau ngajak aku nikah? Yang ada situasi seperti ini justru sengaja mereka memanfaatkan."Jasmine menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di meja cafe. Alan membawa Jasmine ke sebuah cafe yang telah terlebih dahulu ia reservasi agar hanya ada mereka berdua saja di sana."Aku ... Ayo kita nikah! Aku gak mungkin sampai manfaatin situasi kamu, Mimi. Kamu pasti tahu itu," ungkap Alan pada Jasmine. Pria itu tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas untuk bisa bersama gadis yang s
"Mau coba cek dulu? Kita berhenti di apotik beli tes pack dulu, ya? Kamu kapan terakhir halangan?" Alan memberondong Jasmine dengan pertanyaan, setelah wanita itu lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya dengan Gina.Jasmine memiliki pemikiran yang sama. Namun, keinginannya makan rujak kedondong lebih dominan. "Ck! Cari rujak dulu, Al! Lagian belum pasti juga, kan aku hamil," jawab Jasmine, santai. Fokusnya kembali pada benda pipih di tangannya, mengetik huruf di papan pencarian menanyakan tempat yang mungkin menjual rujak kedondong di sana.Cukup lama tidak ditemukan karena waktu memang sudah cukup malam. Ada kedai rujak cukup jauh lokasinya juga ternyata sudah tutup. Akhirnya Jasmine tidak kehabisan akal, mengetik huruf kembali mencari toko buah yang mungkin menjual buah kedondong. Wanita itu berniat membuat rujak sendiri nanti di rumah. Akhirnya, mobil Alan belokan ke sebuah super market besar yang ada di kota itu. "Harusnya di sini ada buah yang kamu, mau," tuturnya.Sebelum
"Saya mendapatkannya," ungkap Rio pada Alan, yang baru sempat melakukan panggilan setelah kesibukannya di Singapura."Di mana dia sekarang?" tanya Alan, to the point."Di rumah sakit. Keadaannya kritis," jawab Rio. "Istri anda belum saya beri tahu, sesuai permintaan anda," lanjutnya.Alan memang memperingatkan Rio untuk tidak menginfokan apapun pada istrinya, sebelum dirinya kembali ke tanah air."Saya usahakan pulang secepat mungkin," kata Alan. "Tetap jaga istri saya dari kejauhan."Alan memilih segera mematikan panggilan, usai mengingatkan Rio kembali. Waktunya tidak banyak di sana agar lekas bisa kembali ke tanah air secepat mungkin. "Istri kamu belum tahu berita di sosial media tentang seseorang tertembak di sekitaran apartemen tadi pagi adalah ulah detektif swasta yang kamu sewa." Gina mengirimkan notifikasi pesan pada Alan. Membuat laki-laki itu langsung melakukan panggilan telepon pada sekretaris pribadi Jasmine. "Iya, Alan," sapa Gina dari seberang telepon sana."Gue se
Pukul sembilan malam Alan Alan benar-benar pergi ke Singapura lagi, mengikuti penerbangan terakhir hari itu."Aku harusnya ikut antar kamu ke bandara," ungkap Jamsine pada Alan. Wanita itu hanya Alan perbolehkan mengantar sampai basement apartemen saja."Jangan lagi buat aku gak jadi terbang," ujar Alan, mengomentari ungkapan istrinya. Sebenarnya sedari di rumah baru tadi Alan sudah hampir mengikhlaskan tender besar yang di Singapure. Pria itu tidak bisa pergi meninggalkan Jamsine dalam situasi genting seperti saat itu. Namun, pada kenyataannya wanitanya itu pandai meyakinkan Alan untuk tetap berangkat, tentu setelah mengiyakan permintaan Alan pindah ke rumah baru mereka besok pagi."Asisten rumah tangga sesuai spesifikasi kamu datang besok pagi," ucap Alan, sambil menghujani wajah Jasmine dengan banyak kecupan di sana.Jasmine mengangguk, "makasih, ya! Kalo sudah sampai segera kabari aku."Jasmine tahu Alan sedang berat meninggalkannya, sehingga wanita itu memilih tidak banyak menan
"Mau kasih lihat apa?" rengek Jasmine. Menarik-narik tangan Alan, meminta pria itu lekas memberitahunya. "Sebentar lagi, kamu tahu," ujar Alan. Membawa wanitanya ke sebuah kamar yang sudah ia dekorasi sedemikian rupa."Tutup mata! Dalam hitungan ke tiga baru kamu buka!" titah Alan pada Jasmine.Jasmine mengangguk patuh, mulai memejamkan mata.Ceklek!Handle pintu Alan tarik ke bawah, pintu kamar pun terbuka. Semerbak aroma kelopak bunga mawar seketika memenuhi indera penciuman Jasmine ketika baru memasuki ruangan itu."Satu ... dua ... tiga!"Jasmine membuka mata perlahan, tepat setelah Alan selesai menyebutkan angka tiga. Betapa bahagia hati wanita itu, dalam kesibukan Alan masih sempat menyiapkan ini semua untuknya.Jasmine merasa benar-benar beruntung dipertemukan kembali dengan mantan kekasih yang sekarang justru menikah dengannya. "Kamu udah nentuin kamar utama, kenapa tadi masih nanya?" beber Jasmine. "Sengaja mau ngetes?" imbuhnya.Alan hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Ini apa?" tanya Jasmine. Alan yang mendengar pertanyaan itu langsung membungkukkan badan, melihat dengan seksama apa yang wanitanya pertanyakan."Paper bag lagi? Bunga itu," ucap Alan, pelan. Pergerakannya secepat mungkin ke arah luar mobil. Menyelisik ke sekeliling, mencari keberadaan orang yang mengirim itu. "Mungkin belum jauh?""Tadi dikunci, kan mobilnya sebelum masuk cafe?" tutur Jasmine, ingin memastikan."Tio yang bawa mobil. Tapi aku yakin dia udah kunci," jawab Alan, yang mengetahui sahabatnya itu bukanlah tipikal pribadi yang teledor.Alan masih mengedarkan matanya ketika menjawab pertanyaan Jasmine. Sayangnya Alan tidak bisa menemukan siapapun di sana. Tidak terlihat ada orang mencurigakan di area parkir dan sekitarnya. "Apa ini diletakan sedari tadi?" Tidak ingin menduga-duga seorang diri, Alan memilih mengambil benda pipih nya dari saku celana. Mencari nama Tio di sana."Iya, bro," sapa Tio, setelah mengucapkan salam terlebih dahulu seperti biasa. "Ke parkiran sekar
Tap ...Tap ...Tap ...Langkah kaki Alan, menggema kala memasuki cafe yang sudah mulai sepi pengunjung di jam makan siang yang sudah jauh terlewat itu.Jasmine tersenyum lebar mendapati Alan datang menyusulnya. Kemudian berdiri guna menyambut laki-lakinya itu. "Padahal gak bilang mau datang!"Bibir ranum Jasmine mengerucut, sebagai respon dari kedatangan Alan yang tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Cup!Alan mencuri satu kecupan singkat di sana. "Jangan pancing aku sekarang," bisik Alan, tepat di samping telinga Jasmine.Ehem!Tio yang berdiri lima langkah di belakang Alan, berdehem guna mengingatkan. Bahwa di antara mereka berdua masih ada orang lain di sana."Dia kekeh mau nyamperin, Lo. Padahal kita tadi lagi banyak banget kerjaan," ucap Tio asal kemudian duduk di bangku kosong samping Gina.Gina yang mendapati Tio hadir, bahkan memilih duduk di sampingnya itu di buat gelagapan sendiri. Mau bagaimanapun mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Tentulah membuat pertemuan itu ter
"Data pemilik sidik jari sudah keluar," ungkap Rio pada Alan juga Tio yang baru tiba di markasnya. "Dari data yang ada, sidik jari ini menunjukan milik tuan Aris. Namun, saat ini keberadaannya tidak diketahui," sambungnya."Apa dia sudah tidak ada di kota ini?" tanya Tio, lebih dahulu berkomentar."Atau mungkin juga ganti identitas."Alan akhirnya ikut berkomentar, sambil memutar berkali-kali pena yang ada di jarinya. Posisi pria itu saat ini tengah duduk di bangku, terlihat santai. Namun, pikirannya berkelana memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Tatapan mata Alan hanya lurus ke depan, gaya Alan seperti itu justru menambah kesan tampan pada dirinya. Berkali-kali lipat lebih mempesona."Bisa jadi itu, jika ganti identitas. Identitas baru pasti terdaftar, dan terlacak sistem." Tio menimpali. "Apalagi sekarang berbagai fasilitas publik membutuhkan scan sidik jari bahkan wajah," ujarnya."Tidak ada laporan kematian atas nama tuan Aris. Kemungkinan besar dia masih hidup.
"Halo, tuan, " sapa Rio, di seberang telepon sana."Di mana?" tanya Alan, tidak berniat ber basa-basi."Saya di rumah sakit, sedang temani ayah sarapan, " jawab Rio."Ke markas sekarang! Ada yang harus anda kerjakan!" titah Alan pada Rio."Baik, tuan. Saya ke sana sekarang."Usai mengucapkan itu, Rio langsung berpamitan pada sang ayah. Mengatakan bahwa dirinya ada panggilan kerja.Sang ayah tentu langsung mengiyakan kali itu. Sangat kebetulan, tidak seperti biasanya yang akan drama terlebih dahulu seperti anak kecil yang akan di tinggal orang tuanya bekerja.Sedang Alan juga sama. Pria itu mengecup kening istrinya singkat, lalu ke luar dari ruangan itu, tentu dengan paper bag hitam di tangannya.Sepeninggalan Alan, Gina yang sudah menahan rasa penasaran sedari tadi itu mulai mencecar Jasmine dengan berbagai pertanyaan. "Apa yang sudah Alan lakuin ke kamu? Kenapa sampai kamu harus pakai kursi roda? Apa Alan sekejam itu?"Cep! Gina berhenti bertanya.Jasmine yang tidak ingin mendengar
Di kamar mandi Alan benar-benar hanya membantu Jasmine membersihkan diri. Meski bersusah payah menahan diri, nyatanya pria itu berhasil menepati janjinya. "Tahan sebentar, ya! Mungkin akan sedikit pedih," ucap Alan, sebelum membubuhkan salep pada area sensitive wanitanya itu.Jasmine reflek mencekal tangan kekar Alan yang akan mengoleskan salep itu. "Aku, bisa sendiri!" CK!Alan berdecak kesal mendapati Jasmine masih saja malu terhadapnya. "Aku udah lihat semua punya kamu. Kalo lupa!"Setelah mengucapkan itu, Alan segera melancarkan aksinya mengolesi salep di area sensitive Jasmine.Dapat dilihat wanita itu meringis menahan pedih meski hanya sesaat."Sudah!" seru Alan. Pria itu kemudian menutup salep, lalu meletakkannya kembali di kotak p3k."Bisa jalan?"Alan sengaja menanyakan itu, karena tadi saat hendak pergi ke kamar mandi, Alan yang membopongnya ke dalam toilet."Aku coba jalan pelan, ya!"Jasmine berdiri perlahan, mulai melangkah meski setengah di seret. Wanita itu benar-benar