" Di sini tempat ternyaman. Selain pemandangan hijau dedaunan, bunga-bunga yang indah juga bantu bikin mood langsung happy lagi setelah suntuk dengan pekerjaan."
Lagi-lagi Alan hanya fokus pada setiap pergerakan Jasmine tanpa berkomentar. Alan bahkan reflek langsung memeluk gadis itu saat ini. Alan sangat merindukan Jasmine. Jasmine yang kaget tentu reflek ingin melepaskan diri dari pelukan Alan. " Sebentar saja," racau Alan. Jasmine tidak mengindahkan permintaan Alan, gadis itu terus berontak meminta dilepaskan. " Mimi, sebentar saja! 30 detik izinkan aku memelukmu!" Jasmine yang mendengar Alan memanggilnya Mimi sontak kaget dan bingung, " apa dia tahu selama ini aku pura-pura lupa ingatan?" tanya Jasmine dalam hati. Meski begitu Jasmine tidak ingin tahu lebih lanjut. Gadis itu memilih melanjutkan aktingnya, dan menganggap barusan ia baru saja salah dengar. " Aku kangen," racau Alan, lagi. Pria itu akhirnya mengurai pelukannya pada Jasmine. " Aku nggak salah dengar? Kamu kangen aku? Kita sekarang bersama, weekend kemarin kita bahkan menghabiskan waktu bersama di sirkuit balapan," kekeh Jasmine. Gadis itu menanggapi racauan Alan dengan nada bercanda. " Kenapa harus bohong segala?" Alan mengulurkan paper bag yang sedari tadi ia bawa. Di dalamnya ada baju savety balapan milik Jasmine yang sudah ia laundry. " Bunda nggak suka aku balapan. Apalagi kemarin aku sampai kecelakaan," jawab Jasmine apa adanya. " Lalu kenapa masih pergi balapan, hem?" Alan dan Jasmine kini duduk bersanding di sebuah bangku taman. Alan seakan tidak mau sekejap pun kehilangan waktunya untuk tidak memandangi Jasmine dari jarak sedekat ini. Sedang Jasmine terlihat masa bodoh masih fokus dengan ceritanya yang random. Keesokan paginya sesuai kesepakan Alan memenuhi permintaan Jasmine untuk melakukan konferensi pers hubungan mereka pada publik. Meski sepakat mengaku sebagai rekan bisnis saja. Alan nyatanya menjadi marah-marah sendiri dan Tio menjadi sasaran empuk sahabatnya itu menggila karena seorang perempuan. " Kenapa nggak minta bilang Lo kekasihnya saja, sih! Dari pada di belakang layar Lo uring-uringan kaya gini?" Tio terlihat kesulitan menghadapi bos sekaligus sahabatnya itu yang sampai meminta mengosongkan seluruh waktunya hari itu. " Mending nggak usah banyak omong Lo! Pastikan gue dapat reservasi tempat makan cake manis setelah itu!" Alan masuk ke dalam mobil BMW kesayangannya. Tio yang di tinggal Alan, tergesa menyusul dengan langkah cepat masuk ke dalam mobil yang sudah ada Alan di dalamnya. Tidak banyak obrolan seperti biasanya antara dua orang sahabat itu. Alan sibuk dengan isi pikirannya sendiri, sedang Tio yang duduk di balik bangku kemudi memilih fokus pada perjalanan kota yang sudah tidak terlalu padat pagi itu. Sesampainya di lokasi konferensi pers yang telah ramai awak media Tio mengusulkan untuk mereka masuk dari pintu belakang. Tanpa menunggu perintah Alan, Tio langsung melakukan panggilan telepon pada sekretaris Jasmine. Meminta bantuan wanita itu untuk bisa dengan mudah masuk ke sana "Bu Gina, Pak Alan sudah tiba di lokasi. Tetapi kami tidak bisa masuk sebab pintu depan sudah ramai awak media," terang Tio, melalui panggilan teleponya. Akhirnya Gina mengarahkan Tio untuk masuk dari pintu belakang. Ketika Alan dan Tio sampai, Gina sudah menunggu di sana. " Mari ikuti saya!" Gina yang sudah pernah melihat Alan secara langsung tentu langsung mengenalinya dan mempersilahkan mereka masuk. Berbeda dengan Tio yang selama ini hanya mendengar suara wanita itu melalui telepon. Di pertemuan pertama Tio, melihat Gina sebagai wanita dewasa yang anggun dan energik. Setiap ucapan Gina bahkan berhasil menghipnotis Tio yang menjadi gagal fokus mendampingi sahabatnya di sana. Tio selalu mencuri pandang pada Gina yang terlihat sangat profesional dalam membersamai Jasmine. Tio bahkan sampai membuat Alan kesal karena beberapa kali Alan panggil dan tanya. Pria itu hanya bungkam atau menggeleng saja sebagai jawaban. Saat ini Alan duduk bersanding dengan Jasmine diikuti Gina di samping Jasmine juga Tio di samping Alan. Mereka menjelaskan berita yang beredar yang bahkan menjadi trending topik beberapa hari di media masa. "Apakah Alan pacar Anda ...?" "Kalian serasi sekali ...." "Benarkah kalian hanya rekan bisnis biasa?" Berbagai pertanyaan dari wartawan dengan sabar Jasmine dan Alan menjawabnya. Meski di sana terlihat Jasmine yang lebih banyak berinteraksi dengan wartawan. Jasmine mengakui di depan awak media sesuai rencana awal bahwa dirinya dan Alan hanya rekan bisnis saja. Jasmine juga mengatakan dirinya baru bertemu dengan Alan. "Kamu pintar mencari tempat," puji Alan pada Tio. Alan saat ini telah berada di sebuah restaurant yang sudah sahabatnya atur lebih dahulu reservasinya. Sehingga saat itu tidak ada siapapun lagi di sana kecuali mereka berdua. Satu buah cheese cake berukuran sedang dengan cream manis Alan lahap dengan rakus. Menyalurkan rasa kesal pada makanan manis gurih itu nyatanya berhasil mengurai kelegaan setelahnya. Waktu terus berlalu setelah konferensi pers itu, berita miring tentang Alan bersama Jasmine mulai tenggelam. Namun, Alan tetap dalam diam terus mengintai keberadaan gadis yang selalu membuat hatinya tidak tenang itu. Alan selalu berdoa dirinya bisa berjodoh dengan Jasmine. Satu bulan berlalu. Berita seorang konglomerat meninggal dunia secara tiba-tiba berhasil menggemparkan media masa hari itu. "Bro, sudah lihat ini?" Tio memberikan iPad pada Alan. " " Bunda Fatma meninggal? Dia orang tua angkat Jasmine, kan?" Tio mengangguk berkali-kali. Membenarkan pertanyaan Alan. "Lo, handle kerjaan gue!" titah Alan pada Tio. " Tunggu, Lo mau kemana? Ada pertemuan tender baru yang tidak bisa gue wakili hari ini, Bro!" Tio mengingatkan agenda penting sahabatnya yang tengah tergesa mengenakan jasnya kembali. Kunci mobil BMW putih kesayangan Alan tidak lupa ia raih. " Gue percayakan semua sama, Lo! Dia lagi butuh gue sekarang," terang Alan. Segala hal yang menyangkut tentang Jasmine selalu jadi prioritas Alan saat ini. Dengan kecepatan di atas rata-rata Alan membelah jalanan kota sore itu yang belum terlalu ramai pengguna. Alan memacu mobil kesayangannya menuju di mana TPU berada. Keluarga besar memutuskan untuk langsung mengebumikan Fatma yang meninggal pagi tadi di kediamannya. Pemakaman sudah cukup sepi ketika Alan tiba. Tinggal Jasmine dan dua pasang orang lainnya yang tinggal di sana. Mendengar derap langkah mendekat. Semua orang yang berada sekitar makam menoleh ke arah Alan yang baru datang. " Saya ikut berduka." Alan semakin mengikis jarak, kemudian meletakan karangan bunga di atas nisan. Alan mendekat pada Jasmine, merangkul pundak gadis itu. Menepuk-nepuk pelan guna menguatkan. " Kenapa bunda pergi juga ninggalin aku!" Terlihat Jasmine paling terpukul atas kepergian bunda Fatma di sana. Bayangan kematian kedua orang tua Jasmine dahulu seperti terulang lagi di kematian bunda Fatma hari itu. " Alan, aku mau ikut mereka pulang saja! Aku nggak mau sendirian."" Alan, aku mau ikut mereka pulang saja! Aku nggak mau sendirian."Jasmine terlihat kalut kali ini. Alan yang melihat keadaan gadis itu ikut merasa terpukul atas apa yang menimpamya."Kamu ada aku! Kamu tidak pernah sendiri."Alan membawa Jasmine kedalam pelukannya. Alan usap punggung rapuh gadis itu naik turun, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan di sana.Sedang di hadapan Jasmine dan Alan terlihat dua pasang orang terakhir meninggalkan makam tanpa berpamitan. "Kita pulang juga, yuk!" Alan mencoba membujuk Jasmine pulang. Namun, gelengan saja yang pria itu dapat."Hari sudah mulai petang. Kita bisa berkunjung lagi besok," bujuk Alan, lagi. Pria itu tidak menyerah membujuk Jasmine. Sampai akhirnya Jasmine mau mengikuti bujukan Alan untuk turut pulang bersama.Alan mengantar Jasmine pulang ke apartemen setelah sebelumnya bertanya. Ya, saat itu Jasmine memang butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Di tinggal pergi kembali oleh orang tua selamanya nyatanya membuat Jasmi
Kalimat sang wanita menggantung ketika mendengar langkah memasuki ruangan yang terbuka lebar pintunya itu."Siapa kamu sebenarnya? Mengapa terus bersama Jasmine sedari kemarin?"Sang wanita menatap penuh tanya pada Alan yang memasukan ke dua tangan ke saku celana ketika masuk ke sana. Pembawaannya yang tenang membuat Alan berkali-kali lebih tampan, sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh suasana yang sedang tegang di sana.Alan bukannya menjawab justru menoleh kearah Jasmine. Jasmine sendiri yang melihat kakak iparnya mengalihkan pembicaraan pun semakin geram kemudian angkat bicara kembali." Kita sedang bicara! Kamu jangan coba mengalihkan pembicaraan, ya!" Protes Jasmine. Gadis itu tidak terima kakak iparnya justru fokus pada Alan.Meski bukan anak kandung dari bunda Fatma, Jasmine lah yang paling dekat keberadaannya sebagai seorang anak semasa hidup Fatma. Dua anak Fatma lainya terlalu sibuk dengan urusan mereka, bahkan sekedar hanya untuk meluangkan waktu menemani makan bersa
"Kita perlu selidiki ini?"Alan menyerahkan botol yang ia temukan itu pada Jasmine. "Ini biasa bunda konsumsi. Kemarin ketika sedang telepon aku, bunda juga bilang baru mau minum vitamin. Tapi setelahnya ...,"Jasmine tidak melanjutkan kalimatnya. Mata yang tadi fokus membaca tulisan di botol obat yang gadis itu bolak-balik, kini beradu tatap dengan Alan."Jangan- jangan!"Alan dan Jasmine berucap serempak. Nyatanya saat ini isi pikiran mereka sama. Segera Alan menghubungi temannya yang bekerja di bagian farmasi. Pria itu yakin temannya akan mengecek dan mendapatkan hasil analisanya lebih cepat dari pada di tempat umum yang harus mengantri terlebih dahulu.Setelah menghubungi teman Alan, dan menyatakan menyanggupi. Alan mengajak Jasmine pergi ke sana bersamanya.Tidak membutuhkan waktu lama bagi Alan sampai di lokasi yang kebetulan berjarak 30 menit saja dari perumahan elit tempat almarhum bunda Fatma tinggal."Apa yang harus gue bantu, bro?" Teman Alan menyapa ketika Alan dan Jasmin
"Mama kamu yang membuat aku harus pergi dari hidup kamu."Jasmine mendorong tubuh Alan yang semakin dekat padanya tadi."Aish! Sial!"Alan mengumpat juga terlihat kesal, dari raut wajahnya terlihat jelas pria itu sedang marah saat ini."Dia bukan mama kandungku," terang Alan, pelan. Saking pelannya Jasmine sampai meminta Alan mengulanginya, " hah?""Iya, mami kandungku tinggal di Jepang. Baru satu tahun terakhir beliau kembali ke sini," jelas Alan, yang kemudian melanjutkannya kembali, "Papaku menikahi dia karena di jebak.""Kamu? Tidak sedang berbohong, kan?"Jasmine menanggapi penjelasan Alan dengan pertanyaan yang seakan meragukan semua ucapan pria itu."Astaga! Buat apa aku bohong? Apa terlihat di wajahku, aku seorang pembohong, Hem?"Alan tidak habis pikir dengan pertanyaan yang baru Jasmine lontarkan padanya."Selama ini aku benci kamu, sebab wanita itu juga yang sudah menyebabkan kematian kedua orang tuaku."Jasmine menatap lekat ke dua iris hazel milik Alan. Mencari kebohonga
Hari ini Alan datang ke pusat farmasi tempat teman semasa kuliahnya bekerja. Sang teman dari Alan itu memberitakan telah mendapatkan hasil pengecekan isi dari botol obat yang Alan bawa dua hari yang lalu."Gue rasa ada orang yang sengaja mengganti isinya!"Alan melihat selembaran yang temannya berikan guna memastikan ucapkan sang kawan."Thanks, bro! Gue harus segera hubungi dia."Alan mencari benda pipih miliknya di dalam saku celana, mengetik di bagian pencarian kontak nama Jasmine di sana. Namun, pria itu tidak menemukannya."Bagaimana bisa gue belum punya nomor, dia ? Dasar, bodoh!"Alan mengumpat keteledoran dirinya sendiri. Bagaimana bisa dirinya yang sudah selama itu bertemu Jasmine kembali sampai tidak memiliki kontaknya.Akhirnya Alan memilih menghubungi Tio guna mencari kontak Jasmine untuk dirinya. Sedang pagi itu di apartemen Jasmine berada bersama Gina sekretaris pribadinya. Gina membahas perihal syarat isi surat wasiat almarhum bunda Fatma dengan Jasmine."Jadi kapa
Jasmine saat ini telah mengantongi satu bukti, jika kejanggalan yang selama ini dirinya rasakan, benar adanya pada kematian bunda Fatma.Jasmine tinggal mencari bukti lain guna mengungkap siapa sebenarnya dalang dibalik pembunuhan berencana sang bunda."Bagaimana jika kamu menikah saja? Orang yang menginginkan bunda Fatma meninggal akan menjadi yang paling tidak terima karenanya?"Alan berceloteh menawarkan sebuah solusi yang menurutnya paling mudah memancing sang pelaku muncul."Siapa yang mau ngajak aku nikah? Yang ada situasi seperti ini justru sengaja mereka memanfaatkan."Jasmine menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di meja cafe. Alan membawa Jasmine ke sebuah cafe yang telah terlebih dahulu ia reservasi agar hanya ada mereka berdua saja di sana."Aku ... Ayo kita nikah! Aku gak mungkin sampai manfaatin situasi kamu, Mimi. Kamu pasti tahu itu," ungkap Alan pada Jasmine. Pria itu tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas untuk bisa bersama gadis yang s
"KAMU!"Seruan Jasmine membuat Alan yang tadi ikut mencari sumber asap rokok itu, berlari mencari keberadaan Jasmine."Siapa?" tanya Alan pada Jasmine, setengah berbisik saat sampai di samping Jasmine.Bukan menjawab Alan, Jasmine yang terlanjur kebakaran jenggot itu mengambil paksa puntung rokok yang ada di mulut pemuda yang duduk di bangku single taman rumah kaca itu."Siapa yang kasih ijin kamu ngerokok di sini, hah?"Jasmine menginjak-injak puntung rokok itu dengan heels yang di kenakannya."Apa-apaan sih, kamu! Datang-datang langsung marah-marah," jawab pemuda itu, santai. Dari raut wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan ada rasa bersalah di sana. Jasmine tentu semakin kesal dibuatnya."Terus aku lihat kamu merokok di tempat ini harus diem aja, gitu! Tempat ini jadi bau asap rokok gegara kamu! Kenapa gak keruangan kusus merokok saja, hah!"Jasmine terlihat menggebu-gebu memaki pemuda yang merokok di tempat yang tidak seharusnya itu.Sang pemuda mendengkus, kemudian mengambil
"Apa-apaan itu, Mas? Jasmine akan menikahi pengawal pribadinya? Apa semua itu hanya tak tik perawan tua itu agar bisa mengambil wasiat almarhum mama?" Anggun istri dari Aris itu sedari bertemu dengan Jasmine di meja makan tidak habis-habisnya mengoceh, mengeluarkan kembali kekesalannya pada Aris setiap wanita itu mengingat akan kehilangan harta warisan almarhum mama mertuanya."Tenang sayang! Kita tidak akan membiarkan dia memang!" Aris berusaha menenangkan sang istri. Walau pada kenyataannya laki-laki itu juga tidak kalah khawatir dengan sang istri."Lalu apa rencana, kamu, Mas? Jasmine tadi bahkan mengutarakan pernikahan mereka akan diadakan dalam waktu dekat!"Aris pun akhirnya menjelaskan kepada anggun mengenai rencana yang akan ia lakukan pada Jasmine."Kalau gagal gimana ?" tanya Anggun, pesimis. Terlebih rencana yang akan suaminya lakukan itu menyangkut nyawa seseorang."Sudah, kamu cukup percayakan saja semua padaku!" Aris kemudian berpamitan pada anggun. Laki-laki itu tidak
"Mau coba cek dulu? Kita berhenti di apotik beli tes pack dulu, ya? Kamu kapan terakhir halangan?" Alan memberondong Jasmine dengan pertanyaan, setelah wanita itu lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya dengan Gina.Jasmine memiliki pemikiran yang sama. Namun, keinginannya makan rujak kedondong lebih dominan. "Ck! Cari rujak dulu, Al! Lagian belum pasti juga, kan aku hamil," jawab Jasmine, santai. Fokusnya kembali pada benda pipih di tangannya, mengetik huruf di papan pencarian menanyakan tempat yang mungkin menjual rujak kedondong di sana.Cukup lama tidak ditemukan karena waktu memang sudah cukup malam. Ada kedai rujak cukup jauh lokasinya juga ternyata sudah tutup. Akhirnya Jasmine tidak kehabisan akal, mengetik huruf kembali mencari toko buah yang mungkin menjual buah kedondong. Wanita itu berniat membuat rujak sendiri nanti di rumah. Akhirnya, mobil Alan belokan ke sebuah super market besar yang ada di kota itu. "Harusnya di sini ada buah yang kamu, mau," tuturnya.Sebelum
"Saya mendapatkannya," ungkap Rio pada Alan, yang baru sempat melakukan panggilan setelah kesibukannya di Singapura."Di mana dia sekarang?" tanya Alan, to the point."Di rumah sakit. Keadaannya kritis," jawab Rio. "Istri anda belum saya beri tahu, sesuai permintaan anda," lanjutnya.Alan memang memperingatkan Rio untuk tidak menginfokan apapun pada istrinya, sebelum dirinya kembali ke tanah air."Saya usahakan pulang secepat mungkin," kata Alan. "Tetap jaga istri saya dari kejauhan."Alan memilih segera mematikan panggilan, usai mengingatkan Rio kembali. Waktunya tidak banyak di sana agar lekas bisa kembali ke tanah air secepat mungkin. "Istri kamu belum tahu berita di sosial media tentang seseorang tertembak di sekitaran apartemen tadi pagi adalah ulah detektif swasta yang kamu sewa." Gina mengirimkan notifikasi pesan pada Alan. Membuat laki-laki itu langsung melakukan panggilan telepon pada sekretaris pribadi Jasmine. "Iya, Alan," sapa Gina dari seberang telepon sana."Gue se
Pukul sembilan malam Alan Alan benar-benar pergi ke Singapura lagi, mengikuti penerbangan terakhir hari itu."Aku harusnya ikut antar kamu ke bandara," ungkap Jamsine pada Alan. Wanita itu hanya Alan perbolehkan mengantar sampai basement apartemen saja."Jangan lagi buat aku gak jadi terbang," ujar Alan, mengomentari ungkapan istrinya. Sebenarnya sedari di rumah baru tadi Alan sudah hampir mengikhlaskan tender besar yang di Singapure. Pria itu tidak bisa pergi meninggalkan Jamsine dalam situasi genting seperti saat itu. Namun, pada kenyataannya wanitanya itu pandai meyakinkan Alan untuk tetap berangkat, tentu setelah mengiyakan permintaan Alan pindah ke rumah baru mereka besok pagi."Asisten rumah tangga sesuai spesifikasi kamu datang besok pagi," ucap Alan, sambil menghujani wajah Jasmine dengan banyak kecupan di sana.Jasmine mengangguk, "makasih, ya! Kalo sudah sampai segera kabari aku."Jasmine tahu Alan sedang berat meninggalkannya, sehingga wanita itu memilih tidak banyak menan
"Mau kasih lihat apa?" rengek Jasmine. Menarik-narik tangan Alan, meminta pria itu lekas memberitahunya. "Sebentar lagi, kamu tahu," ujar Alan. Membawa wanitanya ke sebuah kamar yang sudah ia dekorasi sedemikian rupa."Tutup mata! Dalam hitungan ke tiga baru kamu buka!" titah Alan pada Jasmine.Jasmine mengangguk patuh, mulai memejamkan mata.Ceklek!Handle pintu Alan tarik ke bawah, pintu kamar pun terbuka. Semerbak aroma kelopak bunga mawar seketika memenuhi indera penciuman Jasmine ketika baru memasuki ruangan itu."Satu ... dua ... tiga!"Jasmine membuka mata perlahan, tepat setelah Alan selesai menyebutkan angka tiga. Betapa bahagia hati wanita itu, dalam kesibukan Alan masih sempat menyiapkan ini semua untuknya.Jasmine merasa benar-benar beruntung dipertemukan kembali dengan mantan kekasih yang sekarang justru menikah dengannya. "Kamu udah nentuin kamar utama, kenapa tadi masih nanya?" beber Jasmine. "Sengaja mau ngetes?" imbuhnya.Alan hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Ini apa?" tanya Jasmine. Alan yang mendengar pertanyaan itu langsung membungkukkan badan, melihat dengan seksama apa yang wanitanya pertanyakan."Paper bag lagi? Bunga itu," ucap Alan, pelan. Pergerakannya secepat mungkin ke arah luar mobil. Menyelisik ke sekeliling, mencari keberadaan orang yang mengirim itu. "Mungkin belum jauh?""Tadi dikunci, kan mobilnya sebelum masuk cafe?" tutur Jasmine, ingin memastikan."Tio yang bawa mobil. Tapi aku yakin dia udah kunci," jawab Alan, yang mengetahui sahabatnya itu bukanlah tipikal pribadi yang teledor.Alan masih mengedarkan matanya ketika menjawab pertanyaan Jasmine. Sayangnya Alan tidak bisa menemukan siapapun di sana. Tidak terlihat ada orang mencurigakan di area parkir dan sekitarnya. "Apa ini diletakan sedari tadi?" Tidak ingin menduga-duga seorang diri, Alan memilih mengambil benda pipih nya dari saku celana. Mencari nama Tio di sana."Iya, bro," sapa Tio, setelah mengucapkan salam terlebih dahulu seperti biasa. "Ke parkiran sekar
Tap ...Tap ...Tap ...Langkah kaki Alan, menggema kala memasuki cafe yang sudah mulai sepi pengunjung di jam makan siang yang sudah jauh terlewat itu.Jasmine tersenyum lebar mendapati Alan datang menyusulnya. Kemudian berdiri guna menyambut laki-lakinya itu. "Padahal gak bilang mau datang!"Bibir ranum Jasmine mengerucut, sebagai respon dari kedatangan Alan yang tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Cup!Alan mencuri satu kecupan singkat di sana. "Jangan pancing aku sekarang," bisik Alan, tepat di samping telinga Jasmine.Ehem!Tio yang berdiri lima langkah di belakang Alan, berdehem guna mengingatkan. Bahwa di antara mereka berdua masih ada orang lain di sana."Dia kekeh mau nyamperin, Lo. Padahal kita tadi lagi banyak banget kerjaan," ucap Tio asal kemudian duduk di bangku kosong samping Gina.Gina yang mendapati Tio hadir, bahkan memilih duduk di sampingnya itu di buat gelagapan sendiri. Mau bagaimanapun mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Tentulah membuat pertemuan itu ter
"Data pemilik sidik jari sudah keluar," ungkap Rio pada Alan juga Tio yang baru tiba di markasnya. "Dari data yang ada, sidik jari ini menunjukan milik tuan Aris. Namun, saat ini keberadaannya tidak diketahui," sambungnya."Apa dia sudah tidak ada di kota ini?" tanya Tio, lebih dahulu berkomentar."Atau mungkin juga ganti identitas."Alan akhirnya ikut berkomentar, sambil memutar berkali-kali pena yang ada di jarinya. Posisi pria itu saat ini tengah duduk di bangku, terlihat santai. Namun, pikirannya berkelana memikirkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Tatapan mata Alan hanya lurus ke depan, gaya Alan seperti itu justru menambah kesan tampan pada dirinya. Berkali-kali lipat lebih mempesona."Bisa jadi itu, jika ganti identitas. Identitas baru pasti terdaftar, dan terlacak sistem." Tio menimpali. "Apalagi sekarang berbagai fasilitas publik membutuhkan scan sidik jari bahkan wajah," ujarnya."Tidak ada laporan kematian atas nama tuan Aris. Kemungkinan besar dia masih hidup.
"Halo, tuan, " sapa Rio, di seberang telepon sana."Di mana?" tanya Alan, tidak berniat ber basa-basi."Saya di rumah sakit, sedang temani ayah sarapan, " jawab Rio."Ke markas sekarang! Ada yang harus anda kerjakan!" titah Alan pada Rio."Baik, tuan. Saya ke sana sekarang."Usai mengucapkan itu, Rio langsung berpamitan pada sang ayah. Mengatakan bahwa dirinya ada panggilan kerja.Sang ayah tentu langsung mengiyakan kali itu. Sangat kebetulan, tidak seperti biasanya yang akan drama terlebih dahulu seperti anak kecil yang akan di tinggal orang tuanya bekerja.Sedang Alan juga sama. Pria itu mengecup kening istrinya singkat, lalu ke luar dari ruangan itu, tentu dengan paper bag hitam di tangannya.Sepeninggalan Alan, Gina yang sudah menahan rasa penasaran sedari tadi itu mulai mencecar Jasmine dengan berbagai pertanyaan. "Apa yang sudah Alan lakuin ke kamu? Kenapa sampai kamu harus pakai kursi roda? Apa Alan sekejam itu?"Cep! Gina berhenti bertanya.Jasmine yang tidak ingin mendengar
Di kamar mandi Alan benar-benar hanya membantu Jasmine membersihkan diri. Meski bersusah payah menahan diri, nyatanya pria itu berhasil menepati janjinya. "Tahan sebentar, ya! Mungkin akan sedikit pedih," ucap Alan, sebelum membubuhkan salep pada area sensitive wanitanya itu.Jasmine reflek mencekal tangan kekar Alan yang akan mengoleskan salep itu. "Aku, bisa sendiri!" CK!Alan berdecak kesal mendapati Jasmine masih saja malu terhadapnya. "Aku udah lihat semua punya kamu. Kalo lupa!"Setelah mengucapkan itu, Alan segera melancarkan aksinya mengolesi salep di area sensitive Jasmine.Dapat dilihat wanita itu meringis menahan pedih meski hanya sesaat."Sudah!" seru Alan. Pria itu kemudian menutup salep, lalu meletakkannya kembali di kotak p3k."Bisa jalan?"Alan sengaja menanyakan itu, karena tadi saat hendak pergi ke kamar mandi, Alan yang membopongnya ke dalam toilet."Aku coba jalan pelan, ya!"Jasmine berdiri perlahan, mulai melangkah meski setengah di seret. Wanita itu benar-benar